Selasa, 11 September 2007

Re: [psikologi_transformatif] Re: Cala Ibi...Cala Ibi -. helga, gotho, dan haute

Wah...diskusi menarik nih...tidak menduga milis ini ngediskusiin Cala Ibi juga. Menarik karena saya kebetulan saat ini juga tengah menyusun buku yang menganalisis sejumlah novel, salah satunya Cala Ibi.
 
Saya menganalisis dengan menggunakan pendekatan psikoanalisis,jadi bukan dari sisi kualitas sastranya.
 
Wah, kalo yang beginian masuk kritik sastra (literary criticism) ga Oom Haute? Apakah kritik sastra, selalu harus berisikan kritik yang sifatnya evaluatif?
 
Mungkin biar ada gambaran share sedikit ya...ini awal dari bab yang berisi Cala Ibi:
 
Bapak menamaiku. Ibu memimpikanku. Dan aku, memimpikan sebuah nama yang bukan namaku[1]
Demikian kalimat menarik yang ada di kisah Cala Ibi. Triadik Bapak, Ibu, Anak membuka novel karya Nukila Amal berjudul Cala Ibi. Di sini kita kembali melihat simbolisasi menarik yang berhubungan dengan psikoanalisa. Ada 'Ayah-yang-menamai', yang bisa kita sejajarkan dengan In-the-Name-of-the-Father. Subyek harus memiliki 'nama' agar dirinya bisa hidup di tatanan realitas (baca: tatanan ayah). Tanpa nama, subyek tak akan bisa direkognisi dan karenanya 'tidak ada'. Ibu-yang-mengimpikan juga dekat dengan simbolisasi Ibu yang berada di luar realita, di alam-mimpi, di alam dengan bahasa imajiner.
Bahasa Imajiner kerap diidentikkan dengan bahasa Ibu yang dimengerti bukan karena ketertataannya. Bahasa yang digunakan Ibu ketika berkomunikasi dengan bayinya, bahasa yang juga digunakan manusia di awal kehidupannya. Dalam bahasa maternal, ibu berkomunikasi misalnya dengan bahasa tak-tertata seperti: cup..cup..cup, nang ning nung ning nang ning nung, a..a..aem, us..us..us, dsb seperti bisa kita lihat pada bagaimana Ibu berkomunikasi dengan anaknya yang belum bisa bicara. Anakpun, pada fase ini menggunakan bahasa tak tertata untuk menyampaikan sesuatu. Beberapa pengalaman yang bisa saya temui misalnya: anak menyebut susu bendera dengan ku ku la la, menyebut 'tante' dengan 'aga', dan banyak lagi bunyi-bunyi yang tak ada dalam tata-bahasa tapi digunakan anak untuk menjelaskan sesuatu. Inilah bahasa imajiner.
Sedangkan posisi 'Anak' yang di dalam kutipan kalimat dari ­Cala Ibi dijelaskan sebagai 'aku-yang-memimpikan-sebuah-nama-yang-bukan-namaku', adalah simbolisasi anak manusia yang terjerat dalam tatanan bahasa simbolik. Pada tatanan bahasa ini, manusia digambarkan teralienasi, memimpikan 'aku' yang 'bukan-aku', yang bisa kita sejajarkan dengan 'memimpikan-sebuah-nama-yang-bukan-namaku'.


[1] Nukila Amal; (2004); Cala Ibi; Jakarta: Gramedia; hal. 6
 
 
 


hautesurveilance <hautesurveilance@yahoo.com> wrote:
Maksud bung gotho ngloco, novel? Tidak. Tapi saya pikir ini menarik
juga didiskusikan. Apakah kritikus adalah nomor 2 setelah pengarang
novel (atau bisa dikembangkan dalam hal-hal lainnya: seni rupa,
fotografi, dsb).

Ada teman-teman yang mau nanggapi? Pertanyaannya besarnya:

APAKAH KRITIKUS ADALAH NOMOR 2?

Silahkan...

--- In psikologi_transformatif@yahoogroups.com, "gotholoco"
<gotholoco@...> wrote:
>
> Yang namanya kritikus: adalah orang yang tidak mampu berprestasi
> seperti apa yang telah dicapai oleh yang dikritiknya.
> he..he..he..
> Bagaimana bung haute, punya karya bagus?? Japri ke sayah.
> :)
>
> --- In psikologi_transformatif@yahoogroups.com, "hautesurveilance"
> <hautesurveilance@> wrote:
> >
> > Aku tak sedang memegang novelnya, tapi inilah impresiku ketika membaca
> > novel tsb. Dalam hematku novel itu memiliki kendala teknis yang
> > mendasar. Si pengarang, seperti kebanyakan penulis-penulis Indonesia
> > saat ini, bahkan belum mampu menyusun kalimat, apalagi penceritaan,
> > atau novel yang mensyaratkan kesatuan dan keutuhan.
> >
> > Selain itu, novel ini terjebak pada apa yang disebut "magravilia"
> > (hasrat terhadap daya pukau). Ia tampak mencurahkan dirinya untuk
> > berliris-liris bahkan hingga berlarat-larat. Kecenderungan pada
> > lirisisme itu membuatnya bermain-main dalam apa yang dipikirkan oleh
> > si penulis sebagai metafor, padahal hanya terjerumus pada "rujak
> > kata-kata".
> >
> > Kalau tak salah ingat novelnya dibuka dengan "Bapakku anggrek bulan,
> > putih dari hutan" Apakah yang disebut anggrek bulan di sana? tak ada
> > referensi untuk itu. Predikatnya justru menerangkan hal lain, "...,
> > putih dari hutan". Kebebasan pembaca untuk menafsirkannya? Inilah yang
> > tak dipahami oleh kebanyakan penulis Indonesia kontemporer, bahwa
> > segelap apapun sebuah metafora ia harus memiiki matrix, kata
> > kunci-kunci. Kualitas metafor hanya dapat dinilai dari matrix itu.
> > Seberapa besar/dahsyat ia membuat penggambaran hanya bisa ditentukan
> > dengan pembandingannya dengan matrix tersebut. Ini kalau kita
> > berbicara metafora dalam definisi-definisi Aristotelian.
> >
> > Kini, mari beranjak ke metafora sebagai "kebebasan penggantian tak
> > terbatas", "pergerakan tak berujung" yang bebas dan acak, sehingga
> > rujak kata-kata seperti itu dapat dibenarkan sebagai metafora.
> > Pertanyaannya adalah, apakah novel itu sendiri memberikan dukungan
> > bagi kita untuk berbicara seperti itu?
> >
> > Jawabannya tidak. Novel yang mencoba berbicara tentang bahasa ini,
> > masih menempatkan tulisan/teks sebagai barang nomor dua. Memang bukan
> > pakaian dari pikiran atau ucapan, tetapi rasa, aku--hal ini
> > disampaikan secara verbal di bagian-bagian tengah. Kata di sana masih
> > merupakan representasi dari yang lain, dari luar dirinya--dan oleh
> > sebab itu saya melihatnya dari kacamata Aristotelian. Novel ini
> > seperti yang dikatakannya sendiri, tak mampu menanggung kekosongan
> > referensi. Ia bukan hanya aneh dibaca dari bangunan realisme, tetapi
> > juga aneh dibaca dari bangunan metafora--sesuatu yang ia minta
> > sendiri, namun ia khianati sendiri dengan kecenderungan realismenya
> > (aku/rasa sebelum bahasa).
> >
> > Kualitas novel ini, jika boleh memperbandingkan, sangat jauh dari
> > novel-novel Iwan Simatupang. Sangat jauh.
> >
> >
> >
> >
> >
> > --- In psikologi_transformatif@yahoogroups.com, Helga Noviari
> > <helga_noviari@> wrote:
> > >
> > > Thanks commen'na ya Mas Imam,
> > >
> > > Yupp..sy stuju banget...novel ini punya alternatif bentuk yg
> > sungguh menarik. Dibandingin novel-novel mainstream tentunya ya.
> > Selalu asik utk dibaca berulang-ulang.
> > >
> > > Nah..kaya'nya di situ dech kekuatan metafor...keren bener ni
> > novel..permainan metafornya itu tuh..wuii
> > >
> > >
> > > Cheers
> > >
> > > HN
> >
>



Pinpoint customers who are looking for what you sell.

__._,_.___
Recent Activity
Visit Your Group
Dog Zone

on Yahoo! Groups

Join a Group

all about dogs.

Fashion Groups

on Yahoo! Groups

A great place to

connect and share.

Best of Y! Groups

Check out the best

of what Yahoo!

Groups has to offer.

.

__,_._,___

Tidak ada komentar:

Posting Komentar