Senin, 26 November 2007

[psikologi_transformatif] Fwd: MUSIK KLASIK DAN AUTISME


--- In kristensejati@yahoogroups.com, "amanivmp" <amanivmp@...> wrote:

MUSIK KLASIK DAN AUTISME

Salam dalam Kasih Kristus,

Seorang rekan di milis lain, menginformasikan dan mengajak untuk
mengikuti satu seminar dengan pembicara Prof. Tsin-Fu Wei, seorang
profesor musik. Tema kedatangan beliau kali ini: "Bagaimana
mengaktifkan otak kiri dan kanan, otak kecil, sumsum dan sistem syaraf
melalui mendengarkan dan belajar bermain musik ?".

Tulisan kali ini, saya kirimkan sehubungan dengan masalah tersebut.
Karena kami juga sedang membicarakan kemungkinan hubungan musik klasik
dengan autisme, maka pembahasan dalam tulisan kali ini juga akan
terkait dengan masalah autisme tersebut. Mudah-mudahan informasi ini
juga dapat berguna untuk beberapa saudara-saudariku yang melalui japri
menanyakan tentang kemungkinan gejala autisme pada anak-anaknya.
Mudah-mudahan ada gunanya …

Terpujilah Tuhan!

amanivmp

---------------

Salam dalam Kasih Kristus,

Wah sebetulnya acara yang diinformasikan tersebut merupakan acara
bagus. Sayangnya saya tidak dapat menghadiri acara tersebut, waktunya
relatif terlalu "mepet". Kalau tidak keberatan, mungkin bung Ichwan
atau rekan-rekan lain yang menghadiri acara tersebut dapat membagikan
apa yang didapat kepada saya. Sungguh menarik untuk memahami sudut
pandang yang akan diajukan, terutama untuk melihat sudut pandang dari
seorang ahli musik dalam kaitannya dengan keaktifan pusat-pusat syaraf
yang secara struktur fisik merupakan keahlian para dokter (khususnya
neurolog) dan secara fungsional merupakan keahlian psikiater/psikolog.
Apalagi kalau dikaitkan dengan masalah spiritualitas yang merupakan
keahliannya teolog, eh psikolog juga deng kalau dalam kaitannya dengan
psikologi agama. Sayang … ya …

Sebagai "persiapan" bagi yang berminat untuk mengikuti acara tersebut,
mungkin ada baiknya saya sedikit membagikan apa yang saya ketahui
sehubungan dengan tema acara tersebut. Sangat mungkin
saudara-saudariku sudah tahu atau bahkan lebih tahu dari saya, namun
tidak ada salahnya jika saya mencoba menuliskannya, walaupun dengan
banyak keterbatasan. Siapa tahu saja ada gunanya.

Di permukaan otak kita (korteks serebri) terdapat pemetaan untuk
organ-organ tubuh. Jadi apabila ada kerusakan pada daerah otak
tertentu maka akan menimbulkan gangguan pada organ tubuh tertentu baik
sistem motorik, sensorik dan fungsi luhurnya. Kerusakan pada lobus
frontalis (bagian depan otak) dapat menimbulkan perubahan kepribadian
dan watak orang. Contoh gangguan perangai yang timbul seperti euforia
(kesenangan yang berlebihan), berbicara kotor dan cabul (koprolalia),
cepat marah-marah, kecenderungan berbuat ganas, impulsif agresif,
kehidupan seksual yang menyimpang (eksebisionisme, onani berlebihan).

Sindroma lobus temporalis menimbulkan gejala keadaan "dreamy state",
orang tersebut merasa seolah-olah sudah pernah melihat (deja vu),
sudah pernah mendengar (deja entendu) atau sudah pernah mengalami
(deja vecu), tetapi diragukan oleh kesadaran setengah mimpi tersebut.
Ataupun perasaan yang kebalikannya, yaitu mengalami perasaan belum
pernah melihat atau mengalaminya (jamais vu atau jamais vecu) namun
yang disangkal juga oleh kesadaran yang masih sedikit dapat membedakan
realitas dan bukan
realitas. Selain itu gangguan motorik yang timbul berupa gerakan
automatismus, suatu gerakan yang tampaknya bertujuan tetapi dilakukan
dalam keadaan tak sadar seperti mulutnya komat-kamit, lidah
mengecap-ngecap, nafas memburu, jari meraba-raba baju atau kain
seprai, tangan bertepuk-tepuk, memindah-mindahkan barang dan
sebagainya.

Selain itu dapat timbul perubahan perangai seperti hiposeksualitas
primer, seksualitas menyimpang seperti eksebisionismus,
transvestismus, fetishimus dan homoseksualitas, hiperetik dan
berlebihan dalam kebatinan dan keagamaan.

Pada lobus oksipital, kelainan yang timbul berupa gangguan penglihatan
seperti halusinasi penglihatan (kelap-kelip cahaya), buta makular,
hilangnya orientasi visual dan agnosia visual (benda yang dilihat
tidak dikenal/diketahui).

Lobus parietal pada bagian yang dominan (sisi kiri pada orang yang
right handed) merupakan pusat bahasa. Pada bagian yang tidak dominan
(sisi kanan), merupakan fungsi stereometri ruang. Kelainan pada bagian
tersebut dapat menimbulkan astereognosis (kehilangan pengenalan
perabaan) dari tubuh dan tangan pada sisi yang berlawanan dari tempat
kelainan. Timbul afasia (susah bicara) karena kehilangan memori
kata-kata. Timbul disorientasi sisi kiri dan kanan (jika kerusakan
pada bagian yang non dominan)

Sebetulnya uraian tersebut lebih cocok dan lebih merupakan porsinya
rekan-rekan yang berprofesi dokter. Secara lebih awam, saya akan
mencoba mengungkapkan bahwa pada dasarnya otak kita terbagi menjadi
dua belahan, kanan dan kiri dengan fungsi yang berbeda. Otak kanan
berkaitan dengan perkembangan artistik dan kreatif, meliputi perasaan,
gaya bahasa, imajinasi, pengembangan diri dan kepribadian,
sosialisasi, serta selera musik dan warna. Sementara itu, otak kiri
merupakan tempat untuk melakukan fungsi akademik seperti baca, tulis,
berhitung, daya ingat, logika, dan analisis.

Secara sederhana, kita bisa membayangkan kerja kedua belahan ini lewat
proses pembuatan suatu leaflet (brosur/selebaran). Untuk perancangan
tampilan, grafis, tata warna dan tata letak, kita lebih banyak
mengandalkan otak belahan kanan, sementara itu untuk menyusun
isi/materi, kita akan melakukan pengumpulan bahan, penterjemahan
(apabila mengandalkan literatur berbahasa asing), penyusunan dan
penulisan naskah, yang semuanya itu mengandalkan fungsi otak belahan
kiri.

Kedua fungsi otak tersebut tentunya bukan sekedar "bawaan bayi",
tetapi membutuhkan perangsangan agar fungsi kedua belahan otak pada
seseorang bisa berkembang sejak ia masih kanak-kanak. Beberapa
psikolog beranggapan bahwa apabila stimulasi secara seimbang terhadap
kedua belahan otak tersebut, akan berdampak positif tidak hanya
terhadap kecerdasan namun juga kepribadian seseorang. Kita tahu bahwa
yang digunakan sebagai standar pengukuran tingkat kecerdasan adalah IQ
(Intelligent Quotient), namun demikian IQ yang tinggi juga bukan
jaminan karena masih ada EQ (Emotional Quotient). Beda dengan IQ, EQ
tidak/belum bisa diukur dengan besaran berupa angka tertentu. EQ
seseorang bisa dinilai dari kepribadian dan hubungan sosial dengan
lingkungannya.

Berbeda dengan Intelligence Quotient (IQ), menurut Daniel Goleman,
Emotional Quotient(EQ) dapat dikembangkan seumur hidup dengan belajar.
Kecerdasan Emosional (EQ) tumbuh seiring pertumbuhan seseorang sejak
lahir hingga meninggal dunia. Pertumbuhan EQ dipengaruhi oleh
lingkungan, keluarga, dan contoh-contoh yang didapat seseorang sejak
lahir dari orang tuanya. Nah, konon EQ ini justru lebih menentukan
ketimbang IQ terhadap prestasi/performance seseorang. Keseimbangan
antara otak kiri dan kanan diyakini tidak hanya menghasilkan pribadi
dengan IQ tinggi, namun juga EQ yang memadai. Hal inilah yang akan
dicoba distimulasi dengan berbagai pendekatan, termasuk melalui musik
sebagai salah satu treatmentnya. Barangkali hal inilah yang akan
dibahas oleh Prof. Tsin-Fu Wei.

Mudah-mudahan uraian tersebut dapat membantu dan menjadi "bekal" bagi
rekan-rekan yang akan mengikuti acara Prof. Tsin-Fu Wei tersebut.
Namun, sebagai saudara dan rekan, saya ingin mengingatkan rekan-rekan
untuk tidak segera menelan mentah-mentah apa yang akan diungkapkan
oleh Prof. Tsin-Fu Wei tersebut. Diperlukan hikmat untuk menerapkannya
dalam konteks kehidupan kita, khususnya karena kekhasan dari minat,
latar belakang dan faktor budaya.

Saya jelas bukan apa-apa jika dibandingkan dengan Prof. Tsin-Fu Wei
yang sudah mendapatkan pengakuan internasional. Namun, berdasarkan apa
yang saya ketahui, walaupun mungkin Prof. Tsin-Fu Wei tidak, umumnya
pandangan seorang ahli musik akan lebih berat dari sisi musiknya.
Sebagai contoh pada situs The American Music Conference, dikemukakan
secara garis besar sejarah riset-riset tentang hubungan musik dengan
otak. Riset-riset yang dikemukakan dalam sejarah singkat tersebut
dapat dikatakan lebih ilmiah dibanding argumentasi-argumentasi yang
dikemukakan Campbell dalam bukunya. (Lihat :
http://www.amc-music.com/drumstudy/History%20of%20MB%20Research.doc).
Sayangnya, apa yang dikemukakan pada artikel tersebut, tidak memuat
secara komprehensif penelitian-penelitian yang telah dilakukan
sehubungan dengan efek Mozart tersebut. Penelitian-penelitian yang
diajukan dalam artikel tersebut hanya memuat informasi-informasi yang
mendukung efek positif dari efek Mozart tersebut. Berbagai penelitian
yang meragukan efek Mozart tidak masuk sama sekali dalam artikel
tersebut.

Selain itu, sebagaimana telah saya kemukakan, walaupun belum ada
penelitian secara ilmiah, secara kasuistik saya mendapatkan gambaran
bahwa memperdengarkan musik Mozart ataupun musik klasik secara umum
mungkin ada kecenderungan terhadap dideritanya autisme pada anak.
Namun, sebelum membahas kemungkinan keterkaitan tersebut, barangkalai
ada baiknya kita membahas dahulu tentang autisme secara sepintas.

Banyak sekali definisi yang beredar tentang apa itu Autisme. Tetapi
secara garis besar, Autisme, adalah gangguan perkembangan khususnya
terjadi pada masa anak-anak, yang membuat seseorang tidak mampu
mengadakan interaksi sosial dan seolah-olah hidup dalam dunianya
sendiri. Pada anak-anak biasa disebut dengan Autisme Infantil.

Gejala autisme infantil timbul sebelum anak mencapai usia 3 tahun.
Pada sebagian anak, gejala-gejala itu sudah ada sejak lahir. Seorang
Ibu yang sangat cermat memantau perkembangan anaknya sudah akan
melihat beberapa keganjilan sebelum anaknya mencapai usia 1 tahun.
Yang sangat menonjol adalah tidak adanya atau sangat kurangnya tatap
mata. Untuk memeriksa apakah seorang anak menderita autis atau tidak,
digunakan standar internasional tentang autisme. ICD-10 (International
Classification of Diseases) 1993 dan DSM-IV (Diagnostic and
Statistical Manual) 1994 merumuskan kriteria diagnosis untuk Autisme
Infantil yang isinya sama, yang saat ini relatif banyak dipakai di
seluruh dunia, walaupun sudah mulai ada yang meninggalkan
penggunaannya karena kriteria diagnosa tersebut kurang membedakan
antara gejala autisme dengan hiperaktif.

Dewasa ini penyandang autisme infantil seperti cenderung meningkat.
Pada seminar bertajuk "Autisme dan Penanganannya" yang diselenggarakan
pada tahun 2001, menurut Ketua Yayasan Autisma Indonesia, Dr. Melly
Budiman Sp.KJ, sepuluh tahun lalu jumlah penyandangnya sekitar 1 per
5.000 anak. Dewasa ini sudah menjadi 3 per 500 anak. ''Peningkatan ini
akan terus berlangsung'', tandas staf jurusan psikiatri Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia ini.

Selama puluhan tahun penyebab autisme tetap misteri. Salah satu mazhab
yang banyak dianut dan populer (termasuk di kalangan tokoh-tokoh
Yayasan Autisma Indonesia - Dr. Melly Budiman dkk), mengatakan bahwa
autisme disebabkan gangguan pertumbuhan sel otak pada saat kehamilan
trimester pertama. Saat itu, berbagai hal bisa menghambat pertumbuhan
sel otak. Misalnya, karena virus (rubella, tokso, herpes), jamur
(candida), oksigenasi (perdarahan), dan keracunan makanan. Selain
gangguan itu, ternyata, faktor genetik juga bisa menyebabkan autisme.
Ada gen tertentu yang mengakibatkan kerusakan khas pada sistem limbik
(pusat emosi).

Pada artikel berjudul "Neurobiologi Autisme" yang ditulis oleh
Hardiono D. Pusponegoro (Sub Bagian Saraf Anak, Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia) antara lain mengemukakan bahwa autisme diduga
merupakan gangguan otak karena berbagai sebab, meliputi penyebab
genetic atau biologik dan penyebab lingkungan. Kelainan organic yang
terbanyak ditemukan adalah kelainan serebelum, hipokampus, amigdala
dan batang otak. Kelainan neurotransmiter terutama serotinin juga
ditemukan pada penyandang autisme. Penelitian juga ditujukan kepada
gangguan struktur dan fungsi saluran cerna, kelainan imunologis,
alergi, infeksi jamur, keracunan dan lain-lain. Berbagai faktor
lingkungan akan menyebabkan munculnya gejala autisme pada anak yang
sudah mempunyai predisposisi genetik. Berbagai hipotesis dan penlitian
tersebut masih kurang konsisten dan penelitian lebih lanjut harus
dilakukan sebelum mereka dapat dibuktikan dengan pasti.

Pada beberapa waktu yang lalu, di satunet.com diungkapkan bahwa wanita
hamil yang menderita stres berat memiliki kemungkinan lebih besar
anaknya menderita autisme. Ungkapan itu didasarkan pada studi yang
dilakukan oleh sekelompok peneliti di Ohio.Studi yang dipimpin oleh
David Beversdorf (ilmuwan syaraf dari RS Universitas Negeri Ohio)
meneliti 500 wanita hamil yang memiliki pengalaman stres.

Tim tersebut menemukan 188 ibu dalam kelompok yang anak-anaknya
mengalami autisme ternyata pernah mengalami stres berat pada usia
kandungan 24 hingga 28 pekan ketimbang ibu-ibu yang memiliki anak
normal. Tingkat stres selama kehamilan bagi ibu-ibu dengan anak-anak
penderita autisme mendekati dua kali ketimbang ibu-ibu lain. Hasil itu
memperlihatkan, ungkap Beversdorf, tidak ada bukti autisme karena
faktor genetik.Para peneliti di Ohio mengatakan bahwa kehilangan
harapan, PHK, atau perjalanan jarak jauh dapat meningkatkan
kemungkinan tersebut. Stres kemungkinan mengubah bentuk perkembangan
otak bayi. Janin berusia 24 sampai 28 pekan tampaknya usia sangat
rawan.

Gejala autisme ini sangat menarik perhatian karena pada hakikatnya
kerusakan sel otak tersebut tak dapat disembuhkan. Namun bila otak
anak yang sedang berkembang mendapat rangsangan secara intensif dan
terpadu sedini mungkin, fungsi sel yang rusak bisa diambil alih oleh
sel otak yang lain, meski hasilnya tak sempurna. Dengan
penatalaksanaan yang tepat dan terpadu, menurut Dr. Melly Budiman,
gejala-gejala autistik bisa dikurangi semaksimal mungkin. ''Bila
penyandang autisme mempunyai kecerdasan normal, tak tertutup
kemungkinan ia bisa mencapai jenjang perguruan tinggi''.

Ada beberapa hal yang menyebabkan saya pribadi memiliki "kecurigaan
ilmiah" tentang adanya kemungkinan keterkaitan antara gejala autisme
dengan efek Mozart ataupun musik klasik secara umum. Hal-hal tersebut
antara lain adalah:

1. Jumlah penyandang autisme di Amerika bertambah pesat, khususnya
selama 10 tahun terakhir (Lihat
http://libnt2.lib.tcu.edu/staff/lruede/shame.html). Peningkatan ada di
semua negara bagian. Yang cukup menarik adalah adanya indikasi bahwa
meningkatnya kenaikan jumlah penderita autisme tersebut dekat dengan
tahun-tahun awal dimana penelitian Frances Rauscher, Gordon Shaw, dan
Katherine Ky tentang pengaruh musik klasik (Mozart) terhadap
kecerdasan mulai dipublikasikan dan mendapat banyak respons positif
dari masyarakat di sana.

2. Secara teoritis, memperdengarkan musik klasik (Mozart) ketika bayi
masih dalam kandungan maupun pada awal-awal pertumbuhannya, bukan
tidak mungkin akan lebih menstimulasi otak bagian kanan (yang
berkaitan dengan masalah artistik dan estetika). Keseimbangan
pertumbuhan dan perkembangan antara otak bagian kiri dengan bagian
kanan mungkin menjadi tidak seimbang. Apalagi kalau diperdengarkannya
dengan intensitas yang sangat tinggi. Dalam penelitian Frances
Rauscher, Gordon Shaw, dan Katherine Ky, musik Mozart hanya
diperdengarkan selama beberapa menit saja.

3. Daya tarik komposisi musik dan intensitas memperdengarkannya
menyebabkan efek berlebih pada si janin/anak. Yang saya maksud daya
tarik komposisi adalah ketika seseorang memainkan atau mendengarkan
suatu karya musik klasik, secara sadar tak sadar akan dapat larut pada
penghayatan akan komposisi tersebut, yang menyebabkan perhatian ke
lingkungan sekitar menjadi agak berkurang. Hal ini mungkin juga
terjadi pada janin/bayi. Apabila intensitas memperdengarkannya cukup
tinggi, janin(?) atau anak menjadi lebih terbiasa berkonsentrasi pada
penghayatannya tersebut (atau hal-hal tertentu saja), ketimbangan
dengan lingkungan sekitarnya. Ini merupakan salah satu gejala autisme.
Hal ini pulalah yang kiranya dapat menjelaskan mengapa penderita
autisme tetap bisa menjadi pemusik atau seniman handal model Steven
Sandjaja (pianis) atau model Jeff Isac Timotiwu yang meraih
penghargaan International Poet of Merit 2000.

4. Musik klasik yang diperdengarkan bukannya menimbulkan efek
relaksasi atau menjadi sesuatu yang menyenangkan bagi si ibu,
melainkan menjadi stressor dengan berbagai gradasi. Hal ini sangat
mungkin terjadi apabila si ibu yang bersangkutan tidak dapat karena
berbagai hal tidak menyenangi atau tidak dapat menikmati musik klasik.
Contoh ekstrimnya, misalnya adalah ibu-ibu di Indonesia yang lebih
suka dan terbiasa mendengar lagu berirama keroncong atau dangdut.
Kalau di amerika sana, mungkin ibu-ibu yang senang musik berirama
latin & soul misalnya. Nah stress yang timbul inilah yang mungkin
mempengaruhi perkembangan janin, sebagaimana hasil penelitian yang
dilakukan di Ohio tersebut di atas.

Walaupun saya memiliki "kecurigaan ilmiah" sebagaimana tersebut di
atas, namun sejauh pengetahuan saya, belum ada penelitian/data yang
mendukung tentang hal tersebut. Justru hal inilah yang mungkin cukup
menarik untuk diteliti lebih lanjut. Saya pribadi, masih punya
perkiraan bahwa jika dapat dikembangkan materi yang tepat (tidak harus
selalu musik klasik, apalagi terfokus ke Mozart) dan disusun prosedur
yang tepat (waktu dan intensitas memperdengarkannya), musik mungkin
memiliki pengaruh terhadap beberapa aspek dalam diri manusia,
khususnya dari segi emosional. Dan sisi emosional inilah yang secara
langsung maupun tak langsung akan mempengaruhi optimal-tidaknya
potensi seseorang diwujudkan dalam bentuk prestasi (performance). Dan
untuk itu, faktor minat, latar belakang dan budaya akan memegang
pengaruh yang cukup besar.

Bahkan mungkin dapat dikembangkan secara bertanggungjawab, materi dan
prosedur untuk menstimulasi otak penderita autisme agar lebih ada
keseimbangan antara bagian kiri dengan bagian kanan. Khusus mengenai
hal ini, beberapa ahli sudah mulai mengembangkan terapi musik untuk
membantu pertumbuhan dan perkembangan anak-anak autisme, namun sejauh
pengetahuan saya sifatnya masih kasuistik. Belum ada data yang cukup
memadai secara ilmiah.

Bagi saya pribadi, tidak menjadi persoalan apakah musik klasik
berpengaruh terhadap kecerdasan atau tidak. Ada pengaruhnya bagus,
tidak ada juga tidak apa-apa. Bagi saya, yang penting apapun yang
dikemukakan dan dibahas kiranya "tidak menjerumuskan" secara langsung
maupun tak langsung, secara sadar maupun tak sadar, orang-orang lain
yang seringkali secara "lugu" mengikuti apa yang dikemukakan oleh
"pakar" atau "ahli". Apalagi kalau itu dilakukan dalam konteks
"gereja". Sayang juga kan, kalau semakin banyak generasi penerus kita
sebagai pengikut Kristus yang menderita autisme, padahal mungkin bukan
itu yang kita mau. Untuk itu, dibutuhkan obyektifitas untuk dapat
memandang dan memberikan pandangan dari berbagai sisi, bukan hanya
dari satu sisi saja.

Walaupun dikatakan bahwa kerusakan sel yang diderita oleh penderita
autisme pada hakikatnya tidak dapat disembuhkan, saya sih tetap
beriman bahwa DIA adalah dokter di atas segala dokter, yang lebih dari
mampu untuk menyembuhkan penderita autisme. Wong yang secara medis
saja dokter sudah bilang tidak ada harapan hidup lagi, ternyata sampai
sekarang masih hidup koq (pengalaman nyata saya pribadi atas diri adik
saya). Saya percaya kuasaNya masih mengalir terus sampai saat ini,
termasuk memberikan kesembuhan atas berbagai penyakit. (eh … ada
juga
lho yang mengatakan bahwa hal-hal yang begitu sudah tidak ada lagi
saat ini … he..he..he.. "hebat dan yakin" benar ya... berani
"menghentikan" kuasa dan kasih Tuhan…).

Mudah-mudahan tulisan ada gunanya … Bagi kemuliaanNya saja.

Terpujilah Tuhan!

amanivmp

--- End forwarded message ---

__._,_.___
Recent Activity
Visit Your Group
Yahoo! Kickstart

Sign up today!

Be a career mentor

for undergrads.

Featured Y! Groups

and category pages.

There is something

for everyone.

Y! Messenger

Files to share?

Send up to 1GB of

files in an IM.

.

__,_._,___

Tidak ada komentar:

Posting Komentar