Selasa, 04 Desember 2007

Balasan: [psikologi_transformatif] Re: Para Atheis Perlu Datang dan Bersuara

untuk yang agama baru ...
mungkin bakal lebih seru lagi , mengingat dengan agama yang ada sekarang aja udah segini kondusifnya, apalagi entar kalo ada tambahan baru lagi ya ..
untuk mas gotho, satu hal yang menarik dari anda yaitu ...
makin flexible dengan hal yang berbau `baru`..
tapi kalo misal aplikasi dari ``Atheis datang? Untuk menghilangkan agama dengan tanpa agama, maka ketika berkumpul akan menjadi agama baru..``satu gebrakan baru nih, dan kira2 bakal bisa gak ya `agama baru` itu di akui di indonesia , hehehehe...
 
salam manis
/Lu2


gotholoco <gotholoco@yahoo.com> wrote:
Agama dan Politik itu mirip kok, malah hampir identik.
Kedua-duanya sama "berbicara" "what ought to be, what should to be"
('berbicara bagaimana sebaiknya, bagaimana seharusnya, NTAR ESOK HARI').
Bedanya 'di titik' kalau agama : pencarian Sang Khalik, kalau Politik
pencarian "Kekuasaan".
Ketika beragama tidak "ketemu" Sang Khalik, maka disitulah agama
menjadi pencarian kekuasaan di berbagai bidang atau agama akan identik
dengan politik.

Atheis datang? Untuk menghilangkan agama dengan tanpa agama, maka
ketika berkumpul akan menjadi agama baru..he..he..


--- In psikologi_transformatif@yahoogroups.com, Angga Wijaya
<anggaji@...> wrote:
>
> Atheis Juli 30, 2007
> Agama akan tetap bertahan dalam hidup manusia, tapi
layakkah ia dibela?
>
>
> Christopher Hitchens baru-baru ini menarik perhatian ketika bukunya
terbit dengan judul God Is Not Great: Religion Poisons Everything.
Penulis Inggris ini—yang yakin bahwa Tuhan tidak akbar dan bahwa agama
adalah racun—tak bersuara sendirian di awal abad ke-21 ini. Di tahun
2004 terbit The End of Faith, oleh Sam Harris, yang tahun lalu
mempertegas posisinya dengan menyerang agama Kristen dalam Letter to a
Christian Nation. Yang juga terkenal adalah karya Richard Dawkins,
seorang pakar biologi, The God Delusion, yang mengutip satu kalimat
pengarang lain: "Bila seseorang menderita waham, gejala itu akan
disebut gila. Bila banyak orang menderita waham, gejala itu akan
disebut agama."
>
>
> Saya belum khatam membaca buku-buku itu, tapi saya telah merasa
setengah terusik, tersinggung, berdebar-debar, terangsang berpikir,
tapi juga gembira. Baiklah saya jelaskan kenapa saya gembira: kini
datang beberapa orang atheis yang sangat fasih dengan argumen yang
seperti pisau bedah. Dengan analisa yang tajam mereka menyerang semua
agama, tanpa kecuali, di zaman ketika iman dikibarkan dengan rasa
ketakutan, dan rasa ketakutan dengan segera diubah jadi kebencian.
Dunia tak bertambah damai karenanya. Maka siapa tahu memang dunia
menantikan Hitchens, Harris, dan Dawkins. Siapa tahu para atheis
inilah yang akan membuat kalangan agama mengalihkan fokus mereka dan
kemudian berhenti bermusuhan.
>
>
> Apalagi ada benarnya ketika Christopher Hitchens bicara tentang
iman dan rasa aman. Sepekan sebelum 11 September 2001, hari yang
bersejarah itu, ia ditanya dalam sebuah wawancara radio: "Bayangkan
Anda berada di sebuah kota asing di waktu senjakala, dan sejumlah
besar orang datang ke arah Anda. Akan lebih merasa amankah Anda, atau
justru merasa kurang aman, bila Anda tahu orang-orang itu baru selesai
berkumpul untuk berdoa?"
>
>
> Hitchens, yang pernah berada di Belfast, Beirut, Bombay, Beograd,
Bethlehem, dan Baghdad, menjawab, "Kurang aman."
>
>
> Ia tak bicara dari khayal. Ia telah menyaksikan permusuhan antara
orang Katolik dan Protestan di Ulster; Islam dan Kristen di Beirut dan
Bethlehem; orang Katolik Kroasia dan orang Gereja Ortodoks Serbia dan
orang Islam di bekas Yugoslavia; orang Sunni dan Syiah di Baghdad.
Beribu-ribu orang tewas dan cacat dan telantar.
>
>
> Maka bagi Hitchens, agama adalah "sebuah pengganda besar", an
enormous multiplier, "kecurigaan dan kebencian antarpuak".
>
>
> Tapi menarik bahwa Hitchens tak menyatakan agama sebagai sumber
sikap negatif itu.
>
>
> Dalam hal ini ia berbeda dari Sam Harris. Bagi Harris, konflik
antara umat Katolik dan Protestan yang berdarah di Irlandia—yang
bermula baru di abad ke-17—bersumber pada teks Alkitab, tak ada
hubungannya dengan politik pertanahan di wilayah kekuasaan Inggris
masa itu. Harris tak melihat endapan sejarah dalam tiap tafsir atas
akidah—dan dalam hal ini ia mirip seorang fundamentalis Kristen atau
Islam. Pandangannya yang menampik sejarah akan bisa mengatakan bahwa
doktrin Quran itulah yang membuat sejumlah orang menghancurkan Menara
Kembar New York dan membunuh hampir 3.000 manusia pada 11 September
2001. Harris tak akan melihat bahwa hari itu "Islam" identik dengan
amarah karena ada kepahitan kolonialisme di Timur Tengah, Afrika, dan
Asia, dan kekalahan dunia Arab di Palestina.
>
>
> Dari sini, memang ada benarnya apologi yang terkenal itu: bukan
agamanya yang salah, melainkan manusianya.
>
>
> Tapi persoalan tak selesai di situ. Orang-orang atheis semacam
Hitchens akan bertanya: Jika faktor manusia yang menyebabkan keburukan
tumbuh dalam suatu umat, berarti tak ada peran agama dalam memperbaiki
umat itu. Jika demikian, jika akidah ditentukan oleh sejarah, dan
bukan sebaliknya, apa guna agama bagi perbaikan dunia?
>
>
> Mungkin sebuah nol. Bahkan melihat begitu banyak pembunuhan
dilakukan atas nama agama hari-hari ini, orang memang mudah sampai
kepada atheisme Hitchens dan kesimpulannya: agama meracuni segala hal.
>
>
> Tapi kita dapat juga sampai pada kesimpulan yang lain:
jangan-jangan agama memang tak punya peran bagi perbaikan dunia.
Perannya memang bisa lain sama sekali—terutama bila dilihat dari awal
lahirnya agama-agama.
>
>
> Dalam ceramahnya yang diselenggarakan oleh MUIS (Majlis Ugama Islam
Singapura) bulan Juni yang lalu, Karen Armstrong mengatakan sesuatu
yang tak lazim: agama lahir dari sikap jeri (recoil) atas kekerasan.
Juga Islam, yang kini tak urung dihubungkan dengan bom bunuh diri,
konflik berdarah di Irak, Afganistan, dan Pakistan. Agama ini hadir
sebagai pembangun perdamaian di sekitar Mekah, di tengah suku-suku
Arab yang saling galak.
>
>
> Tapi mungkin juga Karen Armstrong bisa menelusurinya lebih jauh:
jika agama memang lahir dari rasa jeri akan kekerasan, rasa jeri itu
bertaut dengan kesadaran akan ketakberdayaan. Agama sebab itu tak
merasa kuasa untuk memperbaiki dunia; ia justru berada di kancah yang
tersisih, menemani mereka yang daif—sebuah posisi yang kian tampak
dalam keadaan manusia teraniaya.
>
>
> Tapi kini, dalam mencoba menyaingi gagahnya modernitas, agama
cenderung melupakan "empati asali"-nya sendiri. Orang-orang Islam
merayakan Hijrah bukan dengan rasa setia kawan dan bela rasa kepada
mereka yang diteror, walaupun Hijrah bermula dari nasib sekelompok
minoritas yang dikejar-kejar. Orang merayakan Hijrah lebih sebagai
kemenangan. Mungkin dengan tendensi itu, pengalaman kedaifan sendiri
terlupa: pekan lalu atas nama "Islam" orang-orang mengancam para
biarawati Karmel yang hendak berkumpul untuk berdoa di lembah
Cikanyere di wilayah Cianjur.
>
>
> Dalam keadaan lupa kepada yang tak berdaya itulah agama bisa jadi
tenaga yang dahsyat. Tapi ia juga bisa jadi tenaga yang tak tahu
batas. Di saat seperti itu, bukankah para atheis perlu datang dan
bersuara?
>
>
> ~Majalah Tempo Edisi. 23/XXXIIIIII/30 Juli - 05 Agustus 2007~
>
>
>
> sumber: http://caping.wordpress.com/category/fundamentalisme/
>



Bergabunglah dengan orang-orang yang berwawasan, di bidang Anda di Yahoo! Answers

__._,_.___
Recent Activity
Visit Your Group
Yahoo! Kickstart

Sign up today!

Be a career mentor

for undergrads.

Y! Messenger

Files to share?

Send up to 1GB of

files in an IM.

Yahoo! Groups

Be a Better Planet

Share with others

Help the Planet.

.

__,_._,___

Tidak ada komentar:

Posting Komentar