Kamis, 27 Desember 2007

[psikologi_transformatif] Re: mitos2 tentang perayaan natal bersama...

Di kalangan sendiri kok pecah. Inilah akibatnya kalau terlalu menonjol-
nonjolkan perbedaan, maka hasilnya perpecahan. Ada banyak hal positif yang bisa
dibagi, tapi demennya yang jelek-jelek yang sibuk dikupas. So hendrik banget
sih?

manneke

Quoting hendrik bakrie <henrik12syiah@yahoo.com>:

> Mitos-Mitos tentang Perayaan Natal Bersama Rabu, 26
> Desember 2007 var sburl1713 = window.location.href; var sbtitle1713 =
> document.title; var sbtitle1713=encodeURIComponent("Mitos-Mitos tentang
> Perayaan Natal Bersama"); var
> sburl1713=decodeURI("http://hidayatullah.com/index.php?
option=com_content&task=view&id=6054");
> sburl1713=sburl1713.replace(/amp;/g,
> "");sburl1713=encodeURIComponent(sburl1713); Untuk tujuan 'kerukunan
> beragama' lahirnya mitos-mitos "idul fitri berama", "doa bersama" atau "Natal
> bersama". Ibnu Taimiyyah, menyebutnya bentuk 'munafik'
>
> (Kritik terhadap Pendapat Prof. Dr. Din Syamsuddin)
>
> Oleh: Adian Husaini *
> Pada tanggal 25 Desember 2007, saat sedang berada di Palembang, saya
> menerima banyak SMS yang bernada prihatin, bahwa Prof. Dr. Din Syamsuddin,
> selaku Ketua Umum PP Muhammadiyah, akan menghadiri acara Perayaan Natal
> Bersama (PNB) pada 27 Desember 2007. Selama di Palembang, saya tidak sempat
> mengecek kebenaran berita itu. Barulah pada Rabu (26 Desember 2007) pagi ini,
> saya sempat mengecek berita tersebut. Setelah menerima sebuah SMS tentang
> duduk cerita rencana kehadiran Din Syamsuddin dalam acara PNB tersebut, saya
> kemudian merasa perlu menulis artikel seputar PNB ini, untuk mengoreksi
> beberapa logika Din Syamsuddin. Sekitar tiga tahun lalu, pada 24 Desember
> 2004, saat tinggal di Kuala Lumpur, saya sudah menulis Catatan Akhir Pekan
> ke-83, dengan judul yang sama dengan artikel ini.
> Bagi saya pribadi, pernyataan dan pemikiran Din Syamsuddin tentang PNB
> memang agak mengejutkan. Artikel ini sama sekali tidak bermaksud meragukan
> keimanan Din Syamsuddin sebagai seorang Muslim. Saya kenal beliau sangat
> lama, dan sampai detik saya menulis artikel ini, saya masih percaya akan
> komitmen yang tinggi Din Syamsuddin sebagai seorang Muslim. Sekarang, saya
> juga duduk sebagai pengurus Majelis Tabligh PP Muhammadiyah dan di pengurus
> MUI Pusat. Tentu saya sebenarnya tidak ingin tulisan ini dibaca secara
> terbuka.
> Akan tetapi, karena Din Syamsuddin sudah mempublikasikan pemikirannya
> secara luas dan terbuka, maka menjadi kewajiban saya untuk menjawab
> logika-logika Din Syamsuddin secara terbuka pula. Sebab, ini sudah menyangkut
> urusan Islam, bukan hanya urusan Muhammadiyah atau MUI. Juga, logika seperti
> ini, sudah sering dikemukakan oleh berbagai pihak. Jadi, ini adalah bagian
> dari kewajiban untuk melakukan taushiyah antar sesama Muslim. Dan ini sangat
> penting, karena kekeliruan pemikiran seorang pemimpin agama – apalagi yang
> bergelar Prof. Dr. -- dapat berakibat fatal, karena dianggap sebagai rujukan
> kebenaran. Rasulullah saw bersabda bahwa "Mimmaa akhaafu 'alaa ummatiy
> zallatu 'aalimin wa jidaalu munaafiqin fil Quraani." (Termasuk diantara
> perkara yang aku khawatirkan menimpa umatku adalah tergelincirnya orang alim
> (dalam kesalahan) dan silat lidahnya orang munafik tentang Al-Quran." (HR
> Thabrani dan Ibn Hibban). Saya berpendapat, bahwa dalam soal PNB ini, Pak Din
> Syamsuddin sedang
> tergelincir pemikirannya, dan mudah-mudahan bersedia meluruskannya kembali.
> Situs www.detik.com, (24/12/2007 15:32 WIB), menulis berita berjudul "Din
> Tidak Larang Hadiri Perayaan &Ucapkan Selamat Natal". Ditulis dalam berita
> ini: "Bagi Ketua Umum PP Muhammadiyah, Din Syamsuddin, menghadiri seremonial
> Natal tidak seharusnya dihindari. Demikian pula dengan memberikan ucapan
> selamat Natal kepada kaum Kristiani. "Saya pribadi berpendapat fatwa MUI
> sejak zaman Buya adalah larangan menghadiri upacara Natal yang berdimensi
> ibadah dan keyakinan karena itu wilayah keyakinan masing-masing. Tetapi yang
> berbentuk seremoni tidak seharusnya terhindari," kata Din.
> Hal ini disampaikan Din usai menerima kunjungan panitia Perayaan Natal
> Nasional 2007 di kantor PP Muhammadiyah, Jalan Menteng Raya, Jakarta Pusat,
> Senin (24/12/2007). Din pun mengaku bersedia menghadiri perayaan Natal
> Nasional yang akan digelar pada 27 Desember 2007 mendatang.
> Juga diberitakan detik.com, bahwa dalam kesempatan itu, Ketua Umum Panitia
> Perayaan Natal Nasional, Mari Elka Pangestu mengharapkan Din hadir dalam
> acara tersebut. "Kita berharap perayaan Natal bisa mengatasi permasalahan
> yang dihadapi bangsa ini. Kita juga sudah menyampaikan berbagai bantuan ke
> berbagai daerah seperti sembako di NTT dan penanaman 50 ribu pohon di
> Cipularang," ujarnya, seperti dikutip detik.com.
> Sebenarnya, di dalam Muhammadiyah sendiri, masalah "Perayaan Natal Bersama"
> dan soal "Mengucapkan Selamat Natal" sudah selesai dibahas. Di dalam buku
> Tanya Jawab Agama Jilid II, oleh Tim PP Muhammadiyah Majlis Tarjih, yang
> diterbitkan oleh Suara Muhammadiyah (1991), hal. 238-240, sudah diterangkan,
> bahwa hukum menghadiri PNB adalah Haram. Muhammadiyah dalam hal ini juga
> mengacu kepada fatwa MUI.
> Adapun soal "Mengucapkan Selamat Hari Natal" dapat digolongkan sebagai
> perbuatan yang syubhat dan bisa terjerumus kepada haram, sehingga
> Muhammadiyah menganjurkan agar perbuatan ini tidak dilakukan.
> Fatwa yang Digugat Secara umum, kita akan mengupas logika yang menganjurkan
> perlunya PNB dalam paparan berikut ini. Seperti dikutip dalam berita itu,
> Mari Elka Pangestu berharap, Din Syamsuddin akan hadir dalam acara PNB, dan
> dia pun berharap, perayaan Natal bisa mengatasi permasalahan yang dihadapi
> bangsa ini. Kita maklum, selama ini tidak mudah mengajak tokoh Islam untuk
> hadir dalam PNB, karena terganjal oleh Fatwa MUI tentang PNB. Karena itulah,
> sejak diterbitakannya fatwa MUI tentang PNB, tahun 1981, fatwa itu sudah
> menuai kritik yang tiada habis-habisnya. Ada yang mengkritik secara terbuka
> dan ada juga yang tidak setuju secara diam-diam.
> Karena itu, kita perlu menelaah masalah PNB ini secara mendasar. Ketika
> fatwa itu dikeluarkan, saya sedang duduk di bangku kelas 1 SMA di Bojonegoro.
> Saya mengikuti perdebatan tentang fatwa itu dari kampung saya, Desa
> Kuncen-Padangan-Bojonegoro, melalui majalah Panji Masyarakat, yang dilanggan
> ayah saya (almarhum, seorang guru SD yang juga Pengurus Muhammadiyah
> Padangan). Dari majalah ini, hampir tidak pernah saya lewatkan membaca rubrik
> Dari Hati ke Hati asuhan Buya Hamka.
> Seperti kita ketahui, Hamka kemudian memilih untuk mengundurkan diri
> sebagai ketua MUI, ketimbang menarik kembali peredaran fatwa itu, sebagaimana
> diminta oleh Menteri Agama ketika itu Alamsyah R. Perwiranegara. Saya masih
> ingat, saya menitikkan air mata, ketika membaca tulisan Hamka tentang
> pengunduran dirinya sebagai Ketua Umum MUI. Ketika itu, saya berpikiran,
> "Beginilah seharusnya seorang ulama: luas ilmunya dan kokoh pendiriannya!" Di
> kalangan Muhamamdiyah sediri, Hamka sangat dihormati, sehingga namanya
> diabadikan menjadi sebuah Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka, di
> Jakarta. Sayang sekali, akhir-akhir ini ada sejumlah buku dan artikel yang
> mencoba 'memelintir' pendapat-pendapat Hamka, sehingga seolah-olah Hamka
> adalah seorang penganut paham Pluralisme Agama.
> Maka, saya senantiasa merasa amat sangat sedih dan pilu, ketika ada
> diantara orang-orang Muhammadiyah atau MUI sendiri yang kemudian menggugat
> atau menyalahpahami fatwa ini. Jika gugatan atau kesalahpahaman terhadap
> fatwa PNB itu datang dari kaum liberal atau non-Muslim, masih bisa dipahami.
> Terakhir, misalnya, Luthfi Asyaukanie, yang menyebut dirinya sebagai
> 'Koordinator Jaringan Islam Liberal', dalam artikelnya yang berjudul "Sikap
> Negara terhadap Aliran Sesat" (Koran Tempo, 22 Desember 2007), menulis:
> "Majelis Ulama Indonesia berkali-kali meresahkan masyarakat dengan
> fatwa-fatwa mereka (fatwa menghadiri perayaan Natal, misalnya)."
> Jadi, fatwa PNB ini oleh kaum liberal senantiasa diposisikan sebagai fatwa
> yang meresahkan masyarakat. Dan seperti biasa, menjelang perayaan Hari Natal,
> 25 Desember, ada saja sebagian kalangan yang kembali menggugat fatwa MUI
> tentang "haramnya seorang Muslim hadir dalam Perayaan Natal Bersama." Ada
> yang menyatakan, bahwa yang melarang PNB atau yang tidak mau menghadiri PNB
> adalah orang yang tidak toleran, eksklusif, tidak menyadari pluralisme, tidak
> menghargai multikulturalisme, tidak mau berta'aruf, dan sebagainya. Padahal
> orang Islam disuruh melakukan ta'aruf (QS 49:13). Banyak yang kemudian
> berdebat tentang "boleh dan tidaknya" menghadiri PNB, tanpa menyadari, bahwa
> sebenarnya telah banyak diciptakan mitos-mitos seputar apa yang disebut PNB
> itu sendiri.
> Marilah kita telaah mitos-mitos tersebut:
> PERTAMA, mitos bahwa PNB adalah keharusan. Mitos ini seperti sudah begitu
> berurat berakar, bahwa PNB adalah enak dan perlu. Padahal, bisa
> dipertanyakan, dalam tataran kenegaraan, apa memang perlu diadakan PNB? Untuk
> apa? Jika PNB perlu, bahkan dilakukan pada skala nasional dan dijadikan acara
> resmi kenegaraan – yang mengharuskan Presiden menghadirinya -- maka perlukah
> juga diadakan WB (Waisak Bersama), NB (Nyepi Bersama), IFB (Idul Fithri
> Bersama), IAB (Idul Adha Bersama), MNB (Maulid Nabi Bersama), IMB (Isra'
> Mi'raj Bersama), IB (Imlek Bersama). Jika semua itu dilakukan, mungkin demi
> alasan efisiensi dan pluralisme beragama, akan ada yang usul, sebaiknya semua
> umat beragama merayakan HRB (Hari Raya Bersama), yang menggabungkan hari raya
> semua agama menjadi satu. Di situ diperingati bersama kelahiran Tuhan Yesus,
> peringatan kelahiran Nabi Muhammad saw, dan kelahiran dewa-dewa tertentu, dan
> sebagainya.
> Keharusan PNB sebenarnya adalah sebuah mitos, khususnya kata "Bersama".
> Jika kaum Kristen merayakan Natal, mengapa mesti harus melibatkan kaum agama
> lain? Ketika itu mereka memperingati kelahiran Tuhan Yesus, maka mengapa
> mesti mendorong-dorong umat agama lain untuk mendengarkan cerita tentang
> Yesus dalam versi Kristen? Mengapa doktrin tentang Yesus sebagai juru selamat
> umat manusia itu tidak diyakini diantara pemeluk Kristen sendiri?
> Di sebuah negeri Muslim terbesar di dunia, seperti Indonesia, wacana
> tentang perlunya PNB adalah sebuah 'keanehan'. Kita tidak pernah mendengar
> bahwa kaum Kristen di AS, Inggris, Kanada, Australia, misalnya, mendiskusikan
> tentang perlunya dilaksanakan IFB (Idul Fithri Bersama), agar mereka disebut
> toleran. Bahkan, mereka tidak merasa perlu menetapkan Idul Fithri atau Idul
> Adha sebagai hari libur nasional. Padahal, di Inggris, Kanada, dan Australia,
> mereka menjadikan 26 Desember sebagai "Boxing Day" dan hari libur nasional.
> Selain Natal, hari Paskah diberikan libur sampai dua hari (Easter Sunday dan
> Esater Monday). Di Kanada dan Perancis, Hari Natal juga libur dua hari. Hari
> libur nasional di AS meliputi, New Year's Day (1 Januari), Martin Luther King
> Jr Birthday (17 Januari), Washingotn's Birthday (21 Februari), Memorial Day
> (30 Mei), Flag Day (14 Juni), Independence Day (4 Juli), Labour Day (5
> September), Columbus Day (10 Oktober), Veterans Day (11 November),
> Thanksgiving's Day (24 November), Christmas Day (25 Desember).
> KEDUA, mitos bahwa PNB bertujuan membina kerukunan umat beragama. Mitos
> ini begitu kuat dikampanyekan, bahwa salah satu cara membina kerukunan antar
> umat beragama adalah dengan menghadiri PNB, sehingga orang yang menolak untuk
> menghadiri PNB dipersepsikan sebagai orang yang tidak toleran dan tidak mau
> rukun. Padahal, dalam PNB biasanya dilakukan berbagai acara yang menegaskan
> keyakinan umat Kristen terhadap Yesus, bahwa Yesus adalah anak Allah yang
> tunggal, juru selamat umat manusia, yang wafat di kayu salib untuk menebus
> dosa umat manusia. Kalau mau selamat, manusia diharuskan percaya kepada
> doktrin itu. (Yohanes, 14:16). Dalam dokumen Konstitusi Dogmatik tentang
> Gereja (Lumen Gentium, 14) yang disahkan pada 21 November 1964, dalam Konsili
> Vatikan II, disebutkan: "Karena satu-satunya Perantara dan jalan keselamatan
> adalah Kristus, yang hadir di antara kita di dalam Tubuhnya yaitu Gereja...
> Oleh karenanya tidak dapat diselamatkan orang-orang itu, yang walaupun tahu
> bahwa
> Gereja Katolik didirikan oleh Allah dengan perantaraan Yesus Kristus,
> sebagai sesuatu yang diperlukan, toh tidak mau masuk ke dalamnya atau tidak
> mau bertahan di dalamnya." (Terjemah oleh Dr. J. Riberu, Dokpen MAWI, 1983).
> Sementara itu, dalam Islam, kepercayaan bahwa Yesus adalah Tuhan atau anak
> Tuhan dipandang sebagai satu kekeliruan yang amat sangat serius -- satu
> kepercayaan yang dikritik keras oleh Al-Quran. (QS 5:72-73, 157; 19:89-91,
> dsb). Dalam surat Maryam disebutkan, memberikan sifat bahwa Allah punya anak,
> adalah satu "Kejahatan besar" (syaian iddan). Dan Allah berfirman dalam
> Al-Quran: "Hampir-hampir langit runtuh dan bumi terbelah serta gunung-gunung
> hancur. Bahwasanya mereka mengklaim bahwa al-Rahman itu mempunyai anak." (QS
> 19:90-91).
> Prof. Hamka menyebut tradisi Perayaan Hari Besar Agama Bersama semacam itu
> bukan menyuburkan kerukunan umat beragama atau membangun toleransi, tetapi
> menyuburkan kemunafikan. Di akhir tahun 1960-an, Hamka menulis tentang usulan
> perlunya diadakan perayaan Natal dan Idul Fithri bersama, karena waktunya
> berdekatan:
> "Si orang Islam diharuskan dengan penuh khusyu' bahwa Tuhan Allah beranak,
> dan Yesus Kristus ialah Allah. Sebagaimana tadi orang-orang Kristen disuruh
> mendengar tentang Nabi Muhammad saw dengan tenang, padahal mereka diajarkan
> oleh pendetanya bahwa Nabi Muhammad bukanlah nabi, melainkan penjahat. Dan
> Al-Quran bukanlah kitab suci melainkan buku karangan Muhammad saja. Kedua
> belah pihak, baik orang Kristen yang disuruh tafakur mendengarkan Al-Quran,
> atau orang Islam yang disuruh mendengarkan bahwa Tuhan Allah itu ialah satu
> ditambah dua sama dengan satu, semuanya disuruh mendengarkan hal-hal yang
> tidak mereka percayai dan tidak dapat mereka terima… Pada hakekatnya mereka
> itu tidak ada yang toleransi. Mereka kedua belah pihak hanya menekan
> perasaan, mendengarkan ucapan-ucapan yang dimuntahkan oleh telinga mereka.
> Jiwa, raga, hati, sanubari, dan otak, tidak bisa menerima. Kalau keterangan
> orang Islam bahwa Nabi Muhammad saw adalah Nabi akhir zaman, penutup sekalian
> Rasul.
> Jiwa raga orang Kristen akan mengatakan bahwa keterangan orang Islam ini
> harus ditolak, sebab kalau diterima kita tidak Kristen lagi. Dalam hal
> kepercayaan tidak ada toleransi. Sementara sang pastor dan pendeta
> menerangkan bahwa dosa waris Nabi Adam, ditebus oleh Yesus Kristus di atas
> kayu palang, dan manusia ini dilahirkan dalam dosa, dan jalan selamat hanya
> percaya dan cinta dalam Yesus."
> Demikian kutipan tulisan Prof. Hamka yang ia beri judul: "Toleransi,
> Sekulerisme, atau Sinkretisme." (Lihat, buku Hamka, Dari Hati ke Hati,
> (Jakarta: Pustaka Panjimas, 2002).
> KETIGA, mitos bahwa dalam PNB orang Muslim hanya menghadiri acara
> non-ritual dan bukan acara ritual. Dalam ungkapan Din Syamsuddin: "Saya
> pribadi berpendapat fatwa MUI sejak zaman Buya adalah larangan menghadiri
> upacara Natal yang berdimensi ibadah dan keyakinan karena itu wilayah
> keyakinan masing-masing. Tetapi yang berbentuk seremoni tidak seharusnya
> terhindari."
> Kita patut bertanya, apa kriteria untuk menentukan bahwa suatu kegiatan
> dalam perayaan Natal adalah "ibadah" dan yang lain adalah "seremoni". Sebab,
> sebagaimana disebutkan oleh Prof. Huston Smith, "Christianity, is basically a
> historical religion. It is founded not in abstract principles, but in
> concrete events, actual historical happenings. (Lihat, Huston Smith, The
> World's Religions, (New York: Harper CollinsPubliser, 1991). Agama Kristen
> tidak memiliki sistem ibadah yang bersifat "revealed" yang sama untuk semua
> Kristen sebagaimana dalam Islam. Karena itulah, setiap sekte atau Gereja
> memiliki tata cara ibadah yang 'khas', yang berbeda satu dengan lainnya.
> Setiap Gereja, pada setiap zaman, dan setiap tempat, dalam membuat kreasi
> sendiri dalam "ibadah". Karena itu, dalam konsep Kristen, tidak mudah untuk
> menentukan, mana yang ibadah atau ritual, dan mana yang non-ritual atau yang
> seremoni. Misalnya, acara-acara KKR di berbagai hotel atau lapangan, apakah
> dikategorikan
> sebagai ibadah aau seremoni?
> Konsep kenabian (prophecy) dalam agama Kristen berbeda dengan konsep
> kenabian dan konsep uswah sebagaimana konsep kenabian Islam. Umat Islam
> memiliki tata cara ibadah yang satu, karena ada contohnya yang jelas, yaitu
> sunnah Nabi Muhammad saw. Ke mana pun umat Islam pergi dan dimana pun,
> kapanpun, orang Islam shalat dengan cara yang sama. Umat Islam takbir, ruku',
> sujud, dengan cara yang sama. Bahkan, sejumlah aliran yang disebut "sesat"
> dalam Islam masih memiliki ibadah yang sama. Dalam Islam sistem ibadah tidak
> berubah, sudah sempurna sejak awal, di zaman Nabi Muhammad saw. (QS 5:3).
> Karena itu, bagi umat Islam, mudah menentukan, mana yang ritual dan mana yang
> non-ritual. Shalat Idul Fithri adalah ritual, tetapi kunjungan ke rumah-rumah
> setelah shalat Id adalah tradisi, non-ritual. Karena itulah, dalam fatwa MUI
> tentang PNB yang dikeluarkan tanggal 7 Maret 1981 disebutkan bahwa "Perayaan
> Natal bagi orang-orang Kristen adalah merupakan ibadah."
> Untuk menjernihkan masalah "ibadah" dan "seremoni" dalam Natal, bagus juga
> kita tengok sejarah peringatan Natal itu sendiri, dan sulitnya memisahkan
> antara yang ibadah dan yang seremoni. Sebab, tradisi ini tidak muncul di
> zaman Yesus dan tidak pernah diperintahkan oleh Yesus. Maka, bagaimana bisa
> ditentukan, mana yang ibadah dan mana yang seremoni? Remi Silado, seorang
> budayawan Kristen, menulis kolom di majalah Gatra, edisi 27 Desember 2003.
> Judulnya "Gatal di Natal". Beberapa kutipan kolomnya kita petik di sini:
> (1) "Sebab, memang tradisi pesta ceria Natal, yang sekarang gandrung
> dinyanyikan bahasa kereseh-reseh Inggris, belum lagi terlembaga. Sapaan
> Natal, "Merry Christmas" --dari bahasa Inggris Lama, Christes Maesse, artinya
> "misa Kristus"-- baru terlembaga pada abad ke-16, dan perayaannya bukan pada
> 25 Desember, melainkan 6 Januari."
> (2) "Dengan gambaran ini, keramaian Natal sebagai perhitungan tahun Masehi
> memang berkaitan dengan leluri Barat, istiadat kafir, atau tradisi pagan,
> yang tidak berhubungan dengan Yesus sendiri sebagai sosok
> historis-antropologis bangsa Semit, lahir dari garis Ibrahim dan Daud, yang
> merupakan bangsa tangan pertama yang mengenal monoteisme absolut lewat
> Yehwah."
> (3) Saking gempitanya pesta Natal itu, sebagaimana yang tampak saat ini,
> karuan nilai-nilai rohaninya tergeser dan kemudian yang menonjol adalah
> kecenderungan-kecenderungan duniawinya semata: antara lain di Manado orang
> mengatakan "makang riki puru polote en minung riki mabo" (makan sampai pecah
> perut dan minum sampai mabuk).
> (4) "Demikianlah, soal Natal sekali lagi merupakan gambaran pengaruh
> Barat, dan persisnya Barat yang kafir, yang dirayakan dengan keliru."
> Yang jelas-jelas tidak ritual adalah menghadirkan tokoh Santa Claus, karena
> ini adalah tokoh fiktif yang kehadirannya dalam peringatan Natal banyak
> dikritik oleh kalangan Kristen. Sebuah situs Kristen (www.sabda.org), menulis
> satu artikel berjudul: "Merayakan Natal dengan Sinterklas: Boleh atau Tidak?"
> Dikatakan, "Dalam artikelnya yang berjudul The Origin of Santa Claus and the
> Christian Response to Him (Asal-usul Sinterklas dan Tanggapan Orang Kristen
> Terhadapnya), Pastor Richard P. Bucher menjelaskan bahwa tokoh Sinterklas
> lebih merupakan hasil polesan cerita legenda dan mitos yang kemudian
> diperkuat serta dimanfaatkan pula oleh para pelaku bisnis. Sinterklas yang
> kita kenal saat ini diduga berasal dari cerita kehidupan seorang pastor dari
> Myra yang bernama Nicholas (350M). Cerita yang beredar (tidak ditunjang oleh
> catatan sejarah yang bisa dipercaya) mengatakan bahwa Nicholas dikenal
> sebagai pastor yang melakukan banyak perbuatan baik dengan menolong
> orang-orang yang
> membutuhkan. Setelah kematiannya, dia dinobatkan sebagai "orang suci" oleh
> gereja Katolik, dengan nama Santo Nicholas. Nilai-nilai yang ditanamkan oleh
> Sinterklas sebenarnya tidak sesuai dengan ajaran iman Kristen… Akhirnya,
> sebagai guru Sekolah Minggu kita harus menyadari bahwa hal terpenting yang
> harus kita perhatikan adalah menjadikan Kristus sebagai berita utama dalam
> merayakan Natal -- Natal adalah Yesus."
> Karena itu, kita bertanya, bagaimana seandainya seorang Prof. Dr. Din
> Syamsuddin mengenakan busana ala Santa Claus, dengan alasan itu bukan
> termasuk ibadah? Tentulah, sulit diterima. Dan kita yakin, Pak Din Syamsuddin
> sendiri, tentu tidak akan bersedia melakukan tindakan tersebut.
> KEEMPAT, mitos bahwa tidak ada unsur misi Kristen dalam PNB. Melihat PNB
> hanya dari sisi kerukunan dan toleransi tidaklah tepat. Sebab, dalam PNB
> unsur misi Kristen juga perlu dijelaskan secara jujur. PNB adalah salah satu
> media yang baik untuk menyebarkan misi Kristen, agar umat manusia mengenal
> doktrin kepercayaan Kristen, bahwa dengan mempercayai Tuhan Yesus sebagai
> juru selamat, manusia akan selamat. Sebab, misi Kristen adalah tugas penting
> dari setiap individu dan Gereja Kristen.
> Dalam dokumen Konstitusi Dogmatik tentang Gereja (Lumen Gentium, 1) juga
> disebutkan: "Christ is the Light of nations. Because this is so, this Sacred
> Synod gathered together in the Holy Spirit eagerly desires, by proclaiming
> the Gospel to every creature, to bring the light of Christ to all men, a
> light brightly visible on the countenance of the Church." (Terjemahan oleh
> Dr. J. Riberu adalah: "Terang bangsa-bangsa adalah Kristus. Karena itu
> Konsili Suci ini, yang berhimpun dalam Roh Kudus, ingin sekali mewartakan
> Injil kepada segala makhluk (bdk Mk 16:15) dan menerangi semua manusia dengan
> cahaya Kristus, yang terpantul pada wajah Gereja).
> Dokumen Konsili Vatikan II, Ad Gentes, juga menugaskan, agar semua manusia
> harus dijadikan sasaran misi. Ad gentes juga menugaskan agar misi Kristen
> tetap dijalankan dan semua manusia harus dibaptis. Disebutkan, bahwa Gereja
> telah mendapatkan tugas suci untuk menjadi "sakramen universal penyelamatan
> umat manusia (the universal sacrament of salvation), dan untuk memaklumkan
> Injil kepada seluruh manusia (to proclaim the gospel to all men). Juga
> ditegaskan, semua manusia harus dikonversi kepada Tuhan Yesus, mengenal Tuhan
> Yesus melalui misi Kristen, dan semua manusia harus disatukan dalam Yesus
> dengan pembaptisan. (Therefore, all must be converted to Him, made known by
> the Church's preaching, and all must be incorporated into Him by baptism and
> into the Church which is His body).
> Tentu adalah hal yang normal, bahwa kaum Kristen ingin menyebarkan
> agamanya, dan memandang penyebaran misi Kristen sebagai tugas suci mereka.
> Namun, alangkah baiknya, jika hal itu dikatakan secara terus-terang, bahwa
> acara-acara seperti PNB memang merupakan bagian dari penyebaran misi Kristen.
> Paus Yohanes Paulus II, dalam Ensiklik-nya, Redemptor Hominis, (dikeluarkan 4
> Maret 1979) menyatakan, bahwa Gereja berkeinginan agar setiap orang dapat
> menemukan Kristus (The church wishes to serve this single end: that each
> person may be able to find Christ, so that Christ may walk with each one the
> path of life).
> Lebih jauh lagi ditegaskan dalam Dekrit Dominus Jesus: "The Lord Jesus,
> before ascending into heaven, commanded his disciples to proclaim the Gospel
> to the whole world and to baptize all nations: "Go into the whole world and
> proclaim the Gospel to every creature. He who believes and is baptized will
> be saved; he who does not believe will be condemned. (Mk 16:15-16); "All
> power in heaven and on earth has been given to me. Go therefore and teach all
> nations, baptizing them in the name of the Father, and of the Son, and of the
> Holy Spirit, teaching them to observe all that I have commanded you. And
> behold, I am with you always, until the end of the world?(Mt 28:18-20; cf. Lk
> 24:46-48; Jn 17:18,20,21; Acts 1:8).
> Sebagai Muslim, kita menghormati keyakinan dan tugas misi kaum Kristen
> tersebut. Karena itu adalah keyakinan mereka. Paus Yohanes Paulus II pun
> maklum akan perbedaan mendasar antara Kristen dengan Islam. Dalam sebuah
> wawancara, Paus mengatakan, bahwa Islam bukan agama penyelamatan. (Islam is
> not a religion of redemption). Dalam Islam, kata Paus, tidak ada ruang untuk
> Salib dan Kebangkitan Yesus (… in Islam, there is no room for the Cross and
> the Resurrection).
> Lebih jauh Paus menyatakan: "Jesus is mentioned, but only as a prophet who
> prepares for the last prophet, Muhammad. There is also mention of Mary, His
> Virgin Mother, but the tragedy of redemption is completely absent." "For this
> reason," Paus menyimpulkan, "not only the theology but also the anthropology
> of Islam is very distant from Christianity." (Lebih jauh tentang pernyataan
> Paus Yohanes Paulus II, lihat Vittorio Messori (ed.), Crossing The Threshold
> of Hope by His Holiness John Paul II, (New York: Alfred A. Knopf, 1994).
> Imbauan
> Dengan memahami hakekat Natal dan PNB, seyogyanya kaum non-Muslim bersedia
> menghormati fatwa Majelis Ulama Indonesia yang melarang umat Islam untuk
> menghadiri PNB. MUI sama sekali tidak melarang kaum Kristen merayakan Natal.
> Fatwa itu adalah untuk internal umat Islam, dan sama sekali tidak merugikan
> pemeluk Kristen. Fatwa itu dimaksudkan untuk menjaga kemurnian aqidah Islam
> dan menghormati pemeluk Kristen dalam merayakan Hari Natal. Mestinya, kaum
> non-Muslim menghormati keyakinan umat Islam ini, sebagaimana difatwakan oleh
> MUI. Fatwa itu dikeluarkan Komisi Fatwa MUI pada 7 Maret 1981, yang isinya
> antara lain menyatakan: (1) Mengikuti upacara Natal bersama bagi umat Islam
> hukumnya haram (2) agar umat Islam tidak terjerumus kepada syubhat dan
> larangan Allah SWT, dianjurkan untuk tidak mengikuti kegiatan-kegiatan
> Natal.
> Karena itu, kita menyesalkan jika kalangan Kristen banyak mengkritik fatwa
> tersebut. Menganggap fatwa MUI tentang PNB itu tidak sejalan dengan semangat
> kerukunan umat beragama, adalah penilaian yang berlebihan dan tidak
> mengormati keyakinan masing-masing agama. Lebih ajaib lagi, jika ada yang
> mengaku Muslim ikut-ikutan meributkan fatwa ini, seolah-olah merupakan
> musibah besar bagi bangsa Indonesia, jika PNB hanya dihadiri internal kaum
> Kristen saja.
> Kaum yang mengaku liberal ini seringkali aneh jalan pikirannya. Mereka
> mengaku liberal dan katanya punya misi untuk menanamkan pluralisme dan
> menghormati perbedaan. Tapi, mereka sendiri bersikap otoriter dan tidak
> mengormati pendapat dan fatwa MUI soal Natal Bersama. Harusnya mereka
> menghormati fatwa tersebut dan tidak mencaci maki serta menuduh fatwa itu
> meresahkan masarakat, dan sebagainya. Jika mereka sudah "kebelet" mau
> menghadiri PNB, ya silakan saja. Itu urusan mereka. Tidak perlu
> berteriak-teriak memaki-maki MUI. Dalam soal PNB ini, MUI hanya menyatakan,
> bahwa itu hukumnya haram. MUI tidak meminta polisi membubarkan PNB atau tidak
> meminta orang-orang yang hadir dalam PNB itu ditangkapi. MUI hanya
> berpendapat, tapi sudah dicaci maki. Karena itu, MUI juga tidak akan memaksa
> kaum liberal untuk mengikuti fatwa MUI. Jika mereka berpendapat bahwa
> menghadiri PNB adalah jalan untuk menggapai Ridho Ilahi dan halalan
> thayyiban, ya itu urusan mereka. Toh, nanti di akhirat
> tanggung jawabnya juga masing-masing. Wa laa taziru waaziratun wizra
> ukhraa.
> Dalam pandangan Islam, masalah peringatan Hari Besar Agama, sebenarnya
> sudah diberi contoh dan penjelasan yang jelas oleh Rasulullah saw, dan
> dicontohkan oleh para sahabat Rasul yang mulia. Sebaiknya hal ini dikaji
> secara ilmiah dari sudut ketentuan-ketentuan Islam. Untuk berijtihad,
> memutuskan mana yang halal dan mana yang haram, memerlukan kehati-hatian, dan
> menghindari kesembronoan. Sebab, tanggung jawab di hadapan Allah, sangatlah
> berat. Untuk masalah hukum-hukum seputar Hari Raya, misalnya, bisa dibaca
> Kitab "Iqtidha' as-Shirat al-Mustaqim Mukhalifata Ashhabil Jahim", karya
> Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah).
> Sejak awal mula, Islam sadar akan makna pluralitas dan kerukunan umat
> beragama. Islam hadir dengan mengakui hak hidup dan beragama bagi umat
> beragama lain, disaat kaum Kristen Eropa menyerukan membunuh kaum "heresy"
> karena berbeda agama. Karen Armstrong memuji tindakan Umar bin Khatab dalam
> memberikan perlindungan dan kebebasan beragama kepada kaum Kristen di
> Jerusalem. Umar r.a. adalah penguasa pertama yang menaklukkan Jerusalem tanpa
> pengrusakan dan pembantaian manusia, bahkan menandatangani perjanjian 'Iliya'
> dengan pemimpin Kristen Jerusalem. Secara tegas Armstrong memuji sikap Umar
> bin Khatab dan ketinggian sikap Islam dalam menaklukkan Jerusalem, yang belum
> pernah dilakukan para penguasa sebelumnya. Ia mencatat:
> "Umar juga mengekspresikan sikap ideal kasih sayang dari penganut (agama)
> monoteistik, dibandingkan dengan semua penakluk Jerusalem lainnya, dengan
> kemungkinan perkecualian pada Raja Daud. Ia memimpin satu penaklukan yang
> sangat damai dan tanpa tetesan darah, yang Kota itu belum pernah
> menyaksikannya sepanjang sejarahnya yang panjang dan sering tragis. Saat
> ketika kaum Kristen menyerah, tidak ada pembunuhan di sana, tidak ada
> penghancuran properti, tidak ada pembakaran simbol-simbol agama lain, tidak
> ada pengusiran atyau pengambialihan, dan tidak ada usaha untuk memaksa
> penduduk Jerusalem memeluk Islam. Jika sikap respek terhadap penduduk yang
> ditaklukkan dari Kota Jarusalem itu dijadikan sebagai tanda integritas
> kekuatan monoteistik, maka Islam telah memulainya untuk masa yang panjang di
> Jerusalem, dengan sangat baik tentunya. (Lihat, Karen Arsmtrong, A History of
> Jerusalem: One City, Three Faiths, (London: Harper Collins Publishers,
> 1997).
> Namun, kita bisa menyimak, dalam kitab Iqtidha' as-Shirat al-Mustaqim
> digambarkan, bagaimana ketegasan Umar bin Khatab dalam soal perayaan Hari
> Besar kaum Yahudi dan Kristen. Beliau meminta kaum Muslim untuk menjauhi Hari
> Besar agama mereka. Umar r.a. sama sekali tidak menganjurkan kaum Muslim
> untuk berboncong-bondong merayakan Natal Bersama.
> Peringatan Hari Raya Keagamaan, sebaiknya tetap dipertahankan sebagai hal
> yang eksklusif milik masing-masing umat beragama. Biarkanlah masing-masing
> pemeluk agama meyakini keyakinan agamanya, tanpa dipaksa untuk menjadi
> munafik, dengan mencampuradukkan urusan perayaan Hari Raya. Masih banyak cara
> dan jalan untuk membangun sikap untuk saling mengenal dan bekerjasama antar
> umat beragama, seperti bersama-sama melawan kezaliman global yang menindas
> umat manusia saat ini. Dan untuk itu tidak perlu menciptakan mitos-mitos yang
> menyesatkan, bahwa jika orang Islam mau menghadiri Perayaan Natal Bersama,
> atau orang Kristen mau menghadiri perayaan Idul Fithri Bersama, maka
> Indonesia akan menjadi negara yang rukun dan maju.
> Kita berharap, masing-masing agama bersedia menghormati keyakinan
> masing-masing dan tidak memaksa – secara halus atau terang-terangan – untuk
> melakukan suatu tindakan yang melanggar ajaran agamanya masing-masing. Tentu
> amat sangat tidak bijaksana, jika umat Islam juga mendesak pemeluk Kristen
> atau non-Muslim lainnya untuk menghadiri perayaan Idul Fithri. Karena itu,
> kita juga berharap, terutama kepada para tokoh dan cendekiawan dari kalangan
> Muslim, agar lebih berhati-hati dalam bersikap dan mengeluarkan pendapat.
> Wallahu a'lam. [Depok, 26 Desember 2007/www.hidayatullah.com]
> Penulis adalah Wakil Ketua Komisi Kerukunan Umat Beragama MUI Pusat
>
>
>
> ---------------------------------
> Be a better friend, newshound, and know-it-all with Yahoo! Mobile. Try it
> now.

__._,_.___
Recent Activity
Visit Your Group
Yahoo! Kickstart

Sign up today!

Be a career mentor

for undergrads.

Endurance Zone

on Yahoo! Groups

Groups about

better endurance.

Y! Messenger

Send pics quick

Share photos while

you IM friends.

.

__,_._,___

Tidak ada komentar:

Posting Komentar