Senin, 31 Desember 2007

[psikologi_transformatif] Re: Profesi Psikolog

Juneman,

Kebetulan skripsi saya dulu adalah studi kualitatif mengenai
profesionalisme.

Belum tentu seorang master adalah profesional, tapi juga belum tentu
seorang profesional adalah master.

Artinya, adalah dua hal yang beda antara mencapai tingkat mastery dan
menjaga agar perilaku sesuai dengan etika profesi yang digeluti.

Profesionalisme sendiri menyangkut perilaku. Sedangkan mastery
menyangkut tingkat penguasaan tertentu. Seorang lulusan S-1 saja,
tetap bisa profesional ketika dia tidak menerima sesuatu di luar
kemampuannya. Ini berarti ia tetap menjaga etika. Orang yang tak
menguasai konseling misalnya, ya mengakui kalau tidak menguasai
konseling. Kalau tidak mampu riset, ya mengakui saja tidak mampu
riset. Begitulah profesionalisme.

Jika masih saja mau menerima riset dan konseling, ia mesti mengundang
kemampuan dari orang lain yang mampu. Ini bentuk tanggung jawab
profesional.

Sedangkan mastery bicara tingkat penguasaan. Seorang anak S-1,
mestinya penguasaan teoritik (yang diperoleh dari kuliah ya) di bawah
anak S-2. Kenapa? Karena anak S-2 ini sudah bergelar "Master" yang
artinya merujuk pada level penguasaan ilmu tertentu.

Saya menangkap kutipan yang dihadirkan Juneman, tapi masalahnya bukan
itu. Jika keduanya mau dilakukan dengan benar (profesionalisme dan
level penguasaan tertentu) maka perlu sebuah langkah yang bisa
mengakomodasi esensi keduanya.

Lalu, bisakah kita menutup mata pada berlombanya Fapsi membuka
program profesi agar tak kalah gengsi?

Saya pernah tahu sendiri, ada fapsi favorit yang memaksakan diri
membuka program profesi dengan hanya 1 pengajar! Kenapa? Kalau tidak
segera buka, dengan adanya aturan program profesi yang digabung S-2,
Fakultas itu akan kalah gengsi.

Salam

Audifax

--- In psikologi_transformatif@yahoogroups.com, Juneman <juneman@...>
wrote:
>
> Bung Audifax dan Pak Manneke,
>
> pertama-tama, sebagai tambahan wacana mengenai hal ini, saya
sertakan artikel berikut:
> "Pendidikan Keadvokatan dan Permasalahan yang Dihadapi" oleh
Saudara Muchammad Zaidun (Pembantu Dekan bidang Akademik Fakultas
Hukum Universitas Airlangga).
> http:// hukumonline.com/detail.asp?id=11473&cl=Kolom
> (artikel terlampir di bawah)
>
> Saya kutip dua paragraf berikut ini:
>
>
> "Untuk Indonesia ada kecenderungan program profesi yang
terintegrasi dengan program magister profesi (strata-2) lebih
diminati. Sebab, selain yang bersangkutan memperoleh pengetahuan yang
terkait dengan kompetensi dan ketrampilan profesi, mereka juga
memperoleh dasar-dasar teori yang lebih memperkuat dasar kemampuan
teori di bidang profesinya. Selain itu, yang tidak dapat disangkal,
mereka juga sangat senang memperoleh tambahan gelar strata-2 sebagai
magister profesi.
>
> Ini adalah merupakan suatu kenyataan yang sulit dihindari antara
kecenderungan peningkatan kualitas profesi dan tuntutan kebanggaan
memperoleh ijazah magister (profesi). Sebagai respon terhadap
kenyataan yang telah dikemukakan di atas, maka sudah sepatutnya
pendidikan tinggi hukum bersama asosiasi profesi hukum mengantisipasi
kebutuhan tersebut sekaligus mengupayakan peningkatan kualitas
professional lawyer yang semakin menjadi tuntutan masyarakat, melalui
penyelenggaraan suatu program magister hukum (profesi)."
>
>
> Jadi, menurut artikel di atas, "keanehan" yang dirasakan Audi (dan
juga saya) agak terjawab oleh tulisan Pak Zaidun di atas. Memang
aneh, tetapi nyata: Mengapa perlu embel-embel "Magister" di
samping "Profesi", maka jawabnya menurut Zaidun ternyata
adalah "tuntutan kebanggaan, kesenangan memperoleh tambahan gelar
Strata-2 sebagai Magister Profesi". Ya, kalau memang benar dangkal
begini, sih, nampaknya sulit ya mempersoalkan secara serius ontologi
dan epistemologi suatu "Magister Profesi"?
>
> Saya sepakat dengan Audi. Seorang Master belumlah seorang
Profesional. Namun, seorang Profesional sudah barang tentu Master
dalam bidangnya.
>
> Saya lalu teringat dengan salah satu ungkapan filsuf Prof.Dr.Franz
Magnis-Suseno, kira-kira begini: bahwa Profesionalisme tidak mungkin
terpisah dari kepribadian, yang dapat diparkir dalam garasi apabila
kita pulang dari tempat kerja ke rumah kita, dan baru kita bawa lagi
apabila ke tempat pekerjaan. Jadi Profesionalisme itu terkait sekali
dengan wakat/karakter.
>
> Nah, dalam suatu ungkapan Jawa, kita diingatkan perbedaan "Watak"
dengan "Watuk" (Jawa: batuk). Kalau watak susah berubah, kalau batuk
di Komix saja, sembuh. Implikasi buat pertanyaan lebih lanjut:
Bagaimana mungkin membentuk Watak dalam 1,5 - 2 tahun dan setelah itu
disertifikasi?
>
> Maka, mungkin saja seorang alumnus Magister Profesi banyak (tidak
semua) yang telah terperangkap dengan ilusi "Saya seorang Psikolog
Profesional", dan Ilusionis-nya tidak lain adalah para dosen dan
sistem perguruan tingginya. Selanjutnya... terserah Anda, hehehe.
>
> Baru saja hari Minggu saya kemarin berdiskusi dengan seorang rekan
senior di HIMPSI DKI Jakarta (kebetulan kami sama-sama terlibat dalam
Kepengurusan). Ia menanggapi email saya yang saya kasih
judul, "Dinamika Pengakuan Kedudukan Ahli Psikologi dalam Lembaran
Pemerintah". Ia mengakui bahwa ia sering menemukan bahwa Psikolog
kita banyak yang tidak mengikuti perkembangan sistem di luar
Psikologi, sehingga kalau sudah berbenturan dengan suatu situasi,
baru kebingungan. "Itu yang bikin kesel," katanya.
>
> Itu hanya sebuah contoh kasus, yang menurut saya, sebuah contoh
nyata Ketidakprofesionalan. Mengapa? Karena, lagi-lagi, Profesional
lebih dari sekadar Master. Seorang Profesional mampu mempertimbangkan
semua faktor yang relevan, dalam hal mana faktor2 tersebut mungkin
tidak spesialistik bidang profesinya. "Mastery" saja tidak mungkin
memadai untuk pendekatan multidisiplin semacam itu.
>
> Di atas semua itu, saya masih optimistis program Magister Profesi
Psikolog terus-menerus melakukan pembenahan dalam dirinya. Semoga.
>
>
> Salam,
> Juneman
>
>
>
>
>
>
> ---
> Pak Manneke dan Juneman,
>
> Setahu saya, kalau program profesinya sendiri sudah cukup lama ada.
> Yang baru muncul sekitar 2003-an (kalau enggak salah) adalah
> penggabungan program profesi itu dengan S-2.
>
> Sebelum ini program profesi psikologi diberikan terpisah. Mirip
> lulusan hukum yang mesti ambil notariat kalau mau praktek. Atau
> lulusan farmasi yang mesti ambil apoteker.
>
> (Eh, ngomong-ngomong, program notariat dan apoteker juga digabung
> jadi S-2 seperti di psikologi enggak ya?)
>
> Dari saya sendiri melihat penggabungan antara profesi dan master ini
> agak aneh. Kenapa? Karena sebelum digabung dengan profesi, master
> psikologi rata-rata selesai 1,5 sampai 2 tahun. Begitu pula
> pendidikan profesi, sama, selesainya sekitar 1,5 sampai 2 tahun.
>
> Lha ini setelah digabung kok bisa selesainya tetap 1,5 sampai 2
tahun?
>
> Padahal, secara esensi, apa yang disebut "mastery" dan "profession"
> itu berbeda. Mastery lebih pada penguasaan, sedangkan proffession
> lebih merujuk pada profesionalisme atau perilaku profesional.
>
> Itu hal pertama yang saya lihat "aneh". Satu-satunya kemungkinan
> menjalankan penggabungan profesi dan mastery dalam jangka waktu
tetap
> 1,5 sampai 2 tahun adalah setengah profesional dan setengan
> menguasai. Jadi mau dibilang menguasai bener ya enggak, mau dibilang
> profesional bener juga enggak.
>
> Belum lagi kejanggalan yang banyak saya temukan dalam materi
> kuliahnya. Salah satunya tentang tesis mereka.
>
> Dalam tesis anak-anak program S-2 profesi, diharuskan adanya
> treatment. Neliti apa aja harus bisa dibuat treatment. Seolah kalau
> bisa mentreatment orang adalah ukuran sebuah profesionalisme (atau
> juga sekaligus ukuran penguasaan/mastery psikologi?).
>
> Lalu saya pernah menemukan salah satu contoh tesis. Ada anak profesi
> yang meneliti dengan judul (kurang lebih) "Hubungan jenis musik 'X'
> (aku lupa, pokoknya salah satu jenis musik klasik karya komponis
> terkenal setara Beethoven, Vivaldi, etc) dengan kesuksesan".
> Bayangkan, bisa begitu saja muncul "Hubungan jenis musik 'X' dengan
> kesuksesan".
>
> Lalu bayangkan si anak membuat surat ijin penelitian ke perusahaan
> anda. Datang menemui HRD anda atau pimpinan anda, minta diijinkan
> penelitian di tempat anda. Seolah-olah tempat anda ada masalah
dengan
> kesuksesan. Dan tiba-tiba saja karyawan di perusahaan itu
> di"treatment" dengan musik klasik.
>
> Kenapa ini terjadi? Karena fokusnya pada treatment. Bukan pada ada
> masalah apa dan mau dibuatkan solusi macam apa (yang bisa saja bukan
> treatment).
>
> Jadi menurut saya, ketimbang bingung profesi psikologi tercatat atau
> tidak, mungkin lebih tepat jika dipikirkan dulu esensi profesi dan
> mastery itu apa.
>
> Ada pendapat lain?
>
>
>
> Salam,
>
> Audifax
>
>
>
>
> ---
> Pendidikan Keadvokatan dan Permasalahan yang Dihadapi(*)
> Muchammad Zaidun(**)
> [29/10/04]
>
> `Peningkatan keahlian advokat membutuhkan suatu proses pendidikan
dengan kurikulum yang spesifik, bersertifikasi profesi, akreditasi
pendidikan profesi, dan pemberian lisensi khusus oleh asosiasi
profesi'
>
> Ketentuan Pasal 2 ayat(2) Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang
Advokat menyatakan: "yang dapat diangkat sebagai Advokat adalah
sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum dan setelah
mengikuti pendidikan khusus profesi advokat yang dilaksanakan oleh
organisasi advokat".
>
> Sementara itu berdasarkan ketentuan Pasal 20 ayat(3), Pasal 21 ayat
(1) dan ayat(2) Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, disimpulkan bahwa penyelenggaraan pendidikan
profesi diselenggarakan oleh perguruan tinggi, karena perguruan
tinggi berdasarkan undang-undang tersebut berhak menyelenggarakan
program pendidikan tinggi dan dapat memberikan gelar akademik,
profesi maupun vokasi. Bahkan dalam undang-undang tersebut ditegaskan
bahwa selain perguruan tinggi, dilarang memberikan gelar akademik,
profesi atau vokasi.
>
> Ini berarti untuk menyelenggarakan pendidikan profesi advokat harus
ada kerjasama antara perguruan tinggi dengan organisasi profesi
advokat. Dengan kata lain organisasi advokat maupun perguruan tinggi
hukum, masing-masing tidak dapat menyelenggarakan sendiri program
pendidikan tersebut, tetapi harus bekerjasama. Selain itu
permasalahan substansial lainnya adalah belum ditetapkan kurikulum
baku untuk pendidikan tersebut dan masih menghadapi pula kendala
tentang tersedianya tenaga pengajar yang profesional terutama di
daerah-daerah.
>
> Persoalan lain yang dihadapi adalah belum ditetapkan pula kriteria
dan syarat pemagangan dan kantor-kantor advokat yang ditetapkan
memenuhi syarat untuk tempat pemagangan bagi para calon anggota
advokat.
>
> Permasalahan-permasalahan tersebut merupakan masalah bagi
pendidikan khusus profesi advokat yang harus segera dipecahkan.
Sebab, para lulusan pendidikan hukum saat ini cukup banyak yang ingin
memasuki dunia profesi advokat. Permasalahan pendidikan khusus
profesi advokat sebetulnya merupakan masalah bersama antara
organisasi profesi advokat dan pendidikan tinggi hukum karena input
awal dari para calon advokat adalah mereka yang telah melalui jenjang
pendidikan strata-1 di pendidikan tinggi hukum.
>
> Yang menjadi sorotan saat ini adalah pendidikan strata-1 pada
pendidikan tinggi hukum dianggap masih memiliki kelemahan dalam
kemahiran dan ketrampilan hukum (competence and skill). Oleh sebab
itu, kalau tidak ada komunikasi yang intens antara dunia profesi
advokat dengan pendidikan tinggi hukum, maka masing-masing pihak
dikhawatirkan kurang memahami tentang kondisi dan kebutuhan masing-
masing dalam mengantisipasi penyiapan pendidikan khusus profesi
advokat.
>
> Dipandang perlu untuk menetapkan secara lebih spesifik output
kualitas yang diharapkan dari dunia profesi advokat berkaitan dengan
pendidikan khusus profesi advokat tersebut, dan sekaligus dipahami
lebih dalam tentang kondisi kualitas lulusan strata-1 pendidikan
tinggi hukum. Dengan demikian dapat ditentukan kualitas lulusan
pendidikan khusus profesi advokat yang diharapkan, dan tingkat
kekurangan berkaitan dengan kompetensi dan ketrampilan pendidikan
strata-1 tersebut. Kekurangannya kemudian harus diisi dengan
pendidikan khusus profesi hukum (advokat), agar kelak lulusan
pendidikan khusus profesi advokat tersebut dapat sesuai dengan
standar kualitas profesi hukum (advokat) yang diharapkan.
>
> Kondisi yang demikian ini harus menjadi perhatian utama bagi kedua
belah pihak. Apabila kondisi seperti ini tidak dapat dipahami secara
baik, maka besar kemungkinan upaya pendidikan khusus profesi advokat
tidak akan dapat memenuhi tujuan yang diharapkan. Kekhawatiran yang
demikian ini cukup beralasan karena bisa terjadi apa yang merupakan
concern pendidikan tinggi hukum belum tentu cocok dengan kebutuhan
riil dunia profesi advokat.
>
> Pada dasarnya pendidikan keadvokatan merupakan pendidikan profesi,
baik karena faktor tujuan, misi pendidikannya, kenyataan sejarah
profesi hukum di dunia internasional, maupun karena ketentuan
perundang-undangan yang menyangkut pendidikan profesi, baik
berdasarkan Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional maupun berdasarkan ketentuan Undang-undang Nomor 18 Tahun
2003 tentang Advokat.
>
> Sebagai suatu pendidikan profesional, tentu lebih baik
mengedepankan aspek kompetensi (competence) dan keterampilan (skill).
Tetapi harus diingat bahwa kompetensi dan ketrampilan di sini adalah
based on knowledge/science, dan bukan merupakan keterampilan teknis
semata-mata sebagaimana dalam konsep pendidikan vokasional.
>
> Di beberapa negara ada kecenderungan pendidikan profesi tersebut
dipadukan dengan pendidikan akademik. Dengan perpaduan sedemikian
rupa menjadikan pendidikan profesi tersebut mempunyai dasar akademik
yang kuat serta memiliki kemahiran yang profesional.
>
> Ada pula beberapa negara yang memadukan antara pendidikan magister
dengan pendidikan profesi. Dan untuk Indonesia hal ini bisa dilihat
dari model pendidikan yang terintegrasi antara akademik dan profesi
yang dikembangkan oleh Program Magister Kesehatan Masyarakat (Public
Health) dan Program Magister Psikologi, yang mempunyai program
magister (profesi).
>
> Sebagai contoh dalam Program Magister Psikologi, kurikulum
dirancang oleh Fakultas Psikologi bersama dengan Asosiasi Psikolog
Indonesia. Peserta program magister psikologi pada akhir masa studi
(setelah lulus) memperoleh ijazah dengan gelar Magister Psikologi
(bersifat profesi bukan sains), dan memperoleh sertifikat dari
Asosiasi Psikolog Indonesia dengan sebutan Psikolog.
>
> ***
>
> Untuk Indonesia ada kecenderungan program profesi yang terintegrasi
dengan program magister profesi (strata-2) lebih diminati. Sebab,
selain yang bersangkutan memperoleh pengetahuan yang terkait dengan
kompetensi dan ketrampilan profesi, mereka juga memperoleh dasar-
dasar teori yang lebih memperkuat dasar kemampuan teori di bidang
profesinya. Selain itu, yang tidak dapat disangkal, mereka juga
sangat senang memperoleh tambahan gelar strata-2 sebagai magister
profesi.
>
> Ini adalah merupakan suatu kenyataan yang sulit dihindari antara
kecenderungan peningkatan kualitas profesi dan tuntutan kebanggaan
memperoleh ijazah magister (profesi). Sebagai respon terhadap
kenyataan yang telah dikemukakan di atas, maka sudah sepatutnya
pendidikan tinggi hukum bersama asosiasi profesi hukum mengantisipasi
kebutuhan tersebut sekaligus mengupayakan peningkatan kualitas
professional lawyer yang semakin menjadi tuntutan masyarakat, melalui
penyelenggaraan suatu program magister hukum (profesi).
>
> Kalau kita cermati lebih jauh dunia profesi hukum, khususnya
profesi advokat memiliki dua jenjang keahlian yang spesifik. Pertama,
adalah para advokat yang memiliki keahlian profesi yang masih
bersifat umum dan dalam praktik mereka menangani perkara (khususnya
litigasi) tanpa keharusan memiliki keterampilan khusus dalam bidang
hukum tertentu yang ditetapkan oleh organisasi profesi, tetapi cukup
dengan kemampuan hukum yang bersifat umum.
>
> Kedua, adalah para advokat (dan juga para konsultan hukum) oleh
asosiasi profesi diwajibkan memiliki keahlian yang spesifik dalam hal
menangani masalah-masalah hukum tertentu. Misalnya bidang hukum
pasar modal harus memiliki sertifikat keahlian di bidang hukum pasar
modal. Di masa lalu mereka yang memperoleh sertifikat keahlian
melalui pendidikan (kursus) dan ujian, serta memperoleh lisensi dari
Bapepam adalah para advokat maupun yang bukan advokat.
>
> Contoh selanjutnya adalah bidang HAKI, mensyaratkan harus memiliki
sertifikat di bidang keahlian HAKI dan terdaftar di Dirjen HAKI.
Kemudian bidang kepailitan mensyaratkan harus memiliki sertifikat di
bidang keahlian hukum kepailitan dan tercatat sebagai anggota
asosiasi advokat di bidang kepailitan.
>
> Berdasarkan kondisi dan fakta tersebut, maka jelas dunia profesi
hukum pada waktunya tidak hanya memiliki para advokat yang memiliki
keahlian yang bersifat umum (general), tetapi sudah mengarah pada
keahlian yang lebih spesifik. Peningkatan keahlian advokat yang
spesifik tersebut membutuhkan suatu proses pendidikan dengan
kurikulum yang spesifik, bersertifikasi profesi, akreditasi
pendidikan profesi, dan pemberian lisensi khusus oleh asosiasi
profesi. Kenyataan tersebut mengharuskan dunia pendidikan hukum dan
asosiasi profesi hukum, khususnya advokat, dapat mengantisipasi dan
merespon hal tersebut dengan bekerjasama merancang suatu model
pendidikan profesi yang sesuai dengan tuntutan kebutuhan keahlian.
>
> Kerjasama ini tentu harus diwujudkan dalam bentuk mengembangkan
suatu model pendidikan profesi dalam dua jenjang, yaitu jenjang
profesi umum (general) dan jenjang profesi khusus (keahlian khusus).
Program pendidikan profesi tersebut seyogianya dipikirkan menjadi
program yang terintegrasi di antara program pendidikan profesi umum,
profesi khusus dan program magister (profesi). Hal ini agar para
peserta program memperoleh manfaat ganda dengan menyandang gelar
magister (profesi) bidang hukum dan menyandang sebutan advokat
(umum), maupun advokat dengan keahlian khusus dalam bidang hukum
tertentu setelah mereka lulus dalam program pendidikan tersebut.
>
> Konsekuensi dari model pendidikan profesi yang terintegrasi dengan
magister hukum (profesi) tersebut, maka harus disiapkan suatu
kurikulum yang sesuai dengan tuntutan kebutuhan jasa profesi hukum
dan sekaligus memenuhi norma-norma standar yang sesuai dengan syarat-
syarat program magister hukum (profesi) dan bukan merupakan program
magister hukum yang bersifat sains atau sering disebut dengan
magister ilmu hukum
>
> Langkah berikutnya adalah menyiapkan suatu model pembelajaran yang
sesuai dengan tuntutan kebutuhan dunia profesi hukum termasuk sarana
dan prasarana, serta tak kalah pentingnya adalah para
dosen/pengajar. Semua persyaratan dan kebutuhan proses pembelajaran
tersebut agar sesuai dengan kepentingan professional lawyers dan
standar mutu pendidikan tinggi hukum, maka hal tersebut harus
dipikirkan bersama secara bersungguh-sungguh oleh dunia pendidikan
tinggi hukum dengan asosiasi profesi hukum, khususnya asosiasi
advokat.
>
> Hanya melalui kerjasama yang saling menguatkan tersebut, maka
masalah pendidikan profesi advokat dalam rangka peningkatan kualitas
profesional advokat dapat dicapai. Oleh karena itu sudah seharusnya
mulai dirintis adanya forum bersama antara fakultas hukum dengan
asosiasi profesi hukum, agar selalu dapat saling menyapa dan
memberikan masukan demi kepentingan pendidikan tinggi hukum dan
profesi hukum, sebagaimana yang terjadi di Amerika Serikat antara
School of Law Associatin dengan American Bar Association yang setiap
tahun menyelenggarakan forum pertemuan bersama dengan mengangkat
topik-topik aktual sebagai agenda acara tahunan.
>
> *Disampaikan pada Diskusi Panel "Reformasi Pendidikan Hukum di
Indonesia", di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 28 Oktober 2004
>

__._,_.___
Recent Activity
Visit Your Group
Yahoo! Kickstart

Sign up today!

Your school could

win a $25K donation.

HDTV Support

The official Samsung

Y! Group for HDTVs

and devices.

Fitness Edge

A Yahoo! Group

about sharing fitness

and endurance goals.

.

__,_._,___

Tidak ada komentar:

Posting Komentar