Senin, 31 Desember 2007

[psikologi_transformatif] re: Profesi Psikolog

Bung Audifax dan Pak Manneke,


pertama-tama, sebagai tambahan wacana mengenai hal ini, saya sertakan artikel berikut:

"Pendidikan Keadvokatan dan Permasalahan yang Dihadapi" oleh Saudara Muchammad Zaidun (Pembantu Dekan bidang Akademik Fakultas Hukum Universitas Airlangga).

http:// hukumonline.com/detail.asp?id=11473&cl=Kolom

(artikel terlampir di bawah)


Saya kutip dua paragraf berikut ini:



"Untuk Indonesia ada kecenderungan program profesi yang terintegrasi dengan program magister profesi (strata-2) lebih diminati. Sebab, selain yang bersangkutan memperoleh pengetahuan yang terkait dengan kompetensi dan ketrampilan profesi, mereka juga memperoleh dasar-dasar teori yang lebih memperkuat dasar kemampuan teori di bidang profesinya.  Selain itu, yang tidak dapat disangkal, mereka juga sangat senang memperoleh tambahan gelar strata-2 sebagai magister profesi.


Ini adalah merupakan suatu kenyataan yang sulit dihindari antara kecenderungan peningkatan kualitas profesi dan tuntutan kebanggaan memperoleh ijazah magister (profesi).  Sebagai respon terhadap kenyataan yang telah dikemukakan di atas, maka sudah sepatutnya pendidikan tinggi hukum bersama asosiasi profesi hukum mengantisipasi kebutuhan tersebut sekaligus mengupayakan peningkatan kualitas professional lawyer yang semakin menjadi tuntutan masyarakat, melalui penyelenggaraan suatu program magister hukum (profesi)."



Jadi, menurut artikel di atas, "keanehan" yang dirasakan Audi (dan juga saya) agak terjawab oleh tulisan Pak Zaidun di atas. Memang aneh, tetapi nyata: Mengapa perlu embel-embel "Magister" di samping "Profesi", maka jawabnya menurut Zaidun ternyata adalah "tuntutan kebanggaan, kesenangan memperoleh tambahan gelar Strata-2 sebagai Magister Profesi". Ya, kalau memang benar dangkal begini, sih, nampaknya sulit ya mempersoalkan secara serius ontologi dan epistemologi suatu "Magister Profesi"?


Saya sepakat dengan Audi. Seorang Master belumlah seorang Profesional. Namun, seorang Profesional sudah barang tentu Master dalam bidangnya.


Saya lalu teringat dengan salah satu ungkapan filsuf Prof.Dr.Franz Magnis-Suseno, kira-kira begini: bahwa Profesionalisme tidak mungkin terpisah dari kepribadian, yang dapat diparkir dalam garasi apabila kita pulang dari tempat kerja ke rumah kita, dan baru kita bawa lagi apabila ke tempat pekerjaan. Jadi Profesionalisme itu terkait sekali dengan wakat/karakter. 


Nah, dalam suatu ungkapan Jawa, kita diingatkan perbedaan "Watak" dengan "Watuk" (Jawa: batuk). Kalau watak susah berubah, kalau batuk di Komix saja, sembuh. Implikasi buat pertanyaan lebih lanjut: Bagaimana mungkin membentuk Watak dalam 1,5 - 2 tahun dan setelah itu disertifikasi?


Maka, mungkin saja seorang alumnus Magister Profesi banyak (tidak semua) yang telah terperangkap dengan ilusi "Saya seorang Psikolog Profesional", dan Ilusionis-nya tidak lain adalah para dosen dan sistem perguruan tingginya. Selanjutnya... terserah Anda, hehehe.


Baru saja hari Minggu saya kemarin berdiskusi dengan seorang rekan senior di HIMPSI DKI Jakarta (kebetulan kami sama-sama terlibat dalam Kepengurusan). Ia menanggapi email saya yang saya kasih judul, "Dinamika Pengakuan Kedudukan Ahli Psikologi dalam Lembaran Pemerintah". Ia mengakui bahwa ia sering menemukan bahwa Psikolog kita banyak yang tidak mengikuti perkembangan sistem di luar Psikologi, sehingga kalau sudah berbenturan dengan suatu situasi, baru kebingungan. "Itu yang bikin kesel," katanya.


Itu hanya sebuah contoh kasus, yang menurut saya, sebuah contoh nyata Ketidakprofesionalan. Mengapa? Karena, lagi-lagi, Profesional lebih dari sekadar Master. Seorang Profesional mampu mempertimbangkan semua faktor yang relevan, dalam hal mana faktor2 tersebut mungkin tidak spesialistik bidang profesinya. "Mastery" saja tidak mungkin memadai untuk pendekatan multidisiplin semacam itu.


Di atas semua itu, saya masih optimistis program Magister Profesi Psikolog terus-menerus melakukan pembenahan dalam dirinya. Semoga.



Salam,

Juneman







---

Pak Manneke dan Juneman,


Setahu saya, kalau program profesinya sendiri sudah cukup lama ada.

Yang baru muncul sekitar 2003-an (kalau enggak salah) adalah

penggabungan program profesi itu dengan S-2.


Sebelum ini program profesi psikologi diberikan terpisah. Mirip

lulusan hukum yang mesti ambil notariat kalau mau praktek. Atau

lulusan farmasi yang mesti ambil apoteker.


(Eh, ngomong-ngomong, program notariat dan apoteker juga digabung

jadi S-2 seperti di psikologi enggak ya?)


Dari saya sendiri melihat penggabungan antara profesi dan master ini

agak aneh. Kenapa? Karena sebelum digabung dengan profesi, master

psikologi rata-rata selesai 1,5 sampai 2 tahun. Begitu pula

pendidikan profesi, sama, selesainya sekitar 1,5 sampai 2 tahun.


Lha ini setelah digabung kok bisa selesainya tetap 1,5 sampai 2 tahun?


Padahal, secara esensi, apa yang disebut "mastery" dan "profession"

itu berbeda. Mastery lebih pada penguasaan, sedangkan proffession

lebih merujuk pada profesionalisme atau perilaku profesional.


Itu hal pertama yang saya lihat "aneh". Satu-satunya kemungkinan

menjalankan penggabungan profesi dan mastery dalam jangka waktu tetap

1,5 sampai 2 tahun adalah setengah profesional dan setengan

menguasai. Jadi mau dibilang menguasai bener ya enggak, mau dibilang

profesional bener juga enggak.


Belum lagi kejanggalan yang banyak saya temukan dalam materi

kuliahnya. Salah satunya tentang tesis mereka.


Dalam tesis anak-anak program S-2 profesi, diharuskan adanya

treatment. Neliti apa aja harus bisa dibuat treatment. Seolah kalau

bisa mentreatment orang adalah ukuran sebuah profesionalisme (atau

juga sekaligus ukuran penguasaan/mastery psikologi?).


Lalu saya pernah menemukan salah satu contoh tesis. Ada anak profesi

yang meneliti dengan judul (kurang lebih) "Hubungan jenis musik 'X'

(aku lupa, pokoknya salah satu jenis musik klasik karya komponis

terkenal setara Beethoven, Vivaldi, etc) dengan kesuksesan".

Bayangkan, bisa begitu saja muncul "Hubungan jenis musik 'X' dengan

kesuksesan".


Lalu bayangkan si anak membuat surat ijin penelitian ke perusahaan

anda. Datang menemui HRD anda atau pimpinan anda, minta diijinkan

penelitian di tempat anda. Seolah-olah tempat anda ada masalah dengan

kesuksesan. Dan tiba-tiba saja karyawan di perusahaan itu

di"treatment" dengan musik klasik.


Kenapa ini terjadi? Karena fokusnya pada treatment. Bukan pada ada

masalah apa dan mau dibuatkan solusi macam apa (yang bisa saja bukan

treatment).


Jadi menurut saya, ketimbang bingung profesi psikologi tercatat atau

tidak, mungkin lebih tepat jika dipikirkan dulu esensi profesi dan

mastery itu apa.


Ada pendapat lain?




Salam,


Audifax





---

Pendidikan Keadvokatan dan Permasalahan yang Dihadapi(*)

Muchammad Zaidun(**)

[29/10/04]


'Peningkatan keahlian advokat membutuhkan suatu proses pendidikan dengan kurikulum yang spesifik, bersertifikasi profesi, akreditasi pendidikan profesi, dan pemberian lisensi khusus oleh asosiasi profesi'


Ketentuan Pasal 2 ayat(2) Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat menyatakan: "yang dapat diangkat sebagai Advokat adalah sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum dan setelah mengikuti pendidikan khusus profesi advokat yang dilaksanakan oleh organisasi advokat".


Sementara itu berdasarkan ketentuan Pasal 20 ayat(3), Pasal 21 ayat(1) dan ayat(2) Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, disimpulkan bahwa penyelenggaraan pendidikan profesi diselenggarakan oleh perguruan tinggi, karena perguruan tinggi berdasarkan undang-undang tersebut berhak menyelenggarakan program pendidikan tinggi dan dapat memberikan gelar akademik, profesi maupun vokasi. Bahkan dalam undang-undang tersebut ditegaskan bahwa selain perguruan tinggi, dilarang memberikan gelar akademik, profesi atau vokasi.


Ini berarti untuk menyelenggarakan pendidikan profesi advokat harus ada kerjasama antara perguruan tinggi dengan organisasi profesi advokat. Dengan kata lain organisasi advokat maupun perguruan tinggi hukum, masing-masing tidak dapat menyelenggarakan sendiri program pendidikan tersebut, tetapi harus bekerjasama.  Selain itu permasalahan substansial lainnya adalah belum ditetapkan kurikulum baku untuk pendidikan tersebut dan masih menghadapi pula kendala tentang tersedianya tenaga pengajar yang profesional terutama di daerah-daerah.


Persoalan lain yang dihadapi adalah belum ditetapkan pula kriteria dan syarat pemagangan dan kantor-kantor advokat yang ditetapkan memenuhi syarat untuk tempat pemagangan bagi para calon anggota advokat.


Permasalahan-permasalahan tersebut merupakan masalah bagi pendidikan khusus profesi advokat yang harus segera dipecahkan. Sebab, para lulusan pendidikan hukum saat ini cukup banyak yang ingin memasuki dunia profesi advokat.  Permasalahan pendidikan khusus profesi advokat sebetulnya merupakan masalah bersama antara organisasi profesi advokat dan pendidikan tinggi hukum karena input awal dari para calon advokat adalah mereka yang telah melalui jenjang pendidikan strata-1 di pendidikan tinggi hukum.


Yang menjadi sorotan saat ini adalah pendidikan strata-1 pada pendidikan tinggi hukum dianggap masih memiliki kelemahan dalam kemahiran dan ketrampilan hukum (competence and skill).  Oleh sebab itu, kalau tidak ada komunikasi yang intens antara dunia profesi advokat dengan pendidikan tinggi hukum, maka masing-masing pihak dikhawatirkan kurang memahami tentang kondisi dan kebutuhan masing-masing dalam mengantisipasi penyiapan pendidikan khusus profesi advokat. 


Dipandang perlu untuk menetapkan secara lebih spesifik output kualitas yang diharapkan dari dunia profesi advokat berkaitan dengan pendidikan khusus profesi advokat tersebut, dan sekaligus dipahami lebih dalam tentang kondisi kualitas lulusan strata-1 pendidikan tinggi hukum. Dengan demikian dapat ditentukan kualitas lulusan pendidikan khusus profesi advokat yang diharapkan, dan tingkat kekurangan berkaitan dengan kompetensi dan ketrampilan pendidikan strata-1 tersebut. Kekurangannya kemudian harus diisi dengan pendidikan khusus profesi hukum (advokat), agar kelak lulusan pendidikan khusus profesi advokat tersebut dapat sesuai dengan standar kualitas profesi hukum (advokat) yang diharapkan. 


Kondisi yang demikian ini harus menjadi perhatian utama bagi kedua belah pihak. Apabila kondisi seperti ini tidak dapat dipahami secara baik, maka besar kemungkinan upaya pendidikan khusus profesi advokat tidak akan dapat memenuhi tujuan yang diharapkan.  Kekhawatiran yang demikian ini cukup beralasan karena bisa terjadi apa yang merupakan concern pendidikan tinggi hukum belum tentu cocok dengan kebutuhan riil dunia profesi advokat.


Pada dasarnya pendidikan keadvokatan merupakan pendidikan profesi, baik karena faktor tujuan, misi pendidikannya, kenyataan sejarah profesi hukum di dunia internasional, maupun karena ketentuan perundang-undangan yang menyangkut pendidikan profesi, baik berdasarkan Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional maupun berdasarkan ketentuan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat.


Sebagai suatu pendidikan profesional, tentu lebih baik mengedepankan aspek kompetensi (competence) dan keterampilan (skill). Tetapi harus diingat bahwa kompetensi dan ketrampilan di sini adalah based on knowledge/science, dan bukan merupakan keterampilan teknis semata-mata sebagaimana dalam konsep pendidikan vokasional.


Di beberapa negara ada kecenderungan pendidikan profesi tersebut dipadukan dengan pendidikan akademik. Dengan perpaduan sedemikian rupa menjadikan pendidikan profesi tersebut mempunyai dasar akademik yang kuat serta memiliki kemahiran yang profesional.


Ada pula beberapa negara yang memadukan antara pendidikan magister dengan pendidikan profesi. Dan untuk Indonesia hal ini bisa dilihat dari model pendidikan yang terintegrasi antara akademik dan profesi yang dikembangkan oleh Program Magister Kesehatan Masyarakat (Public Health) dan Program Magister Psikologi, yang mempunyai program magister (profesi). 


Sebagai contoh dalam Program Magister Psikologi, kurikulum dirancang oleh Fakultas Psikologi bersama dengan Asosiasi Psikolog Indonesia. Peserta program magister psikologi pada akhir masa studi (setelah lulus) memperoleh ijazah dengan gelar Magister Psikologi (bersifat profesi bukan sains), dan memperoleh sertifikat dari Asosiasi Psikolog Indonesia dengan sebutan Psikolog. 


***


Untuk Indonesia ada kecenderungan program profesi yang terintegrasi dengan program magister profesi (strata-2) lebih diminati. Sebab, selain yang bersangkutan memperoleh pengetahuan yang terkait dengan kompetensi dan ketrampilan profesi, mereka juga memperoleh dasar-dasar teori yang lebih memperkuat dasar kemampuan teori di bidang profesinya.  Selain itu, yang tidak dapat disangkal, mereka juga sangat senang memperoleh tambahan gelar strata-2 sebagai magister profesi.


Ini adalah merupakan suatu kenyataan yang sulit dihindari antara kecenderungan peningkatan kualitas profesi dan tuntutan kebanggaan memperoleh ijazah magister (profesi).  Sebagai respon terhadap kenyataan yang telah dikemukakan di atas, maka sudah sepatutnya pendidikan tinggi hukum bersama asosiasi profesi hukum mengantisipasi kebutuhan tersebut sekaligus mengupayakan peningkatan kualitas professional lawyer yang semakin menjadi tuntutan masyarakat, melalui penyelenggaraan suatu program magister hukum (profesi).


Kalau kita cermati lebih jauh dunia profesi hukum, khususnya profesi advokat memiliki dua jenjang keahlian yang spesifik. Pertama, adalah para advokat yang memiliki keahlian profesi yang masih bersifat umum dan dalam praktik mereka menangani perkara (khususnya litigasi) tanpa keharusan memiliki keterampilan khusus dalam bidang hukum tertentu yang ditetapkan oleh organisasi profesi, tetapi cukup dengan kemampuan hukum yang bersifat umum.


Kedua, adalah para advokat (dan juga para konsultan hukum) oleh asosiasi profesi diwajibkan memiliki keahlian yang spesifik dalam hal menangani masalah-masalah hukum tertentu.  Misalnya bidang hukum pasar modal harus memiliki sertifikat keahlian di bidang hukum pasar modal.  Di masa lalu mereka yang memperoleh sertifikat keahlian melalui pendidikan (kursus) dan ujian, serta memperoleh lisensi dari Bapepam adalah para advokat maupun yang bukan advokat.


Contoh selanjutnya adalah bidang HAKI, mensyaratkan harus memiliki sertifikat di bidang keahlian HAKI dan terdaftar di Dirjen HAKI. Kemudian bidang kepailitan mensyaratkan harus memiliki sertifikat di bidang keahlian hukum kepailitan dan tercatat sebagai anggota asosiasi advokat di bidang kepailitan.


Berdasarkan kondisi dan fakta tersebut, maka jelas dunia profesi hukum pada waktunya tidak hanya memiliki para advokat yang memiliki keahlian yang bersifat umum (general), tetapi sudah mengarah pada keahlian yang lebih spesifik.  Peningkatan keahlian advokat yang spesifik tersebut membutuhkan suatu proses pendidikan dengan kurikulum yang spesifik, bersertifikasi profesi, akreditasi pendidikan profesi, dan pemberian lisensi khusus oleh asosiasi profesi.  Kenyataan tersebut mengharuskan dunia pendidikan hukum dan asosiasi profesi hukum, khususnya advokat, dapat mengantisipasi dan merespon hal tersebut dengan bekerjasama merancang suatu model pendidikan profesi yang sesuai dengan tuntutan kebutuhan keahlian.


Kerjasama ini tentu harus diwujudkan dalam bentuk mengembangkan suatu model pendidikan profesi dalam dua jenjang, yaitu jenjang profesi umum (general) dan jenjang profesi khusus (keahlian khusus).  Program pendidikan profesi tersebut seyogianya dipikirkan menjadi program yang terintegrasi di antara program pendidikan profesi umum, profesi khusus dan program magister (profesi).  Hal ini agar para peserta program memperoleh manfaat ganda dengan menyandang gelar magister (profesi) bidang hukum dan menyandang sebutan advokat (umum), maupun advokat dengan keahlian khusus dalam bidang hukum tertentu setelah mereka lulus dalam program pendidikan tersebut.


Konsekuensi dari model pendidikan profesi yang terintegrasi dengan magister hukum (profesi) tersebut, maka harus disiapkan suatu kurikulum yang sesuai dengan tuntutan kebutuhan jasa profesi hukum dan sekaligus memenuhi norma-norma standar yang sesuai dengan syarat-syarat program magister hukum (profesi) dan bukan merupakan program magister hukum yang bersifat sains atau sering disebut dengan magister ilmu hukum


Langkah berikutnya adalah menyiapkan suatu model pembelajaran yang sesuai dengan tuntutan kebutuhan dunia profesi hukum termasuk sarana dan prasarana, serta tak kalah pentingnya adalah para dosen/pengajar.  Semua persyaratan dan kebutuhan proses pembelajaran tersebut agar sesuai dengan kepentingan professional lawyers dan standar mutu pendidikan tinggi hukum, maka hal tersebut harus dipikirkan bersama secara bersungguh-sungguh oleh dunia pendidikan tinggi hukum dengan asosiasi profesi hukum, khususnya asosiasi advokat.


Hanya melalui kerjasama yang saling menguatkan tersebut, maka masalah pendidikan profesi advokat dalam rangka peningkatan kualitas profesional advokat dapat dicapai.  Oleh karena itu sudah seharusnya mulai dirintis adanya forum bersama antara fakultas hukum dengan asosiasi profesi hukum, agar selalu dapat saling menyapa dan memberikan masukan demi kepentingan pendidikan tinggi hukum dan profesi hukum, sebagaimana yang terjadi di Amerika Serikat antara School of Law Associatin dengan American Bar Association yang setiap tahun menyelenggarakan forum pertemuan bersama dengan mengangkat topik-topik aktual sebagai agenda acara tahunan.


*Disampaikan pada Diskusi Panel "Reformasi Pendidikan Hukum di Indonesia", di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 28 Oktober 2004

































__._,_.___
Recent Activity
Visit Your Group
Yahoo! Kickstart

Sign up today!

new professional

network from Yahoo!.

Best of Y! Groups

Check out the best

of what Yahoo!

Groups has to offer.

Parenting Zone

on Yahoo! Groups

Your one stop for

parenting groups.

.

__,_._,___

Tidak ada komentar:

Posting Komentar