Selasa, 01 Januari 2008

[psikologi_transformatif] Re: Profesi Psikolog

Bisa jadi di tempat lain memang seperti yang dikatakan Audi, tapi seingat saya
di UI tak begitu. Saya sempat sedikit ingat proses pembahasannya di senat
akademik universitas, dan diterangkan bahwa beda antara jalur ilmu dan laur
profesi adalah demikian. Tapi, bisa saja ingatan saya keliru... Malah kalo tak
salah ada jalur "ketiga" untuk program S2 ini, tapi saya sama sekali tak ingat
jalur ketiga ini persisnya apa. Tapi saya ingat betul sekarang bahwa ada 3
jalur. Waktu itu senat juga cukup kebingungan mendengar penjelasan dari wakil
FPsi tentang 3 program ini.

manneke

Quoting audivacx <audivacx@yahoo.com>:

> Pak Manneke,
> Setahu saya, yang pakai embel-embel "Psi" (Psikolog) itu jamannya
> waktu masih program profesi
>
> Kalau sudah sekolah S-2 terus tidak diembel-embeli master sepertinya
> sulit ada yang mau Pak..hehehe..apalagi ini Indonesia.
>
> Kalau saya tidak salah, program profesi S-2, yang hanya bisa diikuti
> oleh mereka yang S-1 nya psikologi, lulusannya bergelar M. Psi
> (Master Psikologi)
>
> Sedangkan S-2 Psikologi yang bisa diikuti oleh S-1 non psikologi,
> diberi gelar M.Si (Master Science).
>
> Bener begitu ya Juneman?
>
>
> --- In psikologi_transformatif@yahoogroups.com, pradita@... wrote:
> >
> > Audi dan Juneman,
> >
> > Setahu saya, untuk gelar S2 Profesi Psikologi, tidak dipakai embel-
> embel
> > Magister, melainkan singkatan Psi (saja) di belakang nama lulusan.
> Jadi,
> > misalnya, Hendrik Bakrie, Psi. Yang pakai embel-embel Magister itu
> adalah
> > lulusan S2 bidang ilmu psikologi non-profesi. Singkatannya kalo tak
> salah M.
> > Psi.
> >
> > manneke
> >
> > Quoting Juneman <juneman@...>:
> >
> > > Bung Audifax dan Pak Manneke,
> > >
> > > pertama-tama, sebagai tambahan wacana mengenai hal ini, saya
> sertakan artikel
> > > berikut:
> > > "Pendidikan Keadvokatan dan Permasalahan yang Dihadapi" oleh
> Saudara
> > > Muchammad Zaidun (Pembantu Dekan bidang Akademik Fakultas Hukum
> Universitas
> > > Airlangga).
> > > http:// hukumonline.com/detail.asp?id=11473&cl=Kolom
> > > (artikel terlampir di bawah)
> > >
> > > Saya kutip dua paragraf berikut ini:
> > >
> > >
> > > "Untuk Indonesia ada kecenderungan program profesi yang
> terintegrasi dengan
> > > program magister profesi (strata-2) lebih diminati. Sebab, selain
> yang
> > > bersangkutan memperoleh pengetahuan yang terkait dengan
> kompetensi dan
> > > ketrampilan profesi, mereka juga memperoleh dasar-dasar teori
> yang lebih
> > > memperkuat dasar kemampuan teori di bidang profesinya. Selain
> itu, yang
> > > tidak dapat disangkal, mereka juga sangat senang memperoleh
> tambahan gelar
> > > strata-2 sebagai magister profesi.
> > >
> > > Ini adalah merupakan suatu kenyataan yang sulit dihindari antara
> > > kecenderungan peningkatan kualitas profesi dan tuntutan
> kebanggaan memperoleh
> > > ijazah magister (profesi). Sebagai respon terhadap kenyataan
> yang telah
> > > dikemukakan di atas, maka sudah sepatutnya pendidikan tinggi
> hukum bersama
> > > asosiasi profesi hukum mengantisipasi kebutuhan tersebut sekaligus
> > > mengupayakan peningkatan kualitas professional lawyer yang
> semakin menjadi
> > > tuntutan masyarakat, melalui penyelenggaraan suatu program
> magister hukum
> > > (profesi)."
> > >
> > >
> > > Jadi, menurut artikel di atas, "keanehan" yang dirasakan Audi
> (dan juga saya)
> > > agak terjawab oleh tulisan Pak Zaidun di atas. Memang aneh,
> tetapi nyata:
> > > Mengapa perlu embel-embel "Magister" di samping "Profesi", maka
> jawabnya
> > > menurut Zaidun ternyata adalah "tuntutan kebanggaan, kesenangan
> memperoleh
> > > tambahan gelar Strata-2 sebagai Magister Profesi". Ya, kalau
> memang benar
> > > dangkal begini, sih, nampaknya sulit ya mempersoalkan secara
> serius ontologi
> > > dan epistemologi suatu "Magister Profesi"?
> > >
> > > Saya sepakat dengan Audi. Seorang Master belumlah seorang
> Profesional. Namun,
> > > seorang Profesional sudah barang tentu Master dalam bidangnya.
> > >
> > > Saya lalu teringat dengan salah satu ungkapan filsuf Prof.Dr.Franz
> > > Magnis-Suseno, kira-kira begini: bahwa Profesionalisme tidak
> mungkin terpisah
> > > dari kepribadian, yang dapat diparkir dalam garasi apabila kita
> pulang dari
> > > tempat kerja ke rumah kita, dan baru kita bawa lagi apabila ke
> tempat
> > > pekerjaan. Jadi Profesionalisme itu terkait sekali dengan
> wakat/karakter.
> > >
> > > Nah, dalam suatu ungkapan Jawa, kita diingatkan perbedaan "Watak"
> dengan
> > > "Watuk" (Jawa: batuk). Kalau watak susah berubah, kalau batuk di
> Komix saja,
> > > sembuh. Implikasi buat pertanyaan lebih lanjut: Bagaimana mungkin
> membentuk
> > > Watak dalam 1,5 - 2 tahun dan setelah itu disertifikasi?
> > >
> > > Maka, mungkin saja seorang alumnus Magister Profesi banyak (tidak
> semua) yang
> > > telah terperangkap dengan ilusi "Saya seorang Psikolog
> Profesional", dan
> > > Ilusionis-nya tidak lain adalah para dosen dan sistem perguruan
> tingginya.
> > > Selanjutnya... terserah Anda, hehehe.
> > >
> > > Baru saja hari Minggu saya kemarin berdiskusi dengan seorang
> rekan senior di
> > > HIMPSI DKI Jakarta (kebetulan kami sama-sama terlibat dalam
> Kepengurusan). Ia
> > > menanggapi email saya yang saya kasih judul, "Dinamika Pengakuan
> Kedudukan
> > > Ahli Psikologi dalam Lembaran Pemerintah". Ia mengakui bahwa ia
> sering
> > > menemukan bahwa Psikolog kita banyak yang tidak mengikuti
> perkembangan sistem
> > > di luar Psikologi, sehingga kalau sudah berbenturan dengan suatu
> situasi,
> > > baru kebingungan. "Itu yang bikin kesel," katanya.
> > >
> > > Itu hanya sebuah contoh kasus, yang menurut saya, sebuah contoh
> nyata
> > > Ketidakprofesionalan. Mengapa? Karena, lagi-lagi, Profesional
> lebih dari
> > > sekadar Master. Seorang Profesional mampu mempertimbangkan semua
> faktor yang
> > > relevan, dalam hal mana faktor2 tersebut mungkin tidak
> spesialistik bidang
> > > profesinya. "Mastery" saja tidak mungkin memadai untuk pendekatan
> > > multidisiplin semacam itu.
> > >
> > > Di atas semua itu, saya masih optimistis program Magister Profesi
> Psikolog
> > > terus-menerus melakukan pembenahan dalam dirinya. Semoga.
> > >
> > >
> > > Salam,
> > > Juneman
> > >
> > >
> > >
> > >
> > >
> > >
> > > ---
> > > Pak Manneke dan Juneman,
> > >
> > > Setahu saya, kalau program profesinya sendiri sudah cukup lama
> ada.
> > > Yang baru muncul sekitar 2003-an (kalau enggak salah) adalah
> > > penggabungan program profesi itu dengan S-2.
> > >
> > > Sebelum ini program profesi psikologi diberikan terpisah. Mirip
> > > lulusan hukum yang mesti ambil notariat kalau mau praktek. Atau
> > > lulusan farmasi yang mesti ambil apoteker.
> > >
> > > (Eh, ngomong-ngomong, program notariat dan apoteker juga digabung
> > > jadi S-2 seperti di psikologi enggak ya?)
> > >
> > > Dari saya sendiri melihat penggabungan antara profesi dan master
> ini
> > > agak aneh. Kenapa? Karena sebelum digabung dengan profesi, master
> > > psikologi rata-rata selesai 1,5 sampai 2 tahun. Begitu pula
> > > pendidikan profesi, sama, selesainya sekitar 1,5 sampai 2 tahun.
> > >
> > > Lha ini setelah digabung kok bisa selesainya tetap 1,5 sampai 2
> tahun?
> > >
> > > Padahal, secara esensi, apa yang disebut "mastery"
> dan "profession"
> > > itu berbeda. Mastery lebih pada penguasaan, sedangkan proffession
> > > lebih merujuk pada profesionalisme atau perilaku profesional.
> > >
> > > Itu hal pertama yang saya lihat "aneh". Satu-satunya kemungkinan
> > > menjalankan penggabungan profesi dan mastery dalam jangka waktu
> tetap
> > > 1,5 sampai 2 tahun adalah setengah profesional dan setengan
> > > menguasai. Jadi mau dibilang menguasai bener ya enggak, mau
> dibilang
> > > profesional bener juga enggak.
> > >
> > > Belum lagi kejanggalan yang banyak saya temukan dalam materi
> > > kuliahnya. Salah satunya tentang tesis mereka.
> > >
> > > Dalam tesis anak-anak program S-2 profesi, diharuskan adanya
> > > treatment. Neliti apa aja harus bisa dibuat treatment. Seolah
> kalau
> > > bisa mentreatment orang adalah ukuran sebuah profesionalisme (atau
> > > juga sekaligus ukuran penguasaan/mastery psikologi?).
> > >
> > > Lalu saya pernah menemukan salah satu contoh tesis. Ada anak
> profesi
> > > yang meneliti dengan judul (kurang lebih) "Hubungan jenis
> musik 'X'
> > > (aku lupa, pokoknya salah satu jenis musik klasik karya komponis
> > > terkenal setara Beethoven, Vivaldi, etc) dengan kesuksesan".
> > > Bayangkan, bisa begitu saja muncul "Hubungan jenis musik 'X'
> dengan
> > > kesuksesan".
> > >
> > > Lalu bayangkan si anak membuat surat ijin penelitian ke perusahaan
> > > anda. Datang menemui HRD anda atau pimpinan anda, minta diijinkan
> > > penelitian di tempat anda. Seolah-olah tempat anda ada masalah
> dengan
> > > kesuksesan. Dan tiba-tiba saja karyawan di perusahaan itu
> > > di"treatment" dengan musik klasik.
> > >
> > > Kenapa ini terjadi? Karena fokusnya pada treatment. Bukan pada ada
> > > masalah apa dan mau dibuatkan solusi macam apa (yang bisa saja
> bukan
> > > treatment).
> > >
> > > Jadi menurut saya, ketimbang bingung profesi psikologi tercatat
> atau
> > > tidak, mungkin lebih tepat jika dipikirkan dulu esensi profesi dan
> > > mastery itu apa.
> > >
> > > Ada pendapat lain?
> > >
> > >
> > >
> > > Salam,
> > >
> > > Audifax
> > >
> > >
> > >
> > >
> > > ---
> > > Pendidikan Keadvokatan dan Permasalahan yang Dihadapi(*)
> > > Muchammad Zaidun(**)
> > > [29/10/04]
> > >
> > > `Peningkatan keahlian advokat membutuhkan suatu proses pendidikan
> dengan
> > > kurikulum yang spesifik, bersertifikasi profesi, akreditasi
> pendidikan
> > > profesi, dan pemberian lisensi khusus oleh asosiasi profesi'
> > >
> > > Ketentuan Pasal 2 ayat(2) Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003
> tentang Advokat
> > > menyatakan: "yang dapat diangkat sebagai Advokat adalah sarjana
> yang berlatar
> > > belakang pendidikan tinggi hukum dan setelah mengikuti pendidikan
> khusus
> > > profesi advokat yang dilaksanakan oleh organisasi advokat".
> > >
> > > Sementara itu berdasarkan ketentuan Pasal 20 ayat(3), Pasal 21
> ayat(1) dan
> > > ayat(2) Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
> Pendidikan Nasional,
> > > disimpulkan bahwa penyelenggaraan pendidikan profesi
> diselenggarakan oleh
> > > perguruan tinggi, karena perguruan tinggi berdasarkan undang-
> undang tersebut
> > > berhak menyelenggarakan program pendidikan tinggi dan dapat
> memberikan gelar
> > > akademik, profesi maupun vokasi. Bahkan dalam undang-undang
> tersebut
> > > ditegaskan bahwa selain perguruan tinggi, dilarang memberikan
> gelar akademik,
> > > profesi atau vokasi.
> > >
> > > Ini berarti untuk menyelenggarakan pendidikan profesi advokat
> harus ada
> > > kerjasama antara perguruan tinggi dengan organisasi profesi
> advokat. Dengan
> > > kata lain organisasi advokat maupun perguruan tinggi hukum,
> masing-masing
> > > tidak dapat menyelenggarakan sendiri program pendidikan tersebut,
> tetapi
> > > harus bekerjasama. Selain itu permasalahan substansial lainnya
> adalah belum
> > > ditetapkan kurikulum baku untuk pendidikan tersebut dan masih
> menghadapi pula
> > > kendala tentang tersedianya tenaga pengajar yang profesional
> terutama di
> > > daerah-daerah.
> > >
> > > Persoalan lain yang dihadapi adalah belum ditetapkan pula
> kriteria dan syarat
> > > pemagangan dan kantor-kantor advokat yang ditetapkan memenuhi
> syarat untuk
> > > tempat pemagangan bagi para calon anggota advokat.
> > >
> > > Permasalahan-permasalahan tersebut merupakan masalah bagi
> pendidikan khusus
> > > profesi advokat yang harus segera dipecahkan. Sebab, para lulusan
> pendidikan
> > > hukum saat ini cukup banyak yang ingin memasuki dunia profesi
> advokat.
> > > Permasalahan pendidikan khusus profesi advokat sebetulnya
> merupakan masalah
> > > bersama antara organisasi profesi advokat dan pendidikan tinggi
> hukum karena
> > > input awal dari para calon advokat adalah mereka yang telah
> melalui jenjang
> > > pendidikan strata-1 di pendidikan tinggi hukum.
> > >
> > > Yang menjadi sorotan saat ini adalah pendidikan strata-1 pada
> pendidikan
> > > tinggi hukum dianggap masih memiliki kelemahan dalam kemahiran dan
> > > ketrampilan hukum (competence and skill). Oleh sebab itu, kalau
> tidak ada
> > > komunikasi yang intens antara dunia profesi advokat dengan
> pendidikan tinggi
> > > hukum, maka masing-masing pihak dikhawatirkan kurang memahami
> tentang kondisi
> > > dan kebutuhan masing-masing dalam mengantisipasi penyiapan
> pendidikan khusus
> > > profesi advokat.
> > >
> > > Dipandang perlu untuk menetapkan secara lebih spesifik output
> kualitas yang
> > > diharapkan dari dunia profesi advokat berkaitan dengan pendidikan
> khusus
> > > profesi advokat tersebut, dan sekaligus dipahami lebih dalam
> tentang kondisi
> > > kualitas lulusan strata-1 pendidikan tinggi hukum. Dengan
> demikian dapat
> > > ditentukan kualitas lulusan pendidikan khusus profesi advokat yang
> > > diharapkan, dan tingkat kekurangan berkaitan dengan kompetensi dan
> > > ketrampilan pendidikan strata-1 tersebut. Kekurangannya kemudian
> harus diisi
> > > dengan pendidikan khusus profesi hukum (advokat), agar kelak
> lulusan
> > > pendidikan khusus profesi advokat tersebut dapat sesuai dengan
> standar
> > > kualitas profesi hukum (advokat) yang diharapkan.
> > >
> > > Kondisi yang demikian ini harus menjadi perhatian utama bagi
> kedua belah
> > > pihak. Apabila kondisi seperti ini tidak dapat dipahami secara
> baik, maka
> > > besar kemungkinan upaya pendidikan khusus profesi advokat tidak
> akan dapat
> > > memenuhi tujuan yang diharapkan. Kekhawatiran yang demikian ini
> cukup
> > > beralasan karena bisa terjadi apa yang merupakan concern
> pendidikan tinggi
> > > hukum belum tentu cocok dengan kebutuhan riil dunia profesi
> advokat.
> > >
> > > Pada dasarnya pendidikan keadvokatan merupakan pendidikan
> profesi, baik
> > > karena faktor tujuan, misi pendidikannya, kenyataan sejarah
> profesi hukum di
> > > dunia internasional, maupun karena ketentuan perundang-undangan
> yang
> > > menyangkut pendidikan profesi, baik berdasarkan Undang-Undang No.
> 20 Tahun
> > > 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional maupun berdasarkan
> ketentuan
> > > Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat.
> > >
> > > Sebagai suatu pendidikan profesional, tentu lebih baik
> mengedepankan aspek
> > > kompetensi (competence) dan keterampilan (skill). Tetapi harus
> diingat bahwa
> > > kompetensi dan ketrampilan di sini adalah based on
> knowledge/science, dan
> > > bukan merupakan keterampilan teknis semata-mata sebagaimana dalam
> konsep
> > > pendidikan vokasional.
> > >
> > > Di beberapa negara ada kecenderungan pendidikan profesi tersebut
> dipadukan
> > > dengan pendidikan akademik. Dengan perpaduan sedemikian rupa
> menjadikan
> > > pendidikan profesi tersebut mempunyai dasar akademik yang kuat
> serta memiliki
> > > kemahiran yang profesional.
> > >
> > > Ada pula beberapa negara yang memadukan antara pendidikan
> magister dengan
> > > pendidikan profesi. Dan untuk Indonesia hal ini bisa dilihat dari
> model
> > > pendidikan yang terintegrasi antara akademik dan profesi yang
> dikembangkan
> > > oleh Program Magister Kesehatan Masyarakat (Public Health) dan
> Program
> > > Magister Psikologi, yang mempunyai program magister (profesi).
> > >
> > > Sebagai contoh dalam Program Magister Psikologi, kurikulum
> dirancang oleh
> > > Fakultas Psikologi bersama dengan Asosiasi Psikolog Indonesia.
> Peserta
> > > program magister psikologi pada akhir masa studi (setelah lulus)
> memperoleh
> > > ijazah dengan gelar Magister Psikologi (bersifat profesi bukan
> sains), dan
> > > memperoleh sertifikat dari Asosiasi Psikolog Indonesia dengan
> sebutan
> > > Psikolog.
> > >
> > > ***
> > >
> > > Untuk Indonesia ada kecenderungan program profesi yang
> terintegrasi dengan
> > > program magister profesi (strata-2) lebih diminati. Sebab, selain
> yang
> > > bersangkutan memperoleh pengetahuan yang terkait dengan
> kompetensi dan
> > > ketrampilan profesi, mereka juga memperoleh dasar-dasar teori
> yang lebih
> > > memperkuat dasar kemampuan teori di bidang profesinya. Selain
> itu, yang
> > > tidak dapat disangkal, mereka juga sangat senang memperoleh
> tambahan gelar
> > > strata-2 sebagai magister profesi.
> > >
> > > Ini adalah merupakan suatu kenyataan yang sulit dihindari antara
> > > kecenderungan peningkatan kualitas profesi dan tuntutan
> kebanggaan memperoleh
> > > ijazah magister (profesi). Sebagai respon terhadap kenyataan
> yang telah
> > > dikemukakan di atas, maka sudah sepatutnya pendidikan tinggi
> hukum bersama
> > > asosiasi profesi hukum mengantisipasi kebutuhan tersebut sekaligus
> > > mengupayakan peningkatan kualitas professional lawyer yang
> semakin menjadi
> > > tuntutan masyarakat, melalui penyelenggaraan suatu program
> magister hukum
> > > (profesi).
> > >
> > > Kalau kita cermati lebih jauh dunia profesi hukum, khususnya
> profesi advokat
> > > memiliki dua jenjang keahlian yang spesifik. Pertama, adalah para
> advokat
> > > yang memiliki keahlian profesi yang masih bersifat umum dan dalam
> praktik
> > > mereka menangani perkara (khususnya litigasi) tanpa keharusan
> memiliki
> > > keterampilan khusus dalam bidang hukum tertentu yang ditetapkan
> oleh
> > > organisasi profesi, tetapi cukup dengan kemampuan hukum yang
> bersifat umum.
> > >
> > > Kedua, adalah para advokat (dan juga para konsultan hukum) oleh
> asosiasi
> > > profesi diwajibkan memiliki keahlian yang spesifik dalam hal
> menangani
> > > masalah-masalah hukum tertentu. Misalnya bidang hukum pasar
> modal harus
> > > memiliki sertifikat keahlian di bidang hukum pasar modal. Di
> masa lalu
> > > mereka yang memperoleh sertifikat keahlian melalui pendidikan
> (kursus) dan
> > > ujian, serta memperoleh lisensi dari Bapepam adalah para advokat
> maupun yang
> > > bukan advokat.
> > >
> > > Contoh selanjutnya adalah bidang HAKI, mensyaratkan harus
> memiliki sertifikat
> > > di bidang keahlian HAKI dan terdaftar di Dirjen HAKI. Kemudian
> bidang
> > > kepailitan mensyaratkan harus memiliki sertifikat di bidang
> keahlian hukum
> > > kepailitan dan tercatat sebagai anggota asosiasi advokat di bidang
> > > kepailitan.
> > >
> > > Berdasarkan kondisi dan fakta tersebut, maka jelas dunia profesi
> hukum pada
> > > waktunya tidak hanya memiliki para advokat yang memiliki keahlian
> yang
> > > bersifat umum (general), tetapi sudah mengarah pada keahlian yang
> lebih
> > > spesifik. Peningkatan keahlian advokat yang spesifik tersebut
> membutuhkan
> > > suatu proses pendidikan dengan kurikulum yang spesifik,
> bersertifikasi
> > > profesi, akreditasi pendidikan profesi, dan pemberian lisensi
> khusus oleh
> > > asosiasi profesi. Kenyataan tersebut mengharuskan dunia
> pendidikan hukum dan
> > > asosiasi profesi hukum, khususnya advokat, dapat mengantisipasi
> dan merespon
> > > hal tersebut dengan bekerjasama merancang suatu model pendidikan
> profesi yang
> > > sesuai dengan tuntutan kebutuhan keahlian.
> > >
> > > Kerjasama ini tentu harus diwujudkan dalam bentuk mengembangkan
> suatu model
> > > pendidikan profesi dalam dua jenjang, yaitu jenjang profesi umum
> (general)
> > > dan jenjang profesi khusus (keahlian khusus). Program pendidikan
> profesi
> > > tersebut seyogianya dipikirkan menjadi program yang terintegrasi
> di antara
> > > program pendidikan profesi umum, profesi khusus dan program
> magister
> > > (profesi). Hal ini agar para peserta program memperoleh manfaat
> ganda dengan
> > > menyandang gelar magister (profesi) bidang hukum dan menyandang
> sebutan
> > > advokat (umum), maupun advokat dengan keahlian khusus dalam
> bidang hukum
> > > tertentu setelah mereka lulus dalam program pendidikan tersebut.
> > >
> > > Konsekuensi dari model pendidikan profesi yang terintegrasi
> dengan magister
> > > hukum (profesi) tersebut, maka harus disiapkan suatu kurikulum
> yang sesuai
> > > dengan tuntutan kebutuhan jasa profesi hukum dan sekaligus
> memenuhi
> > > norma-norma standar yang sesuai dengan syarat-syarat program
> magister hukum
> > > (profesi) dan bukan merupakan program magister hukum yang
> bersifat sains atau
> > > sering disebut dengan magister ilmu hukum
> > >
> > > Langkah berikutnya adalah menyiapkan suatu model pembelajaran
> yang sesuai
> > > dengan tuntutan kebutuhan dunia profesi hukum termasuk sarana dan
> prasarana,
> > > serta tak kalah pentingnya adalah para dosen/pengajar. Semua
> persyaratan dan
> > > kebutuhan proses pembelajaran tersebut agar sesuai dengan
> kepentingan
> > > professional lawyers dan standar mutu pendidikan tinggi hukum,
> maka hal
> > > tersebut harus dipikirkan bersama secara bersungguh-sungguh oleh
> dunia
> > > pendidikan tinggi hukum dengan asosiasi profesi hukum, khususnya
> asosiasi
> > > advokat.
> > >
> > > Hanya melalui kerjasama yang saling menguatkan tersebut, maka
> masalah
> > > pendidikan profesi advokat dalam rangka peningkatan kualitas
> profesional
> > > advokat dapat dicapai. Oleh karena itu sudah seharusnya mulai
> dirintis
> > > adanya forum bersama antara fakultas hukum dengan asosiasi
> profesi hukum,
> > > agar selalu dapat saling menyapa dan memberikan masukan demi
> kepentingan
> > > pendidikan tinggi hukum dan profesi hukum, sebagaimana yang
> terjadi di
> > > Amerika Serikat antara School of Law Associatin dengan American
> Bar
> > > Association yang setiap tahun menyelenggarakan forum pertemuan
> bersama dengan
> > > mengangkat topik-topik aktual sebagai agenda acara tahunan.
> > >
> > > *Disampaikan pada Diskusi Panel "Reformasi Pendidikan Hukum di
> Indonesia", di
> > > Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 28 Oktober 2004
> > >
> > >
> > >
> > >
> > >
> > >
> > >
> > >
> > >
> > >
> > >
> > >
> > >
> > >
> > >
> > >
> > >
> > >
> > >
> > >
> > >
> > >
> > >
> > >
> > >
> > >
> > >
> > >
> > >
> > >
> > >
> >
>
>
>

__._,_.___
Recent Activity
Visit Your Group
Yahoo! Kickstart

Sign up today!

Your school could

win a $25K donation.

Y! Messenger

Send pics quick

Share photos while

you IM friends.

Wellness Spot

on Yahoo! Groups

A resource for living

the Curves lifestyle.

.

__,_._,___

Tidak ada komentar:

Posting Komentar