Selasa, 01 Januari 2008

[psikologi_transformatif] Re: Profesi Psikolog

Pak Manneke,
Setahu saya, yang pakai embel-embel "Psi" (Psikolog) itu jamannya
waktu masih program profesi

Kalau sudah sekolah S-2 terus tidak diembel-embeli master sepertinya
sulit ada yang mau Pak..hehehe..apalagi ini Indonesia.

Kalau saya tidak salah, program profesi S-2, yang hanya bisa diikuti
oleh mereka yang S-1 nya psikologi, lulusannya bergelar M. Psi
(Master Psikologi)

Sedangkan S-2 Psikologi yang bisa diikuti oleh S-1 non psikologi,
diberi gelar M.Si (Master Science).

Bener begitu ya Juneman?

--- In psikologi_transformatif@yahoogroups.com, pradita@... wrote:
>
> Audi dan Juneman,
>
> Setahu saya, untuk gelar S2 Profesi Psikologi, tidak dipakai embel-
embel
> Magister, melainkan singkatan Psi (saja) di belakang nama lulusan.
Jadi,
> misalnya, Hendrik Bakrie, Psi. Yang pakai embel-embel Magister itu
adalah
> lulusan S2 bidang ilmu psikologi non-profesi. Singkatannya kalo tak
salah M.
> Psi.
>
> manneke
>
> Quoting Juneman <juneman@...>:
>
> > Bung Audifax dan Pak Manneke,
> >
> > pertama-tama, sebagai tambahan wacana mengenai hal ini, saya
sertakan artikel
> > berikut:
> > "Pendidikan Keadvokatan dan Permasalahan yang Dihadapi" oleh
Saudara
> > Muchammad Zaidun (Pembantu Dekan bidang Akademik Fakultas Hukum
Universitas
> > Airlangga).
> > http:// hukumonline.com/detail.asp?id=11473&cl=Kolom
> > (artikel terlampir di bawah)
> >
> > Saya kutip dua paragraf berikut ini:
> >
> >
> > "Untuk Indonesia ada kecenderungan program profesi yang
terintegrasi dengan
> > program magister profesi (strata-2) lebih diminati. Sebab, selain
yang
> > bersangkutan memperoleh pengetahuan yang terkait dengan
kompetensi dan
> > ketrampilan profesi, mereka juga memperoleh dasar-dasar teori
yang lebih
> > memperkuat dasar kemampuan teori di bidang profesinya. Selain
itu, yang
> > tidak dapat disangkal, mereka juga sangat senang memperoleh
tambahan gelar
> > strata-2 sebagai magister profesi.
> >
> > Ini adalah merupakan suatu kenyataan yang sulit dihindari antara
> > kecenderungan peningkatan kualitas profesi dan tuntutan
kebanggaan memperoleh
> > ijazah magister (profesi). Sebagai respon terhadap kenyataan
yang telah
> > dikemukakan di atas, maka sudah sepatutnya pendidikan tinggi
hukum bersama
> > asosiasi profesi hukum mengantisipasi kebutuhan tersebut sekaligus
> > mengupayakan peningkatan kualitas professional lawyer yang
semakin menjadi
> > tuntutan masyarakat, melalui penyelenggaraan suatu program
magister hukum
> > (profesi)."
> >
> >
> > Jadi, menurut artikel di atas, "keanehan" yang dirasakan Audi
(dan juga saya)
> > agak terjawab oleh tulisan Pak Zaidun di atas. Memang aneh,
tetapi nyata:
> > Mengapa perlu embel-embel "Magister" di samping "Profesi", maka
jawabnya
> > menurut Zaidun ternyata adalah "tuntutan kebanggaan, kesenangan
memperoleh
> > tambahan gelar Strata-2 sebagai Magister Profesi". Ya, kalau
memang benar
> > dangkal begini, sih, nampaknya sulit ya mempersoalkan secara
serius ontologi
> > dan epistemologi suatu "Magister Profesi"?
> >
> > Saya sepakat dengan Audi. Seorang Master belumlah seorang
Profesional. Namun,
> > seorang Profesional sudah barang tentu Master dalam bidangnya.
> >
> > Saya lalu teringat dengan salah satu ungkapan filsuf Prof.Dr.Franz
> > Magnis-Suseno, kira-kira begini: bahwa Profesionalisme tidak
mungkin terpisah
> > dari kepribadian, yang dapat diparkir dalam garasi apabila kita
pulang dari
> > tempat kerja ke rumah kita, dan baru kita bawa lagi apabila ke
tempat
> > pekerjaan. Jadi Profesionalisme itu terkait sekali dengan
wakat/karakter.
> >
> > Nah, dalam suatu ungkapan Jawa, kita diingatkan perbedaan "Watak"
dengan
> > "Watuk" (Jawa: batuk). Kalau watak susah berubah, kalau batuk di
Komix saja,
> > sembuh. Implikasi buat pertanyaan lebih lanjut: Bagaimana mungkin
membentuk
> > Watak dalam 1,5 - 2 tahun dan setelah itu disertifikasi?
> >
> > Maka, mungkin saja seorang alumnus Magister Profesi banyak (tidak
semua) yang
> > telah terperangkap dengan ilusi "Saya seorang Psikolog
Profesional", dan
> > Ilusionis-nya tidak lain adalah para dosen dan sistem perguruan
tingginya.
> > Selanjutnya... terserah Anda, hehehe.
> >
> > Baru saja hari Minggu saya kemarin berdiskusi dengan seorang
rekan senior di
> > HIMPSI DKI Jakarta (kebetulan kami sama-sama terlibat dalam
Kepengurusan). Ia
> > menanggapi email saya yang saya kasih judul, "Dinamika Pengakuan
Kedudukan
> > Ahli Psikologi dalam Lembaran Pemerintah". Ia mengakui bahwa ia
sering
> > menemukan bahwa Psikolog kita banyak yang tidak mengikuti
perkembangan sistem
> > di luar Psikologi, sehingga kalau sudah berbenturan dengan suatu
situasi,
> > baru kebingungan. "Itu yang bikin kesel," katanya.
> >
> > Itu hanya sebuah contoh kasus, yang menurut saya, sebuah contoh
nyata
> > Ketidakprofesionalan. Mengapa? Karena, lagi-lagi, Profesional
lebih dari
> > sekadar Master. Seorang Profesional mampu mempertimbangkan semua
faktor yang
> > relevan, dalam hal mana faktor2 tersebut mungkin tidak
spesialistik bidang
> > profesinya. "Mastery" saja tidak mungkin memadai untuk pendekatan
> > multidisiplin semacam itu.
> >
> > Di atas semua itu, saya masih optimistis program Magister Profesi
Psikolog
> > terus-menerus melakukan pembenahan dalam dirinya. Semoga.
> >
> >
> > Salam,
> > Juneman
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> > ---
> > Pak Manneke dan Juneman,
> >
> > Setahu saya, kalau program profesinya sendiri sudah cukup lama
ada.
> > Yang baru muncul sekitar 2003-an (kalau enggak salah) adalah
> > penggabungan program profesi itu dengan S-2.
> >
> > Sebelum ini program profesi psikologi diberikan terpisah. Mirip
> > lulusan hukum yang mesti ambil notariat kalau mau praktek. Atau
> > lulusan farmasi yang mesti ambil apoteker.
> >
> > (Eh, ngomong-ngomong, program notariat dan apoteker juga digabung
> > jadi S-2 seperti di psikologi enggak ya?)
> >
> > Dari saya sendiri melihat penggabungan antara profesi dan master
ini
> > agak aneh. Kenapa? Karena sebelum digabung dengan profesi, master
> > psikologi rata-rata selesai 1,5 sampai 2 tahun. Begitu pula
> > pendidikan profesi, sama, selesainya sekitar 1,5 sampai 2 tahun.
> >
> > Lha ini setelah digabung kok bisa selesainya tetap 1,5 sampai 2
tahun?
> >
> > Padahal, secara esensi, apa yang disebut "mastery"
dan "profession"
> > itu berbeda. Mastery lebih pada penguasaan, sedangkan proffession
> > lebih merujuk pada profesionalisme atau perilaku profesional.
> >
> > Itu hal pertama yang saya lihat "aneh". Satu-satunya kemungkinan
> > menjalankan penggabungan profesi dan mastery dalam jangka waktu
tetap
> > 1,5 sampai 2 tahun adalah setengah profesional dan setengan
> > menguasai. Jadi mau dibilang menguasai bener ya enggak, mau
dibilang
> > profesional bener juga enggak.
> >
> > Belum lagi kejanggalan yang banyak saya temukan dalam materi
> > kuliahnya. Salah satunya tentang tesis mereka.
> >
> > Dalam tesis anak-anak program S-2 profesi, diharuskan adanya
> > treatment. Neliti apa aja harus bisa dibuat treatment. Seolah
kalau
> > bisa mentreatment orang adalah ukuran sebuah profesionalisme (atau
> > juga sekaligus ukuran penguasaan/mastery psikologi?).
> >
> > Lalu saya pernah menemukan salah satu contoh tesis. Ada anak
profesi
> > yang meneliti dengan judul (kurang lebih) "Hubungan jenis
musik 'X'
> > (aku lupa, pokoknya salah satu jenis musik klasik karya komponis
> > terkenal setara Beethoven, Vivaldi, etc) dengan kesuksesan".
> > Bayangkan, bisa begitu saja muncul "Hubungan jenis musik 'X'
dengan
> > kesuksesan".
> >
> > Lalu bayangkan si anak membuat surat ijin penelitian ke perusahaan
> > anda. Datang menemui HRD anda atau pimpinan anda, minta diijinkan
> > penelitian di tempat anda. Seolah-olah tempat anda ada masalah
dengan
> > kesuksesan. Dan tiba-tiba saja karyawan di perusahaan itu
> > di"treatment" dengan musik klasik.
> >
> > Kenapa ini terjadi? Karena fokusnya pada treatment. Bukan pada ada
> > masalah apa dan mau dibuatkan solusi macam apa (yang bisa saja
bukan
> > treatment).
> >
> > Jadi menurut saya, ketimbang bingung profesi psikologi tercatat
atau
> > tidak, mungkin lebih tepat jika dipikirkan dulu esensi profesi dan
> > mastery itu apa.
> >
> > Ada pendapat lain?
> >
> >
> >
> > Salam,
> >
> > Audifax
> >
> >
> >
> >
> > ---
> > Pendidikan Keadvokatan dan Permasalahan yang Dihadapi(*)
> > Muchammad Zaidun(**)
> > [29/10/04]
> >
> > `Peningkatan keahlian advokat membutuhkan suatu proses pendidikan
dengan
> > kurikulum yang spesifik, bersertifikasi profesi, akreditasi
pendidikan
> > profesi, dan pemberian lisensi khusus oleh asosiasi profesi'
> >
> > Ketentuan Pasal 2 ayat(2) Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003
tentang Advokat
> > menyatakan: "yang dapat diangkat sebagai Advokat adalah sarjana
yang berlatar
> > belakang pendidikan tinggi hukum dan setelah mengikuti pendidikan
khusus
> > profesi advokat yang dilaksanakan oleh organisasi advokat".
> >
> > Sementara itu berdasarkan ketentuan Pasal 20 ayat(3), Pasal 21
ayat(1) dan
> > ayat(2) Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional,
> > disimpulkan bahwa penyelenggaraan pendidikan profesi
diselenggarakan oleh
> > perguruan tinggi, karena perguruan tinggi berdasarkan undang-
undang tersebut
> > berhak menyelenggarakan program pendidikan tinggi dan dapat
memberikan gelar
> > akademik, profesi maupun vokasi. Bahkan dalam undang-undang
tersebut
> > ditegaskan bahwa selain perguruan tinggi, dilarang memberikan
gelar akademik,
> > profesi atau vokasi.
> >
> > Ini berarti untuk menyelenggarakan pendidikan profesi advokat
harus ada
> > kerjasama antara perguruan tinggi dengan organisasi profesi
advokat. Dengan
> > kata lain organisasi advokat maupun perguruan tinggi hukum,
masing-masing
> > tidak dapat menyelenggarakan sendiri program pendidikan tersebut,
tetapi
> > harus bekerjasama. Selain itu permasalahan substansial lainnya
adalah belum
> > ditetapkan kurikulum baku untuk pendidikan tersebut dan masih
menghadapi pula
> > kendala tentang tersedianya tenaga pengajar yang profesional
terutama di
> > daerah-daerah.
> >
> > Persoalan lain yang dihadapi adalah belum ditetapkan pula
kriteria dan syarat
> > pemagangan dan kantor-kantor advokat yang ditetapkan memenuhi
syarat untuk
> > tempat pemagangan bagi para calon anggota advokat.
> >
> > Permasalahan-permasalahan tersebut merupakan masalah bagi
pendidikan khusus
> > profesi advokat yang harus segera dipecahkan. Sebab, para lulusan
pendidikan
> > hukum saat ini cukup banyak yang ingin memasuki dunia profesi
advokat.
> > Permasalahan pendidikan khusus profesi advokat sebetulnya
merupakan masalah
> > bersama antara organisasi profesi advokat dan pendidikan tinggi
hukum karena
> > input awal dari para calon advokat adalah mereka yang telah
melalui jenjang
> > pendidikan strata-1 di pendidikan tinggi hukum.
> >
> > Yang menjadi sorotan saat ini adalah pendidikan strata-1 pada
pendidikan
> > tinggi hukum dianggap masih memiliki kelemahan dalam kemahiran dan
> > ketrampilan hukum (competence and skill). Oleh sebab itu, kalau
tidak ada
> > komunikasi yang intens antara dunia profesi advokat dengan
pendidikan tinggi
> > hukum, maka masing-masing pihak dikhawatirkan kurang memahami
tentang kondisi
> > dan kebutuhan masing-masing dalam mengantisipasi penyiapan
pendidikan khusus
> > profesi advokat.
> >
> > Dipandang perlu untuk menetapkan secara lebih spesifik output
kualitas yang
> > diharapkan dari dunia profesi advokat berkaitan dengan pendidikan
khusus
> > profesi advokat tersebut, dan sekaligus dipahami lebih dalam
tentang kondisi
> > kualitas lulusan strata-1 pendidikan tinggi hukum. Dengan
demikian dapat
> > ditentukan kualitas lulusan pendidikan khusus profesi advokat yang
> > diharapkan, dan tingkat kekurangan berkaitan dengan kompetensi dan
> > ketrampilan pendidikan strata-1 tersebut. Kekurangannya kemudian
harus diisi
> > dengan pendidikan khusus profesi hukum (advokat), agar kelak
lulusan
> > pendidikan khusus profesi advokat tersebut dapat sesuai dengan
standar
> > kualitas profesi hukum (advokat) yang diharapkan.
> >
> > Kondisi yang demikian ini harus menjadi perhatian utama bagi
kedua belah
> > pihak. Apabila kondisi seperti ini tidak dapat dipahami secara
baik, maka
> > besar kemungkinan upaya pendidikan khusus profesi advokat tidak
akan dapat
> > memenuhi tujuan yang diharapkan. Kekhawatiran yang demikian ini
cukup
> > beralasan karena bisa terjadi apa yang merupakan concern
pendidikan tinggi
> > hukum belum tentu cocok dengan kebutuhan riil dunia profesi
advokat.
> >
> > Pada dasarnya pendidikan keadvokatan merupakan pendidikan
profesi, baik
> > karena faktor tujuan, misi pendidikannya, kenyataan sejarah
profesi hukum di
> > dunia internasional, maupun karena ketentuan perundang-undangan
yang
> > menyangkut pendidikan profesi, baik berdasarkan Undang-Undang No.
20 Tahun
> > 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional maupun berdasarkan
ketentuan
> > Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat.
> >
> > Sebagai suatu pendidikan profesional, tentu lebih baik
mengedepankan aspek
> > kompetensi (competence) dan keterampilan (skill). Tetapi harus
diingat bahwa
> > kompetensi dan ketrampilan di sini adalah based on
knowledge/science, dan
> > bukan merupakan keterampilan teknis semata-mata sebagaimana dalam
konsep
> > pendidikan vokasional.
> >
> > Di beberapa negara ada kecenderungan pendidikan profesi tersebut
dipadukan
> > dengan pendidikan akademik. Dengan perpaduan sedemikian rupa
menjadikan
> > pendidikan profesi tersebut mempunyai dasar akademik yang kuat
serta memiliki
> > kemahiran yang profesional.
> >
> > Ada pula beberapa negara yang memadukan antara pendidikan
magister dengan
> > pendidikan profesi. Dan untuk Indonesia hal ini bisa dilihat dari
model
> > pendidikan yang terintegrasi antara akademik dan profesi yang
dikembangkan
> > oleh Program Magister Kesehatan Masyarakat (Public Health) dan
Program
> > Magister Psikologi, yang mempunyai program magister (profesi).
> >
> > Sebagai contoh dalam Program Magister Psikologi, kurikulum
dirancang oleh
> > Fakultas Psikologi bersama dengan Asosiasi Psikolog Indonesia.
Peserta
> > program magister psikologi pada akhir masa studi (setelah lulus)
memperoleh
> > ijazah dengan gelar Magister Psikologi (bersifat profesi bukan
sains), dan
> > memperoleh sertifikat dari Asosiasi Psikolog Indonesia dengan
sebutan
> > Psikolog.
> >
> > ***
> >
> > Untuk Indonesia ada kecenderungan program profesi yang
terintegrasi dengan
> > program magister profesi (strata-2) lebih diminati. Sebab, selain
yang
> > bersangkutan memperoleh pengetahuan yang terkait dengan
kompetensi dan
> > ketrampilan profesi, mereka juga memperoleh dasar-dasar teori
yang lebih
> > memperkuat dasar kemampuan teori di bidang profesinya. Selain
itu, yang
> > tidak dapat disangkal, mereka juga sangat senang memperoleh
tambahan gelar
> > strata-2 sebagai magister profesi.
> >
> > Ini adalah merupakan suatu kenyataan yang sulit dihindari antara
> > kecenderungan peningkatan kualitas profesi dan tuntutan
kebanggaan memperoleh
> > ijazah magister (profesi). Sebagai respon terhadap kenyataan
yang telah
> > dikemukakan di atas, maka sudah sepatutnya pendidikan tinggi
hukum bersama
> > asosiasi profesi hukum mengantisipasi kebutuhan tersebut sekaligus
> > mengupayakan peningkatan kualitas professional lawyer yang
semakin menjadi
> > tuntutan masyarakat, melalui penyelenggaraan suatu program
magister hukum
> > (profesi).
> >
> > Kalau kita cermati lebih jauh dunia profesi hukum, khususnya
profesi advokat
> > memiliki dua jenjang keahlian yang spesifik. Pertama, adalah para
advokat
> > yang memiliki keahlian profesi yang masih bersifat umum dan dalam
praktik
> > mereka menangani perkara (khususnya litigasi) tanpa keharusan
memiliki
> > keterampilan khusus dalam bidang hukum tertentu yang ditetapkan
oleh
> > organisasi profesi, tetapi cukup dengan kemampuan hukum yang
bersifat umum.
> >
> > Kedua, adalah para advokat (dan juga para konsultan hukum) oleh
asosiasi
> > profesi diwajibkan memiliki keahlian yang spesifik dalam hal
menangani
> > masalah-masalah hukum tertentu. Misalnya bidang hukum pasar
modal harus
> > memiliki sertifikat keahlian di bidang hukum pasar modal. Di
masa lalu
> > mereka yang memperoleh sertifikat keahlian melalui pendidikan
(kursus) dan
> > ujian, serta memperoleh lisensi dari Bapepam adalah para advokat
maupun yang
> > bukan advokat.
> >
> > Contoh selanjutnya adalah bidang HAKI, mensyaratkan harus
memiliki sertifikat
> > di bidang keahlian HAKI dan terdaftar di Dirjen HAKI. Kemudian
bidang
> > kepailitan mensyaratkan harus memiliki sertifikat di bidang
keahlian hukum
> > kepailitan dan tercatat sebagai anggota asosiasi advokat di bidang
> > kepailitan.
> >
> > Berdasarkan kondisi dan fakta tersebut, maka jelas dunia profesi
hukum pada
> > waktunya tidak hanya memiliki para advokat yang memiliki keahlian
yang
> > bersifat umum (general), tetapi sudah mengarah pada keahlian yang
lebih
> > spesifik. Peningkatan keahlian advokat yang spesifik tersebut
membutuhkan
> > suatu proses pendidikan dengan kurikulum yang spesifik,
bersertifikasi
> > profesi, akreditasi pendidikan profesi, dan pemberian lisensi
khusus oleh
> > asosiasi profesi. Kenyataan tersebut mengharuskan dunia
pendidikan hukum dan
> > asosiasi profesi hukum, khususnya advokat, dapat mengantisipasi
dan merespon
> > hal tersebut dengan bekerjasama merancang suatu model pendidikan
profesi yang
> > sesuai dengan tuntutan kebutuhan keahlian.
> >
> > Kerjasama ini tentu harus diwujudkan dalam bentuk mengembangkan
suatu model
> > pendidikan profesi dalam dua jenjang, yaitu jenjang profesi umum
(general)
> > dan jenjang profesi khusus (keahlian khusus). Program pendidikan
profesi
> > tersebut seyogianya dipikirkan menjadi program yang terintegrasi
di antara
> > program pendidikan profesi umum, profesi khusus dan program
magister
> > (profesi). Hal ini agar para peserta program memperoleh manfaat
ganda dengan
> > menyandang gelar magister (profesi) bidang hukum dan menyandang
sebutan
> > advokat (umum), maupun advokat dengan keahlian khusus dalam
bidang hukum
> > tertentu setelah mereka lulus dalam program pendidikan tersebut.
> >
> > Konsekuensi dari model pendidikan profesi yang terintegrasi
dengan magister
> > hukum (profesi) tersebut, maka harus disiapkan suatu kurikulum
yang sesuai
> > dengan tuntutan kebutuhan jasa profesi hukum dan sekaligus
memenuhi
> > norma-norma standar yang sesuai dengan syarat-syarat program
magister hukum
> > (profesi) dan bukan merupakan program magister hukum yang
bersifat sains atau
> > sering disebut dengan magister ilmu hukum
> >
> > Langkah berikutnya adalah menyiapkan suatu model pembelajaran
yang sesuai
> > dengan tuntutan kebutuhan dunia profesi hukum termasuk sarana dan
prasarana,
> > serta tak kalah pentingnya adalah para dosen/pengajar. Semua
persyaratan dan
> > kebutuhan proses pembelajaran tersebut agar sesuai dengan
kepentingan
> > professional lawyers dan standar mutu pendidikan tinggi hukum,
maka hal
> > tersebut harus dipikirkan bersama secara bersungguh-sungguh oleh
dunia
> > pendidikan tinggi hukum dengan asosiasi profesi hukum, khususnya
asosiasi
> > advokat.
> >
> > Hanya melalui kerjasama yang saling menguatkan tersebut, maka
masalah
> > pendidikan profesi advokat dalam rangka peningkatan kualitas
profesional
> > advokat dapat dicapai. Oleh karena itu sudah seharusnya mulai
dirintis
> > adanya forum bersama antara fakultas hukum dengan asosiasi
profesi hukum,
> > agar selalu dapat saling menyapa dan memberikan masukan demi
kepentingan
> > pendidikan tinggi hukum dan profesi hukum, sebagaimana yang
terjadi di
> > Amerika Serikat antara School of Law Associatin dengan American
Bar
> > Association yang setiap tahun menyelenggarakan forum pertemuan
bersama dengan
> > mengangkat topik-topik aktual sebagai agenda acara tahunan.
> >
> > *Disampaikan pada Diskusi Panel "Reformasi Pendidikan Hukum di
Indonesia", di
> > Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 28 Oktober 2004
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> >
>

__._,_.___
Recent Activity
Visit Your Group
Yahoo! Kickstart

Sign up today!

Reconnect with

college alumni.

Y! Messenger

Instant smiles

Share photos while

you IM friends.

Move More

on Yahoo! Groups

This is your life

not a phys-ed class.

.

__,_._,___

Tidak ada komentar:

Posting Komentar