Minggu, 10 Februari 2008

[psikologi_transformatif] KOMENTAR dari Retret MMD: Berkenalan dengan Vipassana/MMD + tanggapan pembimbing

[Komentar berikut dari Bpk Hartono Munandar (Hangno), 44 th., Islam, wiraswasta, <panangkaran2@yahoo.co.id>, peserta baru MMD. Komentar ini perlu saya tanggapi di bawah ini. /hudoyo]

BERKENALAN DENGAN VIPASSANA,
MEDITASI MENGENAL DIRI

Oleh: Hartono Munandar (Hangno)

Pertama, yang menarik saya mengikuti meditasi vipassana atau Meditasi Menganal Diri karena pada saat ini saya sebagai koordinator diskusi spiritual di ys. Falsafatura Yogyakarta, di samping juga secara personal meminati 'laku' spiritual. Bagi saya, mengikuti salah satu tradisi Buddhis, yang penting bahkan menjadi ikonnya yaitu meditasi, menjadi keharusan yang mesti saya tahui, karena tradisi tersebut sudah sekian abad digelutinya, dan Sang Buddha pun mendapat pencerahan dengannya.

Yang paling menarik adalah dalam kerangka mengendalikan pikiran, yang meliputi jasad/jasmani dan jiwa/rohani. yang di dalamnya adalah 'aku', dengan metode yang menarik, yaitu dengan cara 'diamati'. Bagi pejalan/pencari spiritualitas, biasanya untuk mendapat pencerahan [adalah] dengan jalan 'negasi', yang bersifat penolakan, atau ditangkap obyeknya lalu dibuang. Bedanya, dalam vipassana yang saya pahami adalha diamati terus-menerus, yang nantinya akan hilang dengan sendirinya. Bagi saya itu menarik sekali, karena pemahaman 'negasi' dalam spiritualitas umumnya menurut vipassana masih terjebak dalam pikiran.

Dan yang menarik lagi bagi saya adalah pelepasan pikiran, tidak hanya terbatas pada dimensi rasio-akal saja, tetapi termasuk juga rasa dan tubuh.

Pencerahan atau kebahagiaan yang hakiki atau terdalam adalah berhentinya pikiran atau jiwa. Ketika berhenti, 'Aku' yang sejati akan muncul.

Tetapi ada pertanyaan yang menggelitik bagi saya sebagai pengamat spiritualitas, yaitu tentang 'waktu'. Menurut Dr. Hudoyo, waktu lebih bersifat psikologis karena ini bersesuaian dengan konsep pelepasan pikiran.

Tetapi dalam khazanah spiritualitas, ada konsep-konsep waktu seperti "dilatasi waktu" atau "waktu yang terlipat", dan itu secara ilmu fisika dibenarkan atau dimungkinkan, dan bagi fisikawan waktu sekarang, masa lalu, dan masa datang adalah sama. Dan waktu sekarang sebenarnya lebih absurd, daripada waktu dulu dan waktu akan datang: bisa dikatakan waktu 'detik ini' adalah tidak ada karena telah menjadi masa lalu walaupun sekian detik. Maka ketika Dr Hudoyo menerangkan bahwa waktu sekarang adalah yang 'nyata' dalam proses meditasi, lalu bagaimana anggapan para fisikawan tersebut.

Bagi sufi atau kalangan tawasuf, konsep tersebut lebih ke pendapat fisikawan, dianggap penting untuk menerangkan peristiwa Isra' Mi'raj Nabi Muhammad.

Dan juga anekdot-anekdot atau kisah-kisah sufi yang bermain-main dengan istilah 'waktu'. Bagi cerita sufisme, waktu dan tempat bisa 'didilatasi' atau bisa dilipat.

Bagaimana untuk memahami fenomena ini. Terima kasih.

============================
HUDOYO:

Orang senang sekali dengan cerita-cerita yang aneh-aneh tentang 'waktu': 'waktu' yang "dilatasi", 'waktu' yang "melipat", dsb dsb. 'Waktu' diotak-atik dengan pikiran, sehingga terdapatlah berbagai macam 'konsep' tentang 'waktu'. Dan itu dinamakan "spiritual"; saya tidak mengerti apanya yang 'spiritual'.

Cerita-cerita Sufi & hal-hal esoterik lainnya penuh dengan cerita-cerita tentang 'waktu' yang aneh-aneh. Padahal di dalam Tuhan tidak ada waktu!

Fisika yang mengotak-atik 'waktu' termasuk bidang 'fisika teoretik' atau 'fisika spekulatif'. Fisika seperti itu masih terus diperdebatkan sampai sekarang, dan buah-buah pikirannya BUKANLAH kebenaran final. Jadi 'fisika teoretik' atau 'fisika spekulatif' tidak sama dengan fisika pragmatik yang temuan-temuannya tidak diperdebatkan lagi. (Misalnya: Hukum Archimedes, dsb)

Tapi apakah mereka yang mengotak-atik 'waktu' itu pernah MENGALAMI sendiri apa yang diotak-atiknya? Tampaknya tidak pernah, karena pikirannya jalan terus, tidak pernah berhenti.

***

Di lain pihak, dalam ceramah-ceramah dalam retret MMD, saya bicara tentang 'waktu' sama sekali bukan sebagai 'konsep', melainkan sebagai 'pengalaman faktual' dalam kaitan dengan 'pikiran'. Saya bicara tentang 'kesadaran waktu', 'waktu psikologis', bukan 'waktu khronologis'-nya para fisikawan.

Di situ saya katakan, bahwa 'kesadaran waktu' tercipta dari 'gerak pikiran'. Kalau 'pikiran' bergerak, ia SELALU membawa 'kesadaran' ke masa lampau atau ke masa depan. 'Pikiran' tidak mungkin memikirkan 'saat kini' (seperti Anda katakan sendiri di atas). 'Saat kini' hanya bisa disadari/dialami ketika pikiran berhenti. Ketika saya mendengar kicau burung tanpa pikiran menyela, itulah saat kini. Tapi ketika pikiran bergerak menanggapi kicau burung itu ("burung apa itu ya?"), maka saya tidak lagi berada pada saat kini, saya tidak lagi mendengarkan kicau burung, melainkan saya berada di masa lampau dengan pikiran-pikiran saya tentang kicau burung itu.

Kalau pikiran berhenti, maka waktu pun berhenti. Apa artinya 'waktu berhenti'? (Bukan waktu khronologis yang berhenti, tapi waktu psikologis, kesadaran waktu.) 'Waktu berhenti' artinya orang berada terus-menerus pada 'saat kini'. Mengapa? Karena tidak muncul pikiran yang membawanya ke masa lampau atau ke masa depan. 'Saat kini' yang terus-menerus disadari itulah yang disebut "abadi" (time-less, timeless). (Bukan "abadi" menurut pikiran: hidup terus, tidak mati-mati, muda terus, tidak menjadi tua, dsb dsb.)

Sekali lagi, apa yang saya katakan ini bukanlah spekulasi atau konsep atau ajaran atau dogma, melainkan PENGALAMAN FAKTUAL yang akan dialami oleh siapa saja yang bermeditasi dan mengalami berhentinya pikiran. Jadi tidak relevan mempertentangkannya dengan segala KONSEP tentang 'waktu'. Yang disebut 'konsep' itu adalah buah dari pikiran, sedangkan MMD adalah mengamati gerak pikiran itu sendiri, sampai pikiran itu berhenti dengan sendirinya, tapi bukan dibuat berhenti. Jadi MMD mengatasi segala KONSEP tentang apa pun juga.

***

Sekarang, beberapa poin dalam tulisan Anda yang saya rasa perlu saya tanggapi:

>Bagi saya itu menarik sekali, karena pemahaman 'negasi' dalam spiritualitas umumnya menurut vipassana masih terjebak dalam pikiran.
----------------
Betul, orang melakukan 'negasi' itu disebabkan karena di dalam pikirannya masih ada 'dualitas' antara yang 'baik' dan 'buruk', dan semua itu ciptaan pikiran. Kalau pikiran itu sendiri disadari terus-menerus, sampai berhenti dengan sendirinya, maka segala dualitas pun runtuhlah, termasuk dualitas baik vs buruk, dan kesadaran akan masuk ke dalam keheningan yang mengatasi baik & buruk.

> Dan yang menarik lagi bagi saya adalah pelepasan pikiran, tidak hanya terbatas pada dimensi rasio-akal saja, tetapi termasuk juga rasa dan tubuh.
----------------
Badan & batin (termasuk 'batin' adalah: pikiran, perasaan, kehendak, keinginan dsb) adalah dua sisi dari 'diri', 'aku', yang sebetulnya merupakan kesatuan. Dalam MMD yang diamati adalah kedua sisi itu, badan & batin secara keseluruhan. Dalam pengamatan itu akan ternyata bahwa si 'aku' ini melekat pada badan & batin itu, mengidentifikasikan dirinya dalam badan & batin itu, dan itulah sumber dari penderitaan. Jika ini berhenti dengan sendirinya--lagi-lagi bukan dibuat berhenti--maka lenyaplah si 'aku' dan tinggallah badan & batin ini seperti apa adanya, yang selalu berubah, tidak menetap, dan tidak pernah memuaskan.

> Pencerahan atau kebahagiaan yang hakiki atau terdalam adalah berhentinya pikiran atau jiwa. Ketika berhenti, 'Aku' yang sejati akan muncul.
----------------
Saya tidak terlalu suka menggunakan kedua kata itu--"pencerahan" dan "kebahagiaan"--karena itu bisa menjadi iming-iming yang menyesatkan--seperti: sorga--bagi seorang "pejalan spiritual". Alih-alih mengatakan "pencerahan", saya lebih suka mengatakan "melihat seperti apa adanya", tanpa didistorsikan oleh si aku beserta segala kepentingannya. Sedangkan "kebahagiaan" tidak bisa lepas dari "ketidakbahagiaan" atau "penderitaan"; tidak mungkin ada yang satu tanpa yang lain. Jadi bagi saya, "jalan spiritual" bukanlah menolak 'ketidakbahagiaan' dan menggapai 'kebahagiaan', melainkan memahami si 'aku' yang selalu menolak yang satu & melekat kepada yang lain itu, sehingga pada akhirnya si 'aku' ini berakhir dengan sendirinya--tanpa diupayakan untuk berakhir. Di situlah baik 'kebahagiaan' maupun 'ketidakbahagiaan' ini diatasi (ditransendensikan), seperti juga 'baik' & 'buruk' diatasi.

Saya tidak pernah bicara tentang "Aku yang Sejati", "Ingsun Sejati" dsb; bagi saya konsep-konsep seperti itu cuma otak-atik pikiran belaka. Di dalam berhentinya si 'aku', berhentinya pikiran, maka istilah-istilah seperti itu tidak relevan lagi. Kalau si aku & pikiran ini belum berhenti, maka istilah-istilah seperti itu cuma menjadi 'iming-iming' yang menyesatkan.

Di dalam berakhirnya si aku--si Hudoyo, si Hartono--ini, di situ ada Sesuatu yang sama sekali lain, yang tidak punya sifat-sifat yang bisa kita kenal dengan pikiran, apalagi tidak bisa dibatasi dengan istilah "AKU/INGSUN" betapa pun tingginya dikonsepsikan, karena kedua istilah itu berasal dari kesadaran dualistik ('aku' vs 'bukan-aku') yang sudah runtuh.

Salam,
Hudoyo

__._,_.___
Recent Activity
Visit Your Group
Yahoo! Kickstart

Sign up today!

Your school could

win a $25K donation.

Yahoo! Groups

How-To Zone

Do-It-Yourselfers

Connect & share.

Check out the

Y! Groups blog

Stay up to speed

on all things Groups!

.

__,_._,___

Tidak ada komentar:

Posting Komentar