Dear Friends, Berikut ini tanya-jawab melalui e-mail
antara saya dengan Mas Purwanto (nama samaran) tentang
SIMBOL2 KEAGAMAAN, terutama tentang LINGGA dan YONI,
berikut interpretasinya. Semoga bermanfaat bagi rekan2
lainnya. (Leo).
+++++++++++++
EMAIL DARI MAS PURWANTO:
Salam,
Membaca cerita "perjalanan ke candi sukuh dan cetho"
membuat saya ingat salah satu naskah tanpa tahun yang
saya dapat dari lemari ortu saya; di naskah itu
disebutkan salah satu daerah kuno di Jawa, namanya
Bagelen -itu lo (maaf) lokasi tempat alm. Tauvik
Savalas wafat di sekitar pasar Krendetan- antara
Jogja dan Purworejo.
Saya hanya ingin berbagi cerita dari naskah yang
diperbarui oleh keturunan2/trah Bagelen tsb, bahwa di
daerah tsb, masa lalu banyak bertebaran bentuk2 Lingga
dan Yoni, yang dipakai sebagai alat praktis, bagian
dari ritual agama Shiva ( atau Budha ..?) yang
gambarannya, ritual tsb, memepergunakan air yang
dipakai di Lingga atau Yoni, tsb dalam upacara, lalu
air tersebut dibagikan ke rakyat yang membutuhkan,
untuk pengobatan, mengusir hama, mengusir hawa
jahat,... well practical.
Naskah itu juga menyebutkan banyak dari sisa Lingga
dan Yoni tsb yang masih dipelihara di Museum Purworejo
dan Kutoarjo, tapi juga banyak yang sudah hilang,
sayang sekali.
Mungkin Mas Leo bisa bantu beri "gambaran" tentang
daerah Bagelen ini di masa lalu.... please...?
+++++++++++++
JAWABAN DARI SAYA:
Dear Mas Purwanto,
Thanks for your question. Well, ini daerah pesisir
Selatan Pulau Jawa yah? Kok saya dapat gambaran
tentang wilayah Srandil dan tempat padepokan Buddhist
yang dipimpin oleh seorang mantan Pangdam di Indonesia
bagian Timur. Daerah Bagelen? Actually I am not
familiar with this area except memang pernah lewat,
barangkali, walaupun gak nyadar bener. Saya pernah ke
Srandil, dan disana ada "Semar" yang berupa
bayang-bayang yang terbentuk dari karang2 di bukit
kecil itu, pluas rembetan dedaunan dan cabang2 pohon
yang tinggi dan lebat di daerah itu. Kalau terbayang
Srandil, maka saya juga terbayang Parang Kusumo dengan
dua batu kembarnya itu, yang sampai sekarang dipakai
untuk upacara ritual oleh kalangan Kejawen tertentu.
Hm, saya pernah ke kedua tempat itu, dan of course
saya enjoyed very much ber-meditasi di Srandil dan
Parang Kusumo. Di Parang Kusumo, malahan, sempat ikut
melarung dengan cara saya yang sok tahu.
You know what? Hand phone itu saya kantongin waktu
ikut turun ke Laut Kidul menjelang matahari merekah
itu. Suasananya asri sekali. Debur ombak: whuar
whuer,... gak ada rasa kedinginan. Yang terasa cuma
desir energi yang melompat-lompat. Saking
melompat-lompat, saya menawarkan diri untuk turun ke
Laut Kidul itu membawa sesajen untuk dilarung. Dan,
lengkap dengan pakaian hitam2 dari atas sampai bawah,
even with a blangkon gaya Jogjakartan yang juga almost
item legem,... turunlah saya ke laut. Yang mimpin
seorang sesepuh yang saya panggil "Romo". Udah sepuh
banget, tapi si Romo kok nekat, turunnya makin jauh
en makin jauh aja. "Terus", katanya. Oops. Saya gak
sempat nitip handphone yang akhirnya tetap saja ada di
kantong baju saya. Ombak di jam 5 pagi itu mendebur ke
pantai,... "Masih belum!" kata si Romo. Masih belum
terus sampai akhirnya kami makin ke tengah. En, Si
Romo ngajarin untuk siap2 melempar "Srono" yang sudah
diatur di atas tetampah itu.
"Siap2 lempar," kata si Romo. "Nanti, tunggu ombak
yang ok punya," katanya lagi. Walah, ternyata melarung
itu nunggu ombak yang ok ya? Aku kan gak tau, dan HP
di kantong itu gak bisa dimatiin baterenya. Wong kedua
tangan aku itu megangin tetampah yang penuh Srono
segala macem itu. Mana melatinya seabrek-abrek lagi.
Ada kantil yang baunya menyengat. Ada bunga kenanga,
mawar merah, mawar kuning,... anything you can
imagine. Penuh. Dan kedua tangan itu memegang wadah
itu di atas kepala supaya gak kena air. Dan harus
siap2 lempar sesajen itu ketika ombak yang paling ok,
menurut si Romo, akhirnya datang.
Dan akhirnya datanglah ombaknya. Dan ombak itu datang
ketika air sudah hampir mencapai kantong bajuku yang
ada handphone-nya itu. Handphone-nya masih menyala,
dan sekarang ombak idaman yang, konon, merupakan
sambutan dari Ibu Ratu Laut Selatan itu kini
mendatangi kami dengan happy-nya. OOowww... itu ombak,
man. Bener2 ombak, and we are supposed to meloncat en
melepas tetampah berisikan Srono itu ketika pas
bersentuhan dengan ombak yang wis jelas guede banget
itu. Dan melompatlah kami, termasuk aku yang pasrah
aja. Habis itu apa? Habis itu, ya matilah
handphone-nya. Mati, man, mati. Jelas mati. Handphone
nyala kerendem aer laut ya mati. Gw gak bisa claim ke
punggawa-nya Ibu Ratu. Jadi, terpaksa gigit jari
sambil ngeliatin orang2 yang pada "ngalap" sisa
larungan itu. Pada berebutan ngambil bunga2 yang
bertebaran di laut itu. Katanya seh ada berkahnya.
Whatever lah! But that was the last experience for me
buat ikut turun ngelarung ke laut. Gak lagi deh!.
Nah, back to Bagelen dengan segala bentuk Lingga dan
Yoni yang memang banyak ditemukan disana. Jujur memang
saya gak tahu tentang itu secara spesifik. Yang saya
tahu, memang masyarakatnya memiliki kepercayaan2
tertentu tentang hal2 gaib. Karena dipercaya memiliki
kekuatan gaib, maka jadilah. Itu ada hubungannya
dengan doa, tentu saja. Kalau Lingga dan Yoni yang
ditemukan itu memang pernah dipakai untuk doa selama
ratusan tahun oleh para pendahulu kita, tentu saja
energi positif yang "menempel" di benda2 itu masih
ada. Sama saja dengan Yoni yang ada di puncak Candi
Sukuh itu. Saya malahan ngebayangin kalau saya duduk
persis di atas Yoni itu, dan meditasi disana, maka
pasti energinya gede banget. Tapi saya gak tega,
karena waktu itu kami bersama-sama Mbah M yang
membakar dupa di depan Yoni itu. Jadi, saya
meditasinya dengan duduk di belakang Mbah M saja, dan
menghadap Yoni itu,... dan bukan duduk di atas Yoni.
Ya, kami meditasi di atas puncak Candi Sukuh yang
bentuknya seperti piramid terpotong itu. Luar biasa
sekali pemandangannya: di belakang kami itu Gunung
Lawu, dan di depan kami Gunung Merapi. Very,... very
beautiful. It was heaven. And it was full of energies.
Positive energies.
Dan energi positif itu bisa dikultivasikan kalau kita
mau menjadi seperti Yoni. Menurut aku, Yoni itu adalah
simbol dari Kelenjar Pineal yang letaknya persis di
tengah batok kepala itu. Dan Lingga adalah simbol dari
diri kita. Lingga itu kan lambang dari Shiva. Shiva
itu siapa, anyway? Shiva kan diri kita sendiri. Diri
kita as Shiva incarnating. Shiva cuma nama saja, nama
dari suatu "Kesadaran". Kesadaran ruhani. Kesadaran
ruhani yang ada di setiap manusia. Kita bukan memuja
Shiva sebagai Shiva. Tetapi memuja Shiva sebagai suatu
kesadaran ruhani yang "kekal" dan yang _bisa_ berada
di dalam diri kita sendiri. Dan itu dilambangkan
dengan Lingga. Lingam, in English.
Lingga adalah diri kita, tubuh kita. Dan Yoni adalah
Kelenjar Pineal, counterpart fisik dari Mata Ketiga
kita. Karena berbentuk Yoni, maka aliran energinya
harusnya bersifat "feminin" alias menyerap. Jadi, Mata
Ketiga kita itu harusnya menyerap. Harus Ikhlas dan
Pasrah,... harus menjadi feminin. Semuanya, termasuk
para warok itu, kalau mau naik ke "atas" harus
bersifat "feminin". Kita selalu menadah tangah kepada
YME, dan itu disimbolkan dengan Yoni. Yoni itself
tidak bisa berdiri sendiri. Selalu ada Lingga yang
berarti tubuh fisik kita. Selama kita hidup sebagai
manusia, kita adalah Lingga Yoni. Tubuh Fisik dan Mata
Ketiga atau Mata Batin itu dengan mana kita
berkomunikasi dengan YME. Menurut saya, itulah inti
pengajaran yang disebarkan dari Candi Sukuh. Mereka
yang tinggal di daerah2 sekitarnya tentu saja
berdatangan ke tempat itu, dan pulang dengan membawa
pengertian2nya. Dan bahkan bisa saja akhirnya memahat
sendiri simbol2 Lingga dan Yoni itu di tempat mereka
masing2. Banyak ditemukan Lingga dan Yoni di daerah
Bagelen, berarti di Bagelen memang ajaran Tantra dulu
banyak penganutnya. Tantra bukanlah ajaran sex.
Menurut saya, Tantra bukanlah sex. Sex itu cuma simbol
saja. Simbol dari manunggaling kawula gusti.
Sex act is a symbol of manunggaling kawula gusti. Dan
itu, di masa lalu,... even until today, disimbolkan
oleh Lingga dan Yoni. Kita adalah Lingga dan Yoni itu,
Lingga adalah tubuh fisik, dan Yoni adalah tubuh
rohani. Keduanya harus ada ketika kita manunggaling
dengan gusti. Istilah lainnya adalah makrifatullah;
tapi kalau pakai istilah yang terakhir ini akan lebih
banyak lagi salah kaprahnya. Dikirain yang udah
makrifatullah itu udah gak menjejak bumi. Pedahal
masih, masih manusia biasa yang juga biasa2 aja.
All the Best,
Leo
+++++++++++++
[Leo adalah alumnus UI dan PennState, seorang praktisi
PSIKOLOGI TRANSPERSONAL dengan PENDEKATAN LINTAS
AGAMA. Untuk membuat appointment, please contact him
at HP number: 0818-183-615.
E-mail: <leonardo_rimba@ yahoo.com>.
Tentang REKON MATA KETIGA, please see these link:
<http://groups.yahoo.com/group/Spiritual-Indonesia/message/1046>.
Tentang PROFILE Leo, please see this link:
<http://groups.yahoo.com/group/Spiritual-Indonesia/message/992>.
Tulisan2 Leo dengan TOPIK MATA KETIGA bisa ditemukan
di milis SPIRITUAL-INDONESIA; untuk bergabung, please
click this link:
<http://groups.yahoo.com/group/Spiritual-Indonesia/join>].
Send instant messages to your online friends http://uk.messenger.yahoo.com