dari salah satu web site islam..
Orang yang disebut Darwisy, mengikuti tarekat Jalaluddin Rumi dan biasanya mereka melakukan riyadhah-riyadhah mereka dengan membacakan puisi-puisi dan menari-nari berkeliling. Setiap setahun sekali, para pengikut Jalaluddin Rumi ini berkumpul di
Jalaluddin Rumi juga menulis banyak puisi di dalam bahasa Parsi, walaupun dianggap orang Turki oleh orang Turki, orang Iran oleh orang Iran, orang Kurdi oleh orang Kurdi. Orang-orang besar itu biasanya ketika hidup, diusir oleh semua bangsa. Setelah dia mati, semua bangsa ingin mengakuinya. Misalnya Jamaluddin Al-Afghani. Dia diusir dari tanah kelahirannya. Dia tidak disukai oleh beberapa orang penguasa di zamannya. Dia pindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Setelah ia meninggal dunia di Turki, orang Afghan menganggap dia sebagai orang Afghan. Orang menganggap dia sebagai orang , sehingga sesudah namanya disebut Jamaluddin Astarabadi. Orang Turki juga menyebutnya orang Turki, karena kuburannya sampai sekarang ada di Turki.
Seperti itulah Jalaluddin Rumi. Salah satu keistimewaannya ini, dia menceritakan tentang perjalanan ruhaniah seorang sufi dengan puisi-puisinya. Yang paling terkenal di antara kumpulan puisinya adalah Matsnawi. Terdiri dari enam jilid. Rumi ini pernah terkesan dengan tulisan Fariduddin Al-Ahâr, yaitu Manthiq Al-Thayr, yang menceritakan perjalanan ruhani dengan cerita serombongan burung. Kemudian Rumi menulis puisi-puisinya di dalam bentuk cerita. Kata Nicholson, yang menghabiskan waktunya untuk berspesialisasi dalam karya-karya Rumi, dalam kumpulan Matsnawi ini (disebut Matsnawi karena satu baitnya itu ada dua baris) terkumpul nasihat ruhaniah, humor, ironi, sarkasme, dan metafora-metafora yang sangat tinggi.
Matsnawi ini belum diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, kecuali kutipan-kutipannya saja. Yang saya pegang saat ini pun terjemahannya dalam Bahasa Inggris, dan saya jamin kalau TOEFL anda tidak mencapai 600, anda akan sulit memahami kata-kata Inggris yang dipergunakan untuk menerjemahkan karya Matsnawi ini. Saya juga heran kenapa dia harus mencari kata-kata sulit. Mungkin dia ingin memelihara aroma klasik dari Matsnawi pada teksnya yang asli dalam bahasa.
Terjemahannya hampir literal, dan ketika dia tidak bisa menerjemahkan ke dalam Bahasa Inggris dengan bagus, Nicholson menerjemahkannya ke dalam Bahasa Latin. Jadi, kalau nanti saya baca terjemahan ini kemudian sampai kepada Bahasa Latin, Bahasa Latinnya ini tidak saya terjemahkan. Pertama, karena saya tidak mengerti. Kedua, karena tampaknya Nicholson juga mau menyembunyikan ketidakmengertianny
Sekarang ini, ada jurnal Tashawuf internasional. Namanya Sufi Journal, yang dalam setiap terbitannya selalu mengutip kisah-kisah yang diceritakan Rumi dalam Matsnawi-nya, tapi diceritakan dalam bahasa yang sederhana. Saya tidak akan mener-jemahkan
"Orang-orang kafir menjadi tamu Rasulullah. Mereka datang ke Mesjid ba'da Maghrib sambil berkata, "Kami datang ke sini sebagai tamu, mengharapkan keramah-tamahan yang punya rumah. Duhai Baginda yang menjadi penghibur semua penduduk dunia ini, kami ini orang yang kelaparan, datang dari tempat yang jauh. Sebarkan sebagian berkahmu dan sinarilah kami."
Lalu Nabi Saw. berkata kepada sahabat-sahabatnya, "
Setiap sahabat kemudian memilih seorang tamunya, di antara tamu-tamu itu ada seorang kafir yang tubuhnya sangat besar sehingga tak seorang sahabat pun mengambil-nya.
Jadi tinggalah ia di Mesjid, seperti ampas tinggal di cangkir kopi. Ketika ia ditinggalkan oleh semua orang, Al-Musthafa mengambilnya. Di antara ternak milik Al-Musthafa, ada tujuh kambing yang selalu memberikan air susu dan kambing-kambing itu disediakan di dekat rumah untuk diambil air susunya sebagai persiapan menghadapi waktu makan.
Raksasa besar putra Gusy dari Turki itu memakan habis roti dan makanan yang lain, dan susu dari tujuh ekor kambing itu. Seluruh penghuni rumah marah, karena mereka meng-inginkan susu kambing itu. Ia membuat perut-nya yang rakus seperti sebuah drum (tong). Ia memakan habis makanan untuk 18 orang. Pada waktu tidur ia pergi masuk ke kamarnya dan duduk di situ, kemudian pembantu dengan marah menutup pintunya. Pembantu itu mengikatkan kunci pintu dari luar karena ia marah kepadanya. Menjelang subuh orang kafir ini didesak oleh kebutuhan alamiahnya dan perutnya sakit.
Ia meninggalkan tempat tidurnya menuju pintu, meletakan tangannya di atas gerendel pintu dan menemukan pintu itu terkunci. Orang yang cerdik ini menggunakan berbagai alat untuk membuka pintu, tetapi kunci pintu itu tetap tak terbuka. Dorongan alamiahnya makin mendesak dan kamar itu sangat sempit. Ia berada di dalam penderitaan yang tidak ada obatnya dan kebingungan. Ia membuat gerakan-gerakan kecil dan merangkak untuk bisa tertidur. Dalam ngantuk-nya ia bermimpi bahwa ia berada di sebuah tempat yang terasing, karena tempat asing itu ada dalam pikirannya, mulailah ia masuk ke dalam tidurnya.
Tanpa terasa kemudian orang kafir itu mengeluarkan kotoran di rumah. Ketika terbangun ia menangis, "Celakalah daku". Ia menangis seperti tangisan orang-orang kafir di dalam kuburan. Ia menunggu sampai malam berakhir dan suara pintu terbuka sampai kepada telinganya, supaya ia bisa lari seperti melesatnya anak panah yang lepas dari busurnya. Supaya orang tidak melihat kehina-an yang sedang dideritanya.
(Cerita ini panjang, tapi saya akan memendek-kannya)
Pintu terbuka, kemudian ia bisa melepaskan dirinya dari kesedihan dan deritanya. Pada waktu subuh, Al-Musthafa datang dan membuka pintu. Menjelang fajar ia berikan jalan keluar kepada orang yang sudah kehilangan jalan. Musthafa membuka pintu, dalam keadaan tersembunyi, supaya orang menderita itu bisa keluar tanpa rasa malu, bisa berjalan dengan penuh keberanian dan tidak melihat punggung atau wajah sang pembuka pintu. Mungkin Al-Musthafa bersembunyi di balik sesuatu atau Jubah Tuhan menyembunyi-
Tetapi di balik kebijakan Tuhan dan perintah langit itulah, Al-Musthafa melakukan tindakannya, yang seakan-akan menunjukkan bahwa Al-Musthafa memusuhinya. Banyak sekali tindakan permusuhan itu sebetulnya persahabatan dan banyak sekali tindakan yang kelihatannya menghancurkan padahal menghidupkan.
Seorang sahabat yang suka men-campuri urusan orang, datang ke hadapan Nabi membawa kain yang sudah kotor, karena kotoran orang kafir itu, ia berkata: "Lihat, tamu anda sudah melakukan sesuatu yang buruk." Tapi Nabi tersenyum dengan senyuman rahmatan lil 'alamîn, beliau berkata: "Ambillah ember air ke sini, biarkan aku sendiri yang akan membersihkannya dengan tanganku".
Setiap sahabat meloncat dan berteriak: "Demi Tuhan, bukankah seluruh jiwa dan tubuh kami menjadi tebusan bagi engkau, biarlah kami yang akan membersihkan kotoran ini. Serahkan ini pada kami. Membersihkan kotoran ini adalah kerja tangan bukan kerja hati. Wahai La Amruk (panggilan Allah Swt kepada Nabi dalam QS 15:72, yang artinya demi kehidupanmu)
Nabi berkata: "Saya tahu, ini peristiwa yang luar biasa dan saya punya alasan untuk mencucinya dengan tangan saya sendiri".
Mereka menunggu seraya berkata: "Ini kata-kata Nabi, mesti ada misteri dan hikmah di baliknya". Nabi Saw. sibuk membersihkan kotoran itu, dengan semata-mata memenuhi perintah Tuhan, bukan karena mengikuti secara taklid dan bukan mengharapkan pamrih, karena hatinya berkata: "Cucilah kotoran itu, karena di baliknya ada hikmah yang tersembunyi".
Orang kafir yang
Karena mencari azimat itu, berlarilah ia ke rumah Al-Musthafa dan tiba-tiba ia melihat Tangan Tuhan dengan penuh ceria membersih-kan kotoran itu dengan tangannya yang mulia, tidak jauh dari mata orang kafir yang jahat itu. Keinginan untuk memperoleh azimat hilang dari pikirannya, dan sebuah kegelisahan muncul dalam hatinya. Ia merobek-robek bajunya, ia memukul wajahnya dan dengan kedua tangannya. Ia membenturkan kepalanya ke dinding dan pintu. Dalam keadaan seperti itu darah mengalir dari hidung dan kepalanya.
Sang Pangeran Muhammad jatuh iba kepadanya. Ia berteriak pilu. Orang-orang berkumpul di sekitarnya, orang kafir itu menangis: "Hai Manusia dengarlah." Ia pukul kepalanya sambil berkata: "Ah ... kepala yang tidak memiliki pemahaman." Ia pukul dadanya seraya berkata: "Ah ... dada yang tidak pernah mendapat cahaya." Ia menghempaskan dirinya, ia berteriak: "Duhai Pangeran, yang memiliki seluruh bumi ini, bagian yang hina ini tak sanggup menahan rasa malu di hadapan-mu. Engkau yang karenamu diciptakan seluruh alam semesta ini, yang seluruh alam semesta pasrah di hadapannya. Aku ini hanya bagian kecil, seorang yang hina dina dan tidak mendapat petunjuk. Engkaulah sang keseluruhan, sekarang dengan penuh kerendahan hati, bergetar di hadapan Tuhan. Sedangkan aku cuma noktah kecil, setiap hari menentang dan melawan Tuhan".
Setiap saat ia menengadahkan wajah-nya ke langit, seraya berkata: "Saya tidak memilki wajah lagi untuk melihat kepada-Mu, wahai qiblah dunia ini." Ketika ia bergetar gemetar, tak terpermanai di hadapan Al-Musthafa, Al-Musthafa menepukan tangannya, menenangkan dia, membujuknya, membuka matanya dan memberikan kepadanya pengetahuan.
***
Setelah itu Matsnawi bercerita bahwa kisah itu merupakan sebuah metafora. Pertama, bahwa Nabi Saw. datang untuk membersihkan kita dari kotoran-kotoran kita dengan tangannya yang mulia. Kedua, setelah kita mengeluarkan seluruh kotoran kita dan menyerahkan sepenuhnya kepada Rasulullah Saw. untuk membersihkannya, kita akan memperoleh kehidupan yang baru. Ketiga, bahwa setiap kehidupan rohaniah yang baru, harus disertai penderitaan dan tangisan.
Sekarang saya akan melanjutkan puisi Jalaluddin Rumi ini: "Kalau awan tidak menangis, mana mungkin taman-taman akan tersenyum. Kalau bayi tidak menangis mana mungkin air susu akan mengalir. Bayi yang berusia satu tahun tahu hal ini, nalurinya berkata: "Aku akan menangis supaya ibu yang penyayang segera datang". Supaya sang perawat segera datang. Tidakkah kamu tahu bahwa Sang Perawat dari Segala Perawat tidak akan memberikan susu kepadamu sebelum tangisan kamu. Bukankah Tuhan berkata: "Biarkan mereka menangis banyak". Dengarkan karunia sang Khaliq akan mencurahkan kepadamu air susunya.
Tangisan awan dan sentuhan cahaya matahari adalah tonggak dunia ini, gabung-kanlah keduanya bersama di dalam dirimu. Jika tidak ada panas matahari dan air mata awan, bagaimana mungkin hakikat dan tabiat menjadi besar dan kuat. Bagaimana mungkin empat musim akan terjadi, kalau tidak ada sinar matahari dan tangisan awan. Karena panasnya cahaya matahari dan tangisan awan di dunia membuat dunia ini segar dan manis. Biarkan matahari akalmu menyala dan biarkan matamu berlinang dengan air mata seperti awan. Kamu perlu mata yang bisa menangis, seperti tangisan anak kecil. Jangan makan roti duniawi ini, karena roti itu akan membawa air ruhanimu. Jika tubuh akan menghasilkan dedaunan pada ranting-rantingnya, maka jiwa haruslah mencampakkan dedaunan itu dan mendatangkan musim gugurnya. Ketika tubuh subur dengan dedaunan, jiwa harus kehilang-an dedaunan itu sama sekali. Bersegeralah jangan ragu-ragu, pinjami Tuhan, berikan dedaunan. Campakkan dedaunan tubuhmu itu supaya engkau bisa memperoleh taman yang tumbuh dalam hatimu. Berikan pinjaman itu, hancurkan seluruh makanan tubuhmu, supaya wajah ini bisa melihat, apa yang tidak bisa dilihat mata. Ketika tubuh mengeluarkan seluruh isinya yang kotor, Tuhan akan memenuhinya dengan Kesturi dan Mutiara yang gemerlap. Ia orang kafir itu, mengeluarkan kotorannya supaya memperoleh kesucian dari tangan Rasulullah Saw. yang mulia.
Looking for last minute shopping deals? Find them fast with Yahoo! Search.
Change settings via the Web (Yahoo! ID required)
Change settings via email: Switch delivery to Daily Digest | Switch format to Traditional
Visit Your Group | Yahoo! Groups Terms of Use | Unsubscribe
__,_._,___