LELAH INI TERBAYAR LUNAS.
Icha Koraag
Kedua anakku Bas dan Van semakin pandai. Perasaan haru masih menyelubungi diriku. Kami baru saja pulang dari sebuah hypermarket untuk belanja beberapa kebutuhan rumah tangga. Bas dan Van sejak kecil sudah sering kuajak belanja, hingga mereka nyaris tahu apa saja kebutuhan rumah tangga.
Kebetulan pola belanjaku selalu sama. Pertama, mungkin karena penyajian atau interior toko yang sedemikkian rupa, maka kaki kami mengikuti alur yang ada. Begitu masuk maka rak pertama yang terlihat di sebelah kanan peralatan elektronik dan disebelah kiri rak susu. Keduanya akan menoleh dan meminta persetujuanku untuk menuju rak elektronik karena di sana ada tv, dan teman-temannya. Kedua anakku akan langsung menuju rak CD dan DVD.
Kali ini aku menggeleng dan mengarahkan pandanganku ke rak susu. Tampak kekecewaan di wajah mereka, aku hanya mengangkat bahu dan melanjutkan langkahku. Aku tahu dengan pasti mereka akan mengikutiku. Benar saja keduanya langsung mendahuluiku menuju rak susu. Kadang geli aku melihatnya, keduanya selalu bersama setiap hari tapi tak hentinya mereka bercanda seakan baru bertemu. Bas masih berjalan menggunakan tongkat.
Gara-gara tak henti-hentinya bercanda, Dua minggu lalu, Bas mendapat celaka. Kaki kirinya masuk ke jari-jari motor. Melihat dari kerusakan sepatunya, hatiku terasa turun sampai dengkul. Siang itu aku tidak menjemput anak-anak di sekolah karena aku perlu ke warnet. Setelah 3 jam di warnet, si bungsu Van muncul di ujung tangga dan memanggilku pulang. Bergegas aku membereskan, membayar dan keluar. Di luar Frisch sudah menunggu. Di atas motor aku ngobrol dengan Van menanyakan kegiatan di sekolah. Van seperti biasa bercerita dengan ramainya.
Mendekati rumah aku bertanya apakah Bas tidur? Van yang menjawab dengan cepat.
"Kaki Bas luka!" Ku pikir terjatuh di sekolah. Makanya ku katakan, "Mamakan sudah bilang jangan berlari-lari!". Aku tahu pernyataanku sia-sia. Mana mungkinlah anak 4 dan 7 tahun tidak akan berlari-larian.
Begitu tiba di muka pagar, aku melompat turun dan membukakan pagar. Kali ini Van pun turun padahal biasanya ia akan turun kalau motor sudah masuk. Van berlari menuju rak sepatu dan memperlihatkan sepatu Bas.
"Ma, sepatu kakak jebol!" Aku bergegas minta kunci dan membuka pintu. Aku tahu ini bukan kebiasaan yang baik. Aku kadang perlu meninggalkan anak-anak yang sedang tidur di rumah untuk sedikit keperluan. Sama seperti Frisch yang juga sekarang mengunci Bas yang tertidur dan menjemputku di warnet yang tak beraspa jauh dari rumah.
Aku mendapati Bas tertidur memeluk guling dengan kaki kiri disanggah tumpukkan selimut. Segera kunyalakan lampu untuk melihat kakinya. Tapi tak bisa karena sudah di bebat Frisch dengan verban. Tapi tak ada darah di sana. Ku sentuh kakinya, terasa panas melebihi suhu normal. Van menatapku, mungkin ia sedang memikirkan apa yang akan aku lakukan.
"Mana papa?" Tanyaku
"Di depan!" Jawab Van.
Aku keluar, duduk dihadapannya dan langsung meminta penjelasan. Frisch tenang saja, padahal aku sudah emosi.
" Mereka bercanda, sayakan tidak bisa apa-apa. Tadi dari sekolah Van tidak mau duduk depan, sehingga keduanya duduk dibelakang. Bas berjanji akan memegang dan menjaga Van. Sayakan juga tidak mau berdebat, maka saya ijinkan. Sepanjang jalan ok-ok saja. Dua-dua seperti biasa bernyanyi atau mengomentari apa yang di lihat. Nah sudah dekat rumah, mungkin pegangan Bas pada badan Van terlalu keras, Van menggeliat. Bas tertawa sambil tetap berusaha memegang Van, nah mungkin disini posisi kakinya mencoba bertahan tapi malah masuk ke jari-jari. motor"
" Jalannya kencang?" potongku
" Ya tidaklah ma!"
" Sepatunya hancur begitu!" tuduhku
" Memang tapi kalau saya kencang pasti kakinya sudah putus!' Jawab Frisch
" Papa ini kalau bicara sepertinya semua dianggap sepele!" Ujarku kesal
" Loh
bukan sepele, saya juga tidak bisa menghindari kan ini sama sekali tidak terantisipasi!' Jawab Frisch lagi.
" Terus kaki Bas bagaimana?" tanyaku lagi
" Terkilir dan memar. Lukanya hanya berupan garis!"
" Yakin tidak ada yang patah?" tanyaku lagi.
" Belum tahu. Nanti kalau bangun baru kita periksa lagi!" Jawab Frisch.
Van memelukku dari belakang
" Jangan marah mama!" pintanya
" Berapa kali mama bilang tidak boleh bercanda kalau di atas motor?" tanyaku sambil memeluknya. Van diam dan menyembunyikan wajahnya di leherku.
" Maaf mama!" Bisiknya.
" Kasihan kan kakak jadi luka!" Ujarku lagi.
Lamunanku buyar mendengar suara Bas.
" Berapa kotak ma?" Tanyanya
" 4 kotak besar!" Jawabku
" Aku boleh ini, ma?" Tanya Van. Aku menggeleng. Iklan memang sangat besar pengaruhnya.
" Kalau minum susu ini, aku bisa jadi besar loh!" Ujar Van sambil mengembalikan susu yang dipegangnya ke rak. Aku diam saja. Aku tahu benar selera kedua anakku. Keduanya tidak mudah berganti merk susu. Dulu aku memenuhi keinginan mereka bila mereka menunjuk atau mengambil merk yang lain dari merk yang biasa di minum. Tapi mereka tak pernah suka rasanya. Sejak itu, biar mereka protes atau merengek. Aku tak mengijinkan mereka mengambil susu dengan merk lain.
Dari rak susu kami menuju ke rak makanan instant. Aku selalu menyimpan beberapa makanan instant baik mie atau makanan dalam kemasan kaleng juga abon. Sekedar berjaga kalau malas masak. Dari situ kami menyusuri rak bumbu. Bas mengambil kecap, Van mengambil saos tomat.
Berpindah lorong, kami menuju toiletries. Bas dan Van dengan cepat mengambil pasta gigi, sabun mandi, shampo. Aku membiarkan mereka memilih dan memgambil aku hanya sekilas memperhatikan yang mereka ambil. Bas mengacungkan sikat gigi berwarna merah dan Van berwarna ungu. Aku mengangguk. Pada tempat ini Bas tak terlalu tertarik, beda dengan Van yang asyik mengamati. Van menunjuk deodorant dan body lotion karena letaknya di atas. Begitu juga untuk keperluan mencuci. Bas lebih asyik memperhatikan hal lain, sementara Van dengan santai mengambil detergent, pemutih dan pewangi pakaian.
Berpindah ke bagian sayur, ikan dan daging, Van dan Bas akan mampir di bagian ikan. Mereka senang mengamati aquarium tempat ikan yang masih hidup. Aku membiarkan mereka di situ karena aku tahu mereka tidak akan kemana-mana. Dulu ketika baru pertama kali mengajak ke hypermarket, jujur aku hanya merasa kelelahan dan kecemasan.
Setiap kali mataku tak melihat dan telingaku tak mendengar suara keduanya, dadaku berdebar-debar. Namun seiring waktu keduanya mengenal dengan baik tiap sudut hypermarket langganan belanja kami, aku mulai lebih santai. Hari ke hari aku makin mempelajari tempat-tempat mereka mampir. Pertama rak CD dan DVD, stationary, toys, ice cream dan tempat ikan. Jadi kalau mereka sempat hilang dari pandanganku, aku akan menyusuri tempat-tenmpat tersebut.
Informasi seputar penculikan anak memang sempat membuat aku phobia membawa anak-anak ke hypermarket. Aku pernah punya pengalaman ketika sedang hamil Van kami belanja di hypermarket. Suamiku ingin ke toilet sehingga meninggalkan aku dan si sulung yang waktu itu umurnya sekitar 3 tahun. Aku menggandengnya dan menyusuri rak susu. Ketika aku mengambil dari rak dan meletakkan susu di kereta belanja, hanya sesaat tahu-tahu Bas sudah tidak ada di sepanjang lorong susu.
Kakiku mendadak lemas. Dengan bertumpu pada kereta belanja aku mecoba menenangkan pikiran. Lalu aku berjalan cepat berpindah lorong ke kiri dan ke kanan. Bas tidak nampak. Segera ku hubungi suamiku lewat HP tapi karena hypermarket ini terletak di lantai bawah, tak ada sinyal. Aku sungguh di liputi rasa takut. Kecemasan seperti ini yang aku tidak suka. Buatku kecemasan yang jahat karena menekan dan membuat rasa takut tanpa tahu harus berbuat apa atau harus bagaimana.
Dengan perut yang sudah membuncit, aku mengatur nafas, mencoba tenang agar tidak panik. Perlahan ku berjalan menyusuri tempat yang tadi sudah kulalui sambil memikirkan langkah apa yang harus ku ambil. Menghubungi keamanan atau bagian informasi? Saat aku berpikir, ku dengar suara Bas. Aku diam dan mencoba mendengar asal suara. Suaranya makin nyata. Aku tahu dan aku yakin itu suara Bas. Karena Bas memanggil "Mamaku!".
Itu kebiasaan Bas yang mulanya kurasa geli namun sebutan itu membuatku mengenalinya. Bergegas aku mencari asal suara itu. Perlahan-lahan mataku melihat Bas yang sedang berdiri di depan lemari Ice cream. Ia tidak beranjak mencariku, ia hanya diam dan memanggilku sambil kepalanya mengangguk-angguk mengikuti musik. Hatiku lega, aku senang dan ingin tertawa. Kuhampiri Bas yang tidak merasa kehilangan aku. Air mataku nyaris tumpah, kupeluk dan kusembunyikan wajahku diperutnya. Aku tahu aku kesusahan mengangkat Bas karena perutku tapi aku tidak peduli. Suara Frisch membuyarkan lamunanku.
" Sudah beres belanjaannya, ma?"
" Sedikit lagi!" jawabku. Sejenak aku memandang sesuatu di tanganku. Aku tertawa. Sebuah produk perawatan kaki.
Kemarin siang ketika aku meminta Van memijat kakiku Van mengomentarinya.
"Ih kulit kaki mama kering dan pecah-pecah!" kata Van
"Masa? Jelek yah?" tanyaku
"Iya, mama harus pakai Kana!" Kata Van menyebutkan merk sebuah perawatan kulit kaki.
"Kamu sudah kayak iklan saja Van!" jawabku tertawa sambil tetap berbaring
Aku tak menyangka "Kana" itu ada dalam belanjaanku. Aku perasaan haru menyusup kalbu ini. Memang sejak tak bekerja kantor, di dalam rumah aku cenderung tidak beralas kaki. Rupanya ini membuat kulit kakiku kering dan pecah-pecah. Ini tidak terlalu aku perhatikan karena memang buatku tidak penting-penting amat. Mana ku duga kalau itu malah jadi perhatian Vanessa.
Dua hal yang kurasakan secara fsisik berubah sejak aku berhenti berkerja kantoran, pertama, kulit kaki yang kering dan pecah-pecah. Kedua kuku-kuku yang cepat patah atau terpotong. Karena kini tanganku lebih sering bermain air dan memotong sayuran saat mencuci atau memasak. Tapi aku menikmatinya, dan semakin merasa tersanjung karena Van memperhatikanku. Rasanya lelah ini terbayar lunas dengan perhatian dari kedua anakku. Mama selalu sayang Bas dan Van, tekadku dalam hati! (10 Agustus 2007)
Shape Yahoo! in your own image.
Join our Network Research Panel today!