Oleh: Amran Nasution *
Ketika masih wartawan, saya menulis sebuah laporan utama sepulang melakukan liputan di Filipina Selatan. Pak Amir Daud, Redaktur Pelaksana waktu itu, 1981, memanggil saya ke mejanya. ''Berapa usia Anda?'', katanya. Tentu saya kaget. Untuk apa usia ditanya kalau masalahnya ada pada tulisan. Tapi saya jawab melihat ia sangat serius.
''Kalau begitu Anda masih bisa berubah. Mulai sekarang, berubahlah,'' ujarnya. Lalu ia menunjuk kesalahan itu. Ternyata, saya sembarangan meletakkan titik dan koma. Di mata Pak Amir, saya sembrono.
Ya, sembrono. Itulah yang saya lihat setelah membaca tulisan Ulil Abshar-Abdalla dari Departmen of Near Eastern Languages and Civilizations, Harvard University, yang dimuat di Milist ICRP juga dimuat dalam kolomnya di situs Jaringan Islam Liberal (JIL), tanggal 30 November 2007. Ia menanggapi artikel saya, Dari Moshaddeg Sampai Mount Carmel (www.hidayatullah.com, 23 dan 24 November 2007).
Ia mengabaikan begitu saja pendapat bahwa sanksi penistaan agama yang terjadi di Eropa dan Amerika yang tak kalah sektarian.
Tapi kesemboronon Ulil tak terbatas titik, koma. Ia malah berbuat seenaknya dengan fakta, sesuatu yang di kalangan wartawan ditempatkan pada posisi amat tinggi. Tentu juga mestinya di kalangan intelektual semacam Ulil. Bagaimana mungkin dia membuat analisa yang benar, kalau faktanya salah. Garbage in, garbage out. Yang masuk sampah, pasti keluarnya sampah.
Berikut saya tunjukkan sampah itu.
Dia menyebut semua sekte, aliran, mazhab, dan keyakinan bisa berkembang bebas di negeri Barat. Sebagai contoh ia tunjuk Mormon yang salah satu pengikutnya, Mitt Romney, pernah menjadi gubernur dua priode di negara bagian Massachusetts. Romney sekarang menjadi bakal calon presiden dari Partai Republik.
Saya mulai dari garbage kecil ini. Adalah bohong kalau dikatakan Romney (nama lengkapnya Willard Mitt Romney, 60 tahun) menjabat gubernur dalam dua priode. Ia cuma satu priode Gubernur Massachusetts, 2002 2006. Pada 1994, eksekutif sukses ini pernah mencalonkan diri menjadi anggota Senat mewakili Partai Republik, tapi dikalahkan Edward M.Kennedy (Partai Demokrat). Penyebab terpenting kekalahannya, ya soal agama Mormonnya itu (lihat artikel Michael Paulson, the Boston Globe, 9 November 2002).
Dalam pemilihan gubernur 2002 yang dimenangkannya, Romney menghadapi Shannon O'Brien, seorang Katolik. Untuk diketahui Massachusetts cukup heterogen, banyak etnik dan agama. Tapi mayoritas penduduknya Katolik (44%), lalu Kristen 22%, sisanya Atheis, Yahudi, Buddha, Hindu, Islam, dan Mormon.
Pada masa kampanye kali ini soal Mormonnya tak ditembaki lawan. Masalahnya, lawan juga sedang grogi bila agama dibawa-bawa. Isu penyelewengan seksual oknum pastor dengan anak altar sedang menghangat waktu itu. Kemudian nama Romney lagi berkibar sebagai penyelanggara Olimpiade Musim Dingin di Salt Lake City. Perhelatan akbar itu nyaris gagal karena panitia dilanda berbagai skandal. Romney muncul sebagai penyelamat.
Bagaimana peluangnya kini sebagai bakal calon Presiden Partai Republik? Tipis sekali. Penyebabnya agamanya itu. Itulah sekarang yang menjadi isu hangat di sekitar pencalonan Romney. Survei the Wall Street Journal/NBC, awal November lalu, menunjukkan mayoritas responden tak bisa menerima seorang Mormon menjadi Presiden Amerika Serikat. Yang menyatakan bisa hanya 38% (the Washington Post, 28 November 2007). Nah, benar kan? Kalau masukan salah analisa salah pula.
Sekarang mengancik ke soal sampah yang lebih serius. Kata Ulil, Mormon bebas berkembang di Amerika. Dari mana cerita itu didapatnya? Sejarah menunjukkan banyak darah berceceran di sekitar eksistensi sekte yang resminya disebut the Church of Jesus Christ of Latter-Day Saints.
Pencetus dan pemimpin pertama Mormon adalah Joseph Smith, lahir di Vermont pada 1805. Smith mengaku bertemu langsung dengan Tuhan dan Malaikat lalu mendapat petunjuk untuk menyebarkan ajarannya yang ia peroleh dari tulisan di piring emas di pegunungan New York. Tulisan ia terjemahkan selama berbulan-bulan dan menjadi kitab suci orang Mormon, the Book of Mormon. Jadi Mormon agama yang lahir di Amerika. Ajarannya mirip Kristen tapi mengharamkan arak, menghalalkan poligami.
Tentu Joseph Smith dan pengikutnya tak bisa diterima masyarakat. Ia dianggap menyebarkan ajaran aneh yang bid'ah. Konflik sering terjadi. Mereka terlibat beberapa perkelahian dengan penduduk Missouri. Akhirnya, pada 27 Oktober 1838, Gubernur Missouri, Lilburn Boggs, mengeluarkan perintah memburu kaum Mormon yang disebut extermination order (perintah pembasmian). Sekitar 2500 tentara menyerbu perkampungan Mormon. Sejumlah pengikut Smith terbunuh, banyak wanita diperkosa. Smith dan beberapa pendetanya ditangkap. Untuk diketahui, extermination order itu berlaku 100 tahun lebih sampai dicabut oleh Gubernur Missouri Christopher Bond di tahun 1976.
Sekian lama ditahan, akhirnya Smith dan kawan-kawan dibebaskan. Mereka membangun perkampungan di tepi Sungai Missouri. Lama kelamaan banyak orang baru bergabung sehingga jumlah jemaah bertambah besar. Mereka kembali bentrok dengan masyarakat. Joseph Smith, adiknya Hyrum Smith, dan dua pembantunya ditangkap. Pada pagi 27 Juni 1844, sekitar 200 massa mengepung penjara. Mereka bunuh Smith, adik, dan pembantunya (lihat artikel Jay Lindsay di Associated Press, 28 Januari 2006).
Sejak itu pengikut Smith kocar-kacir sampai belakangan datang pemimpin baru, Brigham Young, yang mengkonsolidasikan mereka. Dan itu tak gampang. Hanya berkat kegigihan dan keuletan saja mereka bisa bertahan. Di Massachusetts, misalnya, seperti ditulis Jay Lindsay, baru di tahun 1960-an, Mormon bisa datang kembali.
Dengan kisah berdarah-darah ini --sudah ditulis di banyak buku-- bagaimana Ulil berani mengatakan semua sekte, aliran, mazhab, dan keyakinan bisa berkembang bebas di negara Barat? Apalagi, dengan gagah berani ia menulis: "Saat ini, di seluruh negeri Eropa dan Amerika (juga Kanada dan Australia) nyaris ''mustahil'', sekali lagi nyaris mustahil, kita jumpai kasus sebuah sekte diberangus atau dirusak propertinya karena membawa ajaran yang menyimpang."
Rupanya, peristiwa 19 April 1993, ketika FBI meledakkan dan membakar habis perkampungan Sekte Cabang David, mengakibatkan kematian David Koresh dan 80-an pengikutnya di Mount Carmel, Waco, Texas, tak dilihat Ulil sebagai perusakan properti sebuah sekte, aliran, atau ajaran.
Ilmu sihir apa yang telah menutup mata Ulil sehingga tak mampu melihat fakta itu? Guna melengkapinya di sini saya cuplikkan beberapa peristiwa yang relevan, yang sempat saya kumpulkan:
The New York Times, 7 Maret 2004, menulis, pada hari Jumat, dua masjid dibakar di Annecy dan Seynod (Francis). Tak ada korban jiwa. Tapi peristiwa itu membuat marah kalangan Islam setempat karena tak ada respons dari pemerintah. Itu sangat kontras dengan pembakaran sebuah sekolah Yahudi, November sebelumnya. Ketika itu, hanya beberapa jam kemudian, Menteri Dalam Negeri Nicolas Sarkozy, langsung meninjau ke lapangan dan mengomentari peristiwa itu sebagai tindakan rasis.
Esoknya, baru Kantor Presiden mengeluarkan siaran pers menanggapi pembakaran masjid, mengatakan bahwa Presiden Chirac sangat terkejut atas serangan dan dengan keras mengecam aksi yang menjijikkan itu.
The New York Times, 24 Desember 2004, memuat berita sebuah masjid yang baru selesai dibangun di kota kecil Usingen, di barat laut Frankfurt (Jerman), telah terbakar. Menurut polisi, pembakaran dilakukan seseorang dengan sengaja. Pada bulan lalu, setelah terjadi pembakaran masjid di Belanda, sebuah botol berisi minyak tanah dilemparkan seseorang ke sebuah masjid di dekat Kota Sinsheim, Jerman. Fakta di atas, sekali lagi, terbatas yang sempat saya kumpulkan. Saya tak tahu persis sudah berapa banyak Sinagog belakangan Masjid yang dirusak selama ini di Eropa atau Amerika.
Di dalam buku A Brief History of Blaspemy (The Orwel Press, 1990), Richard Webster menulis, kebencian orang Eropa kepada Yahudi yang dikenal sebagai anti-semit, sesungguhnya punya akar yang dalam. Sekadar contoh, tulis Webster, di dalam risalahnya, Of the Jews and Their Lies, pelopor reformasi gereja Martin Luther menyatakan seluruh orang Yahudi sebagai tamak dan rakus.
Tapi terutama setelah pembunuhan orang Yahudi oleh Nazi Jerman selama Perang Dunia II, perlahan-lahan prasangka dan kebencian terhadap orang Yahudi berpindah kepada orang Arab dan Islam. Jadi tak usah heran kalau aksi perusakan Sinagog di Eropa kini pindah ke Masjid.
Karena itu pula orang Islam di Jerman, Inggris, Francis, Belanda, dan sejumlah negara Eropa lainnya, bukan main sulit membangun masjid. Saya punya segepok kliping koran yang menulis berita itu. Banyak rencana membangun masjid sampai bertahun-tahun tak bisa terlaksana. The New York Times, 6 Juli 2007, sampai menuliskannya di dalam editorial soal sulitnya pembangunan masjid di Cologne, Jerman, dengan judul, ''Celebrating, Not Hiding''.
Di Amerika juga sama. Kelompok Ahmadiyah berencana membangun masjid dan pusat kebudayaan di atas tanah seluas 90 ha di kawasan terpencil di Walkersville, Maryland, sampai sekarang tak kunjung berhasil. Masyarakat setempat keberatan (The Washington Post, 23 Oktober 2007).
Ayolah Ulil, tunjukkan di mana kebebasan dan toleransi Barat yang Anda cekokkan kepada teman-teman Anda selama ini? Mereka itu rasis Ulil. Terlalu banyak fakta sejarah yang tak bisa dihapus: mulai pemusnahan Indian, perbudakan orang hitam, pembunuhan dan pengusiran orang China, sampai sekarang giliran orang Arab dan Islam.
Seolah terlihat hijau
Akhirnya, saya khawatir Ulil melihat Barat seperti melihat hutan dari jauh: semua terlihat hijau royo-royo. Padahal bila didekati kelihatan pohon yang sudah gundul terbakar, tebing yang longsor, pohon-pohon tumbang ditebang penduduk untuk kayu bakar, atau sungai yang dicemari bungkus plastik supermie dan puntung rokok.
Tapi yang paling mengagetkan saya pernyataan Ulil berikut. Katanya, "Eropa belajar dari sejarah kelam itu hingga sekarang. Hasilnya tentu bukan main: lahirnya negara sekuler yang melindungi kebebasan beragama. Atau tepatnya melindungi agama dari intervensi negara (versi Roger William), dan melindungi negara dari intervensi agama (versi Thomas Jefferson). Kedua intervensi itu sangat buruk akibatnya baik bagi agama atau negara sendiri."
Padahal sudah beberapa tahun ini, setidaknya sejak peristiwa serangan teroris terhadap menara kembar WTC di New York, 2001, tak sedikit buku yang terbit, tak terhitung artikel ditulis, yang menyoroti bagaimana Amerika Serikat tak lagi membatasi hubungan agama dengan negara seperti yang digembar-gemborkan Ulil itu.
Saya tak ingin memperdebatkan baik-buruk, manfaat-mudharat, dari terbaurnya hubungan itu. Seperti saya juga tak mau memperdebatkan di sini konsistensi sikap Thomas Jefferson, nama yang dikutip Ulil. Ia merancang Declaration of Independence yang begitu muluk bicara tentang kebebasan, sementara ia sendiri memiliki ratusan budak. Malah sampai meninggal dunia ia meninggalkan budak-budak yang diburu dari Afrika sebagai harta warisan.
Jefferson rupanya gambaran dari negara yang diwariskannya: mengekspor demokrasi ke mana-mana sembari membunuhi jutaan rakyat tak berdosa di mana-mana. Mulai Vietnam, Laos, Korea, Iraq, Lebanon, Nikaragua, Guatemala, Panama, dan banyak lagi. Inilah satu-satunya negara di dunia yang tega membunuh lebih 200 ribu rakyat tak berdosa dengan bom atom uranium di Nagasaki dan Hirosima. Picing mata pada pembangunan arsenal nuklir Israel di Dimona, tapi mencak-mencak kepada nuklir Iran.
Amerika kini merupakan satu-satunya negara besar di dunia yang menolak meratifikasi Protokol Kyoto, karena para tokoh Kristen Evangelical yang sangat berpengaruh di Partai Republik dan Gedung Putih menganggap bukan karbon dioksida yang menyebabkan perubahan iklim. Semua ditentukan oleh Yang Mahakuasa (Almighty).
Iraq diserang, Saddam Hussein ditumbangkan, karena ia dianggap pengganti Nebuchadnezzar, Raja Babylonia yang memerangi Israel dan merusak Jerusalem pada tahun 586 sebelum Masehi. Jadi senjata pemusnah massal atau upaya demokratisasi hanyalah dalih.
Selanjutnya setahun setelah Baghdad dikuasai, koran the Los Angeles
Times melakukan survei dan menemukan 30 misionaris Evangelical di kota itu yang menempel (embeded) pada tentara pendudukan Amerika. Kyle Fisk, Kepala Administrasi the National Association of Evangelicals, mengatakan kepada wartawan koran itu, ''Iraq akan menjadi pusat penyebaran ajaran Jesus Kristus ke Iran, Libya, dan ke seluruh Timur Tengah.'' (the Los Angeles Times, 18 Maret 2004).
Pemberantasan penyakit Aids dengan cara pantang berhubungan seks sembarang (abstinence), abortus diharamkan, begitu pula riset sel tunas (stem-cell research), dan banyak lagi nilai-nilai Gereja lainnya. Meski akhir tahun lalu, Partai Republik kalah dalam Pemilu sela dan kehilangan suara mayoritas di Senat dan DPR, ternyata Oktober lalu, DPR tetap menyetujui menaikkan anggaran program abtinence dari 28 juta menjadi 200 juta dollar setahun. Kenapa? Karena para tokoh Partai Demokrat pun keder pada kelompok Evangelical yang diduga punya pengaruh atas sekitar 30% pemilih.
Pantaslah Bill Moyers, bekas wartawan televisi yang kini menjadi aktivis Gereja Evangelical, ketika berbicara di Harvard Medical School, 4 Desember 2004, berkata, ''Untuk pertama kali dalam sejarah kita, ideologi dan theologi memonopoli kekuasaan di Washington.''
Dimulai sejak zaman Presiden Reagan, tapi terutama pada dua priode kepemimpinan Bush, pelan-pelan Amerika sudah mendekati negara theokrasi dan Partai Republik merupakan partai Kristen pertama dalam sejarah Amerika. Bacalah American Theocracy (Viking Penguin, 2006) ditulis Kevin Phillips, penasehat politik utama Partai Republik di zaman Nixon.
Fenomena itu cukup jelas diterangkan Profesor Samuel P.Huntington di dalam Who Are We? America's Great Debate (The Free Press, 2005). Saya tak ingin mengulangi lagi cerita itu. Sudah saya tulis di www.hdayatullah.com: An-Naim dan ''Perang'' Presiden Bush, 15 Agustus 2007, dan Hizbut Tahrir, Sekularisme dan Fenomena Global, 27 Agustus 2007. Cerita ini saja sudah terlalu panjang. [www.hidayatullah.com] * Penulis adalah mantan Redaktur GATRA dan TEMPO. Kini, bergabung dengan IPS (Institute for Policy Studies) Jakarta