ALIRAN MISTERI LUMBINI
Oleh:
AUDIFAX
(Penulis Buku "IMAGINING LARA CROFT", 2006, Jalasutra)
Lumbini adalah nama sebuah tempat suci di wilayah Nepal. Para penganut Buddha barangkali tak asing dengan nama Lumbini. Di tempat inilah Sang Buddha Gautama dilahirkan. Spirit Sang Buddha yang ada pada Lumbini inilah yang agaknya coba diangkat oleh Kris Budiman dalam karya novel pertamanya yang diberi judul "Lumbini". Novel "Lumbini" adalah juga kelahiran Kris Budiman sebagai penulis novel, setelah sebelumnya ia lebih banyak dikenal sebagai penulis buku praktis tentang semiotika.
Dalam ajarannya, Sang Buddha memandang kehidupan sebagai rangkaian proses mental dan fisik tak terputus yang membuat seseorang terus-menerus berubah. Bayi tak sama dengan orang dewasa; aku hari ini tak sama dengan aku kemarin. Bahkan aku saat ini tak sama dengan aku satu jam lalu. Dalam kondisi demikian tak ada sesuatu yang dapat aku nyatakan 'ini milikku' atau 'inilah aku', oleh karenanya 'Tiada aku'.
Kehidupan yang mengalir menurut ajaran Buddha ini, pernah juga dikemukakan Heraklitus dalam aforismenya yang terkenal "Panta Rhei". Menurutnya manusia tidak bisa turun dua kali dalam sungai yang sama, juga tidak bisa menyentuh dua kali dengan kondisi yang sama. Ini karena hidup selalu mengalir dalam perubahannya. Novel ini merupakan ajakan pada pembacanya untuk merenungkan sesuatu yang ada di balik hidup yang mengalir.
Sungai 'Ada' dalam Lumbini
Novel Lumbini menarasikan petualangan Ratna dan Niko. Penulisnya mencoba menawarkan suasana yang melingkungi percakapan dan peristiwa demi peristiwa pada kedua tokoh utama tersebut. Dari sisi alur cerita, novel ini terkesan datar. Ibarat sungai, arus yang tampak bisa dikatakan tenang-tenang saja; namun ketika kita mencoba menjejakkan kaki masuk ke dalam sungai itu, ada suatu tawaran 'kedalaman' yang coba dilarung dalam arus yang dari luar tampak mengalir tenang itu. Ajakan Martin Heidegger untuk melihat kedalaman pada hal-hal yang sifatnya permukaan, mungkin terasa pas menggambarkan novel ini.
Di balik jalan cerita yang terkesan tenang-tenang saja, terdapat kedalaman filosofis yang kental nilai-nilai filosofi Timur. Tema-tema filosofis yang hadir pada hal-hal seperti "meditasi", "aliran", "tetes air", serta "pencarian", adalah kunci untuk memasuki kedalaman dalam novel ini. Penulisnya membangun nuansa kedalaman itu, menggunakan simbol-simbol yang dipaparkan detilnya dalam eksotisme Kathmandu dan Nepal serta vihara-vihara. Nuansa misteri yang dibalut eksotisme India-Nepal itu turut membangun suasana yang memungkinkan pembaca untuk mampu melakukan 'pembacaan Yang-Lain' [Other-reading], yaitu pembacaan yang mencoba menangkap filosofi apa yang coba dipaparkan penulisnya di sini. Pembacaan terhadap 'Lumbini' dengan demikian adalah sebuah pembacaan ganda (double reading).
Membaca Tanda dalam Lumbini
Cerita 'Lumbini' pada dasarnya terpusat pada sosok Ratna. Penulisnya menggambarkan sosok perempuan ini mirip dengan Lara Croft. Perempuan cantik, muda, dan kaya yang menyukai petualangan. Pada beberapa percakapan dan narasi, penulisnya bahkan kerap menarasikan rupa penampilan Lara Croft seperti diperankan Angelina Jolie dalam kedua filmnya, Lara Croft Tomb Raider (2001) dan Lara Croft Craddle of Life (2003).
Jika anda pernah menonton film 'Lara Croft Tomb Raider' (2001), maka suasana ketika Lara berada di vihara dan bertemu bhikku yang menyembuhkan lukanya secara ajaib, barangkali terasa pas menggambarkan suasana ketika Ratna bertemu dengan Bhikku misterius di Taman Suci Lumbini. Di Lumbini, digambarkan bagaimana Ratna secara misterius bertemu dengan Bhikku yang mengajaknya bertemu kembali di Candi Mendut, saat Waisak. Pertemuan kembali dengan Bhikku itu di Candi Mendut, serta sesuatu yang ditemukan Ratna di sana, menjadi penutup cerita, sekaligus clue bagi kelanjutan cerita ini, di buku berikutnya.
'Lumbini' lebih terkesan sebagai sebuah 'kisah pembuka' sebelum masuk pada jalan cerita selanjutnya. Karakter-karakter tokohnya terkesan masih berupaya dibangun melalui sejumlah detil penggambaran, baik penampilan maupun sedikit kisah yang melatarinya. Penulisnya bahkan merasa perlu membuat dua bab khusus yang diberi judul sesuai tokoh utama dalam kisah ini, yaitu: "Ratna" (bab 3) dan "Niko" (bab 4). Pada kedua bab itu, penulisnya mencoba mengajak pembaca untuk menyelami secara lebih dalam dinamika kedua tokoh tersebut.
Sebagai pakar semiotika, Kris Budiman, mengembangkan sebuah permainan semiotika yang menarik dalam novel pertamanya. Inilah yang membuat orang tak bisa memahami kedalaman Lumbini sebatas membaca teks [tanda/penanda] dengan mengabaikan interpretan dan objek. Permainan Indeks, Ikon dan Simbol merupakan hal yang dominan sepanjang cerita. Permainan itu terasa kuat intensitasnya terutama pada Bab pertama hingga keenam.
Membaca Lumbini, dengan demikian merupakan proses dekoding tanda, agar pesan yang ada di dalamnya bisa terurai. Pesan yang justru diimplisitkan penulisnya dalam permainan tanda, membuat tak semua yang membaca buku ini akan mampu menjangkau pesan tersebut. Buku ini bisa jadi bukan jenis buku yang "dipilih oleh pembaca" melainkan jenis buku yang "memilih pembacanya".
Looking for last minute shopping deals? Find them fast with Yahoo! Search.
Change settings via the Web (Yahoo! ID required)
Change settings via email: Switch delivery to Daily Digest | Switch format to Traditional
Visit Your Group | Yahoo! Groups Terms of Use | Unsubscribe
.
__,_._,___
Tidak ada komentar:
Posting Komentar