Oleh: Afifah Ahmad Pendahuluan Dewasa ini, hijab kembali menjadi isu hangat, seiring menguatnya fenomena semangat menerapkan nilai-nilai keagamaan di tanah air. Berbagai perda yang memuat peraturan hijab telah disahkan, seperti Instruksi Walikota Nomor 451.422/Binsos-III/2005, tertanggal 7 Maret di Padang. Sebelumnya beberapa tempat lain, termasuk Aceh, telah lebih dahulu memulai. Tentu saja, beberapa perda ini memancing silang pendapat hebat di berbagai lapisan masyarakat. Bahkan, ada pula yang memandangnya sebagai upaya pemenjaraan terhadap hak-hak perempuan. Terlepas dari pro kontra yang mengemuka, nampaknya ada celah positif yang perlu ditanggapi secara serius; spirit memperbaiki moralitas masyarakat. Meskipun tidak hanya cukup sampai di sini. Kerja besar lainnya yang lebih penting adalah memberikan pemahaman secara benar tentang makna, hukum serta hikmah hijab kepada masyarakat. Di tingkat internasional, persoalan hijab pun tengah mendapat perhatian luas menyusul undang-undang pelarangan hijab di berbagai instansi Perancis serta beberapa negara Barat lainnya. Peristiwa ini pun, tak kalah mengundang reaksi hebat dari berbagai elemen masyarakat dunia. Bahkan beberapa kalangan, dengan sinis menempatkan hijab sebagai simbol keagamaan yang dapat memicu semangat radikalisme Islam. Berangkat dari sinilah, tampaknya eksplorasi pembahasan hijab, terutama hikmah penerapannya menjadi sedemikian urgent. Karena, hijab kerap kali dipahami secara keliru. Dalam konteks internal, banyak ditemukan para muslimah yang mengenakan jilbab hanya dilandasi ''keterpaksaan" ataupun "ikut-ikutan", tidak berangkat dari kesadaran rasional. Sehingga banyaknya pemakai jilbab, seringkali tidak berbanding lurus dengan peningkatan kualitas masyarakat. Dalam konteks eksternal, muncul stigma tentang pemakai hijab yang bersanding mesra dengan kekerasan dan terorisme yang meresahkan masyarakat. Selain itu, hijab juga kerap dipahami sebagai terali besi yang memasung kebebasan wanita. Lalu, bagaimana posisi Islam sebagai agama rahmatan lil alamin? Bukankan seluruh syariat Tuhan mengandung kemaslahatan bagi ummat, termasuk hijab di dalamnya? Benarkah hijab memberikan dampak kemunduran sosial ataukah sebaliknya, hijab memberikan jaminan sosial? Berangkat dari beberapa pertanyan tersebut, makalah ini berupaya menawarkan analisis terhadap problematika seputar hijab, bersandar pada aspek filosofis penerapannya. Pengertian dan Dasar Hukum Hijab Hijab, secara etimologis memiliki arti: tabir, penutup, pakaian, tersembunyi serta terhalang dari tujuan.[1] Pada mulanya, hijab dipahami sebagai kain tabir yang membatasi antara pria dan wanita. Hal ini bisa dilacak dalam al-Qur'an, terutama pada ayat hijab yang ditujukan kepada para istri Nabi Saw untuk mengenakan tabir ketika berbicara dengan non muhrim. Tetapi dewasa ini, kata "hijab" mengalami pergeseran makna. Syamsuddin[2] menyebutkan hijab sebagai pakaian yang menutup anggota badan wanita baligh di hadapan non muhrim. Berkenaan dengan hukum hijab, terdapat kesepakatan di kalangan sebagian besar ulama Ahli Sunnah maupun Syiah bahwa seorang muslimah diharuskan menutup anggota tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangan.[3] Penetapan hukum ini berangkat dari berbagai ayat al-Qur'an, riwayat serta berbagai sumber hukum Islam lainnya. Setidaknya, terdapat dua kelompok ayat al-Qur'an yang biasa digunakan sebagai landasan berhijab. Pertama, Ayat Ghaddul Bashar (QS 24: 30) dan (QS 24: 31). Dua ayat tersebut, masing-masing ditujukan kepada pria maupun wanita untuk menjaga pandangannya. Kata "Ghaddul Bashar" bukan berarti menutup mata,[4] tetapi tidak melihat dengan pandangan syahwat kepada non muhrim. Sedangkan kata "Hifzh Faraj" dalam al-Quran kebanyakan mengandung pengertian kesucian dan menjaganya dari kemunkaran. Tetapi pada ayat ini, terdapat arti khusus yaitu menjaga pandangan serta kewajiban mengenakan hijab di hadapan non muhrim.[5] Kedua, Ayat-ayat yang hanya dikhususkan kepada wanita, misalnya ayat Khimar (QS 24:31) dan ayat Jalabib (QS 33: 59). Pada ayat Khimar, terdapat dua poin penting dalam konsep berhijab yaitu keharusan menutup bagian kepala serta leher dan menutup perhiasan (Zinat). Belakangan, mulai bermunculan upaya untuk melakukan penafsiran ulang terhadap ayat-ayat hijab, misalnya yang digagas oleh Shahrour dan dikutip banyak oposan hijab.[6] Mereka menyebutkan bahwa kepala dan leher tidak termasuk bagian yang harus ditutupi. Nampaknya pendapat yang hanya didukung oleh sebagian kelompok kecil ini, tidak memiliki argumentasi yang cukup kokoh. Pertama, jika ditelusuri situasi turunnya ayat tersebut, wanita Madinah saat itu mengenakan semacam kain atau selendang yang menutupi bagian kepala mereka. Sedangkan leher dan telinga dibiarkan terbuka. Maka, istilah yang digunakan al-Qur'an adalah "menutup dada". Karena, menurut konteks budaya lokal saat itu, mereka telah mengenakan penutup kepala. Kedua, penjelasan Ibnu Abbas berkenaan dengan ayat tersebut: "Perempuan harus menutupi rambut, dada, sekitar leher dan bawah tenggorokan."[7] Demikian pula, beberapa riwayat lain yang menjelaskan batasan hijab. Jika mereka menegasikan berbagai hadis dan hanya berpegang pada al-Qur'an, bagaimana bisa dilakukan penarikan hukum partikular yang paling penting seperti jumlah rakaat dalam shalat? Adapun Zinat pada ayat tersebut, mengandung dua pengertian. Pertama, jenis perhiasan yang nampak jelas, seperti pakaian dan cincin. Kedua, perhiasan yang tersembunyi, kecuali jika si pemakai sengaja membukanya. Al-Qur'an melarang untuk menampakkan perhiasan pada pengertian kedua. Pada akhir ayat Jalabib (QS 33: 59), Tuhan mengisyaratkan ketika seorang muslimah keluar rumah dengan mengenakan hijab serta menjaga iffah, ia akan terhindar dari berbagai gangguan.[8] Dengan menganalis berbagai ayat di atas, dapat disimpulkan bahwa hijab memiliki dua pengertian. Pengertian khusus adalah pakaian yang menutup seluruh bagian badan wanita kecuali wajah dan telapak tangan. Sedangkan, hijab dalam pengertian umum adalah batasan bagi wanita maupun pria dalam berinteraksi. Prinsip Umum dalam Berhijab Di dalam al-Qur'an, perintah untuk menutup aurat seringkali disandingkan dengan keharusan menjaga diri (Iffah).[9] Maka, pembahasan hijab tidak dapat dilepaskan dari penjelasan iffah. Hijab yang dimaksud terkait dengan pakaian lahiriah maupun batiniah. Karena sejatinya spirit berhijab adalah mengontrol perilaku dengan berbagai perangkat nilai. Jika seorang muslimah hanya mengenakan hijab zahir, tanpa diimbangi sifat takwa, hijab seperti halnya jantung tanpa denyut. Ia tidak akan memberikan pengaruh apapun dalam kehidupan bermasyarakat. Prinsip penting lainnya, menjaga hijab tidak hanya menjadi tanggung jawab wanita. Tetapi seorang pria pun memiliki peran yang tidak kalah besar. Misalnya, memberikan pemahaman kepada para wanita di sekitarnya mengenai urgensi berhijab. Seorang pria tidak seharusnya membiarkan pergeseran nilai yang terjadi di masyarakat, sebagaimana ia juga tidak menghendaki kerusakan moral dalam kelurganya. Maka, ia bertanggung jawab untuk mengendalikan berbagai sarana yang dapat memicu diabaikannya hijab. Sebagaimana pesan Imam Shadiq as: "Berbuat baiklah kepada ayah-ayahmu, sehingga anak-anakmu kelak akan berbuat serupa kepadamu. Benahilah pakaian wanita di masyarakat, sehingga orang lain pun akan menjaga para wanita di rumahmu"[10] Falsafah Hijab di Masyarakat Ketika manusia telah meyakini secara rasional pilihan keberagamaannya, tugas selanjutnya adalah menerima berbagai hukum serta ketentuan Tuhan dengan totalitas penuh. Karena seluruh ketentuan serta undang-undang-Nya, mengandung sejumlah hikmah serta kebaikan di dalamnya. Manusia tidak selamanya secara utuh dapat mengungkapkan rahasia hukum Tuhan tersebut, mengingat keterbatasan ilmu serta pengetahuan yang dimilikinya. Demikian pula dengan hijab yang merupakan salah satu aturan Tuhan. Sebagaimana penjelasan di atas, melalui penelusuran sumber hukum Islam, hijab merupakan sebuah kewajiban. Adapun beberapa hikmah yang akan dikemukakan berikut, hanyalah sebuah upaya untuk memaknai hukum secara lebih rasional. Muthahhari,[11] dalam bukunya menyebutkan hikmah berhijab dari berbagai aspek, baik psikologis maupun sosial. Berbagai hikmah tersebut bertujuan untuk menjaga keseimbangan sosial serta mengatur pola interaksi lawan jenis di tengah masyarakat. Karena, masih menurut Muthahhari, interaksi lawan jenis dapat mempengaruhi kondisi kejiwaan manusia. Dengan adanya hijab, individu dalam masyarakat, baik pria maupun wanita, dapat dengan leluasa menjalankan berbagai aktivitas. Berikut kesaksian Muslimah asal Inggris, mahasiswi kedokteran yang memutuskan mengenakan hijab pada usia muda: "Pilihan untuk mengenakan hijab, merupakan keputusan terpenting dalam hidup saya. Tanpa hijab, saya selalu merasa dalam bahaya. Ketika seseorang mampu melakukan aktivitas sosial serta menjalin kerja sama dengan banyak orang tanpa harus mempertontonkan dirinya, itulah makna kebebasan yang hakiki. Bagi saya, hijab merupakan identitas serta manifestasi dari pola beragama saya."[12] Demikian halnya dengan penjelasan Mariam, wanita asal al-Jazair yang hidup di pemukiman imigran Perancis dan bekerja sebagai buruh pabrik. Wanita ini memutuskan mengenakan hijab setelah menyaksikan berbagai fenomena dunia Islam, termasuk Revolusi Islam Iran. Dalam sebuah pengakuannya, ia menyebutkan: "....Ketika saya keluar dari rumah dengan mengenakan hijab, saya merasa terhindar dari ancaman bahaya. Suami saya juga merasa lebih tenang dan tidak terlampau khawatir. Hijab memberikan kebebasan lebih kepada saya. Tidak jarang, hijab juga mengandung arti politik, siapa saja yang mengenakannya, ia akan mengatakan bahwa saya adalah seorang muslim. Hijab, selain memberikan rasa aman juga menunjukkan kecintaan pada Islam."[13] Dari pengakuan kedua muslimah tersebut, dapat dipahami bahwa pilihan mereka untuk berhijab berangkat dari sebuah kesadaran, bukan keterpaksaan. Karena, mereka menyadari bahwa hijab memberikan kenyamanan baik dalam konteks individu maupun sosial. Lebih jauh, peran hijab dalam konteks sosial akan memberikan kontribusi besar dalam meningkatkan kualitas masyarakat, di antaranya: Pertama, menjaga keseimbangan sosial. Salah satu kecenderungan yang mengakar kuat dalam diri manusia adalah kecenderungan seksual. Tetapi jika ia diarahkan secara positif, selain berfungsi untuk melanjutkan silsilah kehidupan manusia, ia juga dapat menjadi sarana terciptanya ketentraman jiwa. Dalam aturan Islam, hijab merupakan salah satu mekanisme paling efektif untuk mengendalikan kecenderungan tersebut. Islam memberlakukan aturan ini masing-masing kepada pria maupun wanita. Dalam hal ini, tugas bersama pria dan wanita adalah menjaga pandangan kepada non muhrim. Sedangkan wanita memiliki tugas yang khusus,[14] mengenakan pakaian sesuai batas dan ketentuan syariah. Dengan mengindahkan ketentuan tersebut, di satu sisi, kaum pria akan terbantu dalam mengendalikan kecenderungan seksual. Di sisi lain, seorang muslimah merasa lebih aman. Situasi demikian, akan melahirkan pola interaksi sosial yang sehat dan seimbang di tengah masyarakat. Kedua, memperkuat pondasi keluarga. Tidak dapat disangkal bahwa keluarga merupakan pranata tersuci dalam masyarakat. Keluarga memiliki peran yang tak tergantikan dalam mewujudkan masyarakat yang shalih. Sedangkan, peran hijab dalam mempererat ikatan keluarga tidak diragukan lagi. Betapa banyak persoalan keluarga yang berakhir dengan perceraian akibat diabaikannya aturan hijab. Longgarnya batasan hijab, akan membuka peluang kepada individu lain untuk memasuki wilayah yang sangat privasi itu. Sehingga lambat laun sekat suci keluarga akan menipis bahkan hilang. Ketiga, memotivasi aktivitas publik. Wanita merupakan asset besar dari sebuah masyarakat. Ia dapat memberikan kontribusi berharga dalam berbagai bidang seperti: budaya, sosial, ekonomi dan politik. Islam, dengan tawaran hijabnya, pada dasarnya telah memberikan peluang kepada kaum wanita untuk berpartisipasi dalam ruang publik. Hijab inilah yang akan mencegah ketidakseimbangan yang bersumber dari interaksi antar lawan jenis. Maka hijab merupakan faktor terpenting dalam menyumbangkan kebebasan pada kaum hawa, bukan malah membelenggunya. Keempat, mengurangi eksploitasi wanita. Salah satu korban terbesar dari kapitalisme industri adalah kaum wanita. Setiap hari penawaran berbagai model baju dan alat kecantikan di pasaran terus meningkat. Dalam hal ini kaum wanita menderita dua kerugian, selain harus mengeluarkan anggaran besar untuk dapat terus mengikuti perkembangan mode, tak jarang, ia juga dijadikan sebagai sarana untuk melariskan barang dagangan. Sehingga posisi wanita lambat laun hanya sebatas alat komoditas. Hijab tidak hanya dapat menyelamatkan wanita dari penindasan budaya kapitalis seperti ini, bahkan mengangkatnya pada posisi yang mulia. Catatan Akhir Islam, memandang masyarakat sebagai jalinan kuat antara satu individu dengan individu lainnya. Pria maupun wanita sebagai bagian dari komponen masyarakat, saling bekerjasama dalam mewujudkan keseimbangan sosial di antaranya dengan cara menerapkan mekanisme hijab. Sehingga hijab tidak hanya dipahami sebagai kewajiban individu, tetapi sebuah kesadaran publik yang akan menghantarkan pada keshalihan sosial.[] Jurnal Fathimiah, Vol.II No.2, 2007 Penulis: Mahasiswi Program Budaya dan Pemikiran Islam, Sekolah Tinggi Bint Huda Qom, Republik Islam Iran [1] Isfahani, Raghib, Mufradat alfadzil Quran, Qom: Dzawil Qurba, 1423 Hq [2] Hudud Pusyes va Negah dar Islam, hal. 53 penerjemah: Muhsin Abidi, Tehran: Intisyarat-e bainal Milal al-Huda, 1378 Hs [3] Di kalangan ulama, terdapat perbedaan pendapat tentang diperbolehkan atau tidaknya membuka wajah dan kedua telapak tangan. Perbedaan ini, berangkat dari penafsiran ayat. Lebih jauh dapat dirujuk pada buku Hijab az didgahe Quran va Sunnah, karya: Fatahiyyah Fattahi Zadeh, Qom: Markaz Intisyarat-e Daftar Tabighat Islam, 1379 Hs [4] Isfahani, Raghib, Mufradat al-Fadzil Quran, Qom: Dzawil Qurba, 1423 Hq [5] Tafsir Majma'ul Bayan hal. 191, Beirut: Dar al-Kitoob al-Ilmiyah, 1418 Hq/1997 M [6] Di Indonesia pemikiran ini, banyak dikembangkan oleh kalangan Islam Liberal [7] Tafsir Majma'ul Bayan hal. 192, Beirut: Dar al-Kitoob al-Ilmiyah, 1418 Hq/1997 M [8] Muthahhari, Murtadha, Masaleh-e Hijab hal. 162, Qom: Intisyarate Shadra, 1381 Hs/1423 Hq [9] Misalnya dalam surat Nur ayat 30 dan 56, demikian juga surat ahzab ayat 13 [10] Amali jilid 6 hal. 288 lihat juga Fattahi Zadeh, Fatahiyyah, Hijab az didgahe Quran va Sunnah hal. 41, Qom: Markaz Intisyarat-e Daftar Tabighat Islam, 1379 Hs [11] Masaleh-e Hijab hal. 76, Qom: Intisyarate Shadra, 1381 Hs/1423 Hq [12] Watson, Helen, Women and Veil, Majalah Ketabe Zanan, edisi 20 Musim Panas 1382 Hs [14] Tugas khusus ini berangkat dari asumsi bahwa wanita memiliki perbedaan dengan pria baik dari sisi fisiologis maupun psikologis. Di dunia manapun, wanitalah yang biasa mengenakan perhiasan dan sebagainya. |