Aku adalah dua bersaudara, dan oleh Majikanku, aku disebut sebagai Daeng Gau, saudaraku disebut sebagai Daeng. Kuneng.
½Kuneng dan Gau akan kita bawa kali ini, setelahnya kita tak lagi memerlukan mereka...½ Kata majikanku suatu malam penuh bintang.
½Akan dibawa kemana kita kali ini, kak?½ Tanya Kuneng padaku.
½Tak taulah dik, yang saya dengar semalam bahwa ini perjalanan kita yang terakhir kalinya. Majikan kita sudah tidak akan memakai tubuh kita yang sudah lecet-lecet ini, dik.½ Jawabku, kala itu saya dan adikku telah berada dalam kendaraan.
Dalam sebuah ruangan pengap, tubuhku dan tubuh adikku berhimpitan dengan berbagai jenis hunian yang ada dalam ruangan gelap dan terus bergoyang kesana kemari akibat laju kendaraan yang meliuk-liuk.
Sampai suatu ketika, terdengar suara majikanku kembali berbicara dengan pasangannya, ½ Kita akan nginap semalam di Desa Moni, terletak di kaki Gunung Kelimutu. Besok paginya baru kita hiking menuju puncak gunung dengan danau tiga warna itu.½
Majikanku sangat gemar melakukan perjalanan ke pelosok-pelosok daerah, desa-desa, gunung-gunung, sambil memanfaatkan tubuhku dan tubuh adikku. Dan perjalanan kali ini, menurutnya adalah sebuah perjalanan untuk yang terakhir kalinya bagiku dan adikku.
Beberapa waktu lalu, kami berdua diajak berkunjung ke sebuah kawasan hutan tetumbuhan Anggrek liar, bernama Banchea, dimana tubuh saya dan adikku dipakai sepuas-puasnya oleh Majikanku selama berjam-jam, sejak dari desa Pendolo hingga ke Banchea itu. Dan ketika sampai pada hutan tersebut, ternyata Majikanku hanya mengaso selama kurang dari 30 menit, karena kelihatannya agak kecewa karena hutan tersebut saat itu tidak sesuai dengan apa yang diharapkannya. Hanya sedikit tanaman Anggrek liar yang nampak, selebihnya adalah tetumbuhan nanas liar. Padahal dari desa Pendolo, untuk mencapai hutan Banchea itu dilakukan dengan berjalan kaki selama lebih dari lima jam, karena tak ada kendaraan umum, maupun jalan umum.
½Seandainya kita berangkat agak subuh, akan ada waktu untuk sekedar bermain-main di danau yang bening ini. Sayangya kita berangkat agak siangan, sehingga sekarang saat sampai, sudah menjelang gelap. Jadi kita pulang saja, supaya kita sampai di Pendolo sebelum tengah malam.½ Demikian kudengar majikanku memberi penjelasan.
Besoknya, majikanku sepertinya belum juga punya rasa letih, dia merencanakan sebuah perjalanan dengan menggunakan perahu nelayan untuk mengarungi Danau Poso. Saya dan adikku tak pernah istirahat guna memenuhi kebutuhan majikanku dalam perjalanan yang sangat melelahkan itu.
½Saya pengen merasakan makanan khas Tentena, kamu pernah?½ Tanya pasangan majikanku.
½Belut? Belum pernah tuh, ayuk kita coba... Mau? Namanya Sugili... ½ Jawab majikanku antusias.
Itulah salah satu kenangan saya dan majikanku dalam sebuah perjalanan yang membuat tubuhku dan tubuh adikku letih dan penuh lecet-lecet karena dipakai tanpa ampun.
Demikian pula kali ini, tubuhku dan tubuh adikku ditempatkan secara berdesakan dalam sebuah ´persembunyian´ yang pengap dan gelap, sekali lagi kami berdua harus siap tubuh kami dipakai oleh majikanku dalam perjalanannya, kali ini.
Seperti perjalanan-perjalan
½Sabarlah dik, ini adalah perjalanan kita yang terakhir, kudengar mereka semalam untuk tidak lagi menggunakan jasa tubuh kita... Sabarlah.½ Kataku menghibur.
Desa Moni sangatlah dingin, kuperhatikan majikanku tertidur dengan selimut berlapis-lapis, salah satu selimutnya adalah kain ikat motif Flores, dan kepalanya terbungkus kain handuk kering untuk melindungi lubang telinganya dari tusukan hawa dingin yang menyengat.
Subuh hari, terdengar majikanku sudah berkemas dan tentu saja tubuh saya telah dipakainya, demikian pula tubuh adikku. Sepanjang perjalanan yang berliuk-liuk kunikmati pemandangan yang sangat indah dan luar biasa. Meskipun tubuh kami sangat letih dan semakin lecet akibat perjalanan-perjalan
Saya teringat beberapa tahun lalu kira-kira 2 tahun sebelum perjalanan ke Kelimutu ini, di atas sebuah gunung, yang namanya Tangkuban Perahu, terdengar percakapan pasangan majikanku kepadanya.
½Akh, betapa luas alam ini, saya merasa begitu kecil... Insignificant!
Kini, dalam perjalanan kali ini di lereng gunung Kelimutu, saya dan adikku merasakan benar bahwa bahwa perjalanan kami -saya dan adikku- saat ini adalah yang terakhir kalinya.
Saat ini, saya dan adikku telah lama terbuang, tubuhku tidak lagi utuh. Sementara adikku sudah tak tahu lagi dimana keberadaannya. Kondisi sekitarku, dimana aku kini berada sangat busuk dan kotor. Yah, setelah terseret arus sungai yang panjangnya tak lagi bisa aku ingat, sebagian tubuhku terdampar dionggokan sampah. Di sana-sini lalat mendengung beterbangan, bahkan di ujung kiri bagian atas, ada tempat belatung menggeliat menghancurkan sisa-sisa daging dan tulang busuk, tak jauh dari diriku.
Kata-kata yang sempat terngiang ditelingaku dan terus menggema hingga saat ini adalah...
½ Gau dan Kuneng akan saya abadikan dalam bingkai ini, karena mereka telah melakukan perjalanan yang sangat jauh dan mengunjungi tempat tempat yang bagi orang Indonesia saja barangkali belum pernah mengunjunginya. Gau dan Kuneng belum tentu kalah dari mereka yang mulutnya sampai berbusa-busa menyebut kata ½Nasionalisme½ demi lubang kantong dan lubang perut mereka sendiri, demi status-simbol dan institusi mereka sendiri.... Kuneng dan Gau bahkan belum tentu kalah oleh sebagian besar orang Indonesia lainnya... ½
Demikianlah tubuhku dan tubuh adikku dilem dalam sebuah bingkai berkaca, dan bingkai itu digantung di tembok dinding ruang tengah rumah kontrakan mereka yang sangat sederhana.
Namun sejak majikanku pergi, kami -saya dan adikku- sudah tak lagi punya pegangan. Seandainya kami menjual diri di trotoar kaki limapun, tak mungkin ada yang akan membeli tubuh letih dan lecet milik kami.
Jika kalian kebetulan mengenal siapa pemilikku itu, sampaikan salam rindu saya padanya di Hari Kemerdekaan ke-62, 17 Agustus, tahun ini. Apakah dia masih mengingat rasa bangga yang sama bertahun-tahun lalu, ketika memajang tubuhku dan adikku disebuah bingkai dengan tulisan ½ The True Travellers of Indonesia½ di bingkai milikku dan adikku?
Mungkinkah dia masih sudi mengingat getaran kebanggaannya itu, jika dia tahu bahwa saya kini tak lebih dari sepotong sampah tercampakkan dan tidak bernilai apapun? Bahkan tak ada yang sudi menggunakan tubuh saya lagi, sekalipun itu adalah pemilik sepasang kaki kumuh rakyat miskin di kampung pembuangan sampah ini, yang saban hari mengais sampah di sekitarku. Kaki-kaki kumuh yang saban hari disuapi kata-kata ½Merdeka!½ tanpa tahu merasakan apa makna kata itu.
Sampaikan salamku, jika kalian pernah tahu siapa pemilikku itu, dan tolong sampaikan dimana dia saat ini. Saya Gau dan Adikku Kuneng, adalah sepasang sendal jepit, yang berwarna biru dan kuning...
Change settings via the Web (Yahoo! ID required)
Change settings via email: Switch delivery to Daily Digest | Switch format to Traditional
Visit Your Group | Yahoo! Groups Terms of Use | Unsubscribe
__,_._,___
Tidak ada komentar:
Posting Komentar