hehehe.....
kl itu rumah sakit...
gimana kl yg ini :
Kamis, 16 Agustus 2007
> Nasional
> Obat Mahal Akibat Kolusi Dokter dengan Farmasi
>
> "Insentifnya sampai 20 persen."
>
> Jakarta -- Ketua Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Agus Purwadianto
> mengakui praktek kolusi antara dokter dan perusahaan farmasi lazim
> dilakukan. Dokter dikontrak oleh perusahaan farmasi untuk memberikan
> resep tertentu, dengan keuntungan 20 persen dari harga obat.
>
> "Saat ini tidak ada satu pun dokter yang tidak terlibat kolusi dengan
> perusahaan farmasi. Insentifnya sampai 20 persen," katanya setelah
> menjadi pembicara dalam diskusi "Beban Biaya Pendidikan Kedokteran" di
> Jakarta kemarin.
>
> Menurut Agus, praktek kolusi antara dokter dan perusahaan farmasi ini
> sudah melanggar kode etik dan disiplin kedokteran. Sebab, dokter
> memberikan resep bukan berdasarkan penyakit pasien, melainkan gejala
> penyakit yang telah diperkirakan dokter sebelumnya. Obat yang
> diresepkan pun berdasarkan kontrak perusahaan farmasi dengan dokter.
>
> Dampak dari praktek "dokter kontrak" ini, kata dia, menyebabkan harga
> obat tinggi. Sebab, perusahaan farmasi membebankan biaya insentif
> dokter sebesar 20 persen itu pada harga obat.
>
> Menurut Agus, praktek kolusi ini dilakukan oleh seluruh dokter di
> Indonesia. Ia mengungkapkan sebagian besar dokter tersebut bekerja
> sama dengan perusahaan obat lokal yang tergabung dalam Gabungan
> Perusahaan (GP) Farmasi.
>
> Saat ini, kata dia, perusahaan farmasi yang ada di Indonesia terpecah
> antara GP Farmasi dan Internasional Pharmaceutical Manufacturing Group
> (IPMG). IPMG memisahkan diri dari dewan farmasi karena selama ini
> perusahaan lokal dalam GP Farmasi banyak melakukan praktek kolusi
> dengan dokter. "IPMG memisahkan diri karena disinyalir perusahaan yang
> tergabung GP Farmasi masih banyak mempengaruhi dokter," katanya.
>
> Dalam acara berbeda, ahli farmakologi Prof dr Iwan Darmansjah
> mengatakan masalah pengobatan di Indonesia mengarah pada polifarmasi,
> yakni pemakaian banyak obat sekaligus lebih dari yang dibutuhkan.
> Pemberian obat seperti ini dapat menimbulkan efek samping dan
> meningkatkan biaya pengobatan.
>
> Iwan juga mempermasalahkan biaya obat dan paten yang menjadi pemicu
> pengobatan yang irasional. Harga obat di apotek rumah sakit, ia
> menjelaskan, lebih mahal dibanding obat di luar rumah sakit. "Padahal
> mereka mendapat diskon sampai 85 persen. Ke mana keuntungannya? Tentu
> tidak untuk pasien," ujarnya.
>
> Ketua GP Farmasi Anthony Charles Sunarjo menyatakan tidak pernah ada
> laporan soal kolusi antara dokter dan farmasi. Sehingga sulit bagi
> asosiasi ataupun Majelis Etik Usaha Farmasi Indonesia untuk memberikan
> sanksi. Ia juga membantah jika dikatakan kolusi itu menyebabkan harga
> obat naik hingga 20 persen. Sebab, harga obat ditentukan oleh banyak
> faktor.
>
> "Sampai saat ini tidak pernah ada laporan praktek kolusi itu. Saya
> tidak bilang tidak ada, tapi memang tidak ada buktinya," katanya saat
> dihubungi Tempo. NININ DAMAYANTI | SORTA TOBING
sumber: tempo
barangakali pak KM juga mau ikut komentar lagi disini...hehehehe
wah dadi milis kesehatan...
wes ewes ewes....
salamku,
bapakeghozan-
----- Original Message -----
From: "gotholoco" <gotholoco@yahoo.
To: <psikologi_transform
Sent: Saturday, September 01, 2007 11:02 AM
Subject: [psikologi_transfor
Cerita: SEKALI LAGI MENJADI HAKIM KEMATIAN
> Bapak'e Ghozan.
> Oh itu namanya manajemen rumah sakit.
>
> Umumnya di suatu rumah sakit, ada bagian Rawat Jalan seperti poli
> umum, anak, mata,rematik,
> masuk rumah sakit(dirawat inap bukan dirawat jalan) bisa melalui
> "pintu emergency" (biasa disebut poli UGD), bisa juga melalui "pintu
> poli", misalnya poli anak setelah didiagnosa ternyata DBD maka
> disarankan untuk di rawat inap.
>
> Yang sering jadi persoalan dilematis yaitu di poli UGD itu, di suatu
> sisi harus ada perawatan intensif disisi lain dihadapkan pada estimasi
> biaya.
>
> Yang "kurang ajar" adalah setelah melihat kondisi pasein dan kondisi
> ekonomi (biasanya disebut penanggungjawab pasein) dianggap tidak mampu
> secara ekonomis maka si pasein "dilever" ke rumah sakit laen dengan
> alasan "tidak ada alat" (yang biasa kena getahnya rumah sakit "islam")
> atau pasien "dibiarkan" saja diperiksa ala kadarnya, sebelum
> menandatangani kesanggupan biaya. Dilema seperti ini sering terjadi,
> alih-alih mengangap pelayanan di rumah sakit "islam" tsb pelayanannya
> buruk, beda dengan rumah sakit "non islam".
> Dan yang menyedihkan, karena ada keyakinan suatu rumah sakit itu
> "berbau" islam, maka pasien-2 yang tidak mampu berbondong-bondong
> datang ke rumah sakit itu dengan anggapan mudah-mudahan bisa gratis.
> Padahal rumah sakit itu perlu biaya untuk menggaji perawat, beli obat
> dan bayar gaji dokter.
>
> Salam delematis.
> :)
> --- In psikologi_transform
> <ghozansehat@
> >
> > Titik point saya berangkat dari tulisan ini :
> >
> > Lagi-lagi biaya menjadi batu sandungan. Salah satu anggota keluarga
> > > mengatakan tidak memiliki dana untuk masuk rumah sakit. Untuk masuk
> > rumah
> > > sakit, harus disiapkan setidaknya tiga juta rupiah sebagai uang masuk.
> > > Gila.Belum masuk sudah bayar!
> >
> >
> > dan ini bukan sekali ini saja........
> >
> > betul dokter manusia...
> >
> > kenyataan ini sudah menjadi rahasia umum di bidang kedokteran..
> > dan mereka mengakui kok.
> >
> > salam prihatin,
> > bapakeghozan
> >
>
> > >
> >
>
>
>
>
>
> Yahoo! Groups Links
>
>
>
Change settings via the Web (Yahoo! ID required)
Change settings via email: Switch delivery to Daily Digest | Switch format to Traditional
Visit Your Group | Yahoo! Groups Terms of Use | Unsubscribe
__,_._,___
Tidak ada komentar:
Posting Komentar