Rubrik timbangan buku, Kompas Senin, 03 September 2007
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0709/03/Buku/3802338.htm
Resensi buku "Semiotika Tuhan"
Penulis: Audifax
Penerbit: Pinus Book Publisher
Tahun terbit: Mei 2007
Harga: Rp. 23.000,-
Manusia Bertanya Manusia Menjawab
Oleh:
LAN FANG
Faktanya adalah sejak purba, hidup manusia selalu bergantung pada tanda-tanda. Sebab, pada dasarnya manusia mempunyai perasaan cemas karena segala sesuatu dalam kehidupan adalah kegelapan dan ketidakpastian.
Hal itu menimbulkan tanda tanya besar dalam diri manusia. Tanda tanya akan Dia, akan alam semesta, akan masa depan, dan sebagainya. Maka, manusia membutuhkan tanda sebagai jawaban atas pertanyaan. Manusia butuh pegangan untuk mendapatkan kepastian akan sesuatu.
Audifax rupanya ingin menjawab pertanyaan tentang keberadaan Tuhan sebagai Zat Tertinggi. Bukan dalam pandangan Tuhan manakah yang paling benar atau paling tinggi. Karena Tuhan terlalu besar untuk ditelaah dari sudut yang demikian kecil. Setidaknya, Tuhan adalah suatu daya (energi) yang mahakuat sampai melampaui batas keterbatasan manusia. Tuhan bisa mengada dalam berbagai bentuk tanda yang seharusnya bisa dibaca manusia.
Tidak ada kebetulan
Bagaimana membaca tanda Zat Tertinggi yang disebut semiotika? Inilah yang menjadi tema buku ini. Audifax mengambil perbandingan dari dua tokoh semiotika, yaitu Ferdinand de Saussure dan Charles Sanders Pierce.
Bagi Saussure, semiotika merupakan ilmu umum yang mengkaji kehidupan tanda-tanda dalam masyarakat sehingga merupakan bagian dari disiplin psikologi sosial. Sedangkan menurut Pierce, semiotika adalah bentuk lain dari logika yang merupakan salah satu cabang dari filsafat.
Sedangkan dalam perspektif pandang Audifax, tidak ada sesuatu yang namanya "kebetulan" di dunia ini. Semua kejadian, pertemuan, perpisahan, orang-orang yang saling bertemu, bahkan mimpi pun, mengusung pesan yang bisa dihubungkan satu sama lain akan membawa kita kepada kesempatan yang kita inginkan. Dan, itu adalah tanda yang harus kita baca sebagai pesan yang ingin disampaikan-Nya.
Audifax membaginya menjadi dua esensi, yaitu: real dan unreal. Karena membaca tanda bisa jadi tidak menalarnya dengan pemikiran yang didasari oleh logika. Esensi unreal itu hanya bisa dirasakan di dalam alam bawah sadar tiap manusia. Sebagai suatu energi besar di dalam alam semesta yang berpengaruh ke dalam perjalanan (pencarian) hidup manusia secara spiritual.
Sampai di titik inilah, maka manusia kemudian membutuhkan figur Tuhan dalam bentuk sebagai suatu pegangan yang tidak absurd. Entah itu dalam bentuk simbol-simbol berbagai macam dewa dalam mitologi kuno. Dari zaman Mesir, China, Yunani, Romawi, sampai ke dalam peradaban agama-agama samawi dalam bentuk para nabi, ulama, rohaniwan, sampai kepada salib atau tulisan huruf tertentu. Ini membuktikan bahwa manusia adalah zat yang lemah, sederhana, tak berdaya, yang bergantung pada zat lain yang lebih besar. Celakanya, dalam proses ini, manusia terjebak ke dalam ritual-ritual bahasa dan legitimasi pemujaan kepada Tuhan dan nabi yang ditulis sepanjang sejarah manusia.
Kita justru menjauh dari Tuhan. Kita tidak memedulikan tanda atau pesan yang disampaikannya melalui kebetulan-kebetulan. Kita hanya memandang hidup semata berada dalam esensi real yang bisa dianalisa oleh akal kecerdasan manusia. Karena dari sana , manusia mendapatkan jaminan kepastian melalui ilmu pengetahuan, logika, dan rasio. Atau bahkan kita sibuk dijejali oleh khotbah-khotbah dalam teks-teks agama tentang jaminan keselamatan yang dipaksakan pengertiannya.
Sampai tahap ini, Audifax dengan cerdas membedakan antara Tuhan sejarah dan Tuhan semesta.
Tuhan sejarah adalah yang tampil dalam simbol-simbol real. Bisa ditangkap pancaindra yang dipergunakan manusia untuk memberikan kenyamanan iman. Karena sekalipun manusia itu seorang ateis, sosok tentang Tuhan yang tertanam dalam jiwanya mendorongnya untuk menempatkan sesuatu yang lebih perkasa dalam bentuk simbol-simbol. Inilah "Tuhan" yang tampak dan muncul dari alam nirsadar manusia karena manusia sendiri yang menginspirasinya.
Sedangkan tanda dari Tuhan semesta yang merupakan satu energi (daya) mahadahsyat yang berada di dalam lingkaran waktu yang kerap tidak diperhatikan.
Kekosongan sejati
Di tataran inilah, pembacaan semiotika poststrukturalis yang melandasi pikiran Nietzche menjadi muara pemikiran poststrukturalis lainnya, seperti Jacques Lacan, Jacques Derrida, Gilles Delueze, Felix Guattari, dan Julia Kristeva. Pemikiran-pemikiran ini yang digunakan untuk "membaca ulang" tentang Tuhan yang melampaui dualisme di atas atau oposisi biner. Makna lain yang masuk adalah pluralisme. Keberadaan pluralisme ini hanya bisa ditangkap melalui kerendahan hati yang menimbulkan harapan akan Tuhan karena semua makna menjadi plural, termasuk makna Tuhan.
Menurut saya, pemikiran Nietzche itu bisa disamakan dengan pemahaman Buddhisme mengenai ruang dan waktu alam semesta yang berawal dari kekosongan sejati. Kemudian pikiran delusif manusialah yang melahirkan corak-corak Tuhan yang mempunyai identifikasi tertentu. Kegiatan identifikasi inilah yang kemudian melahirkan manifestasi perbedaan corak yang dipersepsikan oleh masing-masing manusia.
Sesungguhnya, bukankah "sesuatu yang tidak sama itu pun tidak berbeda"? Disebut "tidak sama" karena manusia mempunyai corak tersendiri. Sedangkan disebut "tidak berbeda" karena semua manusia sebetulnya berbagi satu substansi "hidup" yang sama.
Dengan mengutip pendapat Rusybroeck bahwa gambar Tuhan pada dasarnya secara pribadi terdapat dalam diri tiap manusia. Masing-masing memilikinya semua, seluruhnya, tak terbagi dan semuanya bersatu, Audifax memaparkannya dalam konsep manusia Jawa yang selalu berusaha menyatukan dirinya (mikrokosmos) dengan alam semesta (makrokosmos), yaitu dalam keblat papat lima pancer, yaitu arah wetan, kidul, kulon, lor, serta pancer (tengah). Arah ini juga terkait dalam perjalanan hidup manusia yang ditemani kadang papat lima pancer. Kadang papat di sini diartikan sebagai kawah, getih, puser, dan ari-ari. Sedangkan pancer (tengah) adalah ego atau manusia itu sendiri. Dengan demikian, maka Tuhan ada di dalam alam semesta dan diri manusia sehingga manusia melihat alam semesta di dalam dirinya dan dirinya adalah alam semesta. Konsep inilah yang kita temukan dalam buku Sindhunata, Anak Bajang Menggiring Angin.
Inilah sebenarnya energi (daya) luar biasa Tuhan yang bisa kita baca melalui tanda dari alam semesta, bila kita mau sedikit lebih peka menandai setiap kebetulan yang terjadi dalam hidup kita sehari-hari. Karena tidak ada "kebetulan" yang cuma kebetulan.
Skema inilah yang ada di dalam buku Audifax yang ketiga ini. Tentang konsep yang memadukan intelektualitas dan spiritual manusia untuk menyerap pengetahuan dan singkapan-Nya yang berserakan dalam realitas dan peristiwa yang terjadi. Manusia seharusnya bisa melihat realitas secara transparan melalui kepekaannya sehingga mampu membaca fenomena yang Dia inginkan bukan hanya dalam gerakan linear.
Keindahan abadi
Selain itu, Audifax juga memadukannya teori-teori semiotika dari para pemikir dunia itu dengan apresiasi yang terbaca dari fenomena masyarakat modern sekarang, seperti dalam bait-bait lagu With or Without You (U2), Hero (Mariah Carey), One of Us (Joan Osborne), Spirit Carries On (Dream Theater), bahkan membawa Harry Potter ke dalam bukunya.
Karena itu, buku ini menjadi unik. Karena pemahaman akan pencarian makna ini bisa diibaratkan suatu keindahan karya seni. Yang walaupun menyimpan berbagai gejolak kepedihan, tetapi bila ditangkap melalui karya seni, maka bisa menjadikannya sebuah keindahan abadi.
Sebelumnya, Audifax telah menerbitkan dua buku psikoanalisa, yaitu: Mite Harry Potter (Jalasutra, 2005) dan Imagining Lara Croft (Jalasutra, 2006). Bagi pembaca yang mencari pola pencarian manusia akan Tuhan, buku Semiotika Tuhan ini bisa merupakan salah satu alternatif, karena disuguhkan dengan cukup sederhana, tetapi cerdas dan tidak mengurangi makna kedalamannya.
Tidak berlebihan bila saya menulisnya sebagai salah satu penulis filsafat muda yang menjanjikan dan cukup mampu berbicara. Hal itu terbaca dari daftar referensi buku yang dipakainya untuk menulis buku ini. Setidaknya ada 14 buku referensi dan beberapa informasi yang diambilnya dari website. Sudah pasti dibutuhkan suatu napas panjang dan energi kuat untuk melahap data-data itu dan mengolahnya kembali menjadi sebuah buku yang padat.
Jadi, bila Audifax pada bagian penutup mengutip bait lagu Agnes Monica yang bertanya "Di manakah surga itu?", maka saya mencoba menjawabnya dengan mengutip bait lagu Ebiet G Ade, "tanyakan saja pada rumput yang bergoyang".
Bukankah tidak sulit untuk memahami semiotika?
(Lan Fang, Penulis, Bermukim di Surabaya)
Tonight's top picks. What will you watch tonight? Preview the hottest shows on Yahoo! TV.
Change settings via the Web (Yahoo! ID required)
Change settings via email: Switch delivery to Daily Digest | Switch format to Traditional
Visit Your Group | Yahoo! Groups Terms of Use | Unsubscribe
.
__,_._,___
Tidak ada komentar:
Posting Komentar