AKU BUKAN HANYA ANAK PKI TAPI AKU ADALAH JUGA PKI
*PKI = PERINTIS KEMERDEKAAN INDONESIA*
Oleh : Tri Ramidjo
Aku terduduk lesu di kursi kayu.
Di depanku ada sebuah meja dan di atas meja itu ada cambuk yang terbuat dari ekor ikan pare dan di ujung cambuk itu diberi paku kecil, sehingga kalau cambuk itu dipukulkan pakunya menancap ke tempat yang dipukul dan kemudian cambuk itu ditarik keras, maka tergoreslah kulit dan mengalirlah darah merah segar. Selain cambuk itu juga ada kabel dengan alat2nya untuk menyetrom yang dilakukan oleh para interogator bukan hanya dengan setrom battery tapi setrom listrik sungguhan.
Melihat alat2 penyiksa itu saja, siapa pun orangnya pasti merasa bergidik.
Tiga orang interogator, seorang letnan RPKAD, seorang sersan dan seorang lagi kelihatannya bukan militer.
Perhatianku tertuju kepada interogator yang bukan militer ini.
Pakaiannya berwarna kebiru-biruan. Perawakannya sedang, raut mukanya berbentuk daun sirih dan warna kulitnya Sawo matang.
"Do you remember me?" katanya tertuju kepadaku.
"Tidak". Jawabku.
"Jangan bohong, terus terang saja. Semuanya akan lancar dan tak perlu penyiksaan." Katanya.
"Maaf, saya tidak kenal bapak." Kataku menegaskan.
"Bagus. Tapi kamu kenal Nyoto 'kan.? Zain Nasution, Suripto, Karel Supit?" katanya dengan suara menghardik. Dia menyebut beberapa nama lagi yang tak bisa kuingat lagi.
Dia mulai menamparku dan aku tidak mengelak. Tamparan ketiga membuat kacamataku jatuh dan pecah sebelah. Kuambil kacamata yang jatuh dilantai tapi dia menginjaknya dan jadilah kacamata itu berkeping-keping.
Aku meludah keluar darah dari mulutku dan aku berdiri tegak. Aku tidak kembali duduk di kursi walau berkali-kali diperintahkan.
Aku berusaha berdiri mendekati tembok.
Ketiga orang interogator itu berdiri di depanku.
Interogator yang bermuka bentuk daun sirih itu meninjuku dengan keras.
Dengan gerak refflek aku mengelak dan dengan begitu dia meninju tembok yang keras itu.
"Aduh" teriaknya. "Kamu bisa karate, ya." Sergahnya.
Tapi rupanya karena aku mengelak ditinju mereka bertiga mengerubutiku seperti mengkroyok maling ayam.
Tapi rupanya karena aku mengelak ditinju mereka bertiga mengerubutiku seperti mengkroyok maling ayam.
Aku benar2 tak berdaya menghadapi tiga orang. Kursi kayu jati itu dipakainya sebagai bahan pemukul sampai remuk.
Aku tidak menghindar lagi. Aku hanya pasrah dan tidak mengelak. Hanya setiap pukulan yang mengarah ke kepala aku elakkan.
Akhirnya mereka meletakkan kaki meja ke kuku jempol kaki kananku. Mereka duduki meja itu bertiga.
Aku tidak mengaduh sepatah kata pun. Aku hanya mengucapkan kata tauhid terus menerus. Laillahaillellah
..Hanya kata itu yang bisa kuucapkan terus menerus.
Mukaku penuh berlumuran darah. Kuusap darah itu dengan baju putihku.
Merah, merah darah. Aku sangat geram dan marah. Dalam hatiku bernyanyi:
"Darah Rakyat masih berjalan menderita sakit dan miskin.
Pada datangnya pembalasan Rakyat yang menjadi hakim.
Rakyat yang menjadi hakim hayo hayo bersiap sekarang.
Pasanglah di tembok dan tiang, panji-panji warna merah.
Yakni warna darah Rakyat, yakni warna darah Rakyat."
Pada datangnya pembalasan Rakyat yang menjadi hakim.
Rakyat yang menjadi hakim hayo hayo bersiap sekarang.
Pasanglah di tembok dan tiang, panji-panji warna merah.
Yakni warna darah Rakyat, yakni warna darah Rakyat."
Aku tak tahu dan tak sadarkan diri kalau aku sudah berada di sel tahananku. Sel ini berdinding papan dan di depan dan di atas sel diberi kawat berduri.
Teman seselku membantuku bangkit. Aku minta tolong dibawa ke kamar mandi. Aku mandi sepuasnya. Kusirami seluruh tubuhku dengan air.
Kuminum air mentah itu sebanyak-banyaknya. Dan aku berdo'a semoga Allah memberiku kekuatan dan menyembuhkan seluruh luka2 di tubuhku.
Alhamdulillah, aku merasa segar. Punggungku yang dipukuli dengan kursi kayu jati itu tidak terasa jarem lagi.
Setelah kembali dari kamar mandi aku meminjam buku kecil Surat Yasin teman seselku. Ayat demi ayat kubaca pelan-pelan. Aku tidak pintar mengaji. Hanya sekedar bisa dan mengerti apa yang kubaca.
Akhirnya setelah makan malam walau dikerubuti nyamuk, aku tidur nyenyak sampai pagi.
Hari berikutnya aku diinterogasi lagi.
"Kamu hebat, ya, Kemarin kamu pura-pura pingsan, ya. Sekarang kamu segar bugar." Kata interogator itu.
Aku diam saja. Tak sepatah pun kuucapkan.
"Jawab. Kamu PKI kan? Kamu anak Digul, kan? Bapakmu dedengkot PKI." Hardiknya.
"Di Digul kamu tinggal di kampung B, kan? Bapakmu tukang pancing dan teman mancingnya pak Maskun, kan?"
"Pamanmu, adik bapakmu yang menulis laporan ini. Jadi ini fakta actual. Jangan coba-coba membantah. Mengaku saja. Pamanmu orang besar dan kamu bisa ikut pamanmu." Katanya.
"Sekarang jawab, bapakmu PKI dan kamu sendiri PKI kan? Jawab !" Hardiknya.
"Ya, betul. Ayahku memang PKI dan mendapat pengesahan dari Departemen Sosial R.I. Ayahku tercatat sebagai anggota PKI (Perintis Kemerdekaan Indonesia) dan setiap bulan menerima tunjangan sosial dari pemerintah. Dan saya sendiri walaupun tidak diasingkan oleh Belanda ke Digul tapi karena sejak bayi abang mengikuti orang tua yang dibuang ke Digul saya adalah juga PKI (Perintis Kemerdekaan Indonesia)." Jawabku tegas.
Bagaimana reaksi interogator mendengar jawabanku?
Dapat dibayangkan. Seterom listrik dan alat-alat penyiksa lainnya segera beraksi.
Dan di hari tuaku sekarang ini, baru kuketahui bahwa penyakit stroke yang tidak sembuh-sembuh ini juga adalah akibat siksaan 40 tahun yang lalu.
Ini kuketahui ketika seorang tukang urut ahli bertanya kepadaku. "Apakah bapak pernah tertimpa pohon atau barang berat di punggung kanan? Banyak urat-urat syarafnya yang putus", katanya.
Aku tidak bisa menjawab. Hanya kukatakan mungkin aku pernah terjatuh waktu kecil?
Dan ketika aku terdampar di Pulau Buru dari kawan-kawan tapol (tahanan politik), baru kuketahui nama interogator yang menginterogasiku dengan sangat kejam itu tidak lain adalah salah seorang anggota pimpinan pusat IPPI (Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia) yang namanya cukup terkenal dan bahkan katanya ketika pernikahannya mendapat sambutan dari ketua CCPKI D.N.Aidit, dikudang-kudang untuk menjadi keluarga teladan. Interogator itu tidak perlu kusembunyikan namanya, namanya ialah DATONG SUDIARTO.
***
Hari ke-8 puasa, 01 Oktober 2006
CERTRI.100106
http://progind.
kolektif info coup d'etat 65: kebenaran untuk keadilan
Never miss a thing. Make Yahoo your homepage.
Change settings via the Web (Yahoo! ID required)
Change settings via email: Switch delivery to Daily Digest | Switch format to Traditional
Visit Your Group | Yahoo! Groups Terms of Use | Unsubscribe
.
__,_._,___
Tidak ada komentar:
Posting Komentar