Dari: Rudiyono <rudiyono@pekanbaru.
Pak Hudoyo,
Mudah-mudahan Bapak masih ada waktu dan berkenan meresponse email saya dibawah.
Terima kasih banyak atas kemurahan hatinya.
Saya membutuhkan pencerahan dari pengalaman Bapak.
Terima kasih.
Hormat saya,
Rudiyono
Date: Sat, 08 Dec 2007 13:47:13 +0400
To: hudoyo@cbn.net.
From: Rudiyono <rudiyono@pekanbaru.
Subject: Kembali ke asal-usul secara sempurna (kamuksan)
Pak Hudoyo,
1. Pertanyaan pertama:
Saya ingin bertanya, maklum meditasi yang saya lakukan tanpa ada bimbingan secara maksimal dari siapapun yang sudah mengalami pencerahan.
Saya sendiri beragama islam "abangan" karena memang dilahirkan dari lingkungan keluarga Islam. Saya pernah disodori tulisan dari teman saya yang beragama budha tentang "aliran positif" dan "aliaran negatif" dalam meditasi. Intinya kalau aliran positif itu diawali dengan memfokuskan pikiran dengan suatu object tertentu, kalau aliran negatif sifatnya pasif, sama sekali tidak memfokuskan ke suatu object, diam dan menyimak secara pasif semua pengalaman batin yang dialami.
Otomatis batin saya menjawab aliran negatif karena memang itu pengalaman yang saya peroleh dan saya merasa sudah pas, tapi kenapa kok dinamakan aliran negatif. Negatif itu konotasinya kan dengan sesuatu yang menyimpang begitu...... :) Mohon penjelasannya soal aliran negatif dan positif ini.
2. Pak Hud, kita sbg orang jawa itu kan punya keinginan seperti Werkudoro itu, ngoleki sangkan paraning dumadi. Supaya nantinya bisa kembali ke asal usulnya secara sempurna. Kalau dalam cerita jawa mukso (bali sampurno) bahkan beserta raganya kembali secara sempurna, seperti yang dialami Syeh Siti Jenar, Sunan Kali Jogo, Ki Ageng Pengging, dll banyak sekali tokoh2 jawa yang bisa mencapai kesempurnaan (kamuksan).
Bagaimana pendapat Bapak dengan ini, apakah dengan menjalani MMD ini sampai ke titik keheningan sempurna (pikiran berhenti), kita akan bisa sampai menemukan sangkan paraning dumadi - yang disini (di alam dunia ini) tahu rasanya disana (di alam kelanggengan/
Terima kasih Bapak Hudoyo.
3. Kalau tidak keberatan mohon diberi tahu nomor HP Bapak.
Regards
Rudi
------------
Mobile: <dihapus>
============
HUDOYO:
Wah, mohon maaf sebesar-besarnya, Mas Rudi. Email Anda yang pertama sudah saya baca, tapi lupa-lupa terus membalasnya di forum ini.
Berikut ini tanggapan saya atas kedua pertanyaan Anda; nomor HP saya akan saya kirimkan lewat Japri.
(1) Tampaknya pemahaman Anda akan perbedaan antara "jalan positif" dan "jalan negatif" sudah pas. Soal istilah 'positif' dan 'negatif', itu jangan diartikan sebagai "benar" vs "salah", "baik" vs "buruk".
'Positif' berarti "ada sesuatu yang dipegang" di dalam kesadaran, sedangkan 'negatif' berarti "tidak ada apa-apa yang dipegang"; 'negatif' berasal dari kata 'negasi', menegasikan, melepaskan segala sesuatu yang muncul dalam pikiran.
Dalam ajaran Hinduisme, "jalan negatif" ini digambarkan sebagai orang yang terus-menerus berkata "Tidak, tidak ..." atau "Bukan, bukan ...", terhadap segala sesuatu yang muncul dalam pikirannya.
Di kalangan Kristen, ada ahli mistik di kalangan Bapa-Bapa Gereja di zaman purba, misalnya: Dionysius Aeropagite, yang mendekati Tuhan dengan cara diam, dan melepaskan segala pengertian & pemikiran tentang Trinitas (Bapa, Putra & Roh Kudus).
(2) Di tataran kesadaran sehari-hari, yang terdiri dari pikiran, perasaan, kehendak dan perilaku (cipta, rasa, karsa & karya) ini, memang saya pun sangat mengagumi cerita Dewa Ruci, yang dilanjutkan dengan cerita Bima Suci, yang adalah ciptaan para pujangga Jawa di zaman bahari.
Namun, dilihat dari sisi 'jalan negatif'--ketika pikiran, perasaan, kehendak & tindakan berakhir--maka cerita Dewa Ruci itu hanyalah sekadar alat atau iming-iming kepada manusia untuk mengalihkan minat mereka dari hal-hal duniawi kepada hal-hal rohani.
Puncak dari cerita Dewa Ruci adalah pertemuan Werkudara dengan Dewa Ruci di dasar samudra. Apa yang dibicarakan dalam pertemuan itu--kalau Anda masih ingat--saya lihat masih belum tuntas. Tetapi yah di situlah kearifan penggubah cerita itu. Soalnya kalau diteruskan, sampai pada alam suwung, di mana pikiran ini tidak berfungsi lagi dan si aku/ingsun/diri pribadi ini tidak ada lagi, maka cerita itu menjadi tidak menarik lagi, bukan iming-iming lagi, malah salah-salah penonton--yang masih dikuasai oleh akunya, keinginannya & harapannya--
Jalan-jalan mistik dari para Sufi dan orang Kristen pun baru sampai "setengah jalan", menurut Bernadette Roberts. Yaitu berhenti pada "manunggaling kawula lan gusti". Mengapa disebut "setengah jalan"? Karena selama masih ada pengertian 'kawula' (hamba) dan pengertian 'gusti' (Tuhan), sekalipun "manunggal" (menyatu) betapa pun eratnya, masih ada 'dua' (yang menyatu); jadi itu baru "setengah jalan".
"Setengah jalan" selebihnya baru tercapai bila 'kawula' dan 'gusti' itu dua-duanya runtuh. Kalau 'subyek' (si aku) runtuh, maka 'obyek' (Tuhan) yang disadarinya pun runtuh. Itulah penuturan Bernadette Roberts dalam bukunya "The Experience of No-Self".
Itulah yang dikatakan oleh Sang Buddha dan Krishnamurti, bahwa 'aku' ini sebenarnya ilusi/delusi, 'aku' ini diciptakan oleh pikiran untuk survival, tapi itu bukan kebenaran yang terakhir. Kalau aku/diri/ingsun ini runtuh, maka apa yang ada dalam pikiran pun--termasuk Tuhan--runtuh.
Di situ tidak ada lagi "sangkan-paran"
Dalam keadaan kesadaran seperti itu, apakah yang "ada"? Apakah itu nihilisme?
Bernadette Roberts mengatakan: yang tinggal adalah "The Unknown", yang tak dapat dikenal oleh diri pribadi/pikiran.
Buddha Gautama berkata--di dalam kepadaman (nirwana) itu--"ada sesuatu yang tak dilahirkan, tak terbentuk, tak tercipta, tak tersusun."
J Krishnamurti berkata, "Di dalam keheningan sempurna itu, ada suatu Gerak dari yang Mahaluas", "Itulah Kemahaluasan, Berkah, Yang Lain, dsb dsb" (Di sini ia masih memberikan "iming-iming" lagi secara positif.)
Nah, semua petunjuk itu bersifat 'negatif' (menegasikan)
Mengapa? Karena "Kebenaran Sejati" itu tidak mungkin dipahami oleh pikiran, oleh aku/ingsun/diri pribadi, karena selama aku/ingsun/diri pribadi itu ada, "Kebenaran Sejati"/"Tuhan" itu "tidak ada".
Kata Krishnamurti: "Kalau Tuhan ada (muncul), aku tidak ada (lenyap); kalau aku ada, Tuhan tidak ada."
Maka sia-sialah orang yang berkata: "Aku akan bertemu dengan Tuhan", atau "Aku akan mencapai nirwana", atau "Aku akan moksha" (karena di situ si aku/ingsun/diri pribadi tetap berperan dan menonjol sebagai subyek).
Kalau si aku/ingsun/diri pribadi ini lenyap, di situlah muncul Tuhan yang Sejati, itulah kepadaman (nirwana), itulah moksha yang sesungguhnya. (Moksha berarti musnahnya si aku/ingsun/diri pribadi, bukan "kesempurnaan"
MMD berarti mengenali segala gerak-gerik si aku/ingsun/diri pribadi ini, sampai pada akhirnya menyadari bahwa semua itu tidak lebih dari sekadar gelembung sabun, fatamorgana, yang akan lenyap untuk selamanya.
Salam,
Hudoyo
Earn your degree in as few as 2 years - Advance your career with an AS, BS, MS degree - College-Finder.net.
Change settings via the Web (Yahoo! ID required)
Change settings via email: Switch delivery to Daily Digest | Switch format to Traditional
Visit Your Group | Yahoo! Groups Terms of Use | Unsubscribe
__,_._,___
Tidak ada komentar:
Posting Komentar