Orang yang tidak mampu melihat atau buta masih bisa bertahan hidup
begitu juga dengan orang yang kurang dalam hal pendengaran atau istilahnya
tuli.
tapi bagaimana dengan orang yang tidak memiliki lidah atau sesuatu yang
digunakan untuk mengunyah, menelan, atau untuk 'merasa'?
salah satu alasan kenapa kompatiologi berhasil.. karena kompatiologi
menitikberatkan pada proses pengindraan melalui lidah.. yang untuk
merasakan minuman dari rasa manis, pahit, asem dan lain-lain.
saya berkali-kali ceramah pada orang bahwa kita ini hidup ini untuk
menunda mati. Kita makan karena lapar dan kelaparan salah satu
cara paling mudah untuk mati. begitu juga kita minum karena kita
haus, oleh karena kehausan dapat menyebabkan orang mati juga.
setiap hari kita makan. ada yang menunya sama setiap hari. ada
yang beda-beda. ada yang hanya makan sehari.. atau ada juga
makan tiga kali sehari.
"Hal ini dapat membuktikan bahwa orang bisa saling membunuh karena
perbedaan pendapat dan keyakinan. Tapi orang tidak akan membunuh
orang lain karena mengatakan.. bahwa nasi goreng ini tidak enak.. atau
ketoprak itu enak. Bahwa masakan ini kurang garam.. dimana yang lain
mengatakan keasinan."
"Hal yang paling subjektif adalah apa yang dirasakan oleh lidah!"
Dalam sesi pertama Dekon Kompatiologi.
dan sensasinya.. dimana masing-masing orang wajib menjelaskan rasa suatu
minuman (yang dibeli di supermaket) dengan gayanya masing-masing. Dimana
hal-hal yang bersifat suci, pangkat tinggi, terhormat tidak terhormat, formal tidak
formal, kemapanan atau anti kemapanan.. bukanlah hal yang menentukan benar
atau salahnya pendapat orang tersebut. Mau setinggi apa pun derajatnya.. kalau
minuman itu rasanya pahit! dan orang lain mengatakan hambar atau kurang manis.. itu hanya pendapat-pendapat saja. Ia hanya mengatakan apa yang dirasakan terhadap minuman tersebut. Tidak ada benar-salah. Tidak ada terhormat-tidak hormat. Tidak ada darah biru atau pun darah coklat. Ketika berhubungan dengan rasa.. setiap orang punya pendapat.. dan rasanya masing-masing.
Kenapa demikian?
"Karena syarat hidup adalah makan. Dari kecil kita makan. Dan kita makan
untuk bertahan hidup, dimana kita bertahan.. yaa untuk menunda mati. Dan makan adalah suatu rutinitas yang kita lalui setiap hari. Mau kita manjakan lidah kita berbagai macam makanan yang berbeda setiap hari. atau makanan yang sama setiap hari (itu semua melihat kebutuhan dan keuangan). Ada orang yang prinsipnya kenyang enggak peduli cita rasa. Ada juga yang prinsipnya cita rasa tinggi.. kenyang hanya efek saja. Ada juga yang cita rasanya setengah.. kenyangnya juga setengah. Yaa semua kembali pada setiap manusia bagaimana memanjakan lidahnya."
nah, disinilah Kompatiologi.
pada dasarnya memiliki sistem pengukuran sendiri. Apalagi dalam hal lidah..
yang esensial dan super penting, rutin dan sehari-hari.
ketika proses dekon terdekon menganalisa.
kekuatan karakter dari masing-masing individu terhadap rasa yang dirasakan.. pada akhirnya akan membuat terdekon berpikir.. bahwa keberagaman bukanlah keniscayaan.
Kompatiologi berhasil karena menekankan pada indera yang dimanjakan setiap hari. Indera yang fungsinya paling vital yaitu untuk makan dan minum. Dimana kebutuhan paling dasar ketika orang bangun pagi.. atau terlalu larut begadang..
mereka butuh karbohidrat.
Itulah kenapa Vincent mengatakan bahwa sesi ramal hanya keren-kerenan.
kalau belum jelas...
yaa sudah
tapi para terdekon sepertinya paham apa yang aku maksud.
Salah satu alasan kenapa Kompatiologi berhasil??
"Karena bermain di wilayah rasa dari lidah. Dan sesungguhnya lidah mengirim data-data yang subjektif.. yang terlepas dari benar salah, baik buruk, surga neraka.."
ha ha ha!
Looking for last minute shopping deals? Find them fast with Yahoo! Search.
Earn your degree in as few as 2 years - Advance your career with an AS, BS, MS degree - College-Finder.net.
Change settings via the Web (Yahoo! ID required)
Change settings via email: Switch delivery to Daily Digest | Switch format to Traditional
Visit Your Group | Yahoo! Groups Terms of Use | Unsubscribe
__,_._,___
Tidak ada komentar:
Posting Komentar