.
Revitalisasi Ilmu-ilmu Rasional
Dr. R. Mulyadhi Kartanegara, MA
Runtuhnya Tradisi Filsafat dalam Islam
Satu masa dalam hidupnya, Abu Hamid al-Ghazali (w. 505/1111) merasa perlu untuk menghidupkan kembali ilmu-ilmu agama (naqli) karena adanya ancaman yang membahayakan ilmu-ilmu tersebut dari ilmu-ilmu rasional ('aqli). Sebenarnya gerakan anti ilmu-ilmu rasional telah dimulai kira-kira dua abad sebelum al-ghazali oleh Abu Hasan al-Asy'ari (w. 324/935) terhadap aliran teologis rasional, Mu'tazilah. Meskipun gerakan tersebut telah berhasil menggoyah kedudukan Mu'tazilah sebagai mazhab resmi kekhalifahan saat itu, namun rupanya belum berhasil meredam gerakan rasional filosofis, terbukti dengan munculnya dua filosof yang lebih besar daripada yang sudah ada, al-Farabi (w. 339/950) yang dikenal sebagai "al-Mu'allim al-Tsani," dan Ibn Sina (w. 430/ 1038), "Syaikh al-Rais," yang menandai puncak perkembangan filsafat Neoplatonik Muslim atau dikenal juga sebagai "peripatetik."
Sebagai pengikut, bahkan salah seorang tokoh utama Asy'ariyah, tentu saja al-Ghazali merasa terpanggil untuk meneruskan perjuangan pendiri mazhabnya dalam menghadapi atau melawan dominasi ilmu-ilmu rasional. Hanya saja tantangan yang dihadapi al-Ghazali jauh lebih berat, karena yang ia hadapi bukan hanya sekedar sebuah sistem teologis yang didasarkan pada metode dialektis (jadali), melainkan sebuah sistem filsafat yang lebih solid karena didasarkan pada metode demonstratif (burhan).
Meskipun begitu, dengan kejeniusan dan kesungguhan serta cara yang sangat metodik, al-Ghazali berhasil menjawab tantangan itu dengan baik. Kecermatan metodologisnya terlihat misalnya dalam ungkapannya: "Janganlah anda mengkritik sesuatu (dalam hal ini filsafat) sebelum menguasai betul hal tersebut, bahkan kalau bisa anda mengungguli ahli-ahlinya." Selama kurang lebih dua tahun, al-Ghazali mengabdikan dirinya untuk mempelajari filsafat secara sistematik, dengan tujuan untuk mengkritiknya. Ternyata ia betul-betul menguasainya. Hasil penelitiannya itu ia abadikan dalam karyanya, Maqasid al-Falsifah. Setelah ia menganggap dirinya menguasai filsafat, barulah ia melancarkan kritiknya yang tajam dan jitu terhadap ajaran-ajaran para filosof daalam karyanya yang lebih dikenal Tahafut al-Falasifah.
Kritiknya terhadap filsafat ternyata sangat efektif. Peringatannya kepada kaum Muslimin agar berhati-hati terhadap beberapa ajaran (proposisi) para filosof dan pengkafirannya terhadap mereka dan pengikut-pengikut mereka yang percaya pada keabadian alam, ketidak-tahuan Tuhan pada juz'iyyat dan penolakan mereka terhadap kebangkitan jasmani, ternyata sangat sangat efektif dalam membangkitkan antipati umat bahkan permusuhan terhadap filsafat dan ilmu-imu rasional lainnya yang terkait, seperti fisika, psikologi, matematika, astronomi dan sebagainya. Dikatakan efektif karena setelah serangan itu filsafat tidak pernah dilihat, terutama di dunia Sunni, kecuali dengan rasa curiga. Bahkan di beberapa tempat pengkajian filsafat secara resmi dilarang, dan banyak karya-karya utama filosofis dibakar dan dihancurkan. Dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa kritik al-Ghazali terhadap filsafat memang sangat efektif dan "telak," sehingga di belahan dunia Sunni--di mana pengaruh al-Ghazali adalah terbesar--filsafat tidak pernah bisa bangkit hingga saat ini.
Dengan demikian, usaha al-Ghazali dalam menghidupkan kembali ilmu-ilmu agama--setelah mengkritik filsafat--sangat berhasil. Dengan usahanya itu ia mampu mengangkat derajat ilmu-ilmu agama ke jenjang yang sangat tinggi, bahkan barangkali tertinggi. Di dunia Sunni ia sangat dikagumi dan mendapat gelar "hujjat al-Islam" karena keberhasilannya itu. Akibatnya, kini "titik tekan" ilmu telah bergulir dari ilmu-ilmu rasional ke ilmu-ilmu agama. Sehubungan dengan itu, ia menegaskan bahwa mempelajari ilmu-ilmu agama adalah fardlu ain, sedangkan ilmu-ilmu rasional, fardlu kifayah, artinya tidak wajib bagi setiap Muslim. Tapi sayang, keberhasilan al-Ghazali dalam mengangkat derajat ilmu-ilmu agama ini harus ditebus dengan harga mahal, yaitu sirnanya disiplin ilmu filsafat dan cabang-cabangnya, dan kemudian dengan tradisi keilmuan rasional yang menyertainya.
Tantangan-tantangan Filosofis Kontemporer
Dibanding dengan tantangan filosofis yang dihadapi al-Ghazali sekitar seribu tahun yang lalu, tantangan-tantangan filosofis yang dihadapi kaum muslimin saat ini jauh lebih serius dan radikal, karena sementara tantangan yang dihadapi al-Ghazali muncul dari para filosof yang masih percaya teguh pada yang ghaib (realitas-realitas metafisik), tantangan-tantangan filosofis yang dihadapi kaum intelektual Muslim saat ini muncul dari para filosof dan ilmuwan yang telah kehilangan kepercayaannya pada hal-hal yang bersifat metafisik. Tidak cukup dengan itu, mereka juga menyebarluaskan pandangan-pandangan anti-metafisik mereka dengan cara menyerang fondasi-fondasi metafisik yang dikatakannya sebagai ilusi dan tak bermakna. Karena itu tantangan itu jauh lebih serius dan radikal. Mereka bukan lagi memberikan tafsir yang tidak ortodoks terhadap realitas metafisik, tetapi menafikannya dengan menyerang status ontologis dari dunia metafisik itu sendiri.
Tantangan filosofis yang paling berbahaya terhadap dunia metafisik adalah yang ditimbulkan oleh "positivisme." Menurut pandangan positivis, satu-satunya wujud yang real adalah yang positif yakni yang bisa diobservasi melalui indera. Segala wujud yang berada di balik dunia fisik (metafisik) hanyalah hasil spekulasi pikiran manusia yang tidak memiliki realitas ontologis di luar kesadaran manusia. Konsep-konsep agama mengenai Tuhan, hari akhir, malaikat dan wujud-wujud ghaib lainnya tak lain daripada kreasi manusia ketika mereka berada pada awal tahap perkembangannya. Pada tahap berikutnya, manusia memperbaiki konsep-konsep keagamaan dengan mengem bangkan sistem-sistem filosofis yang rasional. Namun pendirian yang terakhirpun, menurut mereka, masih berdasar pada ilusi karena percaya pada dunia metafisik. Tahap akhir yang paling sempurna dalam perkembangan manusia tercapai pada tahap positif di mana manusia menemukan bahwa satu-satunya realitas yang sejati adalah dunia fisik yang bisa diverifikasi secara positif-obyektif. Yang mereka hasilkan bukanlah sistem keper-cayaan religius, atau sistem filosofis rasional, melainkan ilmu pengetahuan (sains) yang didasarkan pada observasi inderawi.
Pengaruh positivisme semakin besar --dan karenanya semakin berbahaya sebagai tantangan filosofis bagi kita-- karena mendapat dukungan yang luas dari para ilmuwan di berbagai bidang ilmu, seperti astronomi, biologi, psikologi dan bahkan sosiologi. Pengaruh ini terlihat misalnya dari keengganan banyak ilmuan Barat untuk memandang entitas-entitas metafisik, seperti Tuhan atau malaikat, sebagai sebab dan sumber bagi alam semesta. Dalam pandangan mereka Tuhan telah berhenti menjadi apapun. Ia telah menjadi pencipta, pemelihara dan pengatur alam semesta. Mereka lebih suka melihat alam semesta sebagai mesin raksasa yang berjalan menurut hukum alam (the law of nature), dan menjelaskan fenomina alam sesuai dengan hukum tersebut daripada menganggap alam sebagai hasil ciptaan Tuhan.
Pandangan-pandangan naturalis positivis seperti ini dapat dengan mudah kita temukan dalam karya-karya atau ungkapan-ungkapan ilmuwan-ilmuwan Barat yang besar dan berpengaruh seperti Pierre de Laplace, Darwin, Freud, dan Emile Durkheim. Meskipun tidak semua ilmuwan sependapat dengan pandangan mereka, tetapi pengaruh mereka dalam dunia ilmu (sains) masih sangat besar dan menentukan, mereka masih sering dianggap sebagai "Nabi-Nabi" ilmu pengetahuan. Sehingga panda- ngan-pandangan mereka masih sangat berarti sebagai tantangan terhadap sistem kepercayaan Islam. Pierre de Laplace (w. 1827), seorang astronomer dan matematikus Perancis, yang dikenal sebagai penemu (bersama Kant) teori "Big Bang," tidak merasa perlu untuk menyinggung sepatahpun kata Tuhan, ketika ia menjelaskan teori penciptaan alam semesta dalam bukunya The Celestial Mechanisme. Alasannya adalah karena bagi dia Tuhan adalah hipotesa yang tidak diperlukan dalam penjelasan astronomisnya, atau dalam ungkapannya sendiri: "Je nai pas besoin de cet hypothesie."
Demikian juga Charles Darwin (w. 1882), seorang naturalis Inggris yang terkenal dengan teori evolusinya, tidak lagi menganggap bahwa makhluk-makhluk biologis yang ada di alam semsta ini sebagai ciptaan Tuhan yang bijak, melainkan semata-mata sebagai hasil mekanisme hukum seleksi alamiah (natural selection). Dalam otobiog- rafinya, Darwin mengatakan: "dulu orang boleh mengatakan bahwa bukti terkuat adanya Tuhan Sang Pencipta adalah keteraturan dan harmoni pada alam. Tetapi setelah hukum seleksi alamiah ditemukan kita tidak bisa lagi mengatakan bahwa engsel kerang yang indah, misalnya, harus merupakan ciptaan agen dari luar dirinya (Tuhan), seperti halnya kita mengatakan bahwa engsel pintu mestilah merupakan ciptaan seorang Tuhan."
Pengaruh pandangan positivisme ini juga sangat kentara dalam pandangan Sigmun Freud (w. 1939), seorang dokter dan perintis psikoanalisa. Dalam bukunya The Future of an Illution, Freud memandang agama sebagai ilusi. Eric Fromm, menjelaskan bahwa "bagi Freud agama berasal dari ketidak-berdayaan manusia dalam mengahadapi daya-daya dari alam luar dan daya imaginatif dari dalam dirinya. Agama muncul pada tahap awal perkembangan manusia ketika ia belum lagi menggunakan akalnya untuk menghadapi daya-daya eksternal dan internal ini dan harus menekan atau mengendalikan mereka dengan bantuan dari kekuatan lain yang efektif. Jadi, alih-alih menanggulangi daya-daya tadi dengan akal, ia mengatasinya dengan "counter affects," yakni dengan daya-daya emosional yang fungsinya adalah untuk menekan dan mengandalikan apa yang tidak sanggup ia hadapi secara rasional." Nah, kalau agama dipandang sebagai ilusi, maka sudah barang tentu keper-cayaan-kepercayaan agama terhadap yang ghaib (realitas-realitas metafisik), seperti Tuhan, malaikat, ruh dan hari akhir, dengan sendirinya juga ilusi. Hal seperti itu jugalah yang menjadi pandangan Emile Durkheim (w. 1917), seorang fiolosof dan sosiolog Perancis. Dalam karya-karyanya ia memandang agama sebagai proyeksi nilai-nilai sosial, sedangkan Tuhan tidak lain daripada Masyarakat (Society) itu sendiri, dan bukan sebuah entitas metafisika yang personal, seperti yang kita yakini.
Serangan terhadap metafisika juga akan berdampak pada sistem epistimilogi Islam, terutama dalam kaitannya dengan sumber ilmu pengetahuan. Dengan ditolaknya dunia metafisik, maka satu-satunya sumber dari ilmu pengatahuan bagi kaum positivis adalah pengalaman, atau dengan kata lain indera. Mereka tidak percaya pada sumber lain, yang menempati posisi penting dalam epistimilogi Islam, yaitu akal, intuisi dan wahyu. Laplace pernah mengatakan: "I mistrust anything but the direct result of observation and calculation." Jadi dengan begitu mereka tidak mempercayai wahyu dan juga "pengalaman mistik" sebagai salah satu sumber ilmu pengetahuan. Padahal dalam tradisi epistimologi Islam, ketiga sumber ilmu pengetahuan tersebut yang oleh Mulla Shadra (w. 1050/1640), seorang filosof besar Muslim abad ketujuh belas, disebut masing-masing sebagai "burhan, irfan dan Qur'an," diakui sebagai sumber-sumber ilmu yang sah sebagaimana hanya indera.
Kaum positivis, karena itu, hanya mengakui indera (melalui observasi) sebagai satu-satunya sumber ilmu yang sah dan dapat dipercaya. Sumber-sumber ilmu penge- tahuan yang lain, seperti wahyu dan intusi, tidak dapat dipercaya karena tidak berpijak pada realitas tapi pada ilusi manusia. Alasan mereka mengatakan begitu adalah karena wahyu dan pengalaman mistik selalu mengandaikan adanya hubungan yang erat dengan dunia metafisik, sehingga validitasnya tergantung pada status eksisitensi (ontologis) dunia metafisik itu sendiri. Sekali eksistensi dunia metafisk ditolak, maka validitas sumber-sumber ilmu yang bergantung padanya akan tertolak dengan sendirinya. Karena wahyu dan pengalaman mistik memang begitu sifatnya, maka validitas mereka hanya bisa dipertahankan apabila kita mengafirmasi status ontologis realitas-realitas metafisik tersebut. Sekali realitas-realitas itu ditolak keberadaannya, maka kemungkinan wahyu dan pengalaman mistik yang disandarkan padanya dengan sendirinya tertolak dan tidak punya pijakan logisnya. Padahal kita tahu apa yang akan terjadi kalau wahyu (dalam hal ini al-Qur'an) ditolak sebagai sumber ilmu yang sah, maka seluruh sistem kepercayaan, teologis, dan mistiko-filosofis Islam akan runtuh. Inilah menurut saya tantangan filosofis kontemporer yang amat serius dari pemikiran positivis Barat terhadap sistem epistimologi Islam, terhadap mana kita sebagai kaum intelektual Muslim "wajib" memberikan respons filosofis yang sebanding, bahkan lebih baik dan meyakinkan daripada argumen-argumen mereka.
Tantangan lain yang terkait dengan serangan kaum positivis terhadap metafisika berdampak pula pada bangunan etika Islam, baik yang religius maupun filosofis, tentu saja disandarkan sampai taraf tertentu pada perintah-perintah Tuhan. Namun, ketika eksisitensi Tuhan sendiri sebagai salah satu entitas metafisik ditolak, maka etika Islam akan kehilangan dasar pijakannya. Freud pernah mengatakan "Jika validitas norma-norma etika bersandar pada perintah-perintah Tuhan, maka masa depan etika akan berdiri atau jatuh bersama-sama dengan kepercayaan pada Tuhan. Dan karena Freud menganggap bahwa kepercayaan agama sedang memudar, maka ia terdesak untuk berpendapat bahwa mempertahankan hubungan agama dengan etika akan membawa kehan- curan pada nilai-niali moral itu sendiri.
Karena itu, satu-satunya sistem etika yang mereka akui adalah sistem etika humanis yang bersandar semata-mata pada ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan manusia belaka, bukan pada sumber-sumber lain yang transenden. Bagi mereka, apa yang disebut wahyu tidak lain daripada hasil pemikiran manusia (dalam hal ini Nabi) belaka, dan bukan sebagai pancaran dari alam ilahi yang mereka tolak eksistensinya. Akibatnya, nilai-nilai apapun yang terdapat dalam wahyu tersebut dipandang tidak mutlak dan tidak bisa berlaku sepanjang masa, sebagaimana yang diyakini para pemeluknya. Wahyu bagi mereka tidak ubahnya seperti pemikiran manusia lainnya dan karena itu bersifat relatif dan tunduk pada perubahan ruang dan waktu, dan karena itu bisa diubah atau diganti apaabila tuntutan zaman menghendakinya. Inilah pandangan kaum positivis tentang nilai-nilai etis skriptual, yang seperti halnya karya-karya filsafat biasa, rentan terhadap perubahan dan bahkan koreksi total.
Kritik yang sama juga mereka arahkan pada pengalaman mistik dan validitasnya sebagai bias etika. Kaum positivis sering menganggap pengalaman mistik sebagai halusinasi seseorang. Bahkan hal tersebut juga mereka alamatkan bagi validitas pengalaman intelektual yang mendukung realitas-realitas metafisik. Dan semua ini mereka lakukan karena mereka telah kehilangan kepercayaan pada alam metafisik. Bagi mereka satu-satunya basis yang dapat dipercaya untuk etika adalah ilmu pengetahuan yang didasarkan pada pengalaman yang cermat terhadap alam. Freud menginginkan supaya etika tidak didasarkaaan pada kepercayaan agama yang bersifat "illusory," tetapi pendayagunaan akal pikiran manusia.
Inilah di antara tantangan-tantangan filosofis yang dihadapi kaum intelektual Muslim dewasa ini, suatu tantangan yang --kalau kita renungkan--jauh lebih radikal dan serius dibanding dengan tantangan-tantangan yang dihadapi oleh kaum intelektual muslim pada masa al-Ghazali. Karena demikian sifat dasar tantangan tersebut, maka kewajiban kita selaku kaum cendikiawan untuk berusaha menjawab tantangan-tantangan tersebut dengan baik, yang antra lain bisa dibantu dengan menghidupkan kembali ilmu-ilmu rasional yang telah menghias khazanah klasik Muslim sekian lama tetapi yang kini telah diabaikan bagai benda-benda yang tak berguna.
Menghidupkan Kembali Ilmu-Ilmu Rasional
Tentu saja kritik atau tantangan filosofis yang begitu serius dan berbahaya terhadap bangunan metafisik, epistimologis dan etis Islam ini tidak boleh dibiarkan begitu saja, tanpa respon dan bahkan kritik yang dapat diper-tanggungjawabkan secara filosofis, karena kritik terhadap sebuah ide atau pendirian akan dianggap benar selama tidak ada yang membantahnya. Mungkin saja banyak orang (khususnya kaum intelektual) yang diam-diam telah termakan oleh tesis-tesis yang dikemukakan oleh ilmuwan-ilmuwan terkenal seperti yang telah disinggung di atas (Darwin, Freud, dan Durkheim) berkenaan dengan realitas-realitas metafisik, mengingat mereka telah dipandang oleh para pengikutnya sebagai "nabi-nabi" modern di bidangnya masing-masing. Kalau ini benar, maka bisa dibayangkan dampaknya bagi kepercayaan kita pada hal-hal metafisik. Oleh karena itu, adalah kewajiban moral kita sebagai kaum cendikiawan Muslim untuk sedapat mungkin memberikan jawaban-jawaban yang setimpal atau kritik logis terhadap pendirian filosofis mereka, agar dengan demikian keyakinan kita pada yang ghaib dapat terpeli-hara dengan baik dalam hati kita, di bawah naungan benteng filosofis yang tangguh dan tahan serangan.
Namun kitapun segera menyadari bahwa tugas ini maha berat, jauh lebih berat daripada yang dihadapi misalnya oleh al-Ghazali, apalagi al-Asy'ari. Karena yang kita hadapi, seperti telah disinggung di atas, adalah tantangan-tantangan filisofis yang berasal dari kaum positivis yang tidak percaya pada ajaran-ajaran agama, maka mereka hanya bisa dihadapi secara filosofis juga, yakni, berdasarkan kekuatan nalar rasional dan logik, bukan kekuatan religius dogmatik. Seperti halnya al-Ghazali telah menggunakan argumen filosofis ketika menjawab tantangan filosofis, maka kitapun harus meng- gunakan argumen-argumen filosofis untuk menjawab tantangan-tantangan yang kita bicarakan. Tetapi untuk dapat merumuskan jawaban-jawaban filosofis berdasarkan argumen-argumen rasional, mau tidak mau kita harus memperkuat bidang kajian filsafat kita, dengan misalnya mengkaji secara intensif karya-karya agung para filosofis Muslim, baik yang berkenaan dengan doktrin maupun metodologi. Namun hal tersebut mustahil kita capai kecuali dengan menghidupkan kembali ilmu-ilmu rasional yang telah berabad-abad dikembangkan oleh para filosof Muslim, tetapi yang di sebagian dunia Islam telah diabaikan kira-kira satu millenium, setelah serangan al-Ghazali terhadap mereka. Namun sebelum kita melanjut-kan pemerian kita mengenai tujuan dan sasaran yang hendak kita capai dalam upaya revitalisasi ilmu-ilmu rasional ini, barangkali ada baiknya kita mencoba terlebih dahulu untuk menaksir "potensi" revitalisasi ini untuk menjawab tantangan-tantangan filosofis kontemporer. Dan ini tidak boleh hanya berdasarkan perhitungan hipotesis, melainkan harus bersandar pada data historis yang nyata. Oleh karena itu, saya ingin mengangkat kasus dunia Syiah, untuk mengambil pelajaran yang sangat berharga dari apa yang dilakukan saudara-saudara kita sesama Muslim yang dibesarkan dalam tradisi Syiah, yang senantiasa memelihara tradisi keilmuan rasional Islam bahkan hingga detik ini.
Kasus Dunia Syiah --yang merupakan minoritas dari umat Islam-- dalam perkembangan ilmu-ilmu rasional ini cukup berbeda dengan kasus dunia Sunni. Di dunia Syiah tradisi keilmuan rasional-filosofis tidak pernah betul-betul mati. Bahkan dari abad ke abad tradisi tersebut senantiasa dijaga dan dikembangkan sehingga mampu melahirkan beberapa filosof terkemuka hampir di setiap abad. Tidak sampai satu abad setelah serangan al-Ghazali terhadap filsafat, tradisi dan sistem filsafat Ibn sina telah dihidupkan kembali dan dikembangkan dengan modifikasi illuminatif oleh Syihab al-Din Suhrawardi al-Maqtul (w. 587/1191) yang dikenal dengan "Syaikh al-Isyraq." Demikian juga serangan terhadaap filsafat Ibn Sina oleh Fakh al-Din al-Razi (w. 606/1209) dijawab oleh Nasir al-Din Thusi (w. 673/1274), seorang fiolsof dan astronom Syiah yang terkenal. Dalam kapasitasnya sebagai direktur observatori Maraghah, Thusi mengembangkan tradisi filsafat Ibn Sina dengan gigih dan konservatif. Sedangkan tradisi-tradisi illuminasionis dipertahankan dan dikembangkan dengan warna Peripatetik oleh Qutb al-Din Syirazi (w. 701/1311), murid dan rekan kerja Thusi di observasinya, yang juga seorang astronom-filosof Syiah yang cukup terkemuka pada masanya.
Demikian juga pada masa kejayaan kerajaan-kerajaan Shafawi, pada abad keenam belas dan tujuh belas, tradisi filsafat dan ilmu-ilmu rasional--yang pada saat itu telah diperkaya oleh tradisi illuminasionis yang diprakarsai Suhrawardi dan tradisi mistiko-filosofis yang berasal dari Ibn al-'Arabi (w. 638/1240)--terus dilestarikan dan dikembangkan dalam apa yang kemudian dikenal dengan "mazhab Isfahan" (The School of Isfahan) yang dipimpin oleh Muhammad Baqir Astarabadi atau lebih dikenal dengan sebutan Mir Damad (w. 1042/1632), yaitu salah seorang guru yang berpengaruh dari Mulla Shadra.
Tentu saja perkembangan ilmu-ilmu filsafat mencapai puncaknya dalam karya-karya agung Shadr al-Din Syirazi (Mulla Shadra) yang telah berhasil mensintesakan berbagai tradisi filsafat bahkan tradisi mistik--Ibn al-'Arabi dan juga Rumi (w. 672/1273)--yang berbeda-beda ke dalam sebuah sistem filosofis yang solid yang dikenal sebagai "teosofi transenden" (al-hikmah al-muta'aliyah). Ajaran filsafat Mulla Shadra kemudian dikembangkan oleh kedua muridnya, Mulla 'Abd al-Razzaq Lahiji (w. 1072/1661) dan Mulla Faidl Kasyani (w. 1091/1680) dalam karya-karya mereka yang agung. Hasil dari semaian mereka muncullah filosof-filosof besar lainnya, seperti Syaikh Ahmad Ahsha'i (w. 1241/1826) dan Mulla Hadi Sabzawari (w. 1295/1878) yang keduanya hidup pada masa Qajar. Bahkan, sampai abad kedua puluh inipun dunia Syiah masih melahirkan filosof-filosof yang disegani dunia, seperti Murtadla Muthahhaari (w. 1400/1979), Sayyid Muhammad Thabathaba'i (w. 1402/1981), Sayyid jalal al-Din Asytiyani dan Mahdi Ha'iri Yazdi, yang kedua- nya masih hidup sampai detik ini. Dan tentu saja kita tidak boleh mengabaikan tokoh lain yang lebih akrab dengan kita seperti Shadr al-Baqir dan Sayyed Hossein Nasr, yang telah banyak kita kenal lewat tulisan-tulisan mereka.
Yang menarik dan lebih relevan dengan persoalan kita kali ini adalah bahwa di tangan para filosof yang telah disebutkan di atas inilah tradisi filsafat dan ilmu-ilmu rasional dipelihara, diolah dan dikembangkan secara sistematik sehingga mencapai tingkat kecanggihan yang tinggi. Konservasi dan pengembangan tradisi filosofis dan ilmiah inilah yang memungkinkan para filosof Syiah untuk membangun sistem-sistem filosofis yang besar, kokoh dan independen dan juga menyusun metodologi filosofis yang cocok dengan semangat pencaharian filosofos (philoso- phical inquiries) dan sesuai dengan perkembangan zaman. Sistem-sistem filosofis yang mereka bangun ini pada gilirannya memungkinkan mereka untuk mengadakan respon, dialog dan bahkan koreksi yang konstruktif dengan rekan filosofisnya dari dunia Barat. Oleh karena itu, tidak heran kalau seorang Thabathaba'i misalnya telah berhasil dengan baik dalam memberikan dialog atau lebih tepat kritik yang jitu terhadap Marxisme yang pernah dikembangkan di Iran oleh Partai Tudeh dan sangat berpengaruh terhadap kaum intelektual muda Iran. Dalam bukunya Osul-e Falsafeh va Ravesh-e Realim atau Prinsip Filsafat dan Metode Realistik, Thabathaba'i (dibantu dan dipopulerkan olah Murtadla Muthahhari) telah melakukan kritik yang sistematik dalam 14 risalah filosofis terhadap Marxisme, sehingga mampu memperkuat revolusi Iran dari dimensi filosofisnya. Demikian juga Mahdi Ha'iri Yazdi, murid dari Asytiyani dan Imam Khomeini, dan kini seorang professor filsafat di Universitas Teheran, telah mempersembahkan eksposisi filosofis--terutama dri sudut epistimologi--yang kemungkinan "pengalaman mistik" secara filosofis dalam sebuah kayanya yang penting, The Principles of Epistimology in Islamic Philosophy: Knowledge by Presence. Di sini ia menjelaskan dengan fasih dan dengan terminologi modern bahwa pengalaman mistik merupakan pengalaman obyektif dan bisa dijelaskan secara logis, dan bukan seperti yang sering dianggap oleh sementara ilmuwan sekuler sebagai "halusinasi."
Cukuplah kiranya dua contoh di atas menjadi illustrasi kepada kita bahwa tradisi rasional dan filosofis Islam, kalau terus menerus dipertahankan dan dikembangkan akan sangat potensial untuk mampu menjawab tantangan-tantangan filosofis kontemporer yang muncul dari berbagai sistem filosofis dan ilmiah yang bersumber pada ajaran positivisme, materialisme, dan atheisme.
Setelah kita mengetahui tantangan-tantangan filosofis yang kita hadapi saat ini dan urgensi untuk menjawabnya secara memadai, dan setelah menganalisa potensi dan aktualitas dari konservasi dan pengembangan tradisi rasional-filosofis dalam memberikan jawaban-jawaban yang diharapkan, dengan mengetengahkan kasus para filosof Muslim Syiah, maka saatnya kini bagi kita untuk merumuskan tujuan ideal dan sasaran-sasaran tertentu yang hendak kita capai dalam upaya kita menghidupkan kembali ilmu-ilmu rasional.
Adapun tujuan tersebut dapat kiranya dirumuskan sebagai berikut: Revitalisasi ilmu-ilmu rasional kita usahakan untuk mengenal lebih dekat doktrin dan metode penelitian para filosof Muslim. Dari segi metodologi kita ingin mengetahui misalnya berbagai jenis metode ilmiah dan logis yang mereka gunakan (misalnya retorik, puitis, dialektik, dan demonstratif) serta tingkat validitasnya. Selain itu kita juga ingin mengenal lebih jauh lagi kegiatan-kegiatan ilmiah macam apa yang mereka lakukan baik di bidang ilmu-ilmu kealaman (seperti penelitian fisika dan kimia di laboratorium atau eksperimen-eksperimen di bidang optik atau astronomi dan juga instrumen-instrumen pembantu yang mereka ciptakan dan gunakan) maupun bidang-bidang spekulasi filosofis dan pengalaman mistik. Selain tentang metodologi, kita juga ingin mengenal lebih baik lagi ajaran-ajaran (doktrin) filosofis mereka baik yang berkenaan dengan aspek metafisik, epistimologis dan aksiologis termasuk di dalamnya asumsi-asumsi dasar filosofis, rancangan-rancangan metafisik, epistimologi dan etik yang didasarkan pada asumsi-asumsi tersebut dan juga proses evolusi kreatif bangunan filsafat mereka dari yang sederhana sampai yang paling canggih.
Selain itu, revitalisasi ilmu-ilmu rasional ini juga mempunyai tujuan praktis yang tidak kalah pentingnya, yaitu melindungi kepercayaan agama dengan dan dalam sebuah benteng filosofis yang dibangun di atas dasar-dasar logika yang handal. Jadi berbeda dengan tujuan tujuan al-Ghazali dalam menghidupkan kembali ilmu-ilmu agama yaitu untuk menghantam ilmu-ilmu rasional, revitalisasi ilmu-ilmu rasional kali ini justru untuk menguatkan dan melindungi kepercayaan agama dari serangan-serangan filosofis dan ilmiah yang dilancarkan oleh para pendukung filsafat positif-sekuler, dan bukan untuk menggugat apalagi menyerang kepercayaan agama. Tantangan filosofis seperti ini tentunya haarus dihadapi secara filosofis dengan argumen-argumen rasional yang solid dan sistematik, dan bukan dengan dogmaa-dogma religius.
Pusat Kajian Filsafat Islam
Untuk menghidupkan kembali ilmu-ilmu rasional dan merealisasi tujuan ideal yang telah dirumuskan di atas tentu diperlukan suatu upaya kolosal yang tidak mungkin dapat dicapai oleh sekelompok kecil manusia, tetapi harus digarap oleh, dan menjadi tanggung jawab moral dari kaum intelektual Muslim di manapun berada. Tetapi di lingkungan kita yang terbatas ini (IAIN Jakarta) apa yang bisa dan perlu dilakukkan, sebagai partisipasi kita dalam ikhtiar kolosal ini, adalah membentuk pusat kajian filsafat Islam yang kira-kira sejajar dengan STF Driyarkara sebagai pusat kajian filsafat Barat. Faktor yang mendukung pendirian pusat kajian ini di antaranya adalah kenyataan bahwa gerakan pembaharuan yang dilakukan di IAIN Jakarta oleh almarhum Prof. Dr. Harun Nasution masih lebih condong pada pembaharuan teologis, jadi belum lagi mengarah secara khusus pada aspek filosofis. Adapun kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan PPIM juga lebih mengarah pada kajian Islam kontemporer dan lebih bersifat sosio-politis ketimbang filosofis. Sementara kajian-kajian yang marak dalam pengajian-pengajian paket akhir-akhir ini lebih terfokus pada tasawuf populer dan jarang yang menyentuh aspek filosofis.
Untuk mencapai sasaran-sasaran di atas, Pusat Kajiaana Filsafat telah merancang kegiatan-kegiatan utamanya yang meliputi: (1) penerjemahan karya-karya klasik; (2) diskusi dan penelitian tentang isu-isu filosofis yang relevan; (3) penerbitan sejumlah jurrnal ilmuah, dan; (4) penyelenggaraan paket-paket kajian.
Penerjemahan Karya-Karya Klasik
Penerjemahan karya-karya utama pemikir besar dunia ke dalam sebuah bahasa merupakan langkah esensial dalam pembangunan dan perkembangan ilmu pengetahaun, dan bahkan peradaban sebuah bangsa. Ini misalnya berlaku bagi perkembangan ilmu dan peradaban dunia Islam setelah menerjemahkan karya-karya klasik dari pelbagai negara terutama Yunani, maupun bagi ilmu dan peradaban Barat yang berkembang pesat setelah penerjemahan karya-karya klasik Muslim dan Yunani ke dalam bahasa Latin dan Ibrani (Yahudi). Dikatakan esensial karena penerjemahan karya-karya tersebut ke dalam suatu bahasa yang kita mengerti ibarat menyediakan bahan baku bangunan yang tentunya sangat diperlukan (indispensiple) kalau kita hendak membangun sebuah rumah. Karena itu penerjemahan dari karya-karya klasik Islam diperlukan, karena bagaimana kita akan bisa membangun sebuah sistem filsafat atau ilmiah Islam yang canggih untuk menjawab tantangan zaman, kalau bahan-bahan bakunya yang utama tidak tersedia di hadapan kita. Karena itu menurut hemat kami penerjemahan karya-karya klasik ini perlu mendapatkan priorotas sebelum melakukan langkah-langkah berikutnya, yaitu membangun sebuah sistem filosofis yang kita dambakan sendiri, karena penerjemahan seperti ini masih sangat tidak memadai.
Adapun karya-karya klasik yang perlu mendapat prioritas untuk saat ini dapat kita bagi ke dalam tiga kelompok. Pertama, karya-karya utama (masterpiece) dari filosof Muslim seperti al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina, al-Ghazali, Suhrawardi, Ibn Rusyd, Quthb al-Din al-Syirazi, Nashir al-Din Thusi, Mir Damad, Mulla Shadra, Mulla Hadi Sabzawari dan sebagainya. Kedua, karya-karya tentang biografis para filosof, seperti yang ditulis oleh Ibn al-Nadim (al-Fihrist), Ibn Abi Ushaibi'ah ('Uyun Anba fi Thabaqat al-Athibba'), Syams al-Din Syahrazuhri (Nuzhat al-Arwah wa Raudlat al-Afrah), dan lain-lain, yang secara keseluruhan bisa memuat biografi dari ribuan filosof dan ilmuwan Muslim, yang banyak di antaranya belum kita kenal. Yang ketiga, adalah beberapa monograf yang bermutu dan lengkap tentang hidup dan karya para filosof Muslim tertentu baik yang sudah dikenal, seperti Ibn Sina dan Ibn Rusyd, maupun yang belum dikenal seperti Abu Sulaiman al-Sijistani, al-'Amiri dan Quthb al-Din al-Syirazi.
Adapun langkah-langkah teknis yang kita tempuh bisa seperti berikut: pertama kita mendaftarkan karya-karya klasik yang perlu kita terjemahkan. Dari daftar tersebut kita akan periksa mana yang telah ada di tangan kita dan mana yang belum. Yang belum kita miliki akan kita usahakan mencari dan mendapatkannya, baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri. Dari naskah yang sudah kita miliki, kita juga akan memeriksa (dengan bantuan penerbit misalnya) mana yang sudah diterjemahkan, sehingga tidak terjadi penerjemahan ulang dari karya yang sama kecuali kalau terjemahan yang ada kita pandang tidak memadai. Setelah semua bahan telah tersedia, kita kemudian akan menyeleksi karya mana yang perlu dan mungkin kita terjemahkan terlebih dahulu, berapa karya yang kita rencanakan untuk tahun pertama, dan seterusnya--yang tentu saja akan disesuaikan dengan tenaga, dana, dan fasilitas yang tersedia pada saat ini.
Untuk menerbitkannya kita bisa misalnya bekerja- sama dengan sebuah penerbit yang sudah dikenal atau diterbitkan oleh IAIN Press sendiri kalau sudah terbentuk. Selain itu, kita bisa meminta supaya penerjemahan ini dicetak dalam format yang sama (seragam) dan tahan lama (hard cover) sebagai terjemahan serial karya klasik Pusat kajian Filsafat, sehingga sangat ideal untuk koleksi pribadi maupun perpustakaan. Penerjemahan harus diusahakan sebaik mungkin dengan menyeleksi para penerjemah yang disyaratkan bukan saja mahir dalam bidang bahasa, tetapi juga menguasai atau paling tidak akrab dengan bidang filsafat. Selain itu untuk memelihara mutu penerjemahan, perlu dibentuk tim penyunting yang betul-betul kompeten dan bekerja secara serius dan kritis. Untuk itu juga dimungkinkan ada revisi terhadap terjemahan yang sudah ada.
Diskusi Intensif dan Penelitian Filosofis yang Relevan
Penerjemahan karya-karya klasik tersebut di atas, betapapun bermutunya, bukanlah tujuan akhir dari pusat kajian ini, tetapi sarana untuk menfasilitasi kegiatan-kegiatan ilmiah lainnya, seperti diskusi-diskusi tentang perbagai isu filosofis mapun kontemporer yang relevan dengan tujuan pendirian pusat kajian ini, dan penelitian-penelitian yang serius dan kreatif yang memungkinkan terciptanya sebuah sistem filosofis yang dibutuhkan pada saat ini untuk menjawab dengan baik tantangan-tantangan real yang kita hadapi.
Diskusi-diskusi tersebut tentu saja bisa kita arahkan pada isu-isu penting di bidang filsafat baik yang klasik maupun modern. Filsafat modern dan kontemporer kita akan diskusikan bahkan kalau perlu kita teliti, terutama agar kita dapat melihat dengan jelas apa sebenarnya tantangan atau kritik yang muncul dari filsafat modern terhadap filsafat Islam baik yang berkenaan dengan metafisik, epistimologi maupun etik. Tanpa pemahaman yang benar dan mendalam terhadap tantangan dan kritik mereka, tidak mungkin kita akan bisa memberikan jawaban atau dialog yang bermakna dan efektif. Pengkajian terhadap filsafat Barat juga bisa dilakukan dengan maksud untuk mencari tahu jawaban apa yang mereka berikan terhadap tantangan filosofis yang diajukan misalnya oleh kaum materialistk, positivis, dan sekuler terhadap mereka. Dengan begitu kita bisa berharap mendapat dukungan yang berguna dalam merumuskan solusi terhadap tantangan-tantangan filosofis zaman kita.
Adapun diskusi dan penelitian terhadap isu-isu klasik dapat diarahkan pada pendalaman tema-tema filosofis tertentu di bidang metafisik, epistimologi, etis, estetis, politik dan sebagainya, yang selama ini tampaknya kurang mendapatkan perhatian seharusnya. Pendalaman-pendalaman itu misalnya bisa kita arahkan pada konsep para filosof Muslim tentang wujud, yang sangat hangat diperdebatkan oleh mereka, konsep epistimologis, terutama yang berkaitan dengan sumber dan metodologi ilmu yang akan melibatkan pembicaraan tentang metodologi-metogologi dan signifikansinya bagi pemba- ngunan sebuah sistem filsafat, konsep etika sebagai pengobatan spiritual dan pembianaan moral masyarakat, konsep kosmologis, yang menjembatani dunia fisik dan dunia metafisik (yang oleh para filosof Muslim klasik sebenarnya telah secara sangat intensif diperdebatkan dan dikaji dan saat ini juga digandrungi oleh para ilmuwan alam kontemporer), dan konsep-konsep filosofis lainnya yang kita pandang relevan dengan tujuan pusat kajian ini. Pendalaman itu bisa kita arahkan pada metode-metode ilmiah dan filosofis yang telah mereka (para filosof Muslim) bina dan dikembangkan selama berabad-abad dan telah berhasil membangun bermacam-macam sistem filosofis dan sufistik yang canggih dan solid. Demikian juga tradisi dan etos kesarjanaan Muslim adalah hal yang menarik untuk dikaji dan diteliti lebih lanjut di pusat kajian.
Adapun partisipasi dari kegiatan ini bisa terdiri dari "inner circle" yang akan anggota-anggotanya ditentukan berikutnya, para sarjana yang bersimpati dan punya komitmen terhadap cita-cita pusat kajian ini, dan juga mahasiswa pascasarjana, baik IAIN maupun non-IAIN, yang punya minat khusus untuk meneliti aspek-aspek filosofis penting yang selama ini terabaikan. Atau mereka yang tertarik secara khusus pada penelitian terhadap tokoh-tokoh filsafat yang belum banayak dikenal, yang disenut sebagai the Minor Philosopher, atau karya-karya filosofis mereka yang masih langka, dan karya-karya ilmiah lainnya.
Penerbitan Jurnal Ilmiah
Kehadiran sebuah jurnal dalam suatu lembaga ilmiah saperti pusat kajian ini sangatlan diperlukah. Jurnal inilah yang akan merekam perkembangan pemikiran lembaga tersebut, aspirasi, konsep dan aktivitas-aktivitasnya. Perkembangan pemikiran bisa direkam di dalamnya dalam bentuk artikel-artikel pilihan, resume dari penelitian dan riset yang dilakukan pusat kajian, hasil-hasil seminar dan diskusi intensif yang dilakukan inner circle, ataupun tulisan-tulisan terpilih dari paket-paket kajian yang akan melibatkan audiensi dana narasumber yang lebih luas. Termasuk juga di dalamnya resensi atau analisis kritis terhadap karya yang dikaji atau diterjemahkan. Aspirasi dan konsep-konsep anggota atau pihak terkait bisa tercermin dalam jurnal tersebut dalam arikel-artikel lepas yang inspirasional baik yang ditulis oleh sarjana-sarjana dalam maupun luar negeri yang kita pandang sangat bagus dan membangkitkan minat pembicaraan intelektual yang lebih intensif. Kegiatan-kegiatan ilmiah dapat direkam baik dalam laporan khusus tentang kegiatan-kegiatan akademis atau rekreasional yang dilakukan lembaga itu, maupun dalam tema-tema tertentu dan topik-topik yang dipilih untuk jurnal tersebut.
Karena itu Pusat Kajian Filsafat Islam bermaksud untuk menerbitkan sebuah jurnal ilmiah dengan nama "Philosophia." Namun ini dipilih sesuai dengan fokus jurnal ini --yang juga pada gilirannya merupakan refleksi dari fokus pusat kajian itu sendiri-- yaitu filsafat, khususnya filsafat Islam. Jadi jurnal ini akan berbeda dengan jurnal-jurnal lain yang semakin marak akhir-akhir ini, karena fokusnya pada filsafat. Sumber-sumber tulisan yang akan dimuat dalam jurnal ini akan fleksibel: bisa artikel lepas, artikel terjemahan, artikel hasil-hasil diskusi, penelitian dan seminar yang akan diselenggarakan pusat kajian. Bisa juga sumbangan dari tulisan sarjana-sarjana dalam dan luar negeri yang kita pandang punya relevansi yang jelas dengan misi dan visi pusat kajian. Jurnal ini akan dengan gembira memuat resensi buku-buku terbaru dalam dunia filsafat yang sangat perlu diketahui dan diikuti perkemba- ngannya; seperti juga laporan-laporan mutakhir perkem- bangan filsafat baik di dunia Islam maupun Barat yang relevan. Selain itu jurnal ini akan tertarik tulisan-tulisan ilmiah yang menelusuri perkembangan metafisis di dunia Barat, baik di bidang sains maupun filsafat sendiri, dan pelbagai tulisan yang bermanfaat bagi perkembangan pusat kajian ini.
Penyelenggaraan Paket-paket kajian
Kegiatan-kegiatan ilmiah yang sejauh ini kita bicarakan mungkin akan bersifat terbatas karena dishare oleh kelompok kecil yang terlibat langsung dalam kegiatan pusat kajian. Tetapi manakala dipandang perlu untuk mengkomunikasikan hasil-hasil temuan dan eksplorasi ilmiah filosofis kepada kalangan yang lebih luas, maka pusat kajian akan menyelenggarakan paket-paket kajian dengan mengambil tema-tema khusus dalam bidang metafisika, epistimologi, etika, politik, dan sebagainya atau kalau mungkin kajian-kajiaan tokoh dan topik topik ilmiah lainnya.
Untuk itu pusat kajian akan membuat panitia khusus sebagai penyelenggara paket-paket kajian secara profesional dengan tema-tema tertentu yang akan diputuskan terlebih dahulu oleh rapat pusat kajian. Dalam penyeleng-garaan program tersebut pusat kajian akan menggalang kerjasama dengan pelbagai instansi yang berminat baik instansi akademik, lembaga-lembaga pemerintahan dan pendidikan, ataupun kelompok-kelompok studi dan media massa yang merasa yakin akan mendapat keuntungan dari kerjasama tersebut.
Adapun nara sumber akan kami seleksi dari sarjana-sarjana yang betul-betul menguasai bidangnya. Kalau perlu kita akan mencoba datangkan pakar-pakar dari luar negeri baik dari Timur Tengah maupun Barat, baik Muslim maupun non-Muslim. Sedangkan peserta program paket kajian ini terbuka bagi siapa saja yang merasa akan mendapatkan manfaat dari kegiatan tersebut di atas, terutama dalam menghadap pelbagai tantangan zaman yang semakin tidak menentu. Jadi, tujuan program paket kajian filsafat ini tidak lain daripada mempopulerkan diskursus filsafat kepada yang lebih luas dan beragam agar dengan demikian pusat kajian dapat memberikan sumbangan pikiran yang konstruktif dan bermanfaat bagi bangsa dan negara tercinta.[]
Never miss a thing. Make Yahoo your homepage.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar