Kebenaran bersifat relative, benarkah? Bisa benar bisa salah, tergantung domainnya dan platform kesadaran yang digunakan
Ada kebenaran absolute, memang “seharusnya” iya, namun itu jauh di ujung pencarian yang masih jauh dari jangkauan, hanya bisa kita capai dengan platform kesadaran hati nurani atau kesadaran tinggi atau apapun istilahnya yang jelas di atas akal/logika
Tapi dalam domain fisik dengan platform kesadaran akal/logika, relativitas ini sangat benar dan di domain inilah sekarang kita hidup..dan justru dalam relativitas dan subyektifitas kebenaran itulah ada tugas untuk mencari sang kebenaran, dari arah relative masing2
berita sedihnya, perjalanan dalam platform akal/logika ini tidak akan pernah membawa kita pada kebenaran absolute….dari sudut platform kesadaran akal/logika, ini sebuah tugas yang pasti tidak akan pernah diselesaikan namun harus dilakukan….ada 2 manfaat: manfaat praktis dalam domain fisik/akal logika dan pengantar untuk perjalanan pencarian berikutnya
Ruwetnya, orang sering kali mengabsolutkan product akal/logika yang sangat relative hingga terjadi benturan2 yang tidak perlu…bila dilakukan dengan benar, seharusnya relasi antar kesadaran dalam platform akal/logika seharusnya “hanya” dalam skema bertukar informasi posisi dan situasi masing2 pencari kebenaran sambil tetap dalam semangat pencarian dan menyadari sepenuhnya ketersesatan masing2
Apapun realitas yang bisa disadari dan product dari akal/logika adalah relative, semua pengetahuan dan “tatanan umum” bahkan termasuk pengetahuan yang dianggap sebagai “petunjuk dari Sang Maha Hidup”…realitas yang dibawa petunjuknya bisa jadi benar absolute, tapi tetap harus diposisikan sebagai “petunjuk” dan bukan sang realitas itu sendiri…dan sejauh yang bisa ditangkap “yang diberi petunjuk”, tetaplah relative
pergulatan “haq dan batil” bukanlah pergulatan diri dengan sesuatu yang diluar…..tapi murni pergulatan di dalam diri. Dalam pergulatan inilah selalu timbul ketakutan jauh di alam bawah sadarnya untuk keluar dari apa yang kadung diterima sebagai “eksistensi” dirinya…ketakutan eksistensial, yang keluar memanifestasi dalam 2 bentuk: melihat apa2 yang berbeda sebagai “musuh” dan kalau perlu mencari musuh untuk meneguhkan esksistensi
terakhir, kemampuan mengatasi ketakutan eksistensial inilah ukuran sebenarnya kedewasaan spiritual seseorang
Salam,
Anwar
From: psikologi_transform
Sent: Saturday, March 22, 2008 9:30 AM
To: psikologi_transform
Subject: Re: [psikologi_transfor
Ini sebuah refleksi atas pemahaman causa prima. Good composing.
Cuma sayangnya, penulisnya berpemahaman relativisme, yakni kebenaran bersifat relatif.
Sebenarnya tidak demikian.
Sungguh sudah mesti menjadi keniscayaan bahwa Tuhan, yang kewujudan atau eksistensinya
telah diyakini oleh penulis, akan memberikan petunjuk kepada makhluk-Nya.
Dan petunjuk itu MUTLAK kebenarannya, tidak relatif.
Kebenaran hanya ada 1, yang konsisten sejak jaman ALIF sampe YA', tidak bertentangan satu sama lain.
Soal orang bebas berbeda pendapat atau sikap, silakan saja, karena manusia diberi kebebasan,
tapi tentu saja ada konsekuensinya. Bahasa PMP-nya,"kebebasan yang bertanggung jawab".
Agama memang tak dapat dipaksakan.
Tapi barang siapa merusak tatanan umum, memfitnah agama, menipu, menyebar berita bohong,
dlsb, rasakan akibatnya, di dunia ataupun di akhirat, atas hukum positif manusia dan juga
hukum akhirat.
Pergulatan haq dan bathil mungkin tiada ujungnya hingga kiamat.
Karena itu, perlu ada akhirat, untuk mendapatkan pengadilan yang haqiqi, siapa yang benar-benar
mengikuti petunjuk Tuhan yang haq. Ya, petunjuk yang haq (otentik) dari Tuhan yang haq.
On Fri, Mar 21, 2008 at 11:13 PM, Yayak Heriyanto <mesfo96@yahoo.
Logika adalah anugerah, dan semua orang berhak dengan logikanya sendiri, sekalipun bercorak ekstrim. Begitulah sehingga setiap pendapat dihargai orang tanpa mengenal individunya. Demikian pula logika dalam uraian ini, adalah merupakan racikan tersendiri karena merupaka sebuah hasil logika. Hamper semua buah pikiran yang mencari kebenaran cenderung menggunakan logika menurut latar belakang dasar berpikir masing-masing, dan logika relative tidak salah dari dasar pijakan sendiri.
Orang lain berhak mengklaim keliru terhadap suatu pendapat, sebab kenyataan ini juga berlandaskan pada hak dan latar belakang cara berpikir tadi. Bijaklah orang yang mau mengaku bahwa, "tidak ada yang salah dalam hidup ini, sebab segala sesuatu 'wajib' relative, tergantung dari sisi mana seseorang memandangnya. Yang salah adalah ketika orang itu melukis wajah Tuhan dalam kanvas, karena logika yang melandasi imajinasinya dari awal sudah keliru. Mengapa tidak, jika lukisan itu kita lirik dan berlalu seakan tidak pernah hadir di pelataran kanvas.
Seseorang membaca jalan pikiran orang lain adalah suatu yang bijak. Bagaimanapun mata tidak mampu berada dalam dua tempat yang berbeda untuk menyaksikan dua kejadian sekaligus.
Sekarang uraian ini akan membawa kedalam relung-relung pikiran yang abstrak, meraba dan menyaksikan betapa rekaman pikiran orang lain dalam suasana persepsi yang saling berbeda. Orang lain dapat membawa pikiran berkelana ke suatu sudut ruang yang tidak semua mampu menggambarkannya dan berakhir pada kulminasi "bagaimana menghargai pendapat orang lain".
Kata kebanyakan orang Ortodoks, bahwa tuhan itu bukan zat. Logika ilmiah mengatakan hanya ada tiga zat, padat, cair, dan gas. Selain itu tidak ada. Tetapi ada sesuatu yang bukan zat yang selalu digunakan untuk memikirkan sesuatu yang ilmiah "pikiran" itu sendiri. Adakah yang mampu menggambarkan seperti apakah wujud pikiran itu? Jika tidak ada, artinya ada zat yang tidak berbentuk seperti zat yang kita kenal.
Marilah telusuri suasana batas pikiran yang pernah terlintasi imajinasi. Mulailah berimajinasi dengan logika tentang sesuatu yang tidak ada, tentang alam semesta ini sebelum diciptakan atau sebelum menjadi ada. Ketika imajinasi itu tercapai, alam semesta gelap dan kosong. Anda tidak menyadari bahwa sesungguhnya hasil imajinasi tidaklah benar-benar kosong, sebab ada pikiran anda yang membayangkannya. Pikiran itu yang membuat tidak kosong mutlak. Anda mulai berpikir dan bertanya, sebelum ada ruang kosong itu, apakah yang mengisinya? Mungkin udara atau debu-debu alam semesta! Secara pasti dalam ruang kosong itu ada sesuatu meskipun hampa udara.
Lalu, lanjutkan rekreasi menuju pertanyaan mundur berikutnya, apa yang mengisi sebelum debu dan gas itu? Atau, kita bertanya sebelum segala sesuatu ada, apa yang ada? Jawabannya kembali kepada anda, bahwa pikiran anda jauh lebih dahulu ada sebelum segala sesuatu ada, bagaimanapun anda sudah sampai ke
Andaikan seorang abadi mengelilingi dunia, akhirnya ia akan berkesimpulan bahwa bumi ini tidak memiliki ujung.
Betapa kompleksnya permasalahan jika kita hendak menelusuri sesuatu yang semestinya bukan santapan otak manusia. Mengapa tidak, bukankah kita diizinkan membuka tabir-tabir rahasia yang terhijab dalam alam semesta ini? Berkukuh ingin menampak wajah Tuhan, atau mengklaim tuhan ini seperti ini dan itu, bukankah hal yang dilarang. Bila kita masih berpijak pada logika, tentu jawabannya sederhana saja, bahwa prosessor computer DX, hanya mampu menganalisis data yang berukuran kecil dan sederhana. Akankah otak yang sedemikian terbatas ini diperuntukkan menganalisis ilmu yang menciptakan otak itu sendiri?
Change settings via the Web (Yahoo! ID required)
Change settings via email: Switch delivery to Daily Digest | Switch format to Traditional
Visit Your Group | Yahoo! Groups Terms of Use | Unsubscribe
__,_._,___
Tidak ada komentar:
Posting Komentar