Harian Republika telah menyinggung perasaan umat Hindu
Pada Selasa pagi (11/9) saya terima email dari Bli I Gusti Purwaka yang tak saya kenal sebelumnya. Dari namanya, jelas dia orang Bali, dan pemeluk agama Hindu. Mungkin ia tahu emailku karena kebetulan saya memoderasi beberapa milis.
Isinya sebagai berikut:
Bung Moderator,
Semoga anda sudi memuat tulisan keluhan hati minoritas ini.
Shanti,
I.G. Purwaka
--
igpurwaka@fastmail.
------------
Lalu lampirannya saya buka. Saya pikir berbentuk sebuah tulisan opini. Ternyata sebuah puisi karya Saut Situmorang. Berikut isi lampirannya:
Harian Republika yang Islami itu dalam edisi 26 Agustus 2007 lalu memuat sajak seperti ini:
para pelacur pun
masih di kamarnya bergelut. dalam kabut
alkohol aku biarkan kata kata
menjebakku dalam birahi
rima metafora. kemulusan kulit
kupu kupumu dan garis payudaramu
yang remaja membuatku cemburu
pada para dewa yang, bisikmu,
menggilirmu di altar pura mereka.
Sajak itu karya seorang penyair yang bernama Saut Situmorang. Kalau saya baca kalimat -kalimatnya yang klise dan bombastis, penyairnya kelihatannya masih baru belajar menulis. Akan tetapi untuk penyair yang baru belajar sekalipun seyogyanya tidak pantas memakai kata-kata yang meletakkan seksualitas sebagai ukuran sastra.
Sangat saya sayangkan Republika yang Islami itu telah kecolongan diisi oleh seorang penyair yang jorok pikirannya. Apalagi di dalam sajak tersebut saya dapatkan kata-kata yang sangat menyinggung perasaan orang Hindu Bali, misalnya disebut "para dewa" yang "menggilir" perempuan di altar "pura" mereka.
Harap kita waspada terhadap langkah-langkah seperti ini.
Merdeka,
I.G. Purwaka
Catatan:
Apabila Anda ingin berkomentar, silakan kirimkan email kepada Saut Situmorang: sautsitumorang@
Dengan c/c kepada: sekretariat@
____________
From: Ketut
E-mail: ketut@infracell.
OM Svastyastu,
http://www.republik
Saut Situmorang menulis sajak :
lalu laut menyapa
dengan pasir pantai dan cemburu
matahari pagi. tak ada suara
burung laut, para pelacur pun
masih di kamarnya bergelut. dalam kabut
alkohol aku biarkan kata kata
menjebakku dalam birahi
rima metafora. kemulusan kulit
kupu kupumu dan garis payudaramu
yang remaja membuatku cemburu
pada para dewa yang, bisikmu,
menggilirmu di altar pura mereka.
Koran yang Islami itu, memuat syair puisi yang mungkin karena mutunya terlalu tinggi, sehingga saya tak bisa menangkap makna apapun selain pelecehan, dari sebuah intelek yang lekat tak jauh dari wilayah selangkangan. ..
____________
TANGGAPAN
From: Bujang Kelana
E-mail: bujangkelanatua@
Untuk seorang penulis pemula, bumbu-bumbu seks memang mujarab untuk mendongkrak popularitasnya. Mutu mungkin tak teraih darinya, tapi rumus semacam ini sering diresepkan. Hanya memang disayangkan jika redaktur koran/majalah juga kurang luas wawasannya maka loloslah sampah sampah demikian di halamannya.
Salam ......
Bujang Kelana
____________
From: Ahmad Su'ad, Jakarta
E-mail: ahmadsuad@yahoo.
Sebagai pembaca setia harian Republika saya amat sedih dengan termuatnya sajak porno yang murahan seperti itu. Apalagi dimuat menjelang Bulan Ramadhan yang bisa mengganggu ketenangan umat. Ditambah lagi, sajak tersebut mengganggu perasaan pemeluk agama lain. Semoga redaksi pengasuh rubrik tersebut cepat insyaf dan meminta maaf secara terbuka kepada para pembacanya. Ingat, Republika adalah bacaan umat bukan koran murahan.
Wassalam,
Ahmad Suad
____________
From: Satrya Wibawa
E-mail: ketutsatrya@
Kira-kira, apakah Republika akan memuat ini kalau kata-kata "pura" diganti "mesjid"?
Kemudian "dewa" diganti "malaikat" atau "nabi"?
____________
From: Halim HD, Solo (Jateng)
E-mail: halimhade@yahoo.
Saut, jangan tergoda dengan adu domba gaya spion Melayu yang pake segala cem-macem cara. Kasihan juga tuh 'minoritas' yang merasa 'dewa'-nya dituding oleh Saut. Tapi, yang paling kasihan adalah 'warga-minoritas' yang bisanya cuma terkaing-kaing
mengadu. Padahal 'dewa'-nya sendiri masa bodoh. Kenapa pula dia tak murka dengan penjualan 'patung-patung dewa' di negaranya, di Bali, yang kayak rombengan dan hanya sekedar untuk devisa.
hhd.
____________
From: Doel CP Allisah, Banda Aceh
E-mail: aliansisastrawan_
Saudara Halim,
Kami sangat prihatin persoalan keyakinan menjadi suatu bahasa olok-olok, dan sangat tidak pantas kita bicara seperti itu. Kepada saudara-saudara di Bali khususnya, semoga tidak terpancing dengan suara-suara "asbun" tersebut!
Salam dari Aceh
Doel CP Allisah
[kord-ASA]
____________
From: Halim HD, Solo (Jateng)
E-mail: halimhade@yahoo.
Silakan ajukan ke pengadilan jika memang saya menghina. Kenapa pula berbagai jenis patung dewa Bali dijual-perbelikan di art shop? Apa Anda buta? Atau Anda hanya ingin memanipulasi lantaran Anda tak mampu menghadapi saut situmorang yang seorang?
Apa Anda mau bikin forum publik secara langsung? Kapan saja, saya bersedia, bahkan di
Denpasar sekalipun.
hhd.
____________
From: Wayan Sunarta
E-mail: bukitvenus@yahoo.
Puisi Saut adalah parodi
Salam,
Masih saja ada orang-orang picik yang membela tuhannya dengan mengatasnamakan massa agama. Kalian, wahai orang-orang picik, ngerti puisi gak sih?
Puisi Saut itu yang kalian permasalahkan merupakan sebuah puisi plesetan atau parodi dari sebuah puisi berjudul "Aku Pelacur Para Dewa" karya Pranita Dewi (Ni Wayan Eka Pranita Dewi), seorang penyair Bali yang beragama Hindu asli dan cucu seorang pemangku di sebuah pura di desanya. Penyair itu telah menerbitkan buku puisinya berjudul "Pelacur Para Dewa", silakan borong di toko-toko buku langganan kalian, kalo kalian memang suka dan mau baca puisi dengan benar!! Dan silakan simak puisi-puisinya yang lebih gila dan sadis ketimbang sajak Saut yang kalian tuding menghina agama Hindu-Bali itu!!!
Coba, bagian mananya sajak Saut menghina Hindu?? Apa karena ada kata "pura"? Atau kata "dewa"?? Kalian sama saja dengan kaum fundamentalis picik!!!
Memang di dunia ini ada saja oknum-oknum yang terjebak dalam pikiran picik fundamentalisme-
Saya orang asli Bali dan merasa malu dengan tudingan-tudingan kalian pada karya sastra (puisi)!!!
Salam,
Wayan Sunarta
____________
Posted by: Hendi 004
E-mail: hendi0042000@
Wah....wah..
Tolong bung, Anda berpikir bahwa di Indonesia ini ada 5 agama dan juga ada beberapa aliran. Tolong ya hargai mereka, jangan kayak pikiran picikmu.... yang mengatakan diadu domba itu. OK?
Belajarlah berpikir rasional saja, dan hargai orang lain.
____________
Posted by: Adi Djoko
E-mail: masadidjoko@
Untuk Bung Halim HD, kehendak menjadi populer boleh saja, asal tidak saling menyinggung perasaan orang dan kelompok lain
____________
From: I Gede Junidwaja
E-mail: igjuni@yahoo.
OM Svastyastu,
Saya bisa melihatnya dari 2 sisi:
1. Bahasa Sanskerta atau Budaya Hindu adalah bahasa terbaik untuk ekspresi seni. Sampai hari ini sulit dibantah, silakan hitung dengan word counter jumlah kosa kata terpakai dalam karya sastra.
2. Sisi negatif: ternyata ada saja pihak luar yang sibuk mencari cara-cara mendiskreditkan Hindu. Bagi saya pribadi Hindu tidak memerlukan demo dan pembelaan jalanan, dia lebih memerlukan bukti dan karya nyata bagi penganutnya sendiri dan juga
kemanusiaan.
____________
From: Ketut
E-mail: ketut@infracell.
OM Svastyastu,
Pak De Juni, saya setuju kita tidak perlu demo atau pembelaan jalanan, apalagi bakar-bakar segala :).
Bekerja, menyumbangkan potensi terbaik bagi dunia dan kemanusiaan, adalah hal mulia dan sangat penting. Tetapi diam membisu ketika tetangga mengatakan dewa yang kita puja bercumbu dengan pelacur di altar pura, yang notabene tempat suci kita, juga
rasanya terlau pasif. Lalu kapan kita akan mulai mengatakan "tidak?". Apakah menunggu telinga kita bengkak, atau menunggu mereka membawa berkarung-karung batu untuk menghancurkan pura kita?
santih,
____________
From: Satrya Wibawa
E-mail: ketutsatrya@
Dan kenapa menyuarakan itu menjadi penting? Barangkali itu refleksi kelelahan untuk berdiam atau berdiri di balik kata toleransi. Boleh dong sesekali bersuara. Maaf. Cukup panjang. Sekadar keluh kesah.
satrya
____________
From: Ging Ginanjar
E-mail: ging.ginanjar@
Saya mengerti kalau sejumlah orang Hindu merasa tersinggung. Lebih-lebih sajak itu ditulis bukan oleh orang Hindu sendiri.
Tidak sedikit memang penyair yang membutuhkan "setrum" puitisnya dari nada "keras" dan "radikal". Sebagaimana sajak Saut ini berkaitan kepercayaan Hindu. Atau sajak "Malaikat" karya Syaiful Badri yang sebetulnya lincah, jenaka dan jahil (Syaiful Bahri sendiri adalah seorang Muslim sangat salih, jadi ia bukan "orang luar")
Namun saya menjunjung hak kebebasan penyair. Kendati itu menyakitkan. Yang harus ditolak adalah jika misalnya saja penyair itu menyerukan hasutan kekerasan. Saya juga menyesalkan kalau misalnya ada Dewan Dakwah Hindu Dharma --misalnya, lho-- menuntut Republika dan penyairnya untuk minta maaf.
Biar sajalah. Hindu tak akan hancur oleh sebuah sajak Saut Situmorang. Para Dewa tak akan tercoreng martabatnya. Sebagaimana sebetulnya Islam tak akan tercoreng oleh sajak Malaikat dari Syaiful Bahri (sekali lagi: umatnya sendiri) atau Salman Rushdie
atau siapapun.
Saya mengerti kejengkelan Anda, Syatria, dan kaum Hindu. Namun santai sajalah. Santai.
____________
Posted by: Satrya Wibawa
E-mail: ketutsatrya@
Mas Ging,
Ukuran ketersinggungan akan mejadi relatif. Saya pribadi tidak merasa tersinggung. Beberapa kawan lain juga mungkin berpendapat sama.
Tapi, persoalannya bagi saya, sama seperti isi email saya sebelumnya, apakah Republika akan memuat puisi yang sama jika kata-katanya diganti "mesjid", "nabi",
atau "malaikat"?
Tat twam asi. Aku adalah kamu. Kamu melukai orang lain sama artinya dengan kamu melukai dirimu sendiri. Hormati dan hargai orang lain jika ingin dihormati dan
dihargai orang lain. Sesimpel itu. Tapi mungkin Republika punya pemikiran dan konsep lain. Yah, mungkin Republika memang pantas dihargai seperti halnya cara mereka menghargai orang lain.
Kawan-kawan Hindu yang saya tahu memang terbelah dua, tersinggung dan tidak. Tapi merujuk pada satu pemahaman, ketersinggungan itu disuarakan. Apalagi yang memuatnya adalah media Islam.
Caranya bagaimana? cukup dengan surat pembaca. Saya kutipkan isi surat pembaca yang dikirim salah satu kawan ke Republika, entah dimuat apa tidak: Saya juga akan mengirim surat yang bernada sama.
Mencermati puisi BANTUL MON AMOUR yang dimuat Harian Republika Minggu, 26 Agustus 2007, khususnya bagian "para pelacur pun masih di kamarnya bergelut. dalam kabut alkohol aku biarkan kata kata menjebakku dalam birahi rima metafora. kemulusan
kulit kupu kupumu dan garis payudaramu yang remaja membuatku cemburu pada para dewa yang, bisikmu, menggilirmu di altar pura mereka", saya menyatakan protes dan keberatan atas dimuatnya puisi tersebut.
Sebagai Umat Hindu saya menghargai karya-karya seni yang disampaikan dalam bahasa kesopanan dan kearifan, dan bahkan mengakui bahwa karya seni adalah salah
satu barometer budaya manusia. Namun, membaca puisi tersebut yang secara jelas tersirat mengatakan "para dewa menggilir pelacur di altar pura" adalah sebuah penghinaan yang teramat dalam terhadap keyakinan saya. Apakah puisi ini sesuai dengan
standar kualitas, moral, etika, dan standar nilai yang dianut oleh Republika sehingga dapat dimuat dalam salah satu halamannya?
Apakah menurut Republika, puisi-puisi semacam ini berguna dan berharga sebagai karya seni, sehingga dengan demikian, dapat dijadikan barometer kemajuan budaya manusia? Dan lebih lagi, apakah puisi ini berguna dalam memberikan sebuah nilai kepada masyarakat indonesia dalam kondisi bangsa yang carut marut seperti saat ini ?
Protes dan keberatan ini saya sampaikan sebagai pembaca, Umat Hindu, yang merasa keyakinannya dilecehkan oleh puisi tersebut. Semoga dapat dimuat sebagaimana Republika memberikan ruang pada puisi tersebut di salah satu halamannya.
____________
From: Nugraha Adijaya
E-mail: nugradi@yahoo.
Sudah sepantasnya pihak Pemda Bali mencekal Saut Situmorang yang berotak kotor agar tidak menginjakkan kaki di Pulau Dewata. Lewat tulisannya yang penuh penghinaan kepada umat Hindu, ia jelas-jelas ingin memancing di air keruh. Apalagi baca komentar Halim HD di berbagai milis yang semakin mengukuhkan bahwa ia piaraan Saut Situmorang. Bisanya cuma membebek saja seperti kerbau dicucuk hidungnya.
Hai kalian berdua, kalau ingin namanya jadi populer, tolong jangan menginjak kaki orang lain dong. Berkaryalah dengan benar dan santun.
Yang juga amat sayangkan, kenapa sajak murahan itu dimuat di koran Republika yang katanya Islami? Kalau dimuat di koran Pos Kota, saya masih bisa memaklumi. Adakah agenda tersembunyi dari mereka?
____________
From: Dharsana Matratanaya
E-mail: dmatratanaya@
Om Swastyastu
Saya pikir puisi semacam itu kita anggap sebagai angin lalu saja, tidak perlu direspons secara besar dan serius. Letakkan di parking lot. Tutup.
suksma,
dharsana
____________
e-mail: radityo_dj@yahoo.com
Don't let your dream ride pass you by. Make it a reality with Yahoo! Autos.
Change settings via the Web (Yahoo! ID required)
Change settings via email: Switch delivery to Daily Digest | Switch format to Traditional
Visit Your Group | Yahoo! Groups Terms of Use | Unsubscribe
.
__,_._,___
Tidak ada komentar:
Posting Komentar