CARBON TRADE SUATU KEBOHONGAN GLOBAL
Oleh Desmiwati
Peningkatan suhu bumi atau lebih sering disebut dengan pemanasan global memang merupakan hal yang nyata, dan terbukti dari sejumlah pengamatan atas meningkatnya suhu udara dan samudra, meluasnya salju dan es yang meleleh, dan naiknya tinggi muka air laut rata-rata.(IPCC WGI 2007).
Pada pertemuan bumi tahun 1992 di Rio (Rio earth Summit) untuk pertamakalinya UNFCCC (UN Frameworks Convention on Climate Change) menyadari perubahan iklim global sebagai sebuah problem dan mendorong suatu aksi besar dunia untuk merespon hal tersebut. Indonesia meratifikasi Konvensi Perubahan Iklim (United Nations Framework Convention on Climate Change, UNFCCC) melalui UU No. 6 tahun 1994. Tujuan konvensi ini terkesan sangat mulia yaitu untuk menstabilkan konsentrasi gas rumah kaca (GRK) di atmosfer sehingga tidak menimbulkan gangguan terhadap kondisi iklim di dunia. Konvensi ini mulai berlaku sejak tanggal 21 Maret 1994 setelah diratifikasi oleh 50 negara.
Pada Pertemuan Para Pihak yang ke-3 di Kyoto, Jepang (1997), sebuah tata cara penurunan emisi gas rumah kaca disepakati oleh Para Pihak. Kesepakatan yang dikenal sebagai Protokol Kyoto ini menargetkan dan menjadwalkan penurunan emisi yang harus dilakukan negara Annex-1 (yang terdiri dari negara industri serta negara dengan eknomi dalam transisi), yaitu sebesar 5,2% dari tingkat emisi bersama mereka di tahun 1990. Target ini harus dicapai dalam Periode Komitmen Pertama yaitu 2008-2012.
Antara tahun 1850 dan 2005 Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) melaporkan kenaikan temperatur global 0.76 Cº. Sepanjang abad ke 20, Benua Asia telah mencatat rekor kenaikan tertinggi 1 derajat C (IPCC WGI 2007). Karena emisi akan tetap berada di atmosfer dalam waktu lama, IPCC memprediksikan pemanasan 10 tahunan sebesar 0.2 derajat C hingga 2030, yang mengindikasikan kenaikan suhu rata-rata 0.6 derajat C (IPCC WGI 2007).
Beberapa dampak yang terjadi sebagai akibat dari Pemanasan Global antara lain, hilangnya pendapatan dari pertanian dan bertambahnya biaya pengelolaan sumber air, pesisir, dan penyakit serta risiko-risiko kesehatan akan menyeret aktifitas ekonomi, khususnya di negara-negara yang saat ini memiliki pertumbuhan stagnan. Lebih jauh lagi, bahkan dengan ekonomi regional yang bertumbuh, dampak lokal perubahan iklim seperti kolapsnya perikanan atau terbenamnya lahan pertanian, dapat memporak-porandakan ekonomi lokal (Preston et al 2006). United Nation Food and Agriculture Organisation (FAO) memperkirakan bahwa perubahan iklim akan berakibat pada menghilangnya produksi sereal sebesar 280 juta ton di 65 negara selatan. Berdasarkan riset CANA (CANA 2006) di negara-negara selatan, perubahan iklim akan mengurangi produksi pertanian yang sangat tergantung pada hujan sebesar 11% di tahun 2080. Ilmuwan-ilmuwan di International Rice Research Institute (IRRI) di Manila-Filipina, menemukan bahwa setiap derajat kenaikan temperatur akan mengurangi 10% produksi beras. Kurang lebih 20-30 % tanaman dan spesies hewan diperkirakan akan terancam punah jika suhu meningkat 1.5-2.5ºC (IPCC WGII 2007). Sepanjang abad ini jumlah karbon yang dilepas oleh ekosistem teresterial akan memuncak sebelum pertengahan abad dan kemudian melemah atau berbalik, memperkuat perubahan iklim dan menghancurkan sumber daya hutan bagi komunitas lokal.
Banyak skema yang didorong dalam upaya mengurangi dampak dari pemanasan global ini, diantaranya yang paling sering disebut adalah Perdagangan Carbon. Bagi banyak kalangan industrial, pemerintah dan juga akedemisi yang pro terhadap Carbon Trade. Carbon Trade dianggap sebagai sebuah upaya “Win-Win Sollution” dalam mengatasi kerusakan lingkungan dan pemanasan iklim global. Dimana mereka menilai bahwa adalah sewajarnya negara Selatan untuk memelihara hutannya dan negara Utara menggantikannya dengan uang. Mekanisme dan aturan dalam Carbon Trade dinilai adil dan menguntungkan. Benarkah demikian? Kalau kita cermati dengan lebih dekat, maka akan dapat kita lihat ketidak-adilan dalam mekanisme ini dan juga akan kita lihat banyak kebohongan di dalamnya.
Perdagangan Karbon lebih menguntungkan kaum industri di negara-negara Utara dan merugikan banyak pihak di negara-negara Selatan, terutama rakyat di negara-negara Selatan. Negara-negara Anex 1 akan mendapatkan manfaat lebih besar, sementara negara macam Indonesia yang masuk kategori negara non anex hampir tidak mendapat keuntungan dari situ. Carbon Trade adalah suatu upaya dari negara-negara industri untuk menipu dunia. Mengapa demikian? Kalau kita melihat dari jenis perdagangan karbon yang ada, pada dasarnya ada dua jenis perdagangan karbon diikuti oleh varian-variannya. Pertama adalah perdagangan emisi (emission trading). Yang kedua adalah perdagangan kredit berbasis proyek (trading in project based credit). Seringkali dua kategori tersebut disatukan menjadi sistem perdagangan hibrida.
Dalam protokol Kyoto para negara-negara pencemar menyepakati target pengurangan emisi hingga masa tertentu sebelum Protokol Kyoto. Para pembuat polusi diberikan sejumlah “kredit emisi” yang setara dengan tingkat emisi mereka tahun 1990 dikurangi dengan komitmen target pengurangan emisi. Kredit ini diukur dalam unit gas rumah kaca, jadi satu ton CO2 setara dengan satu kredit. Kredit ini adalah lisensi untuk mengotori udara untuk mencapai reduksi rata-rata 5.2 % seperti yang disepakati di Kyoto. Negara-negara kemudian dapat mengalokasikan kuota kredit pada basis wilayah negara, terutama dengan cara “grandfathering”, jadi semakin besar negara tersebut melakukan polusi semakin besar jatah kreditnya. Sistem ini menganut membayar untuk mencemari.
Sejumlah kemungkinan dari sistem ini:
1. Pencemar tidak menggunakan seluruh hak (kebolehan) mencemari dan dapat menyimpan kredit untuk periode berikutnya (menyimpannya dalam bank), atau menjual kredit kepada pencemar lain di pasar terbuka.
2. Pencemar menggunakan seluruh hak (kebolehan) dalam satu waktu tertentu, dan masih mencemari lebih. Agar tetap mematuhi kuota, sisa kredit harus dibeli dari pencemar lain yang belum menggunakan seluruh hak (kebolehan) mencemarnya.
3. Pencemar dapat melakukan investasi pada skema reduksi polusi di negara lain atau wilayah lain dan dengan demikian mereka mendapat 'kredit' yang dapat dijual, disimpan, atau digunakan untuk memperbesar kebolehan mencemari lebih dari yang diperbolehkan sebelumnya.
Proyek-proyek yang mendapat kredit di satu negara yang tidak diwajibkan mereduksi target (umumnya di negara berkembang, Selatan) menjadi bahasan penting dalam 'Clean Development Mechanism' (CDM). Sejumlah gejala menunjukkan bantuan luar negeri (Overseas Development Aid, ODA) tradisionil akan digunakan untuk mendanai proyek-proyek CDM. Negara-negara kaya akan menanami pohon untuk menyerap polusi mereka sendiri dan tidak lagi membuat sumur air bersih bagi orang miskin di negara-negara berkembang. Proyek-proyek yang dilaksanakan di negara-negara dengan target reduksi disebut Joint Implementation (JI). Sebagai contoh pelaksaan JI misalnya; program efisiensi energi di Polandia yang didanai oleh perusahaan Inggris. Tampaknya, proyek-proyek JI akan dilaksanakan di Eropa Timur dan Rusia, dimana reduksi karbon yang setara dengan komitmen serta berbiaya lebih murah dan tentu saja baku mutu aturan yang lebih rendah. Potensi ancaman dari skema CDM bagi Indonesia akan muncul apabila yang didorang sebagai bagian dari diservikasi energi dan upaya efisiensi sumberdaya tanpa mengemisi karbon dioksida adalah PLTN.
Baik proyek-proyek CDM dan JI dapat berbeda-beda bentuk; mulai dari perkebunan monokultur, yang secara teoritik dapat menyerap karbon dari atmosfer (carbon sinks); proyek-proyek energi terbarukan, pemutakhiran pembangkit energi yang sudah ada; dan lain-lain. Jumlah kredit yang didapat dari masing-masing proyek dihitung berdasarkan reduksi emisi yang dapat diciptakan dibandingkan dengan emisi yang mungkin terjadi di masa datang jika proyek tidak dilaksanakan. Dengan menggunakan imajinasi atas polusi jika proyek tidak dilakukan, perusahaan pencemar dapat membuat perkiraan polusi yang luar biasa besar jika tidak ada proyek CDM atau JI. Dalam tipu muslihat ini membolehkan jumlah kredit polusi yang tinggi yang dapat didapatkan dari setiap proyek. Perusahaan dibolehkan membuat polusi di wilayah lain, menjual kreditnya pada pencemar lain, atau mengkombinasikan dua taktik menguntungkan ini. Konsekuensi jangka panjang dua skema ini (1) emisi gas rumah kaca yang terus membesar dan (2) meningkatnya keuntungan perusahaan dari produksi mereka. Masih ada lagi layanan perdagangan emisi yang memperkenalkan peningkatan kompleksitas dan kebingungan; polutan (zat pencemar) dapat dipertukarkan. Efeknya, suatu upaya reduksi emisi gas rumah kaca (misalnya karbon dioksida) memungkinkan pencemar mengklaim reduksi gas rumah kaca lain (misalnya metan). Kelihatannya, perdagangan polusi menghasilkan kemajuan dari pembersihan atmosfer tampak berhasil, padahal kerumitan-kerumitan yang ada menunjukkan tidak ada kemajuan sama sekali.
Bila mencermati setiap perundingan, hasil yang disepakati dalam setiap perundingan, aturan yang dibuat dan implementasi dari berbagai perundingan sejak tahun 1992. Sangat jelas bahwa aturan dan mekanisme yang dibuat hanya menguntungkan Negara-negara Industri dan kaum industrial di Negara-negara Utara, dimana mereka tidak peduli dan dalam upaya untuk mengurangi emisi karbonnya mereka cenderung mengalihkan tanggung jawab itu ke Negara-negara Selatan dan Negara-negara miskin di dunia ini. Padahal bila kita logikakan secara sederhana saja walaupun ada hutan di negara-negara selatan yang mempunyai kemampuan untuk menyerap karbon dioksida, tetapi bila para industrialis atau Negara-negara industri itu tetap mengemisi karbon maka tetap saja jumlah karbon dioksida yang dilepas ke udara tidak akan berkurang.
Apakah kita masih bisa percaya pada Carbon Trade sebagai sebuah solusi pemecahan masalah Pemanasan Global…?
Penulis adalah Mahasiswi Program Magister Perencanaan Kebijakan Publik, UI. Aktif di Sarekat Hijau Indonesia, sekaligus anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jabodetabek.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar