Ini adalah Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar, Prof. Dr. Fendy Suhariadi, MT, Psi. (41 tahun), dalam Bidang Ilmu Manajemen Sumber Daya Manusia pada Fakultas Psikologi Universitas Airlangga di Surabaya pada hari Sabtu Tanggal 25 Agustus 2007. Beliau adalah profesoar termuda di lingkungan Universitas Airlangga. Silahkan menikmati kesegaran ide-idenya…
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Hari/tanggal : Sabtu, 9 Februari 2008
Waktu : 08.30 - 17.00 WIB
Tempat : Fakultas Psikologi Unair
Investasi : Rp. 150.000,-
Pembicara:
Prof. DR. Drs.Psi. Fendy Suharyadi MT (Direktur Sumber Daya Universitas Airlangga)
Richardus Estiko Saputro (Wak Bag. HRD – PT Gramedia Divisi Majalah)
Gaguk Yudarianto (PT Semen Gresik)
Dian Koernia (HRD Manager PT Danrilis – Solo)
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
PARADIGMA PENGELOLAAN MANUSIA DI DALAM ORGANISASI:
BIDANG ILMU MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA
Pidato
Disampaikan pada pengukuhan Jabatan Guru Besar
dalam Bidang Ilmu Manajemen Sumber Daya Manusia
pada Fakultas Psikologi Universitas Airlangga
di Surabaya pada hari Sabtu Tanggal 25 Agustus 2007
Oleh
FENDY SUHARIADI
Ayah dan Ibuku tercinta
Istri dan anak-anakku tersayang
Guru-guruku yang kuhormati
Mahasiswa-mahasiswi dan generasi penerus harapan bangsa
Seluruh pegawai Universitas Airlangga yang saya hormati
sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya
(QS;95,4)
Bagimu Almamater
Kuberjanji Setia
Berdarmabakti Suci
Berjasa Mulia
AIRLANGGA TETAPLAH KAU JAYA
Bismillaahir rahmaanir rahim.
Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Yang terhormat,
Ketua dan Sekretaris beserta para Anggota Senat Akademik Universitas Airlangga,
Rektor dan para Wakil Rektor Universitas Airlangga,
Para Dekan dan Wakil Dekan Fakultas di Lingkungan Universitas Airlangga,
Para Guru Besar Universitas Airlangga,
Para Guru Besar Tamu,
Rekan Dosen, Tenaga Kependidikan, serta Civitas Akademika Universitas Airlangga.
Para undangan dan hadirin yang saya muliakan.
Pada kesempatan yang berbahagia ini, izinkan saya mengucap syukur "Alhamdullilahi rabbil 'alamin" atas rahmat dan hidayat dari ALLAH SWT. Karena berkat izin dan perkenan-NYA-lah kita semua bisa hadir dalam perjamuan ilmiah yang agung ini dengan acara Peresmian Penerimaan Jabatan Guru Besar saya dalam bidang Manajemen Sumber Daya Manusia pada Fakultas Psikologi Universitas Airlangga. Shalawat serta salam kami tujukan pada junjungan Nabi Besar Muhammad SAW berserta keluarga serta para sahabat dan kita semua pengikutnya.
Selanjutnya, perkenankan saya untuk menyampaikan pidato pengukuhan pada mimbar akademik yang mulia ini dengan judul :
PARADIGMA PENGELOLAAN MANUSIA DI DALAM ORGANISASI
Hadirin yang saya muliakan:
A. Kekuatan Arus Perubahan
Seputaran tahun 1960-an dan saat ini, atmosfer organisasi saat ini telah berubah secara menakjubkan. Berbagai kekuatan arus telah memicu perubahan-perubahan tersebut. Seiring meningkatnya efek teknologi dan telekomunikasi yang telah berhasil "mengecilkan" ukuran dunia, pergerakan keragaman para pekerja (profesional) membawa nilai-nilai, perspektif dan ekspektansi yang berbeda di antara mereka (para pekerja). Kesadaran publik semakin lama semakin sensitif dan menuntut organisasi agar semakin profesial dan bertanggung jawab secara sosial. Seperti halnya negara-negara dunia ketiga, kita pun telah turut terlibat dalam persaingan pasar global dan melebarkan arena bagi aktivitas penjualan dan pelayanan. Organisasi pun akhirnya kini tidak hanya dituntut untuk bertanggung jawab kepada para stockholders (para pemegang saham) namun juga para stakeholders. Pada saat ini, dunia yang kita alami sudah sangat jauh berbeda dengan dunia yang kita alami sepuluh lima belas tahun yang lalu. Dunia ilmu juga tidak terlepas dari berbagai pengaruh ini. Terjadi perubahan Era, yang sekarang kita berada era informasi, bukan lagi era industrialisasi. Era dimana pemikiran linear yang bersifat mekanistik, yang menghasilkan kemajuan seperti yang kita alami saat ini, sudah mulai digoncang oleh hasil-hasil perkembangan ilmu yang baru, yang mendorong tumbuhnya suatu paradigma baru.
Sebagai hasil kekuatan perubahan di atas, organisasi didesak untuk mengadopsi "paradigma baru" atau melihat dunia saat ini secara lebih sensitif, fleksibel, dan mudah menyesuaikan diri dengan tuntutan dan harapan para stakeholders. Banyak sudah organisasi yang telah melepaskan atau sedang melepaskan paradigma lama yang bersifat top-down, kaku, dan berstruktur hierarkis menuju pada bentuk-bentuk yang "organik" (fluid). Dengan perkataan lain, diperlukan mind set yang baru, baik dalam pemahaman maupun pengelolaan organisasi dan manusia yang ada di dalamnya.
Era industrialisasi dimulai dengan ditemukannya mesin uap oleh James Watt. Penemuan ini menyebabkan digantikannya tenaga manusia dengan tenaga mesin. Terjadi pemisahan antara manusia yang bekerja dengan alat produksi. Hal ini mendorong tumbuhnya pabrik-pabrik, dengan segala macam konsekuensi pengelolaannya. Mesin menjadi suatu alat utama dalam proses produksi untuk meningkatkan kesejahteraan. Pentingnya mesin ini merasuki semua aspek kehidupan manusia sehingga cara berpikir dan cara bertindak kita menjadi mekanistis. Metafora mesin menjadi suatu metafora yang dominan dalam era industrialisasi. Teknik-teknik pengelolaan yang dikembangkan dalam industrialisasi mengacu pada pandangan organisasi sebagai mesin dan memandang manusia sebagai salah satu bagian dari mesin (Morgan,G. 1998). Teknik-teknik manajemen yang berkembang dan mendominasi era industrialisasi dimulai dengan Scientific Management dari Taylor, yang berkembang lebih lanjut sesuai dengan tuntutan masyarakat antara lain Management by Objective [MBO], Management Science yang bersifat matematis untuk mengoptimalkan "mesin" organisasi, Total Quality Management yang berusaha meningkatkan kualitas keluaran organisasi, Bussiness Process Reenginerring [BPR] yang menekankan pada penghilangan proses-proses produksi yang tidak memberikan nilai tambah untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas organisasi.
Kata kunci yang dipegang dalam era ini adalah "efisiensi". Teknik motivasi dan teknik kepemimpinan yang berkembang dan dikembangkan dalam era ini juga menganggap manusia sebagai bagian dari alat produksi. Manusia harus dirangsang oleh sesuatu yang dari luar, extrinsic motivation, untuk berperilaku sesuai dengan keinginan organisasi seperti tehnik motivasi yang dikemukakan oleh Vrom, Porter & Lawler, teori Equity dari Adam. Teori-teori dan teknik-teknik kepemimpinan yang berkembang di era ini pun bersifat behaviouristik, yang menganggap manusia itu makhluk yang pasif, yang bisa digerakkan untuk kepentingan tertentu--dalam hal ini kepentingan organisasi. Teknik-teknik kepemimpinan dalam mengelola sumberdaya manusia pada era ini berdasarkan pada dua sumbu utama, yaitu "sumbu tugas" dan "sumbu manusia". Dimulai dari model Ohio, dan dikembangkan lebih lanjut oleh University Michigan, menghasilkan berbagai teori dan model kepemimpinan seperti Managerial Grid dari Blake & Mouton, Situational Leadership dari Hersey Blanchard, Path Goal theory dari House & Mitchel, Contingency theory-LPC dari Fiedler, ataupun teori kepemimpinan Vroom, Yetton & Jago yang semuanya lebih bersifat preskriptif (Daft, Richard L., 2002).
Hadirin yang saya hormati:
Era informasi yang sedang kita masuki sekarang ini mengharuskan kita melihat dan menanggapi organisasi secara lain, karena organisasi sekarang ini berada dalam situasi lingkungan yang berlainan, dengan tantangan dan kondisi yang berbeda dengan era industrialisasi. Perubahan- perubahan terutama dalam ilmu fisika mendorong suatu pemahaman baru tentang dunia yang kita alami, termasuk pemahaman tentang manusia yang ada dalam dunia. "Adanya" manusia dan cara mengadanya mendapatkan pemaknaan secara berbeda dalam cahaya ilmu yang berubah. Perbedaan cara pandang, yang dikenal sebagai perubahan paradigma berpikir dalam memandang dunia dan manusia dapat dilihat dari tabel di berikut.
Tabel 1 Perubahan Kondisi
EMERGING TRADITIONAL
Holism Reductionism
Mutual causality Linear causality
Perspectival reality Objective reality
Observer in the observation Observer outside the observation
Indeterminism Determinism
Equal focus on exteriors and interiors Primary focus on exteriors (Wilber, 1998)
Adaptive self-organization "Survival of the fittest" "Lead and seed" (Resnik, 1994)
Focus on relationship between entities Focus on discrete entities
Dialogical research methods Monological research methods (Wilber, 1998)
Nonlinear relationships— Critical mass thresholds Linear relationships — Marginal increases
Polarity thinking Either/or thinking (Johnson, 1992)
Focus on feedback Focus on directives
Quantum physics perspectives — Newtonian physics perspectives —
influence occurs through iterative influence occurs as direct result of force exerted from one person to another —
expecting the world to be predictable
Non-linear feedback — Linear — expecting the world to be predictable
the world is novel and probabilistic
Postmodern Modern
Dedifferentiation Differentiation
Focus on heterarchy (within level) Focus on hierarchy (between levels)
Understanding/sensitivity analysis/explanation Prediction
Equality Patriarchy
Yin/yang balance Yang dominance (Fondas, 1997)
Language as action (Gergen & Thatchenkery, 1996) Language as representation
Paradox Logic
Based on biology— Based on nineteenth-century physics—
structure, pattern, self-organization, lifecycle equilibrium, stability, deterministic dynamics
Focus on patterns Focus on pace (Bailey, 1996)
Focus on variation Focus on averages
Local control Global control
Behavior emerges from bottom up Behavior specified from top down
Metaphor of morphogenesis Metaphor of assembly
Focus on ongoing behavior Focus on results or outcomes
Generalist Specialist
Little or no transference of models Easy transference of models
Theory is narrowly applicable Theory is widely applicable
Irreversible time Reversible time
Generation of symbols Transmission of symbols
Mind creates matter Matter creates mind (Harman, 1998)
(Dent, Eric B. Complexity Science : A world view shift. Emergence, Vol.1, (4), p.8 , Dikutip dari Yuwono, 2003)
Era informasi ini juga merubah drivers organisasi. Kepemilikan modal, sumberdaya alam, tenaga kerja yang murah, mesin, dan teknologi tidak lagi menjamin bahwa organisasi akan mampu berkiprah dengan baik dalam suatu populasi organisasi. Era sekarang sangat mementingkan pemilikan dan penguasaan pengetahuan para anggota organisasi, sehingga driver utama bagi kelangsungan hidup organisasi adalah kepemilikan pengetahuan para anggotanya. Pengetahuan para anggota organisasi ini perlu dikelola lebih baik yang dikenal sebagai knowledge management. Nonaka membagi pengetahuan yang dimiliki organisasi menjadi dua yaitu tacit knowledge dan explicit knowledge. Tugas para pengelola organisasi adalah menjadikan tacit knowledge yang dimiliki anggota anggotanya menjadi explicit knowledge yang dimiliki bersama. Organisasi dalam era ini membutuhkan knowledge workers. Untuk dapat survive, organisasi sebaiknya mengubah pola pengelolaan sumberdaya manusia dalam organisasi, karena knowledge ini dimiliki oleh para anggota organisasi, dan akan keluar bersama anggota tersebut kalau dia meninggalkan organisasi. Bukan seperti mesin yang tetap tinggal dalam organisasi meskipun operatornya keluar dari organisasi.
Era knowledge economy membutuhkan karyawan-karyawan dan organisasi yang mampu melakukan proses pembelajaran secara terus- menerus, sehingga organisasi mampu menyesuaikan diri secara terus- menerus. Pembelajaran dalam organisasi tidak saja merupakan pembelajaran dari feedback negatif--yang disebut Argyris sebagai single loop learning, melainkan suatu proses pembelajaran yang dikenal sebagai double loop learning. Proses ini akan menghasilkan suatu learning organization (Senge, P. 1990).
Saat ini para pemimpin atau manajer organisasi/instansi harus berhadapan dengan arus perubahan yang cepat dan terus-menerus. Para pimpinan/manajer harus bekerja dengan pengambilan keputusan yang vital yang tidak dapat mengacu pada arah-arah pengembangan di masa yang lalu. Teknik-teknik manajemen harus secara berkesinambungan memperhatikan perubahan di lingkungan dan organisasinya, mengukur perubahan dan mengelolanya. Mengelola perubahan tidak hanya berarti mengendalikan saja namun juga mengadaptasinya atau bahkan mengarahkan sebagaimana mestinya.
Tentu saja hal ini membuat para pimpinan/manajer tidak dapat menguasai seluruh pemecahan masalah atau sumber daya bagi setiap situasi. Manajer seyogyanya mulai mempertimbangkan dan lebih mendengar pada para pegawainya. Konsekuensinya, bentuk baru sebuah organisasi menjadi hal yang umum dilakukan seperti, worker-centered teams, self-organizing dan self designing teams, dan sebagainya.
Hadirin yang saya mulyakan:
B. Traits dari Paradigma Baru
Marilyn Ferguson, dalam The New Paradigm: Emerging Strategic for Leadership and Organizational Change memberikan overview yang detail atas perbedaan yang terjadi antara paradigma lama dan baru (sebagaimana teringkas berikut ini).
Tabel 2. Perbedaan Paradigma
Lama Baru
promote consumption at all costs appropriate consumption
people to fit jobs jobs to fit people
imposed goals, top-down decision making autonomy encouraged, worker participation
Fragmentation in work and roles cross-fertilization by specialists seeing wide relevance
identification with job identity transcends job description
clock model of company recognition of uncertainty
aggression, competition Cooperation
work and play separate blurring of work and play
manipulation and dominance cooperation with nature
struggle for stability sense of change, of becoming
Quantitative qualitative as well as quantitative
Strictly economic motives spiritual values transcend material gain
Polarized transcends polarities
short-sighted ecologically sensitive
Rational rational and intuitive
emphasis on short-term solutions recognition that long-range efficiency must take in
to account harmonious work environment
centralized operations decentralized operations when possible
runaway, unbridled technology appropriate technology
allopathic treatment of symptoms attempt to understand the whole, locate deep underlying causes of disharmony
Di lain pihak ada pendapat dari Hartanto, F. Mardi (1996) tentang perubahan paradigma lingkungan usaha, perubahan yang terjadi pada lingkungan usaha tersebut tentunya akan merubah peran dari pengelola manusia di perusahaan.
Tabel 3. Perbedaan Lingkungan Usaha Lama dan Baru
Lingkungan usaha masa lalu Lingkungan usaha masa depan
Penggerak pelaku ekonomi Kegiatan produksi pemilik modal Kekuatan pasar konsumen
Yang dominan Sarana produksi Bebas menentukan pilihannya
Tekstur lingkungan Tenang, teratur, dan mantap Bergejolak dan penuh kesementaraan
Konstruk lingkungan Sederhana dengan pelaku terbatas Komplek, banyak pelaku dengan kepentingan yang berbeda-beda
Sumber kekuasaan Sumber daya, ukuran usaha, Kandungan intelek dan semangat kerja dari pelaku usaha
sistem usaha dan legalitas
Ruang lingkup usaha Nasional, atau multinasional Tanpa batasan yang jelas dan bersifat global
yang ditetapkan melalui
kesepakatan politik-ekonomi
Landasan kerja Aturan dan rencana Proses saling menyesuaikan diri
Strategi usaha Kompetisi dan dominasi Kolaborasi dan sinergi
Ciri kegiatan usaha Stabil, konsisten, & cenderung reaktif Fleksibel dan cenderung proaktif
Berdasarkan pada perubahan paradigma tersebut seharusnya peran pengelola manusia berubah sebagaimana tuntutan zaman. Kondisi perubahan tersebut dapat digambarkan dalam sebuah contoh perlombaan perahu kayu dan perahu karet. Dalam lomba perahu kayu, masing-masing team berlomba-lomba untuk mencapai tujuan yaitu mencapai finis tercepat. Kita pahami posisi masing-masing perahu dan cara kerja untuk menjalankan perahu tersebut. Pada tiap-tiap perahu, posisi anak buah berada di pinggir lambung perahu dan letaknya tertata rapi pada sisi kanan dan kiri, mereka diatur sedemikian rapi agar perahu dapat melaju dengan kencang. Demikian pula kita pahami posisi pemimpin, letaknya di depan anak buah/pegawai tetapi menghadap ke belakang dengan posisi ketinggian lebih dari posisi anak buah agar semua anak buah bisa melihat pimpinannya ketika memberi perintah dengan menggunakan genderang.
Sekarang akan dipahami cara kerja dari perahu kayu tersebut:
1. Anak buah/pegawai dalam menjalankan tugas mendayung perahu selalu mengikuti perintah pemimpinnya, tidak pernah sekalipun anak buah/pegawai mulai mendayung perahu tidak mengikuti perintah pimpinan. Ketika pemimpin mengatakan "satu, dua, tiga, empat", serta-merta anak buah mendayung perahu sesuai dengan perintah tersebut. Pada konteks ini, anak buah/pegawai tidak diperkenankan berinisiatif secara mandiri bekerja tanpa perintah pimpinan. Ketika pemimpin memerintah bekerja maka secara otomatis mereka para pegawai akan bekerja, tetapi ketika pemimpin tidak memerintahkan bekerja maka secara otomatis mereka para pegawai tidak akan bekerja, tidak pernah sekalipun terlintas pada pikiran mereka para pegawai untuk mendayung perahu tanpa mengikuti perintah pimpinan. Apabila ada anak buah yang punya inisiatif mandiri mendayung perahu maka akan merusak laju perahu sehingga haram hukumnya bila anak buah bekerja dengan inisiatif. Implikasi dari kondisi ini adalah anak buah bekerja mengikuti perintah pemimpin, manakala pemimpin tidak ada dan tidak pernah memerintahkan bekerja maka mereka para pegawai tidak akan bekerja. Tak heran bila kemudian anak buah banyak yang menganggur bila tidak ada pemimpin, bahkan ada yang membaca koran, bermain catur, atau bermain game komputer ketika pemimpinya tidak ada tetapi kalau ditanya mengapa tidak bekerja maka alasannya adalah karena belum mendapat perintah dari pimpinan untuk bekerja. Kalau mereka para pegawai berinisiatif untuk bekerja tanpa melalui perintah pimpinan, nantinya takut dimarahi kalau salah, takut dipecat bila salah kerja, untuk itu sebaiknya menunggu perintah pemimpin dahulu agar selamat.
2. Aturan main yang kedua adalah tidak diperkenankannya anak buah memprotes pemimpin, apa pun kata pemimpin adalah selalu benar bahkan perintah pemimpin bagaikan titah sang raja. Ketika pemimpin memberi perintah "satu, dua, tiga, empat", benar atau salahnya perintah, cepat atau lambatnya perintah harus dituruti oleh anak buah. Kalau ada anak buah yang tidak setuju dengan perintah itu bahkan memprotes cara pemimpin memberi perintah yang tidak sesuai dengan kondisi anak buah, malahan pada kondisi tertentu anak buah ingin mengganti pemimpin yang tidak memahami kondisi bawahan maka serta-merta akan di marahi, didamprat bahkan bisa jadi dilemparkan keluar dari perahu. Anak buah yang tidak seiring dengan gaya pemimpin dalam melakukan kepemimpinan dianggap sebagai orang yang mengganggu laju perahu, dianggap sebagai oposan yang bisa menghambat kecepatan perahu, dan dianggap sebagai anak buah yang cerewet, vokalis, aktivis dan sebagainya. Ingatkah kita ketika di era orde baru ada labeling OTB (organisasi tanpa bentuk), PKI, fundamentalis, atau sayap kiri. Labeling ini cocok untuk ditempelkan pada anak buah yang tidak menuruti perintah atasan. Tak mengherankan bila kemudian pemimpin berusaha mengeluarkan anak buah yang mempunyai label tersebut untuk keluar dari perahu, sehingga pemimpin akan berbuat apa pun asalkan anak buah itu keluar dari perahu entah itu disingkirkan dari pergaulan, tidak diberi pekerjaan ataupun dipecat (PHK). Menurut pemimpin, perahu akan melaju dengan kecepatan penuh asalkan semua anak buah menuruti perintahnya, dan tidak ada yang memprotes kebijakan pemimpin dalam mengelola perahu.
3. Aturan main ketiga yang harus dipahami oleh anak buah adalah tidak diperkenankannya adanya perpindahan anak buah terutama bila anak buah yang menginginkannya. Ketika perahu sedang melaju sesuai dengan perintah pimpinan maka tidak boleh ada satu pun anak buah yang membuat usulan perpindahan tempat yang dikarenakan kelelahan kerja. Pada saat anak buah bekerja di sebelah kanan lambung perahu dan di tengah perjalanan dirasakan kecapaian karena tangan kanannya yang terus menerus bekerja, tentunya ada keinginan untuk berpindah agar tangan kiri bisa seimbang dalam bekerja. Kondisi itu membuat anak buah menginginkan perpindahan kerja dan mengusulkan kepada pimpinan untuk melakukan perpindahan agar terjadi keseimbangan kerja atau refreshing. Tuntutan anak buah tidak akan dituruti karena sesuai dengan standar operating prosedur tidak boleh ada mutasi, promosi, atau pun demosi pada saat perahu sedang melaju, meskipun anak buah yang mengusulkan sendiri demi keseimbangan. Implikasi dari kondisi ini adalah organisasi (perahu) tidak akan melakukan pergerakan pegawai (mutasi, promosi, demosi) manakala perahu sedang melaju. Sekali orang tertancap pada pekerjaan tertentu sebagai anak buah maka selamanya orang yang bersangkutan tidak akan pernah berpindah ke tempat atau pekerjaan lain. Bagi organisasi ini, perpindahan pegawai (mutasi, promosi, demosi) akan merusak jalannya perahu. Orang bisa merasa kalau pekerjaan yang telah diterima pertama kali bekerja adalah miliknya, siapa pun tidak diperkenankan menggantikannya.
4. Secara umum pemahaman akan perahu kayu tersebut dapat dipahami dalam konteks kondisi dari perlombaan perahu kayu. Perahu kayu itu bisa melaju dengan cepat manakala kondisi air sungainya tidak berombak deras dan tidak mempunyai arus yang deras. Artinya, kondisi eksternal cukup tenang dan bisa diprediksikan adanya berbagai gangguan yang muncul atas laju perahu. Sifat dari perahu kayu itu adalah keras dan kaku, artinya pada kondisi eksternal yang tenang maka organisasi harus ditata dan diatur secara kaku/keras. Pengaturan tatalaksana kerja atau standar operating prosedur dari perahu kayu mengikuti aturan main pertama hingga ketiga di atas.
Hadirin yang saya mulyakan:
Bagaimana dengan tatalaksana kerja atau standar operating prosedur dari perahu karet. Pernahkah kita melihat lomba arung jeram, bagimanakah kondisi sungainya? Kondisi sungai mempunyai arus yang deras, banyak bebatuan sebagai halangan dan rintangannya, orang tidak bisa memperkirakan kapan air tenang, kapan air deras dan kapan ada air terjun. Kondisinya benar-benar merupakan kondisi yang unpredictable. Tentunya pada kondisi seperti itu perahu yang layak digunakan haruslah terbuat dari karet. Sifat dari karet adalah lentur, dan elastis. Sekarang bagaimanakah dengan tataaturan main dari perahu karet ini.
Pertama, posisi anak buah tidak harus berada pada satu tempat karena untuk menjaga keselamatan dirinya. Anak buah harus melakukan pergerakan supaya selamat, ketika perahu bergoyang mengikuti arus yang deras maka dia-pun harus ikut perputaran perahu. Tentunya pada kondisi ini anak buah secara otomatis dituntut untuk melakukan pergerakan (mutasi, promosi, demosi), dan bila tidak mau bergerak dapat diprediksikan kalau dia akan terjungkal ke luar perahu dan terjungkal kedalam arus yang deras itu. Setiap anggota organisasi diwajibkan untuk bergerak dan melakukan perputaran bila memang mau selamat sampai tujuan.
Kedua, posisi pemimpin pada perahu karet ini hampir sama dengan anak buah. Kadang Ia harus berada di depan, kadang harus di tengah dan kadang harus dibelakang atau dalam bahasa Jawa Ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani. Posisi pemimpin yang selalu harus bergerak ini merupakan keharusan agar perahu bisa selamat. Namun yang paling menggembirakan adalah pergerakan posisi pemimpin ini ketika perahu menghantam bebatuan yang mengakibatkan perahu dalam posisi miring sehingga anak buah mengumpul di satu tempat, maka pada saat seperti ini posisi pemimpin haruslah berada di seberang anak buah. Posisi yang letaknya berseberangan dengan anak buah ini bukan hendak melawan anak buah tetapi bertujuan untuk menyeimbangkan perahu. Artinya ketika organisasi menghadapi persoalan, bukannya pemimpin berada di antara anak buah, justru posisi pemimpin harus berseberangan dengan anak buah dengan tujuan untuk menyeimbangkan perahu (organisasi) agar tidak terbalik.
Ketiga, sebagaimana perahu kayu di atas, pada perahu karet ini siapa pun tidak memperdulikan pangkatnya pimpinan atau bawahan, ketika sudah berada di dalam perahu maka semuanya akan bekerja bersama-sama untuk menjalankan perahu agar tidak terbalik. Dalam hal ini pemimpin tanpa harus memberi komando, semua anak buah akan bekerja bersama-sama, posisi pemimpin dalam hal ini hanyalah mengawasi lajunya perahu agar tidak terbaik. Tetapi peran tersebut juga bisa digantikan oleh anak buah, semua orang bisa aktif dan berteriak-teriak agar perahu melaju dengan selamat, siapa bisa diteriaki oleh siapa pun dan tidak mengenal jabatan, pangkat atau pun golongan. Implikasi dari kondisi ini adalah semua orang di dalam organisasi akan bekerja tanpa harus diberi komando oleh pimpinan, ada atau tidak ada pemimpin tidak menjadikan masalah yang penting orang harus bekerja dan semua orang bekerja demi menjalankan organisasi agar organisasi tidak terbalik.
Keempat, kalau pada perahu kayu anak buah yang vokal atau tidak loyal berusaha disingkirkan oleh pemimpin, maka pada perahu karet ini sangat lain. Siapapun dia, darimana pun dia asalnya, kalau ada yang jatuh ke sungai karena perahu menghantam bebatu maka serta-merta semua orang berusaha menolong tanpa memperdulikan asal-usulnya. Implikasinya, ketika ada salah satu anggota organisasi yang "jatuh", maka semua anggota berusaha menolong tanpa memperdulikan pangkat, jabatan, agama, ras, dan golongan. Hal yang lebih penting lagi bagi orang-orang di dalam perahu karet ini adalah kita berangkat bersama-sama maka pulangnya harus juga bersama-sama.
Kelima, adalah berupa pemahaman utuh atas jalannya organisasi perahu karet ini. Pada kondisi sungai (lingkungan eksternal) yang unpredictable, maka perahu yang seharusnya dipakai adalah perahu karet dengan tataaturan main organisasinya mengikuti penjelasan poin satu sampai empat di atas.
Pertanyaan selanjutnya yang perlu ditujukan kepada kita semua adalah apakah di masa-masa depan organisasi dan kita semuanya akan menghadapi kondisi eksternal yang tenang ataukah kondisi eksternal yang unpredictable? Jelas dengan melihat kondisi globalisasi saat ini dan ke depan, situasi lingkungan eksternal tidak bisa dikendalikan dan ditentukan oleh pemilik modal justru kekuatan konsumen yang menentukan, kekuatan konsumen yang mengikuti pasar bebas ini sulit diprediksi. Produsen tidak bisa seenaknya sendiri membuat prediksi yang linear atas berbagai kejadian di masa lalu, berbagai macam gejolak, halangan dan rintangan yang sifatnya hanya sementara, prediksi semacam ini memang bisa mengganggu lajunya organisasi. Terdapat konstruk lingkungan yang kompleks dengan melibatkan berbagai macam variabel dalam perhitungan keuntungan dan kerugiannya, berbagai macam variabel itu memiliki kepentingan yang berbeda-beda dan harus dipertimbangkan oleh pengambil kebijakan.
Bila memang sudah dipastikan bahwa kondisi eksternalnya adalah unpredictable, perahu yang selayaknya digunakan adalah perahu karet, artinya organisasi ditata dengan sifat yang lentur atau tidak kaku. Kalau pada kondisi tersebut kita masih bersikukuh akan menggunakan perahu kayu dengan sifat yang kaku dan keras dalam cara pengelolaannya, niscaya bisa diprediksikan kalau belum sampai satu meter saja perahu itu akan hancur menghantam bebatuan. Beberapa contoh perguruan tinggi negeri yang telah berubah menjadi perguruan tinggi Badan Hukum Milik Negara (BHMN), Universitas Airlangga tercinta ini misalnya adalah merupakan contoh tepat atas ke-'lenturan'-nya (kemampuan adapasi) terhadap perubahan global.
Hadirin yang saya hormati:
C. Manusia Tidak Dimiliki
Menilik kondisi di atas, tentunya harus ada perubahan mendasar dalam memandang manusia yang ada di dalam organisasi. Terlebih dalam upaya peningkatan kualitas SDM yang benar-benar menghasilkan generasi yang memiliki nilai profesionalitas yang tidak dapat diragukan, bukan malah sebaliknya, yang menganggap nilai profesionalitas itu hanya untuk dijadikan sarana untuk suatu interes tertentu dari pihak ketiga. Menilik padangan Parminedes dan Heraklitus serta dengan mendasarkan diri pada pandangan keilmuan dalam rumpun humaniora (ilmu psikologi adalah bagian di dalamnya) bahwa manusia harus menguasai alam, mendorong tumbuhnya ilmu-ilmu kealaman yang berusaha untuk "mengeksploitasi" alam demi pengembangan ilmu (Suhariadi & Yuwono, 2004). Pandangan ini lebih mengedepankan ontologi ilmu adalah alam itu sendiri beserta seluruh isinya, dan manusia adalah bagian dari alam yang bertugas memberdayakan alam untuk pengembangan ilmu. Makna dari pengertian tersebut adalah menempatkan manusia sebagai individu yang "memiliki" alam bukan sebagai individu yang "dimiliki" alam.
Di lain fihak, dalam perkembangan ilmu psikologi terdapat ranah kajian pendalaman manusia di dalam organisasi yang lebih dikenal dengan konsep manajemen sumber daya manusia. Pada kajian ini manusia ditempatkan bukan lagi sebagai individu yang "memiliki" alam, tetapi menempatkan individu sebagai "aset" yang harus dimiliki untuk kegiatan produksi. Seringkali manusia di dalam organisasi dipandang sebagai "alat produksi" atau "aset", yang setara dengan aset lain yaitu uang, material, mesin, dan metode (dalam istilah manajemen lebih dikenal dengan nama 5M=man, money, material, machine, method). Bahkan pada perkembangan selanjutnya, pandangan manusia sebagai aset ini sampai harus dikalkulasi sedemikian hingga untuk setiap program pengembangan manusia selalu dikaitkan dengan ROI (return on investment). Memperlakukan manusia sebagai aset harus dihitung-hitung untung ruginya, dalam hal ini manusia benar-benar dianggap sebagai kapital (human capital). Akhirnya, setiap rupiah yang dikeluarkan oleh organisasi/institusi harus disetarakan dengan investasi dan dihitung benar berapa tingkat ROI-nya.
Anehnya, justru perkembangan ilmu yang memandang manusia sebagai aset inilah yang malah lebih pesat dibandingkan dengan manusia sebagai "pemilik" alam. Hal ini bisa dimengerti karena lebih mudah menghitung manusia sebagi aset dalam bentuk rumus-rumus yang linear dan juga lebih mudah mempredisikan seberapa besar keuntungan yang akan diperoleh bila manusia dapat dihitung sebagai aset. Aliran ini lebih dikenal dengan positivistik keilmuan agar memudahkan tugas epistimologi ilmu dalam mendiskripsikan dan memprediksikan ontologinya. Betapa pun demi dan atas nama ontologi dan epistimologi keilmuan, pandangan ini telah menahbiskan axiologi sebuah ilmu humaniora (psikologi termasuk didalamnya). Bahwasanya, harkat dan martabat manusia adalah lebih dari sekedar aset atau alat produksi yang bersifat sesaat. Pengertian atau istilah SDM yang sementara kita bicarakan yang tidak mengenal batasan ruang dan waktu itu juga telah dikritik oleh Frans Magnis Suseno. Pengertian akan konsep sumber daya manusia sebagai ungkapan yang tidak berdimensi atau tidak mengandung hakikat harkat dan martabat manusia. Dalam dimensi yang lain, jika peningkatan kualitas SDM ini tetap hanya dipandang atau dilihat sebagai kerangka manusia sebagai alat produksi dari pihak-pihak tertentu, maka dengan otomatis akan muncul manusia Indonesia yang memiliki kualitas pengetahuan sebagai suatu cara "mempunyai" dan bukan sebagai suatu cara "berada".
Pada kesempatan inilah saya ingin menyampaikan untuk menghimbau pada berbagai pihak agar kembali pada kithah ilmu humaniora bahwa manusia bukan sebagi objek yang harus dimiliki demi kepentingan apa pun, tetapi tempatkanlah manusia sebagai bagian dari alam semesta, yang ikut berkembang selaras dengan alam semesta, dan tidak mengobrak abrik alam untuk kepentingan sendiri. Paradigma ini disebut sebagai "deep ecology" seperti yang dikemukakan Capra dalam Turning Point (Capra, F. 1988).
Manusia dalam paradigma deep ecology adalah manusia yang berproses bersama alam semesta, dan berevolusi bersama untuk mencapai tingkat kehidupan yang lebih tinggi. Manusia sebagai bagian dari alam semesta bukanlah aset seperti pandangan organisasi, melainkan manusia yang utuh, yang memiliki berbagai dimensi, seperti dimensi fisik, biologis, psikologis, sosial, budaya, dan spiritual. Dalam era sekarang, pengukuran psikologis saja dianggap kurang memadai, sehingga untuk posisi tertentu dalam organisasi, seorang calon akan dinilai secara keseluruhan sejauh memungkinkan, hal ini dilakukan oleh assesment centre. Pengelolaan manusia dengan paradigma semacam ini menghendaki organisasi benar benar memperlakukan manusia sebagaimana adanya, dan mengembangkan potensi-potensinya agar dapat berkarya dengan baik dalam organisasi, baik untuk kemajuan organisasi maupun untuk perkembangan pribadinya. Pengelolaan Sumberdaya Manusia dalam organisasi seyogyanya menghasilkan Manusia yang Berkarya, bukan Manusia yang Bekerja.
Pandangan ini harus dijadikan dasar dalam perkuliahan pendidikan sarjana maupun pascasarjana baik di bidang ilmu psikologi maupun manajemen. Hal ini dilakukan agar masyarakat khususnya peserta didik dapat memahami posisi manusia di dalam organisasi sehingga ketika mereka berada di dalam masyarakat mampu menjadi roh perubahan atas paradigma yang baru ini.
Hadirin yang saya muliakan:
D. Solusi Alternatif
Mengajak orang untuk memposisikan manusia tidak sebagai aset yang dimiliki tetapi sebagai individu yang memiliki "dunia" adalah pekerjaan yang sulit meskipun itu hanya dalam tataran kognitif saja. Hal ini dikarenakan sudah sangat melekatnya konsep "manusia sebagai aset" di berbagai organisasi dan perusahaan. Dalam pandangan kaum kapitalis, akan lebih mudah menempatkan manusia sebagai aset, karena bisa dikalkulasi dengan berbagai rumusan tingkat keuntungan dan kerugian yang diperoleh bila mendayagunakan manusia sebagi aset. Merubah atau membalikkan keadaan ini tidaklah semudah membalikan telapak tangan, apabila memang dalam tataran (ranah) kognitif saja kita tidak memiliki konsep atau value yang menempatkan manusia sesuai dengan harkat dan martabatnya.
Tokoh aliran teori perilaku, Skinner menyatakan bahwa pembentukan perilaku individu haruslah lewat sarana dari luar (eksternal) dengan cara memberinya penguat dan hukuman. Pembentukan perilaku dengan cara ini menurut Skinner akan menjamin terkristalnya perilaku seorang individu. Bertentangan dengan aliran di atas, tokoh aliran teori kebutuhan, Abraham Maslow menyatakan bahwa pembentukan perilaku seseorang perlu melalui pemahaman akan kebutuhan individu. Namun karena setiap individu punya kebutuhan yang bervariasi maka cara pembentukan perilakunya juga perlu pemahaman dari berbagai macam kebutuhan masing-masing individu. Fishbein dan Ajzen (2004) menyatakan bahwa pembentukan dan pengubahan perilaku diawali oleh adanya kepercayaan seseorang terhadap sesuatu obyek. Kepercayaan inilah yang mempengaruhi sikap orang terhadap obyek. Selanjutnya sikap terhadap obyek akan membentuk intensi atau niat seseorang untuk berperilaku. Kemudian niat tersebut pada akhirnya membentuk perilaku yang tampak dari orang yang bersangkutan.
Pandangan di atas mengisyaratkan adanya model perubahan yang berasal dari atas (top-down) dan dari bawah (bottom-up). Pandangan Skinnerian lebih menekankan perubahan yang bersifat top-down, dengan menekankan pentingnya peran pemimpin dalam melakukan perubahan. Peran pemimpin yang paling penting adalah mensosialisasikan atau menanamkan perubahan value (nilai) yang telah diyakini kebenarannya secara bersama kepada pegawai. Dalam setiap kesempatan bertatap muka dengan pegawai selalu didengungkan values (nilai-nilai) baru dengan tujuan memberikan kesadaran kepada pegawai akan adanya values (nilai-nilai) baru tadi. Secara bersamaan juga ditampakkan adanya beberapa perilaku pemimpin, atau perilaku pegawai lain yang menunjukkan bentuk ekspresi dari values (nilai-nilai) baru tersebut. Hal ini dilakukan untuk menumbuhkan kepercayaan kepada pegawai bahwa ada values (nilai-nilai) baru di organisasi. Peran lain dari pemimpin yang sangat vital adalah komitmen. Komitmen ini memiliki arti yang sangat luas, dalam bentuk material dan non material. Tuntutan akan komitmen pimpinan lebih dari sekedar menjadi "ada" di dalam organisasi, tetapi lebih dari itu pemimpin harus bersedia untuk mengusahakan pada derajat upaya yang tinggi bagi kepentingan organisasi, demi memperlancar pencapaian tujuan organisasi. Pada tataran kepentingan ini pemimpin tidak sekedar memberi contoh ekspresi dari values (nilai-nilai) baru tetapi juga mengusahakan dengan sungguh-sungguh meskipun harus berkorban waktu, tenaga dan biaya.
Terlebih dalam budaya di Indonesia, yang menurut Hofstede memiliki Power Distance yang cukup tinggi (Hofstede.G. 1991). Dibandingkan dengan budaya Anglo-Saxon yang merupakan referensi dari berbagai teori kepemimpinan yang dianut, maka peran seorang pemimpin sangat menentukan didalam organisasi di Indonesia. Pemimpin dalam budaya yang memiliki Power Distance yang tinggi lebih memiliki berbagai priveleges, namun juga menjadi panutan bagi anggota organisasi. Masalah integritas pemimpin menjadi hal yang crucial agar pemimpin dapat menjadi panutan, tidak malah membingungkan, karena perilakunya tidak sesuai dengan nilai nilai organisasi yang dikemukakannya.
Pandangan yang kedua bersifat bottom-up, lebih mengedepankan peran dari pegawai atau manusia-manusia di dalam organisasi. Pandangan ini memang bersifat intrinsik, artinya perubahan paradigma dan perilaku itu pada akhirnya berpulang pada diri pegawai itu sendiri. Faktor utama dari bottom-up ini adalah menumbuhkan adanya kebutuhan dari pegawai akan pentingnya harkat dan martabat manusia. Pegawai harus sadar bahwa selama mereka diperlakukan sebagai "aset", mereka hanyalah alat produksi bagi penguasa organisasi untuk mencapai tujuan. Tingkat kegunaan pegawai hanyalah instrumen saja bagi pencapaian strategi taktis dan operasional organisasi. Peran mereka akan selesai begitu tujuan organisasi juga telah selesai dicapai. Menilik ketidakberartian peran manusia inilah yang pada akhirnya menumbuhkan kebutuhan untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia. Selama kondisi ini tidak menjadi kebutuhan maka selama itu pula sulit menumbuhkan perubahan paradigma yang berasal dari intrinsik. Selain faktor utama di atas ada 4 faktor lain yang menjadi kunci perubahan paradigma pengelolan manusia, yaitu waktu, loyalitas, kepercayaan dan produktivitas.
Pertama adalah "waktu yang tersedia" akan selalu digunakan olah pegawai untuk mencoba mengekspresikan values (nilai-nilai) baru yang berbentuk peningkatan harkat martabat manusia. Dalam hal ini, yang diutamakan adalah tersedianya cukup waktu bagi pegawai untuk berlatih (exercise) mengekspresikan nilai-nilai baru yang dianutnya. Ketika mereka mengalami kegagalan dalam mengekspresikan nilai baru tadi maka ada sejumlah perangkat aturan dan norma yang bersifat fleksibel untuk segera meluruskan kembali kepada langkah-langkah yang benar. Pada saat sudah menemukan bentuk-bentuk perilaku yang memang menunjukkan nilai baru tadi maka segera disiapkan sejumlah perangkat aturan dan norma yang menjaga agar perilaku tersebut tidak hilang atau kembali pada bentuk semula, bahkan tetap terjaga dengan baik (sustainable). Intinya pada faktor pertama ini, organisasi/perusahaan harus menyediakan waktu yang cukup bagi pegawai untuk selalu mencoba atau latihan menggunakan nilai-nilai baru tersebut bahkan juga selalu menyediakan ruang, waktu dan tempat untuk memperbaiki konsekuensi dari penerapan nilai-nilai baru tadi.
Kedua adalah "kepercayaan (trust)". Melalui kepercayaan (trust) inilah masyarakat organisasi membangun sebuah kebersamaan untuk merubah nilai-nilai lama menjadi nilai baru yang menghargai harkat martabat manusia, bahkan secara tidak langsung penanaman kepercayaan (trust) antar sesama anggota organisasi (pimpinan dan bawahan) tidak sekedar membangun pencapaian tujuan bersama namun juga membangun masyarakat yang saling menghargai satu sama lain. Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan Fukuyama ahli filsafat, Ia menyatakan bahwa trust is the expectation that arises within a community of regular, honest, and cooperative behavior, based on commonly shared norms, on the part of other members of that community? (Fukuyama, 1995, hal 26). Kepercayaan (trust) ini munculnya tidak seketika, melainkan dibangun melalui perjalanan yang panjang lewat perilaku individu yang terbuka antara satu orang dengan orang yang lain. Faktor kedua ini merupakan kelanjutan dari faktor pertama. Setelah pegawai diberikan waktu yang cukup maka setelah itu organisasi/perusahaan harus memberikan kepercayaan (trust) yang penuh kepada pegawai, dengan memberikan kepercayaan yang penuh membuat pegawai merasa dihargai dan benar-benar diperlakukan sebagai manusia dewasa sehingga pada akhirnya mereka mampu menunjukan umpan-balik berperilaku yang saling menghargai kepada sesama.
Ketiga adalah "loyalitas", merupakan kontrak emosional dari pegawai terhadap organisasi yang memiliki makna berupa kesediaan untuk melanggengkan hubungannya dengan organisasi, kalau perlu dengan mengorbankan kepentingan pribadinya tanpa mengharapkan apapun (Wignyosoebroto, 1987). Kesediaan pegawai untuk mempertahankan diri menjadi anggota ataupun bekerja di dalam organisasi adalah hal yang penting dalam menunjang kesimbungan pencapaian tujuan organisasi secara umum. Berbekal loyalitas ini konsentrasi pegawai dalam melakukan perubahan akan terfokus dan terarah pada jalur yang tepat. Tidak terbersit pun di dalam benak pegawai untuk meninggalkan organisasi bahkan dengan seluruh kemampuan yang dimiliki akan diberikan kepada organisasi tenaga, waktu dan pikiran. Inti dari faktor ketiga ini adalah kelanjutan dari faktor kedua. Bahwa setelah menyediakan waktu yang cukup bagi pegawai untuk berubah dan juga telah memberikan kepercayaan yang penuh, maka secara otomatis dan berkelanjutan organisasi/perusahaan telah menumbuhkan loyalitas yang kuat di antara mereka sehingga terdapat "penyerahan" yang total dari pegawai atas seluruh kemampuan yang dimiliki kepada organisasi tanpa harus menuntut pada organisasi/perusahaan.
Keempat adalah "produktivitas". Pada akhirnya semua bentuk kinerja organisasi, kelompok, ataupun individu berujung pada produktivitas. Secara harfiah produktivitas dinyatakan sebagai rasio dari keluaran (output) terhadap masukan (input) dalam suatu proses produksi. Hubungan matematiknya adalah P=O/I. Di dalam kehidupan bisnis, produktivitas sesuatu perusahaan seringkali dikaitkan dengan konsep efektivitas dan efisiensi (Suhariadi, 2002). Tetapi bila mengacu pada pengertian di atas kita akan kembali jatuh pada pemahaman tentang manusia sebagai aset, karena akan dihitung berapa besar pendapatan yang diperoleh dibandingkan dengan sumber daya yang dimiliki (dalam bentuk 5 M= Man, Money, Material, Machine, Methods). Untuk itu yang dipentingkan disini adalah perilaku produktif dari seseorang, perilaku produktif adalah perilaku dari pegawai yang berorientasi efisiensi dalam penggunaan sumber daya tetapi juga seiring dengan orientasi efektifitas dalam pencapaian tujuan (Suhariadi, 2004). Terpenting pada faktor terakhir ini adalah mendorong pegawai untuk bekerja dengan produktivitas yang tinggi, mengingat waktu, kepercayaan dan loyalitas telah diberikan kepada mereka. Pada langkah ini organisasi/perusahaan tinggal mendorong, membina, dan mengarahkan pegawai agar berperilaku seefisien dan seefektif mungkin agar tujuan organisasi tercapai secara maksimal.
Perilaku produktif dalam organsasi akan tercapai kalau ketiga butir di atas, kepemimpinan, kepercayaan dan loyalitas dapat ditumbuh kembangkan dalam organisasi. Perlu dikaji pula, bagaimana tetap mempertahankan perilaku produktif secara berkesinambungan, dan tidak lagi tergantung pada hal hal diluar individu untuk berperilaku secara produktif. Untuk itu, butir kedua, yaitu trust kepada organisasi merupakan hal terpenting. Trust akan membangun loyalitas kepada organisasi, sekaligus menimbulkan suatu motivasi dari dalam dirinya untuk tetap berperilaku produktif.
Perilaku produktif akan menjadi perilaku yang melekat dalam diri individu bila individu mendapatkan makna dalam pekerjaannya. Ketika pekerjaan individu dalam organisasi memiliki makna bagi dirinya dan kehidupannya secara menyeluruh, maka perilaku produktif akan tetap dipertahankan. Untuk mendapatkan makna dalam pekerjaannya, maka individu harus memiliki kesempatan untuk mengembangkan potensi dan kelebihannya, dan sesuai dengan value yang dimilikinya. Ini berarti pengelolaan sumberdaya manusia seyogyanya didasarkan pada strength based, not a deficit based. Sejauh ini, paradigma yang mekanistik mendasarkan pengelolaan sumberdaya manusia berdasarkan kelemahan dan kekurangan yang diusahakan diperbaiki melalui pelatihan pelatihan. Sejumlah tools and methods telah dikembangkan dalam pengelolaan sumberdaya yang berdasarkan strength based, seperti Appreciative Inquiry, World Cafe, Open space technology yang akan membuat para anggota organisasi sadar akan kelebihan dan kekuatan dirinya dan rekan rekan sekerjanya, serta memiliki visi dan nilai nilai yang sama, yang ditumbuh kembangkan dari bawah. Metode metode diatas akan mengurangi "voiceless" dalam organisasi, serta membuat seluruh anggota organisasi merasa terlibat dan memiliki organisasi. Pengelolaan sumberdaya manusia dengan tools dan metode seperti diatas, kelihatannya lebih menjanjikan hasil perilaku produktif yang berkesinambungan dibandingkan dengan model pengelolaan sumberdaya manusia yang sekarang banyak dikenal.
Berdasarkan pada uraian di atas, dapat dipahami kalau perubahan paradigma dalam memperlakukan manusia (pegawai) di dalam organisasi sesuai dengan harkat dan martabatnya (memanusiakan) tidaklah mudah. Agar keberadaan mereka di dalam organisasi benar-benar diperlakukan bukan sebagai 'aset' alat produksi tetapi sebagai orang yang memiliki 'sesuatu' maka ada peran pimpinan dan pegawai yang saling melengkapi untuk merubahnya. Sebagai contoh perubahan besar yang terjadi di Universitas Airlangga tercinta ini, sejak ditetapkan sebagai Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara pada tanggal 16 September 2007, terjadi banyak perubahan yang mendasar di dalam sistem manajemennya. Secara gradual dan terencana beberapa perubahan struktur, dan tatakerja organisasi serta penempatan pegawai dilakukan dengan cukup mantap. Dalam hal ini, peran pimpinan (rektor dan jajarannya) sangat vital. Mereka telah menunjukkan komitmen perubahan dengan banyak mengorbankan waktu, tenaga dan biaya yang sangat besar. Komitmen inilah sebagai kunci keberhasilan menuju perubahan values (excellent with morallity).
Di lain pihak, bila komitmen pimpinan tersebut tidak dibarengi dengan kesediaan pegawai untuk menggunakan waktu, kepercayaan, loyalitas, dan perilaku produktif maka proses perubahan akan tidak berjalan dengan baik (stagnant). Untuk itulah diperlukan pertemuan-pertemuan yang formal ataupun informal untuk menunjukkan pentingnya perubahan. Mengubah pola pikir pegawai akan arti pentingnya perubahan memang tidaklah mudah. Sebuah perubahan organisasi akan dapat berjalan baik, dengan memberikan waktu, kepercayaan, loyalitas dan perilaku produktif kepada pegawai, dan proses memperlakukan manusia sesuai dengan harkat martabatnya. Dalam hal ini pegawai tidak dipandang sebagai alat produksi tetapi mereka adalah mitra sejawat yang seiring dalam menggapai perubahan organisasi demi mencapai masa depan yang lebih baik.
Hadirin yang saya muliakan:
Mengakhiri pidato pengukuhan jabatan Guru Besar ini, perkenankanlah saya untuk memanjatkan puji syukur ke hadirat Allah swt. Atas limpahan karunia dan barakah-Nya, sehingga upacara pengukuhan jabatan Guru Besar ini telah berlangsung dengan lancar.
Pada kesempatan ini pula perkenankanlah saya menyampaikan rasa hormat dan terima kasih kepada Pemerintah Republik Indonesia yang melalui Menteri Pendidikan Nasional telah mempercayai saya untuk memangku jabatan berwibawa ini sebagai Guru Besar dalam bidang ilmu Manajemen Sumber Daya Manusia, Insya Allah kepercayaan tersebut tidak akan saya sia-siakan, dan untuk mewujudkannya secara sungguh-sungguh saya mengharapkan kerja sama dan kerja keras mahasiswa dan sejawat yang berjuang dan mengabdikan diri dalam memajukan Universitas Airlangga tercinta melalui kajian bidang ilmu Manajemen Sumber Daya Manusia.
Secara khusus hormat saya yang setinggi-tingginya kepada Bapak Rektor Universitas Airlangga Prof. Dr. Fasich, Apt, Ketua Senat Akademik Universitas Airlangga Prof. dr. Sam Soeharto, Sekretaris Senat Akademik Universitas Airlangga Prof. Dr. Frans Limahelu, S.H., LLM., para Wakil Rektor dan anggota Senat Akademik Universitas Airlangga, saya menyampaikan terima kasih yang mendalam atas dukungan dan kesediaannya mengusulkan pengangkatan saya sebagai Guru Besar. Sungguh ini merupakan kepercayaan besar yang harus saya pikul demi memajukan Universitas Airlangga.
Menilik keberhasilan ini merupakan hasil torehan tangan-tangan emas yang dimulai sejak kecil, maka pada kesempatan yang berbahagia ini pula saya sampaikan rasa hormat dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada guru-guru SDN Kapaskrampung Wetan I yang telah mengajari dasar-dasar menulis dan membaca sampai akhirnya terbuka mata ini untuk melihat dunia melalui buku-buku bacaan. Juga saya sampaikan ucapan terima kasih kepada guru-guru SMP Negeri 9 Surabaya dan SMA Negeri 7 Surabaya yang tenlah menorehkan dasar-dasar ilmu pengetahuan sehingga akhirnya saya bisa mengetahui makna sebuah ilmu bagi kemaslahatan umat manusia.
Dalam pengembangan ilmu ke jenjang perguruan tinggi, beruntung saya bisa ketemu dengan guru Prof. Soetandyo Wignyosubroto, MPA., Dr. Jangkung Karyantoro, MBA., Drs. Ino Yuwono, MA. Terima kasih sebesar-besarnya, anda semua tidak sekedar sebagai guru tetapi juga orang tua, saudara, dan rekan sejawat dalam mencari dan selalu mencari kebenaran ilmiah. Tak lupa pula kepada dosen-dosen pendiri Fakultas Psikologi: Drs. Hawa'im Machrus, MS., Drs. Sudaryono, SU., Dra. Prihastuti, SU., Dra. Lies Setyowati, MS., Drs. EM Agus Subekti, M.Kes., M.Psi., tanpa anda semua mungkin saya tidak akan bisa mengetahui arti ilmu psikologi. Bahkan dalam perkembangan Fakultas Psikologi Universitas Airlangga telah diisi dosen-dosen energik untuk mendidik saya dengan baik yaitu Dra. Woelan Handadari, M.Si., Dra. Veronika Suprapti, MS, Ed., Dr. Edy Suhardono, M.Psi., Dr. Alimatus Sahra, M.Psi., Dr. MMW Tairas, MA, MBA., (sebentar lagi profesor), dan Drs. Duta Nurdibyanandaru, MS., terima kasih yang sebesar-besarnya. Bapak-ibu di atas telah berhasil mencetak saya menjadi seorang guru besar.
Untuk bisa mengajar ilmu psikologi dalam ruang, tempat dan waktu yang memadai telah ada Prof. Dr. dr. Marsetio Donoseputro, Prof dr. Maramis., Drs. Dwi Narwoko, M.A., Drs. Basis Susilo, M.A., yang telah berusaha membangun sejak awal gedung dan seluruh perangkat administrasi dari Fakultas Psikologi, terima kasih anda semua telah membangun Fakultas Psikologi sehingga membuka kesempatan kepada saya untuk belajar Psikologi.
Meskipun tidak mengecilkan arti mantan dekan Fakultas Psikologi Prof. Dr. Hanafi, Prof. Dr. Marlina Mahajudin, ucapan terima kasih yang sangat spesial saya haturkan kepada mantan Dekan Fakultas Psikologi Prof. Dr. M. Zainuddin, Apt., yang sekarang menjadi Wakil Rektor 1 Universitas Airlangga. Bapaklah yang telah memberi kesempatan kepada saya seluas-luasnya untuk selalu "membersihkan" dan membangun rumah sendiri hingga Fakultas Psikologi tercinta mampu sejajar dengan Fakultas Psikologi ternama di Tanah Air.
Ketika berusaha membersihkan dan membangun rumah sendiri, ternyata ada rekan seperjuangan yang selalu gigih bersama-sama meraih prestasi yang diidamkan, beliau adalah Dr. Seger Handoyo yang sekarang menjadi Dekan Fakultas Psikologi, dan Dr. Suryanto yang saat ini menjabat Wakil Dekan III. Terima kasih atas kebersamaan kita selama berjuang bersama-sama, kenangan itu tak akan terlupa. Sementara itu ada juga rekan sejawat yang senior seperti Dr. Cholichul Hadi, Dra. Dewi Retno Suminar, M.Si., yang juga ikut berjuang membesarkan Fakultas Psikologi.
Tak lupa juga ada kenangan indah ketika menorehkan prestasi di Fakultas bersama dosen-dosen muda yang sangat energik, Dra. Psi. Fajrianthi, M. Psi., Psikolog., Fitri Andriani, S.Psi., M. Si., Endah Mastuti, S.Psi., M. Si., MG Bagus Ani Putra, S.Psi., Psikolog, R. Rr. Muryantinah MH, S. Psi., Psikolog, Budi Setiawan Muhamad, S.Psi., M.Psi., Samian, S.Psi., M. Psi., terima kasih atas dukungan moral dan moril yang telah anda berikan selama ini. Bahkan ada pula orang muda yang sedang giat-giatnya belajar untuk mengembangan Fakultas Psikologi yaitu Berlian Gressy, Aryani, Margaretha, Ika, Ike dan Rahman, buktikan bahwa orang muda bisa berprestasi untuk membuat sejarah emas di Fakultas Psikologi.
Saya sampaikan terima kasih kepada mantan Rektor Universitas Airlangga Prof.Dr.Med.dr.Puruhito., dan mantan Pembantu Rektor II Drs. Edy Yuwono Slamet, MA yang telah memproses pengusulan guru besar saya pada tahun 2005 yang telah lalu. Disamping itu terima kasih yang tulus untuk Guru Besar saya selama sekolah di ITB yaitu Prof.Dr.Ir. Mathias Aroef, dan Prof.Dr.Ir. Frans Mardi Hartanto,MA.
Rekan kerja yang tidak bisa terlupakan atas jasa-jasanya adalah teman-teman tenaga pendidikan dari Fakultas Psikologi seperti Endro Subekti, Supriadi, Yuli, Sutrisno, Endang, Yeti, Pulung, dan semuanya yang tidak bisa disebutkan satu-satu. Juga ucapan terima kasih disampaikan kepada rekan tenaga kependidikan yang ada di kantor pusat seperti Bu.Rini W, Pak.Arif, Bu.Supit, P.Basuni, P.Dedi, P.Wandono, Bu.Epik, P.Petrus, B.Kiswari, P.Tjoko, Pambudi, Karnan, P.Yudi, P.Rokam. P. Suko, P.Ardi, B.Pariyem dan juga khusunya kepada Bu.Sunarti (mantan KBAUK) beserta semua tenaga kependidikan khususnya dari Direktorat Sumber Daya yang tidak bisa disebutkan satu persatu.
Terakhir kepada istriku tercinta Dwi Hardaningtyas, S.Psi.M.Si., terima kasih telah menemaniku dalam suka dan duka sepanjang hayat, juga anak-anakku yang tercinta Fiosanda Risky Nugrahanti dan Fiosandi Risky Novalino, raihlah cita-citamu setinggi langit, tak lupa orang dekat yang selalu mengkasihi dan menyayangi keluarga tanpa pamrih dengan cara yang unik yaitu Dra.Titik Eko P.M.Si., terima kasih atas segala hal yang pernah dilakukan. Kepada saudara-saudara kandung Dra. Fenny Apridawati, M.Kes., Drs. Hendro Margono Amd., Indah Yuniharti, beserta saudara-saudara ipar saya ucapkan terima kasih atas dukungannya. Terima kasih juga saya sampaikan kepada mertuaku Oedi Brotokusumo dan Siti Nurhayati. Jasa yang tak pernah terlupakan sepanjang masa yaitu kepada orang tuaku tercinta Soeloso AS dan Muhartini, kasih sayang dan doa sepanjang hari dari ayahnda dan ibunda selalu mengiringi langkahku.
Akhir kata, kepada seluruh hadirin yang saya muliakan, yang dengan penuh kesabaran mengikuti upacara pengukuhan ini saya ingin menyampaikan penghormatan dan penghargaan yang setinggi-tingginya. Begitu pula kepada semua pihak yang telah memungkinkan terselenggaranya upacara pengukuhan ini saya tidak lupa mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya. Hanyalah Allah swt. yang akan dapat membalas budi dan amal baik kesemuanya tadi dengan takaran pahala yang Insya Allah akan jauh melebihi dugaan.
Daftar Pustaka
Armstrong M., (1991) Personnel Management Practice, Fourth Edition, Kogan Page Limited London.
Capra, F., (1988) The Turning Point: Science , Society and The Rising Culture . New York : Bantam Books.
Daft, Richard L., (2002) The Leadership Experience, 2ndEd. South_Western Publ.Co, Ohio
DeCenzo, A. Davis., Robbins, P. Stevens, (1994) Human Resource Management: Concept & Practices, 4th edition, John Willey & Sons, Inc, New York.
Ferguson, Marilyn., (1993) The New Paradigm: Emerging Strategic for Leadership and Organizational Change., Michael Ray and Alan Rinzler, Eds., New Consciousness Reader
Fishbein, M., and Ajzen, T (2004) The Influence of Attitude Behavior, Massachusetts University
Fontainne, R.J. Johnny., Duriez, Bart., Luyten, Patrick., Hutsebaut, Dirk., Corveleyn, Jozef., (2005) Consequences of a Multi-Dimensional Approach to Religion for the Relationship between Religiosity and Value Priorities, Universiteit Gent, Faculteit Psychologie en Pedagogische Wetenschappen, Belgium.
Fukuyama, F. (1995) Trust: The Social Virtues and the Creation of Prosperity. New York: Free Press.
Hartanto, F. Mardi, (1996) Manusia karya yang bersumber daya di dalam sistem usaha: Paradigma Tenaga kerja di Abad 21, Visi Utama, III/Juni-Agustus, 4-18
Harvey,D & Brown,D.R., (2001) An Experential Approach to Organizational Development .New Jersey: Prentice Hall
Hofstede.G., (1991) Cultures and Organizations : Software of the Mind. New York :McGraw-Hill
Ivancevich, M. John., (2001) Human Resource Management, 8th edition, McGraw-Hill, Boston.
Mondy, R. Wayne., Noe, M. Robert., (1993) Human Resource Management, 4th edition, Allyn and Bacon, Boston.
Morgan, G., (1998) Images of Organization, 2nd Ed. Sage Publication. Thousand Oak, CA.
Muchinsky, M. Paul (1993) Psychology Applied to Work, 4 th edition, Books/Cole Publishing Company, Pacific Grove-California, 326.
Schwartz, S. H., & Bardi, A., (2001) Value hierarchies across cultures: Taking a similarities perspective. Journal of Cross-Cultural Psychology, 32, 268–290.
Schwartz, S. H., & Huismans, S., (1995) Value priorities and religiosity in four western religions. Social Psychology Quarterly, 58, 88–107.
Schwartz, S. H., & Sagie, G. (2000) Value consensus and importance: A cross-national study. Journal of Cross-Cultural Psychology, 31, 465–497.
Schwartz, S. H., (1992) Universals in the content and structure of values: Theoretical advances and empirical tests in 20 countries. In M. Zanna (Ed.), Advances in experimental social psychology (Vol. 25, pp. 1–65). Orlando, FL: Academic Press.
Schwartz, S. H., Melech, G., Lehmann, A., Burgess, S., Harris, M., & Owens, V., (2001) Extending the cross-cultural validity of the theory of basic human values with a different method of measurement. Journal of Cross-Cultural Psychology, 32, 519–542.
Senge, P., (1990) The Fifth Discipline, New York : Double Day.
Suhariadi, Fendy., (2001) Pengaruh variabel individu (inteligensia, motivasi kerja, pendidikan, pengalaman kerja, pangkat, dan jenis kelamin) terhadap perilaku efisien, INSAN Media Psikologi, Vol. 3, No. 2. 73-87.
______ (2001) Produktivitas sebagai bentuk perilaku, INSAN Media Psikologi, Vol 3, No 3, 119-137.
______ (2002) Pengaruh Intelegensi dan Motivasi Terhadap Semangat Penyempurnaan Dalam Membentuk Perilaku Produktif Efisien, Jurnal ANIMA, Vol. 17, Nomor Juli 2002.
______ (2004) Budaya Organisasi Pada Perusahaan Yang mengalami Pemogokan, Jurnal Psikodinamik, Vol 6, No.1 ISSN1411-3929 (Terakreditasi)
______ (2005), Diskripsi Adversity Quotient dan Perilaku Produktif dari Pemogok Kerja, INSAN Media Psikologi, Vol 7, No.1. 45-69.
______ (2005), Productivity as a form of behavior: an alternative effort toward psychological measurements, 6Th Industrial & Organizational Psycholoy Conference, Australia.
______ (2005), The influence Individual & Organizational Variables to the Improvement Spirit for making Productive Behavior, XII Europian Conggress of Work and Organizational Psychology, Istambul, Turki.
Suhariadi, Fendy., Yuwono, Ino., (2004) Rumpun Ilmu Humaniora: Suatu pemikiran dan bahan diskusi, disampaikan pada seminar Rumpun Ilmu di Universitas Airlangga pada tanggal 14-15 September.
Weiten, Wayne (2005), Psychology: Themes & Variation, 2 nd edition, Thomson Information/Publishing Group, California, 314 & 633.
Yuwono, Ino. 2003. Tantangan Organisasi Bisnis di masa mendatang: Sudut Pandang Psikologi. Makalah tak diterbitkan untuk orasi ilmiah Dwi dasawarsa Fakultas Psikologi Universitas Airlangga.
------------
Pidato menarik ini akan di sharingkan pada seminar
B3 Bukan Bazar Biasa!
Leveraging the Constribution of HR
to Company Performance
- Experiental Sharing -
Hari/tanggal : Sabtu, 9 Februari 2008
Waktu : 08.30 - 17.00 WIB
Tempat : Fakultas Psikologi Unair
Investasi : Rp. 150.000,-
Pembicara:
Prof. DR. Drs.Psi. Fendy Suharyadi MT (Direktur Sumber Daya Universitas Airlangga)
Richardus Estiko Saputro (Wak Bag. HRD – PT Gramedia Divisi Majalah)
Gaguk Yudarianto (PT Semen Gresik)
Dian Koernia (HRD Manager PT Danrilis – Solo)
------------
PARADIGMA PENGELOLAAN MANUSIA DI DALAM ORGANISASI:
BIDANG ILMU MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA
Pidato
Disampaikan pada pengukuhan Jabatan Guru Besar
dalam Bidang Ilmu Manajemen Sumber Daya Manusia
pada Fakultas Psikologi Universitas Airlangga
di Surabaya pada hari Sabtu Tanggal 25 Agustus 2007
Oleh
FENDY SUHARIADI
Ayah dan Ibuku tercinta
Istri dan anak-anakku tersayang
Guru-guruku yang kuhormati
Mahasiswa-mahasiswi dan generasi penerus harapan bangsa
Seluruh pegawai Universitas Airlangga yang saya hormati
sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya
(QS;95,4)
Bagimu Almamater
Kuberjanji Setia
Berdarmabakti Suci
Berjasa Mulia
AIRLANGGA TETAPLAH KAU JAYA
Bismillaahir rahmaanir rahim.
Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Yang terhormat,
Ketua dan Sekretaris beserta para Anggota Senat Akademik Universitas Airlangga,
Rektor dan para Wakil Rektor Universitas Airlangga,
Para Dekan dan Wakil Dekan Fakultas di Lingkungan Universitas Airlangga,
Para Guru Besar Universitas Airlangga,
Para Guru Besar Tamu,
Rekan Dosen, Tenaga Kependidikan, serta Civitas Akademika Universitas Airlangga.
Para undangan dan hadirin yang saya muliakan.
Pada kesempatan yang berbahagia ini, izinkan saya mengucap syukur "Alhamdullilahi rabbil 'alamin" atas rahmat dan hidayat dari ALLAH SWT. Karena berkat izin dan perkenan-NYA-
Selanjutnya, perkenankan saya untuk menyampaikan pidato pengukuhan pada mimbar akademik yang mulia ini dengan judul :
PARADIGMA PENGELOLAAN MANUSIA DI DALAM ORGANISASI
Hadirin yang saya muliakan:
A. Kekuatan Arus Perubahan
Seputaran tahun 1960-an dan saat ini, atmosfer organisasi saat ini telah berubah secara menakjubkan. Berbagai kekuatan arus telah memicu perubahan-perubahan tersebut. Seiring meningkatnya efek teknologi dan telekomunikasi yang telah berhasil "mengecilkan" ukuran dunia, pergerakan keragaman para pekerja (profesional) membawa nilai-nilai, perspektif dan ekspektansi yang berbeda di antara mereka (para pekerja). Kesadaran publik semakin lama semakin sensitif dan menuntut organisasi agar semakin profesial dan bertanggung jawab secara sosial. Seperti halnya negara-negara dunia ketiga, kita pun telah turut terlibat dalam persaingan pasar global dan melebarkan arena bagi aktivitas penjualan dan pelayanan. Organisasi pun akhirnya kini tidak hanya dituntut untuk bertanggung jawab kepada para stockholders (para pemegang saham) namun juga para stakeholders. Pada saat ini, dunia yang kita alami sudah sangat jauh berbeda dengan dunia yang kita alami sepuluh lima belas tahun yang lalu. Dunia ilmu juga tidak terlepas dari berbagai pengaruh ini. Terjadi perubahan Era, yang sekarang kita berada era informasi, bukan lagi era industrialisasi. Era dimana pemikiran linear yang bersifat mekanistik, yang menghasilkan kemajuan seperti yang kita alami saat ini, sudah mulai digoncang oleh hasil-hasil perkembangan ilmu yang baru, yang mendorong tumbuhnya suatu paradigma baru.
Sebagai hasil kekuatan perubahan di atas, organisasi didesak untuk mengadopsi "paradigma baru" atau melihat dunia saat ini secara lebih sensitif, fleksibel, dan mudah menyesuaikan diri dengan tuntutan dan harapan para stakeholders. Banyak sudah organisasi yang telah melepaskan atau sedang melepaskan paradigma lama yang bersifat top-down, kaku, dan berstruktur hierarkis menuju pada bentuk-bentuk yang "organik" (fluid). Dengan perkataan lain, diperlukan mind set yang baru, baik dalam pemahaman maupun pengelolaan organisasi dan manusia yang ada di dalamnya.
Era industrialisasi dimulai dengan ditemukannya mesin uap oleh James Watt. Penemuan ini menyebabkan digantikannya tenaga manusia dengan tenaga mesin. Terjadi pemisahan antara manusia yang bekerja dengan alat produksi. Hal ini mendorong tumbuhnya pabrik-pabrik, dengan segala macam konsekuensi pengelolaannya. Mesin menjadi suatu alat utama dalam proses produksi untuk meningkatkan kesejahteraan. Pentingnya mesin ini merasuki semua aspek kehidupan manusia sehingga cara berpikir dan cara bertindak kita menjadi mekanistis. Metafora mesin menjadi suatu metafora yang dominan dalam era industrialisasi. Teknik-teknik pengelolaan yang dikembangkan dalam industrialisasi mengacu pada pandangan organisasi sebagai mesin dan memandang manusia sebagai salah satu bagian dari mesin (Morgan,G. 1998). Teknik-teknik manajemen yang berkembang dan mendominasi era industrialisasi dimulai dengan Scientific Management dari Taylor, yang berkembang lebih lanjut sesuai dengan tuntutan masyarakat antara lain Management by Objective [MBO], Management Science yang bersifat matematis untuk mengoptimalkan "mesin" organisasi, Total Quality Management yang berusaha meningkatkan kualitas keluaran organisasi, Bussiness Process Reenginerring [BPR] yang menekankan pada penghilangan proses-proses produksi yang tidak memberikan nilai tambah untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas organisasi.
Kata kunci yang dipegang dalam era ini adalah "efisiensi". Teknik motivasi dan teknik kepemimpinan yang berkembang dan dikembangkan dalam era ini juga menganggap manusia sebagai bagian dari alat produksi. Manusia harus dirangsang oleh sesuatu yang dari luar, extrinsic motivation, untuk berperilaku sesuai dengan keinginan organisasi seperti tehnik motivasi yang dikemukakan oleh Vrom, Porter & Lawler, teori Equity dari Adam. Teori-teori dan teknik-teknik kepemimpinan yang berkembang di era ini pun bersifat behaviouristik, yang menganggap manusia itu makhluk yang pasif, yang bisa digerakkan untuk kepentingan tertentu--dalam hal ini kepentingan organisasi. Teknik-teknik kepemimpinan dalam mengelola sumberdaya manusia pada era ini berdasarkan pada dua sumbu utama, yaitu "sumbu tugas" dan "sumbu manusia". Dimulai dari model Ohio, dan dikembangkan lebih lanjut oleh University Michigan, menghasilkan berbagai teori dan model kepemimpinan seperti Managerial Grid dari Blake & Mouton, Situational Leadership dari Hersey Blanchard, Path Goal theory dari House & Mitchel, Contingency theory-LPC dari Fiedler, ataupun teori kepemimpinan Vroom, Yetton & Jago yang semuanya lebih bersifat preskriptif (Daft, Richard L., 2002).
Hadirin yang saya hormati:
Era informasi yang sedang kita masuki sekarang ini mengharuskan kita melihat dan menanggapi organisasi secara lain, karena organisasi sekarang ini berada dalam situasi lingkungan yang berlainan, dengan tantangan dan kondisi yang berbeda dengan era industrialisasi. Perubahan- perubahan terutama dalam ilmu fisika mendorong suatu pemahaman baru tentang dunia yang kita alami, termasuk pemahaman tentang manusia yang ada dalam dunia. "Adanya" manusia dan cara mengadanya mendapatkan pemaknaan secara berbeda dalam cahaya ilmu yang berubah. Perbedaan cara pandang, yang dikenal sebagai perubahan paradigma berpikir dalam memandang dunia dan manusia dapat dilihat dari tabel di berikut.
Tabel 1 Perubahan Kondisi
EMERGING TRADITIONAL
Holism Reductionism
Mutual causality Linear causality
Perspectival reality Objective reality
Observer in the observation Observer outside the observation
Indeterminism Determinism
Equal focus on exteriors and interiors Primary focus on exteriors (Wilber, 1998)
Adaptive self-organization "Survival of the fittest" "Lead and seed" (Resnik, 1994)
Focus on relationship between entities Focus on discrete entities
Dialogical research methods Monological research methods (Wilber, 1998)
Nonlinear relationships— Critical mass thresholds Linear relationships — Marginal increases
Polarity thinking Either/or thinking (Johnson, 1992)
Focus on feedback Focus on directives
Quantum physics perspectives — Newtonian physics perspectives —
influence occurs through iterative influence occurs as direct result of force exerted from one person to another —
expecting the world to be predictable
Non-linear feedback — Linear — expecting the world to be predictable
the world is novel and probabilistic
Postmodern Modern
Dedifferentiation Differentiation
Focus on heterarchy (within level) Focus on hierarchy (between levels)
Understanding/
Equality Patriarchy
Yin/yang balance Yang dominance (Fondas, 1997)
Language as action (Gergen & Thatchenkery, 1996) Language as representation
Paradox Logic
Based on biology— Based on nineteenth-century physics—
structure, pattern, self-organization, lifecycle equilibrium, stability, deterministic dynamics
Focus on patterns Focus on pace (Bailey, 1996)
Focus on variation Focus on averages
Local control Global control
Behavior emerges from bottom up Behavior specified from top down
Metaphor of morphogenesis Metaphor of assembly
Focus on ongoing behavior Focus on results or outcomes
Generalist Specialist
Little or no transference of models Easy transference of models
Theory is narrowly applicable Theory is widely applicable
Irreversible time Reversible time
Generation of symbols Transmission of symbols
Mind creates matter Matter creates mind (Harman, 1998)
(Dent, Eric B. Complexity Science : A world view shift. Emergence, Vol.1, (4), p.8 , Dikutip dari Yuwono, 2003)
Era informasi ini juga merubah drivers organisasi. Kepemilikan modal, sumberdaya alam, tenaga kerja yang murah, mesin, dan teknologi tidak lagi menjamin bahwa organisasi akan mampu berkiprah dengan baik dalam suatu populasi organisasi. Era sekarang sangat mementingkan pemilikan dan penguasaan pengetahuan para anggota organisasi, sehingga driver utama bagi kelangsungan hidup organisasi adalah kepemilikan pengetahuan para anggotanya. Pengetahuan para anggota organisasi ini perlu dikelola lebih baik yang dikenal sebagai knowledge management. Nonaka membagi pengetahuan yang dimiliki organisasi menjadi dua yaitu tacit knowledge dan explicit knowledge. Tugas para pengelola organisasi adalah menjadikan tacit knowledge yang dimiliki anggota anggotanya menjadi explicit knowledge yang dimiliki bersama. Organisasi dalam era ini membutuhkan knowledge workers. Untuk dapat survive, organisasi sebaiknya mengubah pola pengelolaan sumberdaya manusia dalam organisasi, karena knowledge ini dimiliki oleh para anggota organisasi, dan akan keluar bersama anggota tersebut kalau dia meninggalkan organisasi. Bukan seperti mesin yang tetap tinggal dalam organisasi meskipun operatornya keluar dari organisasi.
Era knowledge economy membutuhkan karyawan-karyawan dan organisasi yang mampu melakukan proses pembelajaran secara terus- menerus, sehingga organisasi mampu menyesuaikan diri secara terus- menerus. Pembelajaran dalam organisasi tidak saja merupakan pembelajaran dari feedback negatif--yang disebut Argyris sebagai single loop learning, melainkan suatu proses pembelajaran yang dikenal sebagai double loop learning. Proses ini akan menghasilkan suatu learning organization (Senge, P. 1990).
Saat ini para pemimpin atau manajer organisasi/instansi harus berhadapan dengan arus perubahan yang cepat dan terus-menerus. Para pimpinan/manajer harus bekerja dengan pengambilan keputusan yang vital yang tidak dapat mengacu pada arah-arah pengembangan di masa yang lalu. Teknik-teknik manajemen harus secara berkesinambungan memperhatikan perubahan di lingkungan dan organisasinya, mengukur perubahan dan mengelolanya. Mengelola perubahan tidak hanya berarti mengendalikan saja namun juga mengadaptasinya atau bahkan mengarahkan sebagaimana mestinya.
Tentu saja hal ini membuat para pimpinan/manajer tidak dapat menguasai seluruh pemecahan masalah atau sumber daya bagi setiap situasi. Manajer seyogyanya mulai mempertimbangkan dan lebih mendengar pada para pegawainya. Konsekuensinya, bentuk baru sebuah organisasi menjadi hal yang umum dilakukan seperti, worker-centered teams, self-organizing dan self designing teams, dan sebagainya.
Hadirin yang saya mulyakan:
B. Traits dari Paradigma Baru
Marilyn Ferguson, dalam The New Paradigm: Emerging Strategic for Leadership and Organizational Change memberikan overview yang detail atas perbedaan yang terjadi antara paradigma lama dan baru (sebagaimana teringkas berikut ini).
Tabel 2. Perbedaan Paradigma
Lama Baru
promote consumption at all costs appropriate consumption
people to fit jobs jobs to fit people
imposed goals, top-down decision making autonomy encouraged, worker participation
Fragmentation in work and roles cross-fertilization by specialists seeing wide relevance
identification with job identity transcends job description
clock model of company recognition of uncertainty
aggression, competition Cooperation
work and play separate blurring of work and play
manipulation and dominance cooperation with nature
struggle for stability sense of change, of becoming
Quantitative qualitative as well as quantitative
Strictly economic motives spiritual values transcend material gain
Polarized transcends polarities
short-sighted ecologically sensitive
Rational rational and intuitive
emphasis on short-term solutions recognition that long-range efficiency must take in
to account harmonious work environment
centralized operations decentralized operations when possible
runaway, unbridled technology appropriate technology
allopathic treatment of symptoms attempt to understand the whole, locate deep underlying causes of disharmony
Di lain pihak ada pendapat dari Hartanto, F. Mardi (1996) tentang perubahan paradigma lingkungan usaha, perubahan yang terjadi pada lingkungan usaha tersebut tentunya akan merubah peran dari pengelola manusia di perusahaan.
Tabel 3. Perbedaan Lingkungan Usaha Lama dan Baru
Lingkungan usaha masa lalu Lingkungan usaha masa depan
Penggerak pelaku ekonomi Kegiatan produksi pemilik modal Kekuatan pasar konsumen
Yang dominan Sarana produksi Bebas menentukan pilihannya
Tekstur lingkungan Tenang, teratur, dan mantap Bergejolak dan penuh kesementaraan
Konstruk lingkungan Sederhana dengan pelaku terbatas Komplek, banyak pelaku dengan kepentingan yang berbeda-beda
Sumber kekuasaan Sumber daya, ukuran usaha, Kandungan intelek dan semangat kerja dari pelaku usaha
sistem usaha dan legalitas
Ruang lingkup usaha Nasional, atau multinasional Tanpa batasan yang jelas dan bersifat global
yang ditetapkan melalui
kesepakatan politik-ekonomi
Landasan kerja Aturan dan rencana Proses saling menyesuaikan diri
Strategi usaha Kompetisi dan dominasi Kolaborasi dan sinergi
Ciri kegiatan usaha Stabil, konsisten, & cenderung reaktif Fleksibel dan cenderung proaktif
Berdasarkan pada perubahan paradigma tersebut seharusnya peran pengelola manusia berubah sebagaimana tuntutan zaman. Kondisi perubahan tersebut dapat digambarkan dalam sebuah contoh perlombaan perahu kayu dan perahu karet. Dalam lomba perahu kayu, masing-masing team berlomba-lomba untuk mencapai tujuan yaitu mencapai finis tercepat. Kita pahami posisi masing-masing perahu dan cara kerja untuk menjalankan perahu tersebut. Pada tiap-tiap perahu, posisi anak buah berada di pinggir lambung perahu dan letaknya tertata rapi pada sisi kanan dan kiri, mereka diatur sedemikian rapi agar perahu dapat melaju dengan kencang. Demikian pula kita pahami posisi pemimpin, letaknya di depan anak buah/pegawai tetapi menghadap ke belakang dengan posisi ketinggian lebih dari posisi anak buah agar semua anak buah bisa melihat pimpinannya ketika memberi perintah dengan menggunakan genderang.
Sekarang akan dipahami cara kerja dari perahu kayu tersebut:
1. Anak buah/pegawai dalam menjalankan tugas mendayung perahu selalu mengikuti perintah pemimpinnya, tidak pernah sekalipun anak buah/pegawai mulai mendayung perahu tidak mengikuti perintah pimpinan. Ketika pemimpin mengatakan "satu, dua, tiga, empat", serta-merta anak buah mendayung perahu sesuai dengan perintah tersebut. Pada konteks ini, anak buah/pegawai tidak diperkenankan berinisiatif secara mandiri bekerja tanpa perintah pimpinan. Ketika pemimpin memerintah bekerja maka secara otomatis mereka para pegawai akan bekerja, tetapi ketika pemimpin tidak memerintahkan bekerja maka secara otomatis mereka para pegawai tidak akan bekerja, tidak pernah sekalipun terlintas pada pikiran mereka para pegawai untuk mendayung perahu tanpa mengikuti perintah pimpinan. Apabila ada anak buah yang punya inisiatif mandiri mendayung perahu maka akan merusak laju perahu sehingga haram hukumnya bila anak buah bekerja dengan inisiatif. Implikasi dari kondisi ini adalah anak buah bekerja mengikuti perintah pemimpin, manakala pemimpin tidak ada dan tidak pernah memerintahkan bekerja maka mereka para pegawai tidak akan bekerja. Tak heran bila kemudian anak buah banyak yang menganggur bila tidak ada pemimpin, bahkan ada yang membaca koran, bermain catur, atau bermain game komputer ketika pemimpinya tidak ada tetapi kalau ditanya mengapa tidak bekerja maka alasannya adalah karena belum mendapat perintah dari pimpinan untuk bekerja. Kalau mereka para pegawai berinisiatif untuk bekerja tanpa melalui perintah pimpinan, nantinya takut dimarahi kalau salah, takut dipecat bila salah kerja, untuk itu sebaiknya menunggu perintah pemimpin dahulu agar selamat.
2. Aturan main yang kedua adalah tidak diperkenankannya anak buah memprotes pemimpin, apa pun kata pemimpin adalah selalu benar bahkan perintah pemimpin bagaikan titah sang raja. Ketika pemimpin memberi perintah "satu, dua, tiga, empat", benar atau salahnya perintah, cepat atau lambatnya perintah harus dituruti oleh anak buah. Kalau ada anak buah yang tidak setuju dengan perintah itu bahkan memprotes cara pemimpin memberi perintah yang tidak sesuai dengan kondisi anak buah, malahan pada kondisi tertentu anak buah ingin mengganti pemimpin yang tidak memahami kondisi bawahan maka serta-merta akan di marahi, didamprat bahkan bisa jadi dilemparkan keluar dari perahu. Anak buah yang tidak seiring dengan gaya pemimpin dalam melakukan kepemimpinan dianggap sebagai orang yang mengganggu laju perahu, dianggap sebagai oposan yang bisa menghambat kecepatan perahu, dan dianggap sebagai anak buah yang cerewet, vokalis, aktivis dan sebagainya. Ingatkah kita ketika di era orde baru ada labeling OTB (organisasi tanpa bentuk), PKI, fundamentalis, atau sayap kiri. Labeling ini cocok untuk ditempelkan pada anak buah yang tidak menuruti perintah atasan. Tak mengherankan bila kemudian pemimpin berusaha mengeluarkan anak buah yang mempunyai label tersebut untuk keluar dari perahu, sehingga pemimpin akan berbuat apa pun asalkan anak buah itu keluar dari perahu entah itu disingkirkan dari pergaulan, tidak diberi pekerjaan ataupun dipecat (PHK). Menurut pemimpin, perahu akan melaju dengan kecepatan penuh asalkan semua anak buah menuruti perintahnya, dan tidak ada yang memprotes kebijakan pemimpin dalam mengelola perahu.
3. Aturan main ketiga yang harus dipahami oleh anak buah adalah tidak diperkenankannya adanya perpindahan anak buah terutama bila anak buah yang menginginkannya. Ketika perahu sedang melaju sesuai dengan perintah pimpinan maka tidak boleh ada satu pun anak buah yang membuat usulan perpindahan tempat yang dikarenakan kelelahan kerja. Pada saat anak buah bekerja di sebelah kanan lambung perahu dan di tengah perjalanan dirasakan kecapaian karena tangan kanannya yang terus menerus bekerja, tentunya ada keinginan untuk berpindah agar tangan kiri bisa seimbang dalam bekerja. Kondisi itu membuat anak buah menginginkan perpindahan kerja dan mengusulkan kepada pimpinan untuk melakukan perpindahan agar terjadi keseimbangan kerja atau refreshing. Tuntutan anak buah tidak akan dituruti karena sesuai dengan standar operating prosedur tidak boleh ada mutasi, promosi, atau pun demosi pada saat perahu sedang melaju, meskipun anak buah yang mengusulkan sendiri demi keseimbangan. Implikasi dari kondisi ini adalah organisasi (perahu) tidak akan melakukan pergerakan pegawai (mutasi, promosi, demosi) manakala perahu sedang melaju. Sekali orang tertancap pada pekerjaan tertentu sebagai anak buah maka selamanya orang yang bersangkutan tidak akan pernah berpindah ke tempat atau pekerjaan lain. Bagi organisasi ini, perpindahan pegawai (mutasi, promosi, demosi) akan merusak jalannya perahu. Orang bisa merasa kalau pekerjaan yang telah diterima pertama kali bekerja adalah miliknya, siapa pun tidak diperkenankan menggantikannya.
4. Secara umum pemahaman akan perahu kayu tersebut dapat dipahami dalam konteks kondisi dari perlombaan perahu kayu. Perahu kayu itu bisa melaju dengan cepat manakala kondisi air sungainya tidak berombak deras dan tidak mempunyai arus yang deras. Artinya, kondisi eksternal cukup tenang dan bisa diprediksikan adanya berbagai gangguan yang muncul atas laju perahu. Sifat dari perahu kayu itu adalah keras dan kaku, artinya pada kondisi eksternal yang tenang maka organisasi harus ditata dan diatur secara kaku/keras. Pengaturan tatalaksana kerja atau standar operating prosedur dari perahu kayu mengikuti aturan main pertama hingga ketiga di atas.
Hadirin yang saya mulyakan:
Bagaimana dengan tatalaksana kerja atau standar operating prosedur dari perahu karet. Pernahkah kita melihat lomba arung jeram, bagimanakah kondisi sungainya? Kondisi sungai mempunyai arus yang deras, banyak bebatuan sebagai halangan dan rintangannya, orang tidak bisa memperkirakan kapan air tenang, kapan air deras dan kapan ada air terjun. Kondisinya benar-benar merupakan kondisi yang unpredictable. Tentunya pada kondisi seperti itu perahu yang layak digunakan haruslah terbuat dari karet. Sifat dari karet adalah lentur, dan elastis. Sekarang bagaimanakah dengan tataaturan main dari perahu karet ini.
Pertama, posisi anak buah tidak harus berada pada satu tempat karena untuk menjaga keselamatan dirinya. Anak buah harus melakukan pergerakan supaya selamat, ketika perahu bergoyang mengikuti arus yang deras maka dia-pun harus ikut perputaran perahu. Tentunya pada kondisi ini anak buah secara otomatis dituntut untuk melakukan pergerakan (mutasi, promosi, demosi), dan bila tidak mau bergerak dapat diprediksikan kalau dia akan terjungkal ke luar perahu dan terjungkal kedalam arus yang deras itu. Setiap anggota organisasi diwajibkan untuk bergerak dan melakukan perputaran bila memang mau selamat sampai tujuan.
Kedua, posisi pemimpin pada perahu karet ini hampir sama dengan anak buah. Kadang Ia harus berada di depan, kadang harus di tengah dan kadang harus dibelakang atau dalam bahasa Jawa Ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani. Posisi pemimpin yang selalu harus bergerak ini merupakan keharusan agar perahu bisa selamat. Namun yang paling menggembirakan adalah pergerakan posisi pemimpin ini ketika perahu menghantam bebatuan yang mengakibatkan perahu dalam posisi miring sehingga anak buah mengumpul di satu tempat, maka pada saat seperti ini posisi pemimpin haruslah berada di seberang anak buah. Posisi yang letaknya berseberangan dengan anak buah ini bukan hendak melawan anak buah tetapi bertujuan untuk menyeimbangkan perahu. Artinya ketika organisasi menghadapi persoalan, bukannya pemimpin berada di antara anak buah, justru posisi pemimpin harus berseberangan dengan anak buah dengan tujuan untuk menyeimbangkan perahu (organisasi) agar tidak terbalik.
Ketiga, sebagaimana perahu kayu di atas, pada perahu karet ini siapa pun tidak memperdulikan pangkatnya pimpinan atau bawahan, ketika sudah berada di dalam perahu maka semuanya akan bekerja bersama-sama untuk menjalankan perahu agar tidak terbalik. Dalam hal ini pemimpin tanpa harus memberi komando, semua anak buah akan bekerja bersama-sama, posisi pemimpin dalam hal ini hanyalah mengawasi lajunya perahu agar tidak terbaik. Tetapi peran tersebut juga bisa digantikan oleh anak buah, semua orang bisa aktif dan berteriak-teriak agar perahu melaju dengan selamat, siapa bisa diteriaki oleh siapa pun dan tidak mengenal jabatan, pangkat atau pun golongan. Implikasi dari kondisi ini adalah semua orang di dalam organisasi akan bekerja tanpa harus diberi komando oleh pimpinan, ada atau tidak ada pemimpin tidak menjadikan masalah yang penting orang harus bekerja dan semua orang bekerja demi menjalankan organisasi agar organisasi tidak terbalik.
Keempat, kalau pada perahu kayu anak buah yang vokal atau tidak loyal berusaha disingkirkan oleh pemimpin, maka pada perahu karet ini sangat lain. Siapapun dia, darimana pun dia asalnya, kalau ada yang jatuh ke sungai karena perahu menghantam bebatu maka serta-merta semua orang berusaha menolong tanpa memperdulikan asal-usulnya. Implikasinya, ketika ada salah satu anggota organisasi yang "jatuh", maka semua anggota berusaha menolong tanpa memperdulikan pangkat, jabatan, agama, ras, dan golongan. Hal yang lebih penting lagi bagi orang-orang di dalam perahu karet ini adalah kita berangkat bersama-sama maka pulangnya harus juga bersama-sama.
Kelima, adalah berupa pemahaman utuh atas jalannya organisasi perahu karet ini. Pada kondisi sungai (lingkungan eksternal) yang unpredictable, maka perahu yang seharusnya dipakai adalah perahu karet dengan tataaturan main organisasinya mengikuti penjelasan poin satu sampai empat di atas.
Pertanyaan selanjutnya yang perlu ditujukan kepada kita semua adalah apakah di masa-masa depan organisasi dan kita semuanya akan menghadapi kondisi eksternal yang tenang ataukah kondisi eksternal yang unpredictable? Jelas dengan melihat kondisi globalisasi saat ini dan ke depan, situasi lingkungan eksternal tidak bisa dikendalikan dan ditentukan oleh pemilik modal justru kekuatan konsumen yang menentukan, kekuatan konsumen yang mengikuti pasar bebas ini sulit diprediksi. Produsen tidak bisa seenaknya sendiri membuat prediksi yang linear atas berbagai kejadian di masa lalu, berbagai macam gejolak, halangan dan rintangan yang sifatnya hanya sementara, prediksi semacam ini memang bisa mengganggu lajunya organisasi. Terdapat konstruk lingkungan yang kompleks dengan melibatkan berbagai macam variabel dalam perhitungan keuntungan dan kerugiannya, berbagai macam variabel itu memiliki kepentingan yang berbeda-beda dan harus dipertimbangkan oleh pengambil kebijakan.
Bila memang sudah dipastikan bahwa kondisi eksternalnya adalah unpredictable, perahu yang selayaknya digunakan adalah perahu karet, artinya organisasi ditata dengan sifat yang lentur atau tidak kaku. Kalau pada kondisi tersebut kita masih bersikukuh akan menggunakan perahu kayu dengan sifat yang kaku dan keras dalam cara pengelolaannya, niscaya bisa diprediksikan kalau belum sampai satu meter saja perahu itu akan hancur menghantam bebatuan. Beberapa contoh perguruan tinggi negeri yang telah berubah menjadi perguruan tinggi Badan Hukum Milik Negara (BHMN), Universitas Airlangga tercinta ini misalnya adalah merupakan contoh tepat atas ke-'lenturan'-nya (kemampuan adapasi) terhadap perubahan global.
Hadirin yang saya hormati:
C. Manusia Tidak Dimiliki
Menilik kondisi di atas, tentunya harus ada perubahan mendasar dalam memandang manusia yang ada di dalam organisasi. Terlebih dalam upaya peningkatan kualitas SDM yang benar-benar menghasilkan generasi yang memiliki nilai profesionalitas yang tidak dapat diragukan, bukan malah sebaliknya, yang menganggap nilai profesionalitas itu hanya untuk dijadikan sarana untuk suatu interes tertentu dari pihak ketiga. Menilik padangan Parminedes dan Heraklitus serta dengan mendasarkan diri pada pandangan keilmuan dalam rumpun humaniora (ilmu psikologi adalah bagian di dalamnya) bahwa manusia harus menguasai alam, mendorong tumbuhnya ilmu-ilmu kealaman yang berusaha untuk "mengeksploitasi" alam demi pengembangan ilmu (Suhariadi & Yuwono, 2004). Pandangan ini lebih mengedepankan ontologi ilmu adalah alam itu sendiri beserta seluruh isinya, dan manusia adalah bagian dari alam yang bertugas memberdayakan alam untuk pengembangan ilmu. Makna dari pengertian tersebut adalah menempatkan manusia sebagai individu yang "memiliki" alam bukan sebagai individu yang "dimiliki" alam.
Di lain fihak, dalam perkembangan ilmu psikologi terdapat ranah kajian pendalaman manusia di dalam organisasi yang lebih dikenal dengan konsep manajemen sumber daya manusia. Pada kajian ini manusia ditempatkan bukan lagi sebagai individu yang "memiliki" alam, tetapi menempatkan individu sebagai "aset" yang harus dimiliki untuk kegiatan produksi. Seringkali manusia di dalam organisasi dipandang sebagai "alat produksi" atau "aset", yang setara dengan aset lain yaitu uang, material, mesin, dan metode (dalam istilah manajemen lebih dikenal dengan nama 5M=man, money, material, machine, method). Bahkan pada perkembangan selanjutnya, pandangan manusia sebagai aset ini sampai harus dikalkulasi sedemikian hingga untuk setiap program pengembangan manusia selalu dikaitkan dengan ROI (return on investment). Memperlakukan manusia sebagai aset harus dihitung-hitung untung ruginya, dalam hal ini manusia benar-benar dianggap sebagai kapital (human capital). Akhirnya, setiap rupiah yang dikeluarkan oleh organisasi/institus
Anehnya, justru perkembangan ilmu yang memandang manusia sebagai aset inilah yang malah lebih pesat dibandingkan dengan manusia sebagai "pemilik" alam. Hal ini bisa dimengerti karena lebih mudah menghitung manusia sebagi aset dalam bentuk rumus-rumus yang linear dan juga lebih mudah mempredisikan seberapa besar keuntungan yang akan diperoleh bila manusia dapat dihitung sebagai aset. Aliran ini lebih dikenal dengan positivistik keilmuan agar memudahkan tugas epistimologi ilmu dalam mendiskripsikan dan memprediksikan ontologinya. Betapa pun demi dan atas nama ontologi dan epistimologi keilmuan, pandangan ini telah menahbiskan axiologi sebuah ilmu humaniora (psikologi termasuk didalamnya). Bahwasanya, harkat dan martabat manusia adalah lebih dari sekedar aset atau alat produksi yang bersifat sesaat. Pengertian atau istilah SDM yang sementara kita bicarakan yang tidak mengenal batasan ruang dan waktu itu juga telah dikritik oleh Frans Magnis Suseno. Pengertian akan konsep sumber daya manusia sebagai ungkapan yang tidak berdimensi atau tidak mengandung hakikat harkat dan martabat manusia. Dalam dimensi yang lain, jika peningkatan kualitas SDM ini tetap hanya dipandang atau dilihat sebagai kerangka manusia sebagai alat produksi dari pihak-pihak tertentu, maka dengan otomatis akan muncul manusia Indonesia yang memiliki kualitas pengetahuan sebagai suatu cara "mempunyai" dan bukan sebagai suatu cara "berada".
Pada kesempatan inilah saya ingin menyampaikan untuk menghimbau pada berbagai pihak agar kembali pada kithah ilmu humaniora bahwa manusia bukan sebagi objek yang harus dimiliki demi kepentingan apa pun, tetapi tempatkanlah manusia sebagai bagian dari alam semesta, yang ikut berkembang selaras dengan alam semesta, dan tidak mengobrak abrik alam untuk kepentingan sendiri. Paradigma ini disebut sebagai "deep ecology" seperti yang dikemukakan Capra dalam Turning Point (Capra, F. 1988).
Manusia dalam paradigma deep ecology adalah manusia yang berproses bersama alam semesta, dan berevolusi bersama untuk mencapai tingkat kehidupan yang lebih tinggi. Manusia sebagai bagian dari alam semesta bukanlah aset seperti pandangan organisasi, melainkan manusia yang utuh, yang memiliki berbagai dimensi, seperti dimensi fisik, biologis, psikologis, sosial, budaya, dan spiritual. Dalam era sekarang, pengukuran psikologis saja dianggap kurang memadai, sehingga untuk posisi tertentu dalam organisasi, seorang calon akan dinilai secara keseluruhan sejauh memungkinkan, hal ini dilakukan oleh assesment centre. Pengelolaan manusia dengan paradigma semacam ini menghendaki organisasi benar benar memperlakukan manusia sebagaimana adanya, dan mengembangkan potensi-potensinya agar dapat berkarya dengan baik dalam organisasi, baik untuk kemajuan organisasi maupun untuk perkembangan pribadinya. Pengelolaan Sumberdaya Manusia dalam organisasi seyogyanya menghasilkan Manusia yang Berkarya, bukan Manusia yang Bekerja.
Pandangan ini harus dijadikan dasar dalam perkuliahan pendidikan sarjana maupun pascasarjana baik di bidang ilmu psikologi maupun manajemen. Hal ini dilakukan agar masyarakat khususnya peserta didik dapat memahami posisi manusia di dalam organisasi sehingga ketika mereka berada di dalam masyarakat mampu menjadi roh perubahan atas paradigma yang baru ini.
Hadirin yang saya muliakan:
D. Solusi Alternatif
Mengajak orang untuk memposisikan manusia tidak sebagai aset yang dimiliki tetapi sebagai individu yang memiliki "dunia" adalah pekerjaan yang sulit meskipun itu hanya dalam tataran kognitif saja. Hal ini dikarenakan sudah sangat melekatnya konsep "manusia sebagai aset" di berbagai organisasi dan perusahaan. Dalam pandangan kaum kapitalis, akan lebih mudah menempatkan manusia sebagai aset, karena bisa dikalkulasi dengan berbagai rumusan tingkat keuntungan dan kerugian yang diperoleh bila mendayagunakan manusia sebagi aset. Merubah atau membalikkan keadaan ini tidaklah semudah membalikan telapak tangan, apabila memang dalam tataran (ranah) kognitif saja kita tidak memiliki konsep atau value yang menempatkan manusia sesuai dengan harkat dan martabatnya.
Tokoh aliran teori perilaku, Skinner menyatakan bahwa pembentukan perilaku individu haruslah lewat sarana dari luar (eksternal) dengan cara memberinya penguat dan hukuman. Pembentukan perilaku dengan cara ini menurut Skinner akan menjamin terkristalnya perilaku seorang individu. Bertentangan dengan aliran di atas, tokoh aliran teori kebutuhan, Abraham Maslow menyatakan bahwa pembentukan perilaku seseorang perlu melalui pemahaman akan kebutuhan individu. Namun karena setiap individu punya kebutuhan yang bervariasi maka cara pembentukan perilakunya juga perlu pemahaman dari berbagai macam kebutuhan masing-masing individu. Fishbein dan Ajzen (2004) menyatakan bahwa pembentukan dan pengubahan perilaku diawali oleh adanya kepercayaan seseorang terhadap sesuatu obyek. Kepercayaan inilah yang mempengaruhi sikap orang terhadap obyek. Selanjutnya sikap terhadap obyek akan membentuk intensi atau niat seseorang untuk berperilaku. Kemudian niat tersebut pada akhirnya membentuk perilaku yang tampak dari orang yang bersangkutan.
Pandangan di atas mengisyaratkan adanya model perubahan yang berasal dari atas (top-down) dan dari bawah (bottom-up). Pandangan Skinnerian lebih menekankan perubahan yang bersifat top-down, dengan menekankan pentingnya peran pemimpin dalam melakukan perubahan. Peran pemimpin yang paling penting adalah mensosialisasikan atau menanamkan perubahan value (nilai) yang telah diyakini kebenarannya secara bersama kepada pegawai. Dalam setiap kesempatan bertatap muka dengan pegawai selalu didengungkan values (nilai-nilai) baru dengan tujuan memberikan kesadaran kepada pegawai akan adanya values (nilai-nilai) baru tadi. Secara bersamaan juga ditampakkan adanya beberapa perilaku pemimpin, atau perilaku pegawai lain yang menunjukkan bentuk ekspresi dari values (nilai-nilai) baru tersebut. Hal ini dilakukan untuk menumbuhkan kepercayaan kepada pegawai bahwa ada values (nilai-nilai) baru di organisasi. Peran lain dari pemimpin yang sangat vital adalah komitmen. Komitmen ini memiliki arti yang sangat luas, dalam bentuk material dan non material. Tuntutan akan komitmen pimpinan lebih dari sekedar menjadi "ada" di dalam organisasi, tetapi lebih dari itu pemimpin harus bersedia untuk mengusahakan pada derajat upaya yang tinggi bagi kepentingan organisasi, demi memperlancar pencapaian tujuan organisasi. Pada tataran kepentingan ini pemimpin tidak sekedar memberi contoh ekspresi dari values (nilai-nilai) baru tetapi juga mengusahakan dengan sungguh-sungguh meskipun harus berkorban waktu, tenaga dan biaya.
Terlebih dalam budaya di Indonesia, yang menurut Hofstede memiliki Power Distance yang cukup tinggi (Hofstede.G. 1991). Dibandingkan dengan budaya Anglo-Saxon yang merupakan referensi dari berbagai teori kepemimpinan yang dianut, maka peran seorang pemimpin sangat menentukan didalam organisasi di Indonesia. Pemimpin dalam budaya yang memiliki Power Distance yang tinggi lebih memiliki berbagai priveleges, namun juga menjadi panutan bagi anggota organisasi. Masalah integritas pemimpin menjadi hal yang crucial agar pemimpin dapat menjadi panutan, tidak malah membingungkan, karena perilakunya tidak sesuai dengan nilai nilai organisasi yang dikemukakannya.
Pandangan yang kedua bersifat bottom-up, lebih mengedepankan peran dari pegawai atau manusia-manusia di dalam organisasi. Pandangan ini memang bersifat intrinsik, artinya perubahan paradigma dan perilaku itu pada akhirnya berpulang pada diri pegawai itu sendiri. Faktor utama dari bottom-up ini adalah menumbuhkan adanya kebutuhan dari pegawai akan pentingnya harkat dan martabat manusia. Pegawai harus sadar bahwa selama mereka diperlakukan sebagai "aset", mereka hanyalah alat produksi bagi penguasa organisasi untuk mencapai tujuan. Tingkat kegunaan pegawai hanyalah instrumen saja bagi pencapaian strategi taktis dan operasional organisasi. Peran mereka akan selesai begitu tujuan organisasi juga telah selesai dicapai. Menilik ketidakberartian peran manusia inilah yang pada akhirnya menumbuhkan kebutuhan untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia. Selama kondisi ini tidak menjadi kebutuhan maka selama itu pula sulit menumbuhkan perubahan paradigma yang berasal dari intrinsik. Selain faktor utama di atas ada 4 faktor lain yang menjadi kunci perubahan paradigma pengelolan manusia, yaitu waktu, loyalitas, kepercayaan dan produktivitas.
Pertama adalah "waktu yang tersedia" akan selalu digunakan olah pegawai untuk mencoba mengekspresikan values (nilai-nilai) baru yang berbentuk peningkatan harkat martabat manusia. Dalam hal ini, yang diutamakan adalah tersedianya cukup waktu bagi pegawai untuk berlatih (exercise) mengekspresikan nilai-nilai baru yang dianutnya. Ketika mereka mengalami kegagalan dalam mengekspresikan nilai baru tadi maka ada sejumlah perangkat aturan dan norma yang bersifat fleksibel untuk segera meluruskan kembali kepada langkah-langkah yang benar. Pada saat sudah menemukan bentuk-bentuk perilaku yang memang menunjukkan nilai baru tadi maka segera disiapkan sejumlah perangkat aturan dan norma yang menjaga agar perilaku tersebut tidak hilang atau kembali pada bentuk semula, bahkan tetap terjaga dengan baik (sustainable)
Kedua adalah "kepercayaan (trust)". Melalui kepercayaan (trust) inilah masyarakat organisasi membangun sebuah kebersamaan untuk merubah nilai-nilai lama menjadi nilai baru yang menghargai harkat martabat manusia, bahkan secara tidak langsung penanaman kepercayaan (trust) antar sesama anggota organisasi (pimpinan dan bawahan) tidak sekedar membangun pencapaian tujuan bersama namun juga membangun masyarakat yang saling menghargai satu sama lain. Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan Fukuyama ahli filsafat, Ia menyatakan bahwa trust is the expectation that arises within a community of regular, honest, and cooperative behavior, based on commonly shared norms, on the part of other members of that community? (Fukuyama, 1995, hal 26). Kepercayaan (trust) ini munculnya tidak seketika, melainkan dibangun melalui perjalanan yang panjang lewat perilaku individu yang terbuka antara satu orang dengan orang yang lain. Faktor kedua ini merupakan kelanjutan dari faktor pertama. Setelah pegawai diberikan waktu yang cukup maka setelah itu organisasi/perusaha
Ketiga adalah "loyalitas", merupakan kontrak emosional dari pegawai terhadap organisasi yang memiliki makna berupa kesediaan untuk melanggengkan hubungannya dengan organisasi, kalau perlu dengan mengorbankan kepentingan pribadinya tanpa mengharapkan apapun (Wignyosoebroto, 1987). Kesediaan pegawai untuk mempertahankan diri menjadi anggota ataupun bekerja di dalam organisasi adalah hal yang penting dalam menunjang kesimbungan pencapaian tujuan organisasi secara umum. Berbekal loyalitas ini konsentrasi pegawai dalam melakukan perubahan akan terfokus dan terarah pada jalur yang tepat. Tidak terbersit pun di dalam benak pegawai untuk meninggalkan organisasi bahkan dengan seluruh kemampuan yang dimiliki akan diberikan kepada organisasi tenaga, waktu dan pikiran. Inti dari faktor ketiga ini adalah kelanjutan dari faktor kedua. Bahwa setelah menyediakan waktu yang cukup bagi pegawai untuk berubah dan juga telah memberikan kepercayaan yang penuh, maka secara otomatis dan berkelanjutan organisasi/perusaha
Keempat adalah "produktivitas". Pada akhirnya semua bentuk kinerja organisasi, kelompok, ataupun individu berujung pada produktivitas. Secara harfiah produktivitas dinyatakan sebagai rasio dari keluaran (output) terhadap masukan (input) dalam suatu proses produksi. Hubungan matematiknya adalah P=O/I. Di dalam kehidupan bisnis, produktivitas sesuatu perusahaan seringkali dikaitkan dengan konsep efektivitas dan efisiensi (Suhariadi, 2002). Tetapi bila mengacu pada pengertian di atas kita akan kembali jatuh pada pemahaman tentang manusia sebagai aset, karena akan dihitung berapa besar pendapatan yang diperoleh dibandingkan dengan sumber daya yang dimiliki (dalam bentuk 5 M= Man, Money, Material, Machine, Methods). Untuk itu yang dipentingkan disini adalah perilaku produktif dari seseorang, perilaku produktif adalah perilaku dari pegawai yang berorientasi efisiensi dalam penggunaan sumber daya tetapi juga seiring dengan orientasi efektifitas dalam pencapaian tujuan (Suhariadi, 2004). Terpenting pada faktor terakhir ini adalah mendorong pegawai untuk bekerja dengan produktivitas yang tinggi, mengingat waktu, kepercayaan dan loyalitas telah diberikan kepada mereka. Pada langkah ini organisasi/perusaha
Perilaku produktif dalam organsasi akan tercapai kalau ketiga butir di atas, kepemimpinan, kepercayaan dan loyalitas dapat ditumbuh kembangkan dalam organisasi. Perlu dikaji pula, bagaimana tetap mempertahankan perilaku produktif secara berkesinambungan, dan tidak lagi tergantung pada hal hal diluar individu untuk berperilaku secara produktif. Untuk itu, butir kedua, yaitu trust kepada organisasi merupakan hal terpenting. Trust akan membangun loyalitas kepada organisasi, sekaligus menimbulkan suatu motivasi dari dalam dirinya untuk tetap berperilaku produktif.
Perilaku produktif akan menjadi perilaku yang melekat dalam diri individu bila individu mendapatkan makna dalam pekerjaannya. Ketika pekerjaan individu dalam organisasi memiliki makna bagi dirinya dan kehidupannya secara menyeluruh, maka perilaku produktif akan tetap dipertahankan. Untuk mendapatkan makna dalam pekerjaannya, maka individu harus memiliki kesempatan untuk mengembangkan potensi dan kelebihannya, dan sesuai dengan value yang dimilikinya. Ini berarti pengelolaan sumberdaya manusia seyogyanya didasarkan pada strength based, not a deficit based. Sejauh ini, paradigma yang mekanistik mendasarkan pengelolaan sumberdaya manusia berdasarkan kelemahan dan kekurangan yang diusahakan diperbaiki melalui pelatihan pelatihan. Sejumlah tools and methods telah dikembangkan dalam pengelolaan sumberdaya yang berdasarkan strength based, seperti Appreciative Inquiry, World Cafe, Open space technology yang akan membuat para anggota organisasi sadar akan kelebihan dan kekuatan dirinya dan rekan rekan sekerjanya, serta memiliki visi dan nilai nilai yang sama, yang ditumbuh kembangkan dari bawah. Metode metode diatas akan mengurangi "voiceless" dalam organisasi, serta membuat seluruh anggota organisasi merasa terlibat dan memiliki organisasi. Pengelolaan sumberdaya manusia dengan tools dan metode seperti diatas, kelihatannya lebih menjanjikan hasil perilaku produktif yang berkesinambungan dibandingkan dengan model pengelolaan sumberdaya manusia yang sekarang banyak dikenal.
Berdasarkan pada uraian di atas, dapat dipahami kalau perubahan paradigma dalam memperlakukan manusia (pegawai) di dalam organisasi sesuai dengan harkat dan martabatnya (memanusiakan) tidaklah mudah. Agar keberadaan mereka di dalam organisasi benar-benar diperlakukan bukan sebagai 'aset' alat produksi tetapi sebagai orang yang memiliki 'sesuatu' maka ada peran pimpinan dan pegawai yang saling melengkapi untuk merubahnya. Sebagai contoh perubahan besar yang terjadi di Universitas Airlangga tercinta ini, sejak ditetapkan sebagai Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara pada tanggal 16 September 2007, terjadi banyak perubahan yang mendasar di dalam sistem manajemennya. Secara gradual dan terencana beberapa perubahan struktur, dan tatakerja organisasi serta penempatan pegawai dilakukan dengan cukup mantap. Dalam hal ini, peran pimpinan (rektor dan jajarannya) sangat vital. Mereka telah menunjukkan komitmen perubahan dengan banyak mengorbankan waktu, tenaga dan biaya yang sangat besar. Komitmen inilah sebagai kunci keberhasilan menuju perubahan values (excellent with morallity).
Di lain pihak, bila komitmen pimpinan tersebut tidak dibarengi dengan kesediaan pegawai untuk menggunakan waktu, kepercayaan, loyalitas, dan perilaku produktif maka proses perubahan akan tidak berjalan dengan baik (stagnant). Untuk itulah diperlukan pertemuan-pertemuan yang formal ataupun informal untuk menunjukkan pentingnya perubahan. Mengubah pola pikir pegawai akan arti pentingnya perubahan memang tidaklah mudah. Sebuah perubahan organisasi akan dapat berjalan baik, dengan memberikan waktu, kepercayaan, loyalitas dan perilaku produktif kepada pegawai, dan proses memperlakukan manusia sesuai dengan harkat martabatnya. Dalam hal ini pegawai tidak dipandang sebagai alat produksi tetapi mereka adalah mitra sejawat yang seiring dalam menggapai perubahan organisasi demi mencapai masa depan yang lebih baik.
Hadirin yang saya muliakan:
Mengakhiri pidato pengukuhan jabatan Guru Besar ini, perkenankanlah saya untuk memanjatkan puji syukur ke hadirat Allah swt. Atas limpahan karunia dan barakah-Nya, sehingga upacara pengukuhan jabatan Guru Besar ini telah berlangsung dengan lancar.
Pada kesempatan ini pula perkenankanlah saya menyampaikan rasa hormat dan terima kasih kepada Pemerintah Republik Indonesia yang melalui Menteri Pendidikan Nasional telah mempercayai saya untuk memangku jabatan berwibawa ini sebagai Guru Besar dalam bidang ilmu Manajemen Sumber Daya Manusia, Insya Allah kepercayaan tersebut tidak akan saya sia-siakan, dan untuk mewujudkannya secara sungguh-sungguh saya mengharapkan kerja sama dan kerja keras mahasiswa dan sejawat yang berjuang dan mengabdikan diri dalam memajukan Universitas Airlangga tercinta melalui kajian bidang ilmu Manajemen Sumber Daya Manusia.
Secara khusus hormat saya yang setinggi-tingginya kepada Bapak Rektor Universitas Airlangga Prof. Dr. Fasich, Apt, Ketua Senat Akademik Universitas Airlangga Prof. dr. Sam Soeharto, Sekretaris Senat Akademik Universitas Airlangga Prof. Dr. Frans Limahelu, S.H., LLM., para Wakil Rektor dan anggota Senat Akademik Universitas Airlangga, saya menyampaikan terima kasih yang mendalam atas dukungan dan kesediaannya mengusulkan pengangkatan saya sebagai Guru Besar. Sungguh ini merupakan kepercayaan besar yang harus saya pikul demi memajukan Universitas Airlangga.
Menilik keberhasilan ini merupakan hasil torehan tangan-tangan emas yang dimulai sejak kecil, maka pada kesempatan yang berbahagia ini pula saya sampaikan rasa hormat dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada guru-guru SDN Kapaskrampung Wetan I yang telah mengajari dasar-dasar menulis dan membaca sampai akhirnya terbuka mata ini untuk melihat dunia melalui buku-buku bacaan. Juga saya sampaikan ucapan terima kasih kepada guru-guru SMP Negeri 9 Surabaya dan SMA Negeri 7 Surabaya yang tenlah menorehkan dasar-dasar ilmu pengetahuan sehingga akhirnya saya bisa mengetahui makna sebuah ilmu bagi kemaslahatan umat manusia.
Dalam pengembangan ilmu ke jenjang perguruan tinggi, beruntung saya bisa ketemu dengan guru Prof. Soetandyo Wignyosubroto, MPA., Dr. Jangkung Karyantoro, MBA., Drs. Ino Yuwono, MA. Terima kasih sebesar-besarnya, anda semua tidak sekedar sebagai guru tetapi juga orang tua, saudara, dan rekan sejawat dalam mencari dan selalu mencari kebenaran ilmiah. Tak lupa pula kepada dosen-dosen pendiri Fakultas Psikologi: Drs. Hawa'im Machrus, MS., Drs. Sudaryono, SU., Dra. Prihastuti, SU., Dra. Lies Setyowati, MS., Drs. EM Agus Subekti, M.Kes., M.Psi., tanpa anda semua mungkin saya tidak akan bisa mengetahui arti ilmu psikologi. Bahkan dalam perkembangan Fakultas Psikologi Universitas Airlangga telah diisi dosen-dosen energik untuk mendidik saya dengan baik yaitu Dra. Woelan Handadari, M.Si., Dra. Veronika Suprapti, MS, Ed., Dr. Edy Suhardono, M.Psi., Dr. Alimatus Sahra, M.Psi., Dr. MMW Tairas, MA, MBA., (sebentar lagi profesor), dan Drs. Duta Nurdibyanandaru, MS., terima kasih yang sebesar-besarnya. Bapak-ibu di atas telah berhasil mencetak saya menjadi seorang guru besar.
Untuk bisa mengajar ilmu psikologi dalam ruang, tempat dan waktu yang memadai telah ada Prof. Dr. dr. Marsetio Donoseputro, Prof dr. Maramis., Drs. Dwi Narwoko, M.A., Drs. Basis Susilo, M.A., yang telah berusaha membangun sejak awal gedung dan seluruh perangkat administrasi dari Fakultas Psikologi, terima kasih anda semua telah membangun Fakultas Psikologi sehingga membuka kesempatan kepada saya untuk belajar Psikologi.
Meskipun tidak mengecilkan arti mantan dekan Fakultas Psikologi Prof. Dr. Hanafi, Prof. Dr. Marlina Mahajudin, ucapan terima kasih yang sangat spesial saya haturkan kepada mantan Dekan Fakultas Psikologi Prof. Dr. M. Zainuddin, Apt., yang sekarang menjadi Wakil Rektor 1 Universitas Airlangga. Bapaklah yang telah memberi kesempatan kepada saya seluas-luasnya untuk selalu "membersihkan" dan membangun rumah sendiri hingga Fakultas Psikologi tercinta mampu sejajar dengan Fakultas Psikologi ternama di Tanah Air.
Ketika berusaha membersihkan dan membangun rumah sendiri, ternyata ada rekan seperjuangan yang selalu gigih bersama-sama meraih prestasi yang diidamkan, beliau adalah Dr. Seger Handoyo yang sekarang menjadi Dekan Fakultas Psikologi, dan Dr. Suryanto yang saat ini menjabat Wakil Dekan III. Terima kasih atas kebersamaan kita selama berjuang bersama-sama, kenangan itu tak akan terlupa. Sementara itu ada juga rekan sejawat yang senior seperti Dr. Cholichul Hadi, Dra. Dewi Retno Suminar, M.Si., yang juga ikut berjuang membesarkan Fakultas Psikologi.
Tak lupa juga ada kenangan indah ketika menorehkan prestasi di Fakultas bersama dosen-dosen muda yang sangat energik, Dra. Psi. Fajrianthi, M. Psi., Psikolog., Fitri Andriani, S.Psi., M. Si., Endah Mastuti, S.Psi., M. Si., MG Bagus Ani Putra, S.Psi., Psikolog, R. Rr. Muryantinah MH, S. Psi., Psikolog, Budi Setiawan Muhamad, S.Psi., M.Psi., Samian, S.Psi., M. Psi., terima kasih atas dukungan moral dan moril yang telah anda berikan selama ini. Bahkan ada pula orang muda yang sedang giat-giatnya belajar untuk mengembangan Fakultas Psikologi yaitu Berlian Gressy, Aryani, Margaretha, Ika, Ike dan Rahman, buktikan bahwa orang muda bisa berprestasi untuk membuat sejarah emas di Fakultas Psikologi.
Saya sampaikan terima kasih kepada mantan Rektor Universitas Airlangga Prof.Dr.Med.
Rekan kerja yang tidak bisa terlupakan atas jasa-jasanya adalah teman-teman tenaga pendidikan dari Fakultas Psikologi seperti Endro Subekti, Supriadi, Yuli, Sutrisno, Endang, Yeti, Pulung, dan semuanya yang tidak bisa disebutkan satu-satu. Juga ucapan terima kasih disampaikan kepada rekan tenaga kependidikan yang ada di kantor pusat seperti Bu.Rini W, Pak.Arif, Bu.Supit, P.Basuni, P.Dedi, P.Wandono, Bu.Epik, P.Petrus, B.Kiswari, P.Tjoko, Pambudi, Karnan, P.Yudi, P.Rokam. P. Suko, P.Ardi, B.Pariyem dan juga khusunya kepada Bu.Sunarti (mantan KBAUK) beserta semua tenaga kependidikan khususnya dari Direktorat Sumber Daya yang tidak bisa disebutkan satu persatu.
Terakhir kepada istriku tercinta Dwi Hardaningtyas, S.Psi.M.Si., terima kasih telah menemaniku dalam suka dan duka sepanjang hayat, juga anak-anakku yang tercinta Fiosanda Risky Nugrahanti dan Fiosandi Risky Novalino, raihlah cita-citamu setinggi langit, tak lupa orang dekat yang selalu mengkasihi dan menyayangi keluarga tanpa pamrih dengan cara yang unik yaitu Dra.Titik Eko P.M.Si., terima kasih atas segala hal yang pernah dilakukan. Kepada saudara-saudara kandung Dra. Fenny Apridawati, M.Kes., Drs. Hendro Margono Amd., Indah Yuniharti, beserta saudara-saudara ipar saya ucapkan terima kasih atas dukungannya. Terima kasih juga saya sampaikan kepada mertuaku Oedi Brotokusumo dan Siti Nurhayati. Jasa yang tak pernah terlupakan sepanjang masa yaitu kepada orang tuaku tercinta Soeloso AS dan Muhartini, kasih sayang dan doa sepanjang hari dari ayahnda dan ibunda selalu mengiringi langkahku.
Akhir kata, kepada seluruh hadirin yang saya muliakan, yang dengan penuh kesabaran mengikuti upacara pengukuhan ini saya ingin menyampaikan penghormatan dan penghargaan yang setinggi-tingginya. Begitu pula kepada semua pihak yang telah memungkinkan terselenggaranya upacara pengukuhan ini saya tidak lupa mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya. Hanyalah Allah swt. yang akan dapat membalas budi dan amal baik kesemuanya tadi dengan takaran pahala yang Insya Allah akan jauh melebihi dugaan.
Daftar Pustaka
Armstrong M., (1991) Personnel Management Practice, Fourth Edition, Kogan Page Limited London.
Capra, F., (1988) The Turning Point: Science , Society and The Rising Culture . New York : Bantam Books.
Daft, Richard L., (2002) The Leadership Experience, 2ndEd. South_Western Publ.Co, Ohio
DeCenzo, A. Davis., Robbins, P. Stevens, (1994) Human Resource Management: Concept & Practices, 4th edition, John Willey & Sons, Inc, New York.
Ferguson, Marilyn., (1993) The New Paradigm: Emerging Strategic for Leadership and Organizational Change., Michael Ray and Alan Rinzler, Eds., New Consciousness Reader
Fishbein, M., and Ajzen, T (2004) The Influence of Attitude Behavior, Massachusetts University
Fontainne, R.J. Johnny., Duriez, Bart., Luyten, Patrick., Hutsebaut, Dirk., Corveleyn, Jozef., (2005) Consequences of a Multi-Dimensional Approach to Religion for the Relationship between Religiosity and Value Priorities, Universiteit Gent, Faculteit Psychologie en Pedagogische Wetenschappen, Belgium.
Fukuyama, F. (1995) Trust: The Social Virtues and the Creation of Prosperity. New York: Free Press.
Hartanto, F. Mardi, (1996) Manusia karya yang bersumber daya di dalam sistem usaha: Paradigma Tenaga kerja di Abad 21, Visi Utama, III/Juni-Agustus, 4-18
Harvey,D & Brown,D.R., (2001) An Experential Approach to Organizational Development .New Jersey: Prentice Hall
Hofstede.G., (1991) Cultures and Organizations : Software of the Mind. New York :McGraw-Hill
Ivancevich, M. John., (2001) Human Resource Management, 8th edition, McGraw-Hill, Boston.
Mondy, R. Wayne., Noe, M. Robert., (1993) Human Resource Management, 4th edition, Allyn and Bacon, Boston.
Morgan, G., (1998) Images of Organization, 2nd Ed. Sage Publication. Thousand Oak, CA.
Muchinsky, M. Paul (1993) Psychology Applied to Work, 4 th edition, Books/Cole Publishing Company, Pacific Grove-California, 326.
Schwartz, S. H., & Bardi, A., (2001) Value hierarchies across cultures: Taking a similarities perspective. Journal of Cross-Cultural Psychology, 32, 268–290.
Schwartz, S. H., & Huismans, S., (1995) Value priorities and religiosity in four western religions. Social Psychology Quarterly, 58, 88–107.
Schwartz, S. H., & Sagie, G. (2000) Value consensus and importance: A cross-national study. Journal of Cross-Cultural Psychology, 31, 465–497.
Schwartz, S. H., (1992) Universals in the content and structure of values: Theoretical advances and empirical tests in 20 countries. In M. Zanna (Ed.), Advances in experimental social psychology (Vol. 25, pp. 1–65). Orlando, FL: Academic Press.
Schwartz, S. H., Melech, G., Lehmann, A., Burgess, S., Harris, M., & Owens, V., (2001) Extending the cross-cultural validity of the theory of basic human values with a different method of measurement. Journal of Cross-Cultural Psychology, 32, 519–542.
Senge, P., (1990) The Fifth Discipline, New York : Double Day.
Suhariadi, Fendy., (2001) Pengaruh variabel individu (inteligensia, motivasi kerja, pendidikan, pengalaman kerja, pangkat, dan jenis kelamin) terhadap perilaku efisien, INSAN Media Psikologi, Vol. 3, No. 2. 73-87.
______ (2001) Produktivitas sebagai bentuk perilaku, INSAN Media Psikologi, Vol 3, No 3, 119-137.
______ (2002) Pengaruh Intelegensi dan Motivasi Terhadap Semangat Penyempurnaan Dalam Membentuk Perilaku Produktif Efisien, Jurnal ANIMA, Vol. 17, Nomor Juli 2002.
______ (2004) Budaya Organisasi Pada Perusahaan Yang mengalami Pemogokan, Jurnal Psikodinamik, Vol 6, No.1 ISSN1411-3929 (Terakreditasi)
______ (2005), Diskripsi Adversity Quotient dan Perilaku Produktif dari Pemogok Kerja, INSAN Media Psikologi, Vol 7, No.1. 45-69.
______ (2005), Productivity as a form of behavior: an alternative effort toward psychological measurements, 6Th Industrial & Organizational Psycholoy Conference, Australia.
______ (2005), The influence Individual & Organizational Variables to the Improvement Spirit for making Productive Behavior, XII Europian Conggress of Work and Organizational Psychology, Istambul, Turki.
Suhariadi, Fendy., Yuwono, Ino., (2004) Rumpun Ilmu Humaniora: Suatu pemikiran dan bahan diskusi, disampaikan pada seminar Rumpun Ilmu di Universitas Airlangga pada tanggal 14-15 September.
Weiten, Wayne (2005), Psychology: Themes & Variation, 2 nd edition, Thomson Information/
Yuwono, Ino. 2003. Tantangan Organisasi Bisnis di masa mendatang: Sudut Pandang Psikologi. Makalah tak diterbitkan untuk orasi ilmiah Dwi dasawarsa Fakultas Psikologi Universitas Airlangga.
Bergabunglah dengan orang-orang yang berwawasan, di bidang Anda di Yahoo! Answers
MARKETPLACE
Earn your degree in as few as 2 years - Advance your career with an AS, BS, MS degree - College-Finder.net.
Change settings via the Web (Yahoo! ID required)
Change settings via email: Switch delivery to Daily Digest | Switch format to Traditional
Visit Your Group | Yahoo! Groups Terms of Use | Unsubscribe
.
__,_._,___
Tidak ada komentar:
Posting Komentar