Maksud bung gotho ngloco, novel? Tidak. Tapi saya pikir ini menarik
juga didiskusikan. Apakah kritikus adalah nomor 2 setelah pengarang
novel (atau bisa dikembangkan dalam hal-hal lainnya: seni rupa,
fotografi, dsb).
Ada teman-teman yang mau nanggapi? Pertanyaannya besarnya:
APAKAH KRITIKUS ADALAH NOMOR 2?
Silahkan...
--- In psikologi_transform
<gotholoco@.
>
> Yang namanya kritikus: adalah orang yang tidak mampu berprestasi
> seperti apa yang telah dicapai oleh yang dikritiknya.
> he..he..he..
> Bagaimana bung haute, punya karya bagus?? Japri ke sayah.
> :)
>
> --- In psikologi_transform
> <hautesurveilance@
> >
> > Aku tak sedang memegang novelnya, tapi inilah impresiku ketika membaca
> > novel tsb. Dalam hematku novel itu memiliki kendala teknis yang
> > mendasar. Si pengarang, seperti kebanyakan penulis-penulis Indonesia
> > saat ini, bahkan belum mampu menyusun kalimat, apalagi penceritaan,
> > atau novel yang mensyaratkan kesatuan dan keutuhan.
> >
> > Selain itu, novel ini terjebak pada apa yang disebut "magravilia"
> > (hasrat terhadap daya pukau). Ia tampak mencurahkan dirinya untuk
> > berliris-liris bahkan hingga berlarat-larat. Kecenderungan pada
> > lirisisme itu membuatnya bermain-main dalam apa yang dipikirkan oleh
> > si penulis sebagai metafor, padahal hanya terjerumus pada "rujak
> > kata-kata".
> >
> > Kalau tak salah ingat novelnya dibuka dengan "Bapakku anggrek bulan,
> > putih dari hutan" Apakah yang disebut anggrek bulan di sana? tak ada
> > referensi untuk itu. Predikatnya justru menerangkan hal lain, "...,
> > putih dari hutan". Kebebasan pembaca untuk menafsirkannya? Inilah yang
> > tak dipahami oleh kebanyakan penulis Indonesia kontemporer, bahwa
> > segelap apapun sebuah metafora ia harus memiiki matrix, kata
> > kunci-kunci. Kualitas metafor hanya dapat dinilai dari matrix itu.
> > Seberapa besar/dahsyat ia membuat penggambaran hanya bisa ditentukan
> > dengan pembandingannya dengan matrix tersebut. Ini kalau kita
> > berbicara metafora dalam definisi-definisi Aristotelian.
> >
> > Kini, mari beranjak ke metafora sebagai "kebebasan penggantian tak
> > terbatas", "pergerakan tak berujung" yang bebas dan acak, sehingga
> > rujak kata-kata seperti itu dapat dibenarkan sebagai metafora.
> > Pertanyaannya adalah, apakah novel itu sendiri memberikan dukungan
> > bagi kita untuk berbicara seperti itu?
> >
> > Jawabannya tidak. Novel yang mencoba berbicara tentang bahasa ini,
> > masih menempatkan tulisan/teks sebagai barang nomor dua. Memang bukan
> > pakaian dari pikiran atau ucapan, tetapi rasa, aku--hal ini
> > disampaikan secara verbal di bagian-bagian tengah. Kata di sana masih
> > merupakan representasi dari yang lain, dari luar dirinya--dan oleh
> > sebab itu saya melihatnya dari kacamata Aristotelian. Novel ini
> > seperti yang dikatakannya sendiri, tak mampu menanggung kekosongan
> > referensi. Ia bukan hanya aneh dibaca dari bangunan realisme, tetapi
> > juga aneh dibaca dari bangunan metafora--sesuatu yang ia minta
> > sendiri, namun ia khianati sendiri dengan kecenderungan realismenya
> > (aku/rasa sebelum bahasa).
> >
> > Kualitas novel ini, jika boleh memperbandingkan, sangat jauh dari
> > novel-novel Iwan Simatupang. Sangat jauh.
> >
> >
> >
> >
> >
> > --- In psikologi_transform
> > <helga_noviari@
> > >
> > > Thanks commen'na ya Mas Imam,
> > >
> > > Yupp..sy stuju banget...novel ini punya alternatif bentuk yg
> > sungguh menarik. Dibandingin novel-novel mainstream tentunya ya.
> > Selalu asik utk dibaca berulang-ulang.
> > >
> > > Nah..kaya'nya di situ dech kekuatan metafor...keren bener ni
> > novel..permainan metafornya itu tuh..wuii
> > >
> > >
> > > Cheers
> > >
> > > HN
> >
>
Change settings via the Web (Yahoo! ID required)
Change settings via email: Switch delivery to Daily Digest | Switch format to Traditional
Visit Your Group | Yahoo! Groups Terms of Use | Unsubscribe
__,_._,___
Tidak ada komentar:
Posting Komentar