saya hanya bisa berkomentar tulisan ini sangat bagussaya sudah baca buku Kang Jalal, tapi krn sambil lalu saya tidak memahami sedalam ini.kalau menurut saya, terkadang seseorang -katakanlah saya sendri- tidak bisa membedakan antara agama dan pemahaman dia terhadap agama, antara pesan wahyu dan interpretasi dia terhadap wahyu tersebut. seringx seseorang mengabsolutkan sebuah interpretasi sama dgn absolutx sebuah teks suci. Qur`an memang absolut tapi pemahaman terhadapx tetap relatif.ketika interpretasi yang berbeda2 terhadapt maksud sebuah teks suci, masing2 menggunakan hasil interpretasix untuk menyerang dan kadang mengkafirkan kelompok lain yg memiliki interpretasi berbeda. lebih koyo lagi jika pembelaan terhadap interpretasi tsb dianggap sebagai perjuangan suci, jihad fi sabilillah,menegakkan kebenaran, membela agama Allah, dsb. maka munculah sikap fanatisme kelompok dimana hanay kelompoknyalah yg menjadi pembela kebenaran, ujung1x hanya kelompoknyalah yang berhak masuk surga.Jadi yang perlu disosialisasikan agar beragama tidak jadi bumerang, hendaknya umat diajarkan memilah antara pesan agama dan pemahaman terhadap pesan agama. yg pertama absolut dan sementara yg kedua tetap relatif sampai kapanpun.
Anwar Holid <wartax@yahoo.com> wrote:Republika, Minggu, 9 September 2007
[SELISIK]
Berakhlak atau Beragama
--------------------- --
---Anwar Holid
Boleh jadi Jalaluddin Rakhmat dan Arvan Pradiansyah belum pernah
tampil berhadap-hadapan, tapi lewat buku masing-masing mereka
ternyata bisa berbagi topik serupa. Secara kebetulan buku tersebut
terbit berdekatan menjelang bulan Ramadhan. Dua penulis ini jelas
berbeda karakter. Yang pertama dikenal luas sebagai cendekiawan
Muslim cum pakar komunikasi; yang kedua dikenal sebagai pembicara
publik dan fasilitator pengembangan SDM. Persamaannya mereka berdua
pandai berkomunikasi dan sukses menulis buku-buku yang mempengaruhi
massa karena terbukti bestseller.
Topik yang mereka bagi bersama itu ialah keprihatinan menyaksikan
fenomena orang beragama ternyata banyak juga yang berwatak buruk.
Jalaluddin mengangkat semangat topik ini dalam buku yang ia juduli
Dahulukan Akhlak di Atas Fiqih (Mizan, 2007). Sementara dalam
Cherish Every Moment (Elexmedia, 2007) Arvan mengusung topik itu
sebagai bab yang menantang: "Orang Beragama atau Orang Baik?"
Topik ini terasa klise namun setiap kali dibahas selalu menimbulkan
kontroversi, terlebih-lebih bila mengingat kita merupakan bangsa
dengan jumlah warga negara beragama terbesar di dunia. Di negara
yang dipenuhi orang beragama ini alangkah janggal justru terjadi
tindakan pelanggaran HAM, ketidakadilan, kerusuhan massal,
penindasan struktural, kemiskinan moral, maupun tindakan-tindakan
antikemanusiaan. Apa arti hukum agama bila gagal mencegah pemeluknya
dari perbuatan yang merugikan sesama manusia? Ada banyak kasus
membuktikan orang beragama ternyata jahat dan tega merendah-
rendahkan atau menyerang orang lain dengan membabi buta. Menurut
Jalaluddin, itu terjadi karena orang lebih mendahulukan fiqih (tata
cara hukum) daripada akhlak; sedangkan menurut Arvan salah satu
sebabnya karena orang gagal memahami esensi agama. Orang seperti itu
mudah mengatasnamakan keyakinan agama atau dogma, padahal dirinya
sama sekali tak tercelup oleh inti ajaran agama tersebut. Orang
seperti itu jadi fanatik; toleransinya pada pihak lain nol. Mereka
mengutamakan hukum di atas segala-galanya sampai rela menyerang
pihak lain yang berbeda. Mereka menganggap kesalehan itu diukur dari
kesetiaan terhadap fiqih. Menurut Arvan, kenapa orang beragama gagal
jadi orang baik karena orang tersebut menganggap agama merupakan
seperangkat peraturan yang membatasi, mengikat, menyusahkan, hitam-
putih. Di atas berbagai kepentingan, Nabi Muhammad
menyatakan: "Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak."
Hadis riwayat Al-Thabrani menyatakan: sesungguhnya seorang hamba
mencapai derajat tinggi di hari akhirat dan kedudukan yang mulia
karena akhlaknya yang baik, walaupun ia lemah beribadah.
Bukan semata-mata menjelang Ramadhan maka kedua buku tersebut lantas
jadi menarik untuk diperbincangkan; keduanya mengingatkan kita tanpa
akhlak yang baik terhadap sesama manusia dan alam, kehidupan
beragama jadi sejenis omong kosong tentang Tuhan. Robert T. Pirsig
di buku legendarisnya, Zen and the Art of Motorcycle Maintenance,
menyatakan: Orang bisa secara fanatik membaktikan hidupnya pada
politik atau keyakinan agama atau segala bentuk dogma maupun tujuan
lain karena dogma atau tujuan tersebut meragukan.
Tentu penulis dari dua generasi berbeda cukup jauh ini juga bukan
hendak mengampanyekan pendapat bahwa beragama itu sia-sia atau
mengikuti fiqih itu nihil; melainkan para pemeluk agama harus
mencamkan dalam dirinya ada sesuatu yang lebih luhur daripada
sekadar formalitas atau rutinitas agama. Karena senantiasa
menjanjikan hal yang paling luhur, paling mulia, agama mendidik
pemeluknya menemukan hakikat ajaran. Jalaluddin menyarankan agar
kaum Muslim mengubah cara pandang dari berparadigma fiqih lama-
kelamaan jadi berparadigma akhlak. Sedangkan Arvan dengan ungkapan
lain membidik maksud serupa, yaitu agar orang menemukan esensi
agama, yaitu "kasih." Mengasihi orang lain merupakan kunci agar
orang lain bisa dikatakan telah beriman (Cherish, hal. 149).
Jalaluddin menarik banyak ibadah ujung-ujungnya merupakan latihan
membentuk akhlak, baik shalat, puasa, zakat, dan haji. Shalat sudah
jelas mestinya dapat mencegah kekejian dan kemungkaran. Puasa
merupakan latihan agar orang bertakwa; orang bertakwa ialah orang
yang menginfakkan harta dalam suka dan duka, mampu menahan amarah,
memaafkan orang lain, dan berbuat baik.
Menarik membaca dua pendapat saling menguatkan tentang pentingnya
berakhlak baik dan berlomba-lomba memberi manfaat bagi kehidupan.
Orang pertama secara eksplisit memanfaatkan teks-teks khazanah
Islam, orang kedua lebih implisit menggunakan pendekatan berdasar
prinsip spiritualitas-universal, demi menjalani hidup agar indah
setiap saat. Manfaatnya sama: bila konsisten dipraktikkan, kedua
cara itu mampu mengubah orang jadi tahu betapa berharga kehidupan
dan ia akan menjaga agar kehadirannya penuh makna. Arvan
mengampanyekan agar setiap saat orang bisa sama-sama menghargai
semua momen dalam kehidupan. Ini merupakan ajakan ambisius, apalagi
bila mengingat betapa orang dikejar-kejar waktu, mengalami peristiwa
buruk, dan kerap menjalani sesuatu secara terpaksa. Kuncinya orang
harus menghargai dan menemukan sendiri keindahan dalam kehidupan
tersebut. Jalaluddin menyebut empat ciri utama orang yang
menganut 'paradigma akhlak', yaitu (1) ia mengakui adanya kebenaran
jamak (multiple reality); (2) ia bisa ikhlas meninggalkan fiqih demi
persaudaraan; (3) melihat ikhtilaf sebagai peluang untuk memberikan
kemudahan menjalankan agama; (4) mengukur kemuliaan seseorang dari
akhlaknya (Dahulukan , hal. 62).
Mumpung Ramadhan, pertama-tama saya mengajak diri sendiri, mari
menghargai waktu yang persis kita miliki sekarang dan memenuhinya
dengan kemuliaan.[]
NB: Awalnya kolom ini berjudul 'Berbagi Topik Serupa.' Karena
pertimbangan biar lebih tegas dan sesuai maksud, saya ubah jadi
seperti di atas.
Be a better Heartthrob. Get better relationship answers from someone who knows.
Yahoo! Answers - Check it out.
Take the Internet to Go: Yahoo!Go puts the Internet in your pocket: mail, news, photos more.
Change settings via the Web (Yahoo! ID required)
Change settings via email: Switch delivery to Daily Digest | Switch format to Traditional
Visit Your Group | Yahoo! Groups Terms of Use | Unsubscribe
.
__,_._,___
Tidak ada komentar:
Posting Komentar