--- In psikologi_transform
>
>
> Hmm.. udah panjang :)
>
> Sejujurnya yang kemarin saya tuliskan itu kesimpulan saya sendiri sih,
> nggak ada teorinya.. HAHAHA.. Tapi, in way, saya rasa tanggapan Bang
> Harez dan Mas Wolker masih sejalan.
>
harez:
Ha..ha..ha..
Walaupun demikian, menurut saya, di era globalisasi seperti sekarang ini, pada kenyataannya hal tersebut sukar untuk dilihat sebagai dualisme. Keduanya seringkali ditemukan sudah saling mempengaruhi, bahkan sudah bercampur baur.
Di timur sendiri semakin ke sini, ciri rasional juga makin terlihat. Coba bandingkan saja Konfusian dengan Neo Konfusian. :) Contoh lainnya, kalau kondisi sekarang, antara "mangan ora mangan sing penting ngumpul" dengan "ngumpul ora ngumpul sing penting mangan", kira-kira yang lebih banyak dipegang dan dijalankan falsafah mana Swas?
Bagaimana kalau hal itu dikaitkan dengan teori hirarki kebutuhan Maslow? :)
Hal yang sebaliknya juga terjadi. Barat yang tadinya sangat berorientasi individualism, sekarang juga cukup banyak menghargai nilai-nilai collectivism. Dalam dunia bisnis, hal ini cukup banyak terlihat. Banyak perusahaan-perusaha
salam,
harez
NB:
Habis kejar tayang, bisa juga dong traktir aku Swas .... kalau bisa dengan ongkos taksinya sekalian juga... :) Sik..a..sik, ada dua orang yang mau traktir ... :)
--- In psikologi_transform
>
>
> Hmm.. udah panjang :)
>
> Sejujurnya yang kemarin saya tuliskan itu kesimpulan saya sendiri sih,
> nggak ada teorinya.. HAHAHA.. Tapi, in way, saya rasa tanggapan Bang
> Harez dan Mas Wolker masih sejalan.
>
> SHP: Walaupun pada dasarnya tidak tepat 100 persen bahwa "barat untuk
> analisas dan berorientasi pemecahan masalah" sedangkan "timur untuk
> pembentukan watak/karakter" , saya setuju pendapatmu. Dalam
> diskusi-diskusi saya dengan almarhum Pak Slamet, dengan manis dan
> harmonis beliau memadukan keduanya.
>
> Selain prinsip "the right man on the right place" sebagaimana yang
> pernah aku tuliskan, "Pembinaan Watak Adalah > Tugas Utama Pendidikan"
> adalah tema lain yang sering dikemukakannya. Dalam hal inilah, berbagai
> "falsafah timur" cukup banyak berperan. Sesuai dengan latar belakangnya,
> pak Slamet banyak mempergunakan "falsafah Jawa". :)
>
> Ya, saya juga nggak sepenuhnya puas dengan rangkuman saya kemarin kok..
> HAHAHAHA.. Tapi kira2 maksud saya seperti itu. Falsafah "Timur" (bukan
> hanya Cina, India, Jepang) lebih banyak ke pembentukan karakter. Sekali
> karakter terbentuk, maka itu terlihat dalam cara berpikir dan bertindak;
> seperti yang sudah diuraikan Mas Wolker dengan bahasa yang lebih baik di
> bawah ini:
>
> WK: Cara berpikir tercermin dalam obrolan, kata-kata yang terucap, cara
> mengambil keputusan, dalam karya-karya, dalam 'kata-kata mutiara' dan
> peribahasa, dst.
>
> Adalah tugas Cendekiawan, Filsuf, Ilmuwan merumuskan 'cara berpikir',
> bukan mengumpulkan dalam suatu keranjang secara sporadik 'kata-kata',
> peribahasa, karya-karya. Inilah yang dimaksud : bukan kata-kata mutiara
> 'timur', bukan 'kearifan timur', bukan 'karya-karya timur' per se (as
> such) yang secara denotatif atau fisikal kita gendong atau kita
> sorong-sorongkan. Tapi Cara atau metode berpikirnya !
>
> Cuma, menurut saya pribadi agak sulit untuk mengajarkan cara/metode
> berpikir timur. Cara berpikir timur itu sebenernya seperti apa sih ya?
> Saya sendiri bingung kalau disuruh menjelaskan. Sebab, menurut saya,
> falsafah2 timur itu banyak bermain di ranah rasa, bukan kognitif,
> sehingga agak susah ditransfer pada orang yang belum/tidak punya rasa
> yang sama. Apalagi kalau dalam kelas besar/jumlah murid massal.
>
> Saya pribadi berpikir bahwa falsafah barat lebih mudah untuk
> ditransferkan secara bersamaan pada sekelompok orang, selama kelompok
> tersebut punya kemampuan kognitif cukup.
>
> Cara mentransfer/
> cerita dan nasihat. Namun.. cerita dan nasihat itu tujuannya lebih untuk
> membentuk karakter, lebih supaya si pendengar menarik insight-nya
> sendiri. Jadi agak nggak pas kalau secara harafiah untuk kasus nyata ini
> diberikan cerita kearifan yang ini, seolah2 keduanya adalah parity.
>
> Saya ambil contoh cerita "Kakek Bodo Memindahkan Gunung" dari Pak Jusuf.
> Sebagai cerita, saya bisa mengambil moral bahwa jangan sampai kita putus
> asa, karena apa pun yang kelihatannya sia2 mungkin tidak sia2. Orang
> lain bisa mengambil moral yang lain sebagai insightnya. Namun, ini tidak
> banyak gunanya ketika diberikan sebagai [misalnya] saran untuk melakukan
> perubahan pada masyarakat. Mengapa? Masyarakat adalah sesuatu yang
> dinamis, berkembang. Masyarakat tidak seperti gunung, yang walaupun
> besar namun tidak tumbuh. Si Kakek Bodo dan keturunannya bisa jadi
> behasil memindahkan gunung sekian puluh tahun kemudian, namun.. apakah
> hal yang setara bisa diaplikasikan pada mengubah masyarakat? Untuk
> setiap perubahan yang kita lakukan, masyarakat tumbuh beberapa kali
> lipat. Kita akan selalu left behind, karena yang kita hadapi berkembang.
>
> Diperlukan pengolahan lebih mendalam untuk suatu falsafah timur. Dan
> mungkin di situ letaknya falsafah barat yang lebih pragmatis.
>
> BTW, saya nulis gini makin jelas atau makin njelimet sih? HAHAHAHA..
>
> Nyolek Pak Jusuf dikit aaah :)
>
> Buku saya dijual di Fakultas Psikologi UI, gedung baru lantai 1. Kalau
> buku saya tidak tertib dalam berpikir, mana mungkin Yudi Latif dan Pak
> Sarlito mau kasih Kata Pengantar !
>
> Mungkin, Pak, kalau saya sih akan membalik pertanyaan: apakah karena Pak
> Ito dan Pak Yudi mau kasih kata pengantar, maka buku Bapak tertib dalam
> berpikir ;)?
>
> HAHAHAHA.. Bercanda ya, Pak :). Maksud saya gini: buku Bapak pastilah
> berisi sesuatu yang bagus, seperti tulisan2 Bapak selama ini. Bagus
> untuk para pembacanya mendapatkan insight dan [semoga] menjadi lebih
> bijak. Namun.. belum tentu buku yang bagus ini berisi pemikiran yang
> luar biasa. After all, sesuatu yang bagus itu belum tentu sesuatu yang
> tertib berpikir. Tertib merasa juga bisa :) Dan saya rasa kekuatan
> tulisan2 Bapak sih di situ: pada memberikan "nasihat" supaya orang bisa
> belajar lebih bijak. Malah menjadi agak nggak tepat ketika Bapak
> memaksakan memberikan nasihat "praktis" pada kasus2 aktual, karena
> kekuatan Bapak bukan di situ. Untuk kasus aktual, sering nasihat Bapak
> kurang tertib alur berpikirnya :)
>
> Tapi ini pendapat saya pribadi lho, Pak :) Saya tetap suka baca tulisan2
> Bapak, dan melihatnya sebagai sebentuk "chicken soup of the soul" :)
>
> Salam,
>
> PS: Mas Wolker mau ntraktir ya? Hehehe.. Mau-mau aja dooong :). Tapi dua
> minggu ini kayaknya nggak mungkin bergerak deh :) Masih kejar tayang nih
> ;)
>
Change settings via the Web (Yahoo! ID required)
Change settings via email: Switch delivery to Daily Digest | Switch format to Traditional
Visit Your Group | Yahoo! Groups Terms of Use | Unsubscribe
__,_._,___
Tidak ada komentar:
Posting Komentar