Terima kasih sudah memposting email ini sekali lagi :) Kalau nggak salah hitung, ini ketiga kalinya ya ;)? Nggak ada bukti yang lebih kuat lagi, sampai berulang2 memposting tulisan ini ;)?
Teman2 milis bisa mulai dari sini untuk menjawab pertanyaan terbuka saya :) Karena dari sini terlihat jelas bahwa satu2nya bukti yang selalu digunakan untuk mengatakan saya adalah anggota gerakan caci maki adalah posting yang sama sekali tidak ada caci makinya ;)
Boleh disimak bahwa saya bahkan tidak pernah mengucapkan nama orang :) Saya sekedar berdiskusi dengan Pak Jusuf tentang ada/tidaknya unsur psikologi dalam kasus di milis ini :)
Saya perbaiki redaksionalnya supaya mudah dibaca, dari atas ke bawah ;)
Salam,
****
Email Awal:
> Email sebelumnya:
> Subject: Psikologi ala Pak Jusuf Sutanto (was Re: Yuk kita rame2)
> From: Swas
> D/D/T: Wed Oct 24, 2007 10:58 am
> e-link:
> http://groups.yahoo.com/ group/psikologi_ transformatif/ message/33216
> "swas" <swas@> wrote:
>
>
> Pak Jusuf yth,
>
> Sejak kemarin ingin mengomentari tulisan Bapak, namun baru sempat
> memformulasikannya sekarang :) Moga2 tidak menyinggung Bapak :)
>
> Pembahasan Bapak mengenai Mamamia menarik, tapi.. menurut hemat saya,
> Bapak justru melupakan satu faktor penting dalam perubahan yang
> terjadi dalam acara tersebut :) Yang mengubah diri si anak jalanan,
> si
> tuna netra, si ibu rumah tangga ADALAH mereka sendiri. Niat mereka
> sendiri, usaha mereka sendiri. Psikologi bisa membantu mengenali
> kebutuhan mereka, memotivasi mereka untuk berubah, tapi.. yang bisa
> menentukan berubah atau tidak adalah diri mereka sendiri. Psikologi
> das Sollen bertujuan untuk membuat si penguasa ilmunya mampu
> mengenali
> dan memediasi pencapaian kebutuhan orang. Psikologi das Sein, menurut
> saya, sudah cukup melakukan hal itu walaupun tentu masih harus terus
> berkembang. Salah satu perkembangan yang dibutuhkan agar Psikologi
> das
> Sein makin sesuai dengan khitahnya (Psikologi das Sollen) adalah:
> penerimaan orang2 terhadap psikologi sebagai psikologi (baik
> mainstream maupun perkembangannya yang sesuai).
>
> Apa yang terjadi sekarang? Psikologi kerap kali dirancukan dengan
> "perkembangan" yang tidak sesuai. Apa yang sebenarnya masuk ke
> tataran
> astrologi, kebatinan, dan entah apa lagi, semuanya "dirancukan"
> sebagai bagian dari psikologi - dengan alasan bahwa semua adalah
> mengenai manusia sebagai individu. Dengan kerancuan2 seperti ini,
> makin sulit orang percaya pada psikologi, apalagi melibatkannya dalam
> porsi yang tepat :). Siapa yang mau melibatkan ilmu psikologi dalam
> pembuatan program, jika baik/buruknya program dinilai dari rating dan
> jumlah keuntungan material (yang tidak ada sangkut pautnya dengan
> psikologi)?
>
> Kesalahan siapakah hal ini? Tidak dapat dipungkiri bahwa sebagian
> psikolog memang tidak perduli pada hal2 ini, kurang memperjuangkan
> hal
> ini. Tapi.. terus terang, menurut saya, hal ini juga diperparah oleh
> "awam" yang memposisikan dirinya sebagai ahli psikologi. Bayangkan,
> sudah psikologinya sendiri belum jelas di mata awam, tiba2 ada awam
> yang memposisikan diri sebagai ahli.. bagaimana awam yang lain bisa
> membedakan mana yang psikologi beneran mana yang psikologi
> gadungan ;)?
>
> Akan halnya "debat (kusir?)" atau yang Bapak sebut "pepesan kosong"
> itu, menurut hemat saya, justru sedikit banyak menunjukkan ciri2
> psikologi. Mungkin bukan mazhab Psikologi Positif, atau Psikologi
> Humanistik, atau mazhab2 lain yang percaya pada kemampuan manusia,
> tapi.. saya melihatnya mencirikan salah satu mazhab klasik psikologi:
> Behavioristik. Beberapa kasus mengingatkan saya pada percobaan
> tentang
> Negative Reinforcement: dimana ketidakmunculan perilaku positif akan
> mengakibatkan munculnya penguatan negatif. Memang tidak sempurna,
> karena tidak ada fixed ratio, interval ratio, dll, tapi moga2 bisa
> membantu shaping behavior.
>
> Kenapa Negative Reinforcement ini muncul? Sejauh yang saya amati,
> karena pendekatan dengan mazhab psikologi yang lebih positif sudah
> dilakukan, tapi tidak berhasil. Subyek tetap tidak menyadari bahwa
> dirinya bermasalah, dan.. significant others-nya juga tetap tidak
> mendukung subyek untuk menyadari masalahnya. Padahal, dalam
> psikologi,
> semua "remedy" itu asalnya dari diri sendiri dan/atau dukungan
> lingkungan. Integrasi antara keduanya. Kalau subyek tidak menyadari
> dirinya bermasalah, apalagi lingkungan mendukung konsep diri seperti
> itu, setahu saya pendekatan psikologi yang paling positif pun tidak
> akan membawa perubahan :) Kembali ke konsep Mamamia: mau pakai
> pendekatan apa pun, kalau Ajeng, Fiersha, dll tidak menyadari dirinya
> perlu menjadi lebih baik, tidak akan pernah berhasil mereka
> berubah :)
>
> Jadi.. kalau sekarang Bapak bertanya: "Boro-boro ini yang dibahas,
> malahan urusan dekon mendekon, lalu ngapain dilayani ?
> Tapi kalau yang muncul menjadi seperti itu, lalu masyarakat bertanya
> dan mempertanyakan apakah anaknya akan didorong untuk belajar
> psikologi", maka jawaban saya adalah demikian:
>
> Jika masyarakat masih melihat psikologi seperti Bapak melihat
> psikologi, maka besar kemungkinan anaknya tidak akan didorong untuk
> belajar psikologi. Tapi.. jika masyarakat melihat psikologi sebagai
> psikologi, maka mungkin justru mereka akan mendorong anaknya belajar
> psikologi.
>
> Mohon maaf, Pak Jusuf, saya menghargai Anda sebagai orang yang lebih
> tua dan jelas sangat pandai serta arif. Saya juga pernah mendengar
> Bapak diminta mengajar di beberapa fakultas psikologi (kalau saya
> tidak salah). Namun, mengenai psikologi ini, saya merasa Anda
> mencampuradukkan psikologi dengan entah apa. Di satu sisi, hal ini
> mungkin memperkaya psikologi. Saya yakin pendapat2 Bapak memperkaya
> mazhab psikologi positif. Namun.. di sisi lain, seperti dalam kasus
> yang lebih dekat dengan mazhab klasik, membuat Bapak alpa melihat apa
> yang sebenarnya sangat psikologis :)
>
> Semoga tidak menyingung Bapak, ini hanya sekedar pendapat seorang
> awam
> yang tak berilmu :)
>
> Salam,Perhatikan bahwa tidak ada kata-kata kasar di situ ;) Bahkan tidak ada penyebutan nama orang di situ :) Ini adalah suatu diskusi intelektual dengan Pak Jusuf :)
***
Respons Monde:
> Subject: Psikologi ala Pak Jusuf Sutanto (was Re: Yuk kita rame2)
> From: "monde78100" <monde78100@>
> D/D/T:Wed Oct 24, 2007 2:48 pm
> e-link:
> http://groups.yahoo.com/ group/psikologi_ transformatif/ message/33233
> "swas" <swas@> wrote:
>
>
> Swastinika menulis :
> Kenapa Negative Reinforcement ini muncul? Sejauh yang saya amati,
> karena pendekatan dengan mazhab psikologi yang lebih positif sudah
> dilakukan,tapi tidak berhasil.
>
> Monde : Mbak Swas, dari mana muncul penilaian tidak berhasil?
> Bukankah
> justru kita seharusnya terus berusaha untuk menggunakan mazhab
> psikologi yang positif dibandingkan menyerah dengan Negative
> Reinforcement? Sebaiknya tidak ada alasan untuk membenarkan munculnya
> Negative Reinforcement. Mungkin saja Negative Reinforcemet memiliki
> daya supaya setiap pelakunya akhirnya dapat mengambil hikmahnya. Tapi
> bukan sebagai saran atau toleransi untuk memicu/membenarkan Negative
> Reinforcement tersebut. Justru kita harus mengambil sikap tidak
> mendukungnya.
>
> Swastinika menulis :
> Subyek tetap tidak menyadari bahwa dirinya bermasalah, dan..
> significant others-nya juga tetap tidak mendukung subyek untuk
> menyadari masalahnya.
>
> Monde : Ini adalah pengamatan sepihak mbak Swas. Bermasalah atau
> tidak
> bermasalahnya seseorang tergantung dari sudut kepentingan para
> pengamatnya. Kalau mau melihatnya dengan sungguh-sungguh inilah yang
> terjadi pada fenomena kompatiologi. Vcl dianggap bermasalah atau
> tidak
> tergantung dari kepentingan terhadap kompatiologi ataupun
> pertemanannya dengan Vcl. Jadi itu sangat subyektif sifatnya. Jadi
> tetap tidak bisa dipukul-rata Vcl sudah pasti bermasalah untuk
> membenarkan munculnya Negative Reinforcement karena teman-temannya
> sudah tidak sanggup. Mbak Swas jangan terburu-buru memberikan cap
> penilaian kalau kenal dengan Vcl dan teman-temannya saja cuma dari
> milis.
>
> Swastinika menulis :
> Padahal, dalam psikologi, semua "remedy" itu asalnya dari diri
> sendiri
> dan/atau dukungan lingkungan. Integrasi antara keduanya. Kalau subyek
> tidak menyadari dirinya bermasalah, apalagi lingkungan mendukung
> konsep diri seperti itu, setahu saya pendekatan psikologi yang paling
> positif pun tidak akan membawa perubahan :)
>
> Monde : Sekali lagi apa yang dikatakan oleh mbak Swas sendiri justru
> menunjukkan kerelatifan suatu perilaku seseorang. Bukankah bermasalah
> atau tidaknya seseorang sangat tergantung dari penilaian
> lingkungannya? Nah kalau lingkungannya sudah mendukung, apa
> masalahnya
> kalau begitu? Vcl bermasalah bagi mbak Swas itu sih urusan
> kepentingan
> mbak Swas. Sekali-lagi tidak bisa dipukul-rata kalau mbak Swas sudah
> memberikan penilaian Vcl bermasalah maka dianggap bagi seluruh
> lingkungan lainnya pasti menilai juga Vcl bermasalah sekaligus
> menganggap lingkungan lain adalah buta jika tidak melihatnya. Vcl
> memiliki kekurangan iya. Kita semua pun memiliki kekurangan. Tapi
> apakah kekurangan (yang lagi-lagi relatif) itu bermasalah bagi
> lingkungannya itu soal lain.
>
> Swastinika menulis:
> Kembali ke konsep Mamamia: mau pakai pendekatan apa pun, kalau Ajeng,
> Fiersha, dll tidak menyadari dirinya perlu menjadi lebih baik, tidak
> akan pernah berhasil mereka berubah :)
>
> Monde : Setuju!
>
> Mbak Swas mau beli Mondenya? PliiissssSekali lagi, perhatikan bahwa penyebutan nama orang berasal dari Monde, bukan dari saya :) Saya hanya membahas fenomena yang saya anggap menarik :)
***
Email terakhir: tuduhan dan fitnah :)
--- In psikologi_transform
atif@yahoogroups , "vincentliong" <vincentliong@.com ...> wrote: .
>
> http://groups.yahoo.com/ group/psikologi_ transformatif/ message/33448
> --- In psikologi_transformatif@yahoogroups , "intel.psitrans".com
> intel.psitrans@... (yahoo.com) wrote:
>
> Psikolog Spesialis Praktik Hukum Negative
> Reinforcement
>
>
>
> Pengantar
>
> Negative Reinforcement (stimulus negatif) secara sah / legal /
> resmi /
> boleh dilakukan siapa saja bertitel Psikolog terhadap siapapun orang
> non-psikologi yang ingin dijadikan target korban. Sebagai psikolog
> maka memiliki hak untuk mengatur nasib psikologis orang lain,
> bilamana
> tidak menurut hukum psikologi maka siapapun dapat diberi sangsi tegas
> di dunia maya dan dunia nyata. Silahkan baca dialog-dialog dengan
> Psikolog Maya Notodisurjo di bawah ini tentang sangsi yang boleh
> secara tegas diberikan kepada pihak-pihak yang dianggap bersalah
> dalam
> hukum Psikologi di Indonesia.
>
> Sangsi-sangsi ala Psikologi tsb diantaranya berupa:
> * Teror kepada anggota keluarga dengan sita jaminan.
> * Cacimaki dengan bahasa kotor ala Psikologi kepada subject dan
> keluarga subject.
> * Pemalsuan dan penyebarluasan data kepribadian korban.
> * Pemalsuan bukti korban dan pemalsuan kuesioner.
> * Usaha pemerasan, penangkapan dan pemenjaraan melalui jalur hukum.
>
> Untuk mengamati penerapan hukum ala Psikologi yang berlaku di
> Indonesia dengan contoh praktikalnya dapat diamati prilaku para
> psikolog kondang kita seperti misalnya Audifax, Ratih Ibrahim (sering
> muncul di televisi dan majalah), Sinaga Harez Posma, dan di Maya
> Notodisurjo di:
> http://groups.yahoo.com/ group/psikologi_ transformatif/ messages Menarik bukan ;)? Berdasarkan dua email yang bersih dari caci maki, tiba2 ada tuduhan macam2 :) Plus tuduhannya sudah personal karena membawa2 identitas asli ;)
Bagaimana Don Kenow, Adhi P, dan Monde ;)? Sudah jelas bahwa kritik/masukan tanpa caci maki pun akan diperlakukan sama dengan yang mencaci maki ;)? Masih bertahan pada argumen Anda bahwa "kritik boleh, asal tidak dengan caci maki" ;)? Atau siap mengubah pendapat dengan "Please, jangan beri kritik apa pun! Segala kritik akan diperlakukan sama dengan caci maki" ;)
Ditunggu bahasannya yang [mudah2an] obyektif ;)
Salam,
Change settings via the Web (Yahoo! ID required)
Change settings via email: Switch delivery to Daily Digest | Switch format to Traditional
Visit Your Group | Yahoo! Groups Terms of Use | Unsubscribe
__,_._,___
Tidak ada komentar:
Posting Komentar