Begitu rasa pedas dirumuskan, maka hasilnya segera dirasakan kurang memadai !
Kata2 hanya mampu mereduksi pengalaman, bukan menjelaskan pengalaman sampai tuntas.
Dari sebab itu dikatakan " yang tahu tidak mau bicara ; yang bicara tidak tahu ".
Tapi bukan otomatis berarti bahwa kata-kata tidak diperlukan, hanya didudukkan dalam proporsinya sebagai telunjuk yang menunjuk ke bulan.
Ada sebuah lukisan tentang gunung Fuji yang indah sekali dan di sampingnya ada kaligrafi seorang zen master tersohor yang hanya menulis kalimat singkat " can not find the word to express ".
Begitu dia mendiskripsikan lbh detail tentang keindahan lukisan itu, maka pasti akan mendown grade esensinya.
Karena itu zen tidak mau terlibat dalam perang ayat, melainkan sebatas tukar pikiran tentang pengalaman dengan ekstra hati-hati (karena masih menggunakan kata2) ketimbang bicara ayat tanpa pernah punya pengalaman sendiri bagaimana suka dukanya saat menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Setelah mengetahui semua ini, maka kita tahu di mana posisi literatur spt Osho.
Dengan demikian maka kita sedikit hati-hati ketika mengkampanyekan sesuatu yang kualitas baru pada tahap pemula.
Prof. Gumilar saat pidato pengukuhan mengutip pitutur luhur Sunda ' Ci karacak ninggang batu, laun-laun jadi legok '.
Ilmu tidak bisa diajarkan di menara gading, tapi hrs didapat melalui enggagement, tapi setelah itu hrs diperdalam dengan menari bersamanya 'here and now' momen demi momen.
JS
Dari: wolikertajiwa <wolikertajiwa@
Kepada: psikologi_transform
Terkirim: Selasa, 25 Desember, 2007 11:03:13
Topik: [psikologi_transfor
Bagaimana rasanya cabe ? Pedas. Kalau ditanya apa itu pedas, bisa
dideskripsikan melalui analogi 'panas' dsb atau simtom-simtomnya.
Mengikuti Sidney Hook, filsuf pragmatisme Amerika, serupa dengan
Filsafat Eksistensialisme Martin Heidegger bertanya "mengapa ada
ketiadaan, mengapa tidak ada ketiadaan ?". Nggak perlu dijawab, kata
Sidney Hook. Orang boleh menjawab pertanyaan kenapa Jam dinding
ditaruh disitu, tapi tidak perlu menjawab pertanyaan-pertanya an
selanjutnya yang kurang penting / perlu untuk dijawab.
Prof Frans Magnis Suseno, seorang filsuf dan romo Katolik Indonesia,
lahir dan besar di Jerman. Dalam suatu kuliahnya di Fakultas
Psikologi dia bercerita, bahwa setelah sekian tahun tinggal di
Indonesia dia tetap belum bisa 'merasakan' rasanya 'amis'
dan 'gurih'. Sampai sekarang. Apa artinya ini ? secara teori saya
nggak tahu jawabannya. Tapi kira-kira... rasa-rasa itu dipahami
melalui pembelajaran dari masa kecil, dan tidak bisa lagi dipelajari
pada saat orang sudah dewasa. Dan ada 'kata' yang sudah 'membadan'
melalui proses budaya.
Saya ingin mengatakan juga dalam hal ini, bahwa 'mengalami' sendiri
rasa 'gurih' dan rasa 'amis' tidak membuat Romo Magnis
dapat 'merasa' atau memahami gurih dan amis. Secara kognitif dia
bisa melakukan korelasi antara 'amis' dengan ikan mentah,
dan 'gurih' dengan lauk / makanan yang enak. Lumayanlah, bisa 'tahu'
walaupun tidak bisa merasakan.
WK
Bergabunglah dengan orang-orang yang berwawasan, di bidang Anda di Yahoo! Answers
Earn your degree in as few as 2 years - Advance your career with an AS, BS, MS degree - College-Finder.net.
Change settings via the Web (Yahoo! ID required)
Change settings via email: Switch delivery to Daily Digest | Switch format to Traditional
Visit Your Group | Yahoo! Groups Terms of Use | Unsubscribe
__,_._,___
Tidak ada komentar:
Posting Komentar