Banyak dinamika ada di dalam millis ini dan itulah tanda adanya kebebasan.
Yang diperlukan adalah menemukan mana yang pokok dan ranting.
Sayang sekali kalau dinamika disalurkan lebih ke arah memperhatikan ranting.
Lalu kita tidak tahu lagi tebal tipis suatu benda sehingga yang seharusnya tipis malah ditebalkan ; yang seharusnya tebal, malah ditipiskan.
Mengapa kita tidak menyemaikan pemikiran mengenai manusia yang terus menerus belajar seumur hidup dalam millis ini.
Atas dasar itulah lalu kita mengkaji ulang bersama tentang berhala-berhala yang sdh ada di pikiran kita masing2 sehingga bisa mengalir kembali untuk meneruskan perjalanannya.
Salam,
Jusuf Sutanto
Dari: audivacx <audivacx@yahoo.
Kepada: psikologi_transform
Terkirim: Kamis, 10 Januari, 2008 12:13:15
Topik: Re: Bls: Bls: [psikologi_transfor
Pak Jusuf,
Betul itu. "setiap manusia harus belajar menjadi manusia sampai
mati". Itu berarti setiap manusia tak pernah tuntas dalam pemahaman
akan kemanusiaannya sendiri. Jika ada orang yang merasa tuntas telah
memahami manusia, menganggap manusia sebagai mekanis, maka
sebenarnya justru dia telah terjebak menjadi binatang
bernama 'manusia'. Dalam hal ini teori Darwin berlaku, manusia
adalah salah satu spesies binatang.
Manusia yang telah merasa menemukan secara tuntas kemanusiaannya,
merasa sudah yakin dengan semua apa yang di pikirannya. Merasa
dengan menebak sesuatu itu sudah menjadi kebenaran. Merasa bahwa
manusia dan psikenya adalah sesuatu yang mekanis. Maka sebenarnya di
situ kemanusiaannya sudah selesai. Ia kembali ke kebinatangannya.
Tak heran jika yang dipikir hanya makan dan sex. Orang seperti ini
sama saja dengan binatang, dengan anjing, atau monyet.
Maka itulah Nietzche pernah mengatakan tentang 'melampaui manusia'.
Ini agar manusia tak pernah tuntas dalam kemanusiaanya. Melainkan
selalu berada dalam kondisi 'melampaui'. Sebuah 'pelampauan' yang
tak pernah selesai. Sebuah 'pelampauan' yang selalu akan
menjadi 'pelampauan' dan tak pernah tuntas menjadi 'terlampaui' .
Ini sama dengan apa yang Pak Jusuf katakan mengenai 'manusia harus
belajar terus-menerus untuk menjadi manusia'. Di sinilah 'belajar'
menjadi kata kunci yang penting. Bukan keminter untuk menutupi
kebodohannya. Bukan merendahkan orang lain dan menganggap semua
kritikan adalah celaan.
Kita sama-sama bisa belajar tentang bagaimana manusia yang terus
belajar menjadi manusia dan manusia yang terjebak dalam
kebinatangannya. Di sini, di milis Psikologi Transformatif ini.
Salam
Audifax
--- In psikologi_transform atif@yahoogroups .com, Jusuf Sutanto
<jusuf_sw@.. .> wrote:
>
> Pak Audifax,
> Saya menemukan pandangan Konfusius " supaya setiap orang terus
belajar menjadi manusia sampai mati " seperti dirumuskan oleh Prof.
Tu Weiming sbb:
> Learning to be humanLearning for the sake of the selfSelf is not
as isolated atomSelf is not as single, separate individualitySelf as
a being in relationshipSelf develops continuouslyEver- expanding
processEver - growing network of human relatednessA truly self
realizationOpen Ended Conclusion yang selalu menerima dengan terbuka
masukan darimana saja sehingga akan menghasilkan manusia yang terus
semakin jembar pikiran dan hatinya. Pandangan ini sebenarnya adalah
basis ilmu psikologi !
>
> Setelah itu baru boleh belajar psikologi experimental seperti
Freud, Pavlov, Konrad Lorenz dsb.
>
>
> Ini sejalan dengan pandangan Fuad Hassan tentang manusia yang
sedang terus dalam proses menjadi, meski suatu saat berhenti di
suatu tempat untuk waktu yang cukup lama. Itu tidak berarti dia sdh
boleh berhenti menemukan dirinya sendiri.
> Puncaknya adalah munculnya kesadaran akan 'kami dan kita' atau
unity in diversity.
> Lalu neurosis, bukan soal pembekakan neuron, tapi adalah sociosis !
> Berbeda dengan pandangan yang mencari pengikut lalu berusaha
mengkrangkeng bahwa yang tidak bergabung dengan kami, adalah bukan
kami.
>
> Kalau psikologi mau mengikuti jalur Konfusius, maka pasarnya
menjadi tak terbatas dan tidak perlu minta ijin praktek !
> Di universitas sendiri terbuka pasar yang amat luas ! Mengapa ?
karena di fakultas yang lain hanya diutamakan IQ dan IP saja.
> Padahal untuk masuk dunia kerja diperlukan kematangan pribadi dan
kemampuan bersosialisasi !
>
> Salam,
> JS
> ----- Pesan Asli ----
> Dari: audifax - <audivacx@.. .>
> Kepada: psikologi_transform atif@yahoogroups .com
> Terkirim: Kamis, 3 Januari, 2008 7:49:54
> Topik: Re: Bls: [psikologi_transfor matif] Psikologi 'amoral' dan
Psikologi moral
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
> Berbicara moral, berarti berbicara mengenai 'logos' atau 'telos'.
Suatu titik absolut yang menjangkarkan segala sesuatu.
Pertanyaannya: Adakah hal itu?
>
> Seperti dikatakan Pak Jusuf, ketika kita menatap langit, maka
apa yang kita temui adalah hamparan tak bertepi. Saya setuju dengan
itu. Juga setuju dengan ketakterbatasan masa lalu dan masa depan. Di
belakang dan di depan kita terhampar ketakterbatasan.
>
> Di sinilah 'logos' atau 'telos' menjadi tak mungkin. Adanya
harus dipahami dalam koridor ketakmungkinannya. Begitu pula ketika
kita mengaitkannya dengan psikologi.
>
> Ada begitu banyak penjelasan mengenai Psike, tapi tak satupun
yang bicara mengenai psike sesungguhnya. Semua hanya narasi yang
coba diletakkan untuk 'mengkerangkeng' psike dalam paradigma
tertentu. Karena psike itu sendiri juga merupakan hamparan tak
terbatas seperti kita menatap langit
>
> Tentu saja kita
> tak mungkin memahami sesuatu tanpa menggunakan paradigma.
Masalahnya di sini bukan menggunakan paradigma atau tidak, tapi
bagaimana menyadari ketakmungkinan paradigma itu menjelaskan Psike.
Selalu ada 'Liyan' yang akan menyelip di situ. Di sinilah perlunya
sebuah 'Psikologi Liyan' ketika kita hendak membicarakan Psikologi
sebagai moral atau amoral.
>
> Salam,
>
> Audifax
>
> Jusuf Sutanto <jusuf_sw@yahoo. co.id> wrote:
> Pak Anwar Haryono,
>
> Kalau kita menatap ke langit dan melihat betapa luas dan tak
bertepinya jagad raya yang terus bergerak tanpa berhenti sekejappun,
pernahkah anda menyadari bahwa observatorium untuk mengamatinya dan
bumi tempat didirikannya menjadi satu dengan obyek yang diamati dan
sedang ikut menari bersama.
> Lalu kita bertanya dari mana dan kapan ini terjadi dan kemana dan
sampai kapan akan pergi.
> Jawabannya adalah dari the beginningless past menuju endless
future !
> Inilah awal dari kesadaran bahwa yang tetap adalah semuanya
berubah terus menerus siang dan malam.
> Tapi apakah hanya pengulangan saja ? Bukan !
> Karena musim semi tahun ini berbeda dengan tahun lalu dan tahun
depan.
> Kalau begitu apa artinya hidup ? karena ketika dilahirkan, itulah
awal dari suatu saat kita akan mati ; ketika
> menandatangani akte perkawinan atau akad nikah, itulah awal dari
perpisahan karena suatu saaat salah satu akan mati dulu.
>
> Dalam buku Kearifan Timur dalam Etos Kerja dan Seni Memimpin, saya
menjelaskan bahwa justeru karena itu maka momen sekarang dan di
sini ' here and now ' menjadi sangat penting dan indah untuk
dijalani.
> Kisah Sufi menanam korma dan bhiksu cilik Ikkyu menggambarkan
betapa mereka faham betul soal ini.
> Bukankah ini semua adalah akar dari akarnya depressi ???
>
> Ilmu psikologi termasuk baru, usianya saja belum sampe 100 tahun.
> Misalnya Freud (1856-1939) belum sempat memikirkan hal ini.
> Seperti One Eyed Monster, merasa dirinya paling benar !
> Dalam buku itu saya sengaja menuliskan nama-nama ilmuwan sesuai
tahun kegiatannya, untuk menunjukkan suasana pemikiran yang hidup
ketika suatu wacana dilontarkan.
> ====
> Siddharta (seorang pangeran) merasakan adanya ketidak beresan
ketika menyaksikan orang menjadi tua, sakit dan mati (suatu
> kejadian yang lumrah) kok hrs menderita ? Lalu meninggalkan
istana, pergi mencari jawabannya.
> Dia menemukan akar masalah yang ada dalam diri manusia itu sendiri.
> Lao Tzu menganjurkan supaya " perjalanan ribuan kilometer, dimulai
dengan langkah pertama ".
> Konfusius mengatakan kalau semua itu terkait spt jaringan, maka
janganlah berbuat sesuatu pada orang lain yang kamu tidak mau orang
lain melakukannya padamu !
> Inilah moral yang diajarkan oleh mereka, di dalam 'biji sudah ada
pohon ', bukan moral dalam arti yang dikaitkan dengan perintah dari
sesuatu yang berada di luar dirinya (yang membuat Freud dan para
ilmuwan umumnya keberatan).
> ====
> Pertanyaan fundamental ini sebaiknya sdh diajarkan semenjak S1
(sbg sistem berpikir, bukan agama / kepercayaan) karena kalau sdh
terlanjur mendapatkan gelar (biasanya lalu malas belajar) dan
pikirannya diduduki oleh standar2 yang ditetapkan oleh lembaga
tertentu, maka susah sekali untuk diajak merefleksikannya
> kembali.
> Seperti orang yang memiliki sepatu dan ketika ketemu kaki yang lbh
besar, maka kakinya yang diserut spy pas ; atau kalau kekecilan ya
diganjel meski jalannya ketoplak2 kurang nyaman.
> Pikiran yang wataknya mempunyai kemampuan berkembang telah
direduksi menjadi sepatu !
> =====
> Adalah memang watak orang bijak zaman dahulu yang tidak mau
memaksakan nasehatnya spy dituruti, tapi membiarkan orang
mengalaminya sendiri. Kalau tidak percaya bahwa api itu panas, ya
silahkan pegang sendiri.
> Inilah yang sedang terjadi sekarang ini !
> Masalahnya saya rasa sdh demikian gamblang, yang tinggal hanyalah
apakah cukup rendah hati untuk mengakui bahwa ' di atas langit masih
ada langit ' ? Daripada lari ke hypnotis, meramal pakai kartu dsb !
>
> Salam,
> JS
>
>
>
>
> ----- Pesan Asli ----
> Dari: Anwar Haryono
> <aharyono@klaras. co.id>
> Kepada: psikologi_transform atif@yahoogroups .com
> Terkirim: Rabu, 2 Januari, 2008 7:23:31
> Topik: RE: [psikologi_transfor matif] Psikologi 'amoral' dan
Psikologi moral
>
>
> Salam P. Yusuf,
>
> 1. Masalah karyawan bank, tidak hanya customer relation…setahu
saya memang tidak dipatok standard penguasaan ketrampilan
tertentu…saya pikir tidak ada diferensiasi antara yang latar
belakang pendidikan perbankan atau tidak…bahkan di posisi2 kunci
> =====
> JS :
> Ini disebabkan mrk sdh punya sistem dan procedure yang baku shg
lbh memilih orang yang mudah diajar dan mau berkomunikasi ketimbang
yang ngeyel dgn modal IQ dan IP
>
>
> 2. masalah pergantian era Parmenides ke promotheus, bukankah ini
juga konsekuensi dari tarian kosmik…gerak bolak balik antara 2
kutub…tidak ada yang salah, hanya masing2 ada masanya sendiri-
sendiri…cmiiw, sebagaimana era "yang" bergeser ke era
"yin" sekarang
> pak? Kalau begitu, menurut bapak positioning apa yang bisa kita
mainkan selain hanya mengalir dalam tarian ini?
>
> Salam
> Anwar
>
>
> From: psikologi_transform atif@yahoogroups .com [mailto:
psikologi_transform atif@yahoogroups .com ] On Behalf Of Jusuf
Sutanto
> Sent: Wednesday, January 02, 2008 5:03 PM
> To: psikologi_transform atif@yahoogroups .com
> Subject: Bls: [psikologi_transfor matif] Psikologi 'amoral' dan
Psikologi moral
>
>
> Pandangan saya dikuatkan juga oleh pengalaman praktis
juga :
> Suatu hari saya pergi ke bank swasta asing dan seperti biasanya
> saya bertemu dengan bagian customer relation dulu yang sudah lama
saya kenal. Karena menunggu waktu cukup lama, saya iseng2
bertanya : ' Anda lulusan dari PT mana ? '.
> Saya surprise ternyata dari Akademi Perhotelan.
> Bagaimana bisa dia bersaing dengan lulusan dari jurusan yang
berkaitan dengan perbankan ?
> Dia sendiri tidak tahu, tapi sejauh yang saya kenal, dia mempunyai
kepribadian yang menarik, terbuka, trampil berkomunikasi, mau
belajar..... .sehingga akhirnya saya mengambil kesimpulan :
> bagi perbankan yang pasti sdh punya sistem training yang mantap,
adalah lbh mudah mengupgrade orang baik supaya memahami hal teknis
yang berkaitan dengan pekerjaannya, daripada mengkoreksi orang
dengan IQ dan IP tinggi tapi kepribadiannya mentah yang sdh bisa
diramalkan akan menjadi part of the problem dalam Tim Work.
> Jadi tidak ada kaitannya dengan moral dalam arti yang kita
mengerti sehari-hari.
> Bahwa segala sesuatu di alam semesta ini merupakan jejaring, itu
> adalah fakta.
> Lihatlah bagaimana galaxies yang saling terkait dan bersama
menari ; lihatlah dunia sub-atomic, ecological cluster dsb.
>
> Di Yunani zaman pre-Socratic juga ada dua cara pandang :
> Promotheus (semuanya berubah terus menerus yang kemudian ternyata
paralel dengan globalisasi yang sekarang terjadi) dan Parmenides
(ada sesuatu yang tetap dan tak berubah) yang kemudian diikuti oleh
Democritus dengan konsep atom (artinya a-tomos, tidak bisa dipecah
lagi).
> Pada era Pencerahan abad 18, memang Parmenides yang tampil, tapi
sekarang Promotheus mulai unjuk gigi !
> Buddha, Konfusius, Lao Tzu, Mpu Tantular sudah melenggang tanpa
masalah jauh sebelum Pencerahan abad 18
>
> Salam,
> JS
> ----- Pesan Asli ----
> Dari: Woli Kertajiwa <wolikertajiwa@ yahoo.com>
> Kepada:
> psikologi_transform atif@yahoogroups .com
> Terkirim: Rabu, 2 Januari, 2008 4:12:25
> Topik: [psikologi_transfor matif] Psikologi 'amoral' dan Psikologi
moral
> Sudah sejak lama psikologi dicurigai oleh kaum 'moralis' /
agamawan dan sebagai ilmu yang kurang bermoral dan kurang ajar pada
agama. Sebagai misal, Freud sebagai tokoh terkemuka Psikologi tidak
beragama bahkan cenderung mengejek.
>
>
>
> Selanjutnya ada yang berusaha memadukan agama dengan
Psikologi: (a) ada yang dalam tataran praktis-terapan, misalnya
Psikoterapi Pastoral, (b) ada yang berusaha meruntuhkan bangunan atau
> mengganti fondasi Psikologi mainstream dalam tataran Psychology
as a Science dengan mengajukan Psikologi baru yang 'relijius,
bermoral, beretika' .
>
>
>
> Di milis ini, teman saya Pak Jusuf Sutanto, mencoba
menawarkan 'paradigma baru' dalam psikologi yang berlandaskan moral
interkoneksi umat manusia dalam jejaring semesta. Paradigma yang
bermula dari pandangan hidup timur (khususnya Cina- Jepang- India )
yang kemudian disofistikasi oleh Fritjof Capra dalm 'the web of
life'. Sederhananya : psikologi jangan dimulai dengan bicara soal
ego dan kepuasan diri, tapi harus dimulai dengan kesadaran
universal interkoneksi antar umat manusia termasuk alam.
>
>
>
>
> Klik URLs berikut dan anda akan lihat beberapa kisah mengenai
hal-hal yang dikemukakan diatas :
>
> http://www.infidels .org/library/ modern/daniela_
kramer/feareth. html
>
> http://www.lighthom e.net/fdm/ articles/ b/normsvsmoralit
y.html
>
> http://www.crescent life.com/ articles/ islamic%20psych/
islamic_psycholo gy.htm
>
>
>
> Sementara itu Psikologi mainstream sudah hidup dalam jurnal-
jurnal ilmiah psikologi, dalam penelitian-peneliti an ilmiah
kuantitatif dan kualitatif bidang psikologi, dalam Fakultas-fakultas
Psikologi seluruh dunia yang terus menerus meningkatkan mutu
(termasuk daya jualnya). Dan juga dalam kode etik dan lembaran
negara (hukum-hukum) yang mengatur Psikologi, Ahli Psikologi, dan
Psikolog.
>
>
>
> Ilmiah sendiri sudah punya standar yang diakui secara
internasional, dengan metodologi keilmuan yang terstruktur.
>
>
>
> Apakah Psikologi sebagai ilmu bebas nilai ? Psikologi
mainstream mengusahakan hal itu. Patokannya adalah semata-mata
standar ilmiah, bukan moral atau nilai-nilai tertentu.
>
>
>
> Apakah benar-benar bebas
> nilai ? tentu akan ada yang 'arguing' gak mungkin Psikologi dan
ilmu-ilmu sosial lainnya benar-benar bebas nilai. Kalaupun
argumentasi ini benar, bukan berarti akan boleh-boleh
saja 'memasukkan aspek moral / nilai-nilai / ideologi tertentu'
sesuai pesanan moral pihak tertentu...komunita s ilmuwan Psikologi
tentunya akan mempertanyakan , ya kan ? Jangan-jangan nanti
psikologi jadi ilmu yang amat provinsialisme, bahkan primordial.. .
>
>
>
> Mana yang akan jadi paradigma : Psikologi 'amoral' atau
Psikologi 'moral' ?
>
> Silahkan member milis ini menjawab.
>
>
>
> Happy New Year 2008.
>
> WK
>
> Send instant messages to your online friends
http://uk.messenger .yahoo.com
>
>
>
>
>
>
>
> Bergabunglah dengan orang-orang yang berwawasan, di bidang Anda
di Yahoo! Answers
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
> Bergabunglah dengan orang-orang yang berwawasan, di bidang
Anda di Yahoo! Answers
>
>
>
>
>
>
> Never miss a thing. Make Yahoo your homepage.
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
> <!--
>
> #ygrp-mkp{
> border:1px solid #d8d8d8;font- family:Arial; margin:14px
0px;padding: 0px 14px;}
> #ygrp-mkp hr{
> border:1px solid #d8d8d8;}
> #ygrp-mkp #hd{
> color:#628c2a; font-size: 85%;font- weight:bold; line-
height:122%; margin:10px 0px;}
> #ygrp-mkp #ads{
> margin-bottom: 10px;}
> #ygrp-mkp .ad{
> padding:0 0;}
> #ygrp-mkp .ad a{
> color:#0000ff; text-decoration: none;}
> -->
>
>
>
> <!--
>
> #ygrp-sponsor #ygrp-lc{
> font-family: Arial;}
> #ygrp-sponsor #ygrp-lc #hd{
> margin:10px 0px;font-weight: bold;font- size:78%; line-height: 122%;}
> #ygrp-sponsor #ygrp-lc .ad{
> margin-bottom: 10px;padding: 0 0;}
> -->
>
>
>
> <!--
>
> #ygrp-mlmsg {font-size:13px; font-family: arial, helvetica, clean,
sans-serif;}
> #ygrp-mlmsg table {font-size:inherit; font:100% ;}
> #ygrp-mlmsg select, input, textarea {font:99% arial, helvetica,
clean, sans-serif;}
> #ygrp-mlmsg pre, code {font:115% monospace;}
> #ygrp-mlmsg * {line-height: 1.22em;}
> #ygrp-text{
> font-family: Georgia;
> }
> #ygrp-text p{
> margin:0 0 1em 0;}
> #ygrp-tpmsgs{
> font-family: Arial;
> clear:both;}
> #ygrp-vitnav{
> padding-top: 10px;font- family:Verdana; font-size: 77%;margin: 0;}
> #ygrp-vitnav a{
> padding:0 1px;}
> #ygrp-actbar{
> clear:both;margin: 25px 0;white-space: nowrap;color: #666;text-
align:right; }
> #ygrp-actbar .left{
> float:left;white- space:nowrap; }
> .bld{font-weight: bold;}
> #ygrp-grft{
> font-family: Verdana;font- size:77%; padding:15px 0;}
> #ygrp-ft{
> font-family: verdana;font- size:77%; border-top: 1px solid #666;
> padding:5px 0;
> }
> #ygrp-mlmsg #logo{
> padding-bottom: 10px;}
>
> #ygrp-vital{
> background-color: #e0ecee;margin- bottom:20px; padding:2px 0 8px 8px;}
> #ygrp-vital #vithd{
> font-size:77% ;font-family: Verdana;font- weight:bold; color:#333; text-
transform:uppercase ;}
> #ygrp-vital ul{
> padding:0;margin: 2px 0;}
> #ygrp-vital ul li{
> list-style-type: none;clear: both;border: 1px solid #e0ecee;
> }
> #ygrp-vital ul li .ct{
> font-weight: bold;color: #ff7900;float: right;width: 2em;text-
align:right; padding-right: .5em;}
> #ygrp-vital ul li .cat{
> font-weight: bold;}
> #ygrp-vital a{
> text-decoration: none;}
>
> #ygrp-vital a:hover{
> text-decoration: underline; }
>
> #ygrp-sponsor #hd{
> color:#999;font- size:77%; }
> #ygrp-sponsor #ov{
> padding:6px 13px;background- color:#e0ecee; margin-bottom: 20px;}
> #ygrp-sponsor #ov ul{
> padding:0 0 0 8px;margin:0; }
> #ygrp-sponsor #ov li{
> list-style-type: square;padding: 6px 0;font-size: 77%;}
> #ygrp-sponsor #ov li a{
> text-decoration: none;font- size:130% ;}
> #ygrp-sponsor #nc{
> background-color: #eee;margin- bottom:20px; padding:0 8px;}
> #ygrp-sponsor .ad{
> padding:8px 0;}
> #ygrp-sponsor .ad #hd1{
> font-family: Arial;font- weight:bold; color:#628c2a; font-
size:100%;line- height:122% ;}
> #ygrp-sponsor .ad a{
> text-decoration: none;}
> #ygrp-sponsor .ad a:hover{
> text-decoration: underline; }
> #ygrp-sponsor .ad p{
> margin:0;}
> o{font-size: 0;}
> .MsoNormal{
> margin:0 0 0 0;}
> #ygrp-text tt{
> font-size:120% ;}
> blockquote{margin: 0 0 0 4px;}
> .replbq{margin: 4;}
> -->
>
>
>
>
>
>
>
>
>
> ____________ _________ _________ _________ _________ ________
> Kunjungi halaman depan Yahoo! Indonesia yang baru!
> http://id.yahoo. com/
>
Bergabunglah dengan orang-orang yang berwawasan, di bidang Anda di Yahoo! Answers
Earn your degree in as few as 2 years - Advance your career with an AS, BS, MS degree - College-Finder.net.
Change settings via the Web (Yahoo! ID required)
Change settings via email: Switch delivery to Daily Digest | Switch format to Traditional
Visit Your Group | Yahoo! Groups Terms of Use | Unsubscribe
__,_._,___
Tidak ada komentar:
Posting Komentar