Pendidikan Berbasis Pluralitas
Oleh:
Audifax
Staf Peneliti di SMART Human Re-Search & Psychological Development
People living without rights
Without their dignity
How loud does one man have to shout
To earn his right to be free
You can keep your toy soldiers
To segregate the black and white
But when the dust settles
And the blood stops running
How do you sleep at night?
Phil Collins
Colours
Thinking outside the line. Kalimat itu sering digunakan untuk menggambarkan kreativitas. Manusia pada dasarnya menggunakan garis-garis konstruksi tertentu ketika berpikir dan mengolah realita di hadapannya. Garis konstruksi ini tak lepas dari apa yang telah dibudayakan pada diri kita. Asal mula garis itu bisa dari agama, norma, kebiasaan, nilai atau hal-hal yang sifatnya (di)wajar(kan) secara kultural. Maka itulah, kreativitas sering digambarkan sebagai 'sebuah penciptaan' yang sifatnya menembus atau melampaui garis konstruksi yang telah kita anggap wajar.
Dengan demikian, sebenarnya kreativitas terkait dengan apa yang dijelaskan Derrida sebagai 'dekonstruksi' . Suatu kreativitas adalah sebuah proses dekonstruksi terhadap konstruksi yang telah dianggap jamak atau biasa. Kreativitas adalah sebuah cara berpikir yang melampaui konstruksi pemikiran. Pada titik ini, kita perlu mencermati bahwa kemampuan untuk 'melampaui' itu bukan dengan menafikan konstruksi yang telah ada melainkan dengan mengafirmasi konstruksi itu, menyadari keberadaan konstruksi itu dan melibatinya secara lebih luwes ketimbang mereka yang terpaku pada alur-alur garis atau thinking inside the line.
Perkembangan jaman saat ini, memerlukan cara berpikir kreatif atau dekonstruktif. Kenapa? Karena perkembangan jaman saat ini menunjukkan bahwa masyarakat bukan lagi terbagi dalam kelompok-kelompok besar melainkan kelompok-kelompok kecil. Ada sekian banyak partai. Ada sekian banyak suporter sepakbola. Ada sekian banyak suku. Masih banyak lagi bisa kita contohkan bagaimana masyarakat Indonesia menjadi semakin terfragmentasi dalam kelompok kecil dengan ciri khasnya masing-masing.
Jaman sudah berubah, kita bukan lagi sebuah bangsa dengan narasi besar yang menyatukan semuanya. Saat ini justru muncul begitu banyak narasi kecil yang tak jarang satu sama lain bertentangan. Di sinilah kreativitas atau cara berpikir dekonstruktif diperlukan. Penanaman hal ini, mesti dilakukan sejak usia dini atau sejak anak-anak. Jika tidak, dalam beberapa dekade ke depan, terdapat potensi meledaknya berbagai pertentangan cara pandang.
Pendidikan Berbasis Pluralitas
Pendidikan di jaman ini, tak bisa semata berbasis kompetensi (atau kompetisi) melainkan juga mesti menyertakan bagaimana anak dibekali kecerdasan untuk hidup di tengah pluralitas. Kecerdasan inilah yang akan membantunya thinking outside the line. Bagaimanapun, sejak lahir manusia telah terjerat oleh jejaring struktur budaya yang dibuatnya sendiri. Agar dapat direkognisi sebagai 'seseorang', masing-masing dari kita mesti menyandang konstruksi tertentu. Konstruksi ini membuat kita direkognisi sebagai seseorang, entah itu seorang Muslim, Katolik, Cina, Sunda, Pelajar, Insinyur, Psikolog, Ustad, Laki-laki, Perempuan atau apa saja.
Tanpa konstruksi itu, anda tak akan bisa hidup di tengah masyarakat. Namun, konstruksi itu kerap menjerat kita untuk hanya berpikir sebatas garis-garis konstruksi. Ini membuat orang melupakan adanya sesuatu yang lain di luar garis konstruksi itu yang juga hidup bersamanya. Inilah yang oleh para postrukturalis diidentifikasi sebagai Liyan atau the Other. Kesulitan memahami Liyan atau Yang-Lain ini tampak pada mereka yang seringkali merespon tulisan saya dengan menyebut Liyan/Yang-Lain ini sebagai "Yang Lain-lain".
Jelas beda antara Liyan dan Yang Lain-lain. Ketika kita menyebut 'Yang Lain-lain', masih tersirat adanya sesuatu yang menjadi pusat dan hal-hal lain yang diidentifikasi pusat sebagai Yang Lain-lain. Sedangkan Liyan, justru merupakan sesuatu yang tak mampu kita identifikasi namun mesti disadari bahwa ia ada. Inilah sulitnya. Orang yang terbelenggu dalam thinking inside the line akan bertanya: "bagaimana kita menyadari jika kita tidak tahu?". Pertanyaan ini pun masih menyiratkan adanya pusat karena menganggap bahwa yang perlu disadari ada adalah sesuatu yang telah diketahui.
Term 'mengetahui' tak akan lepas dari bagaimana kita berpikir hingga mencapai proses tahu. Masalahnya, Liyan ini adalah sesuatu yang sama sekali berada di luar pikiran. Jika orang tidak menyadari selalu ada sesuatu yang lain di luar pikirannya, maka diapun akan sulit menerima pluralitas.
Lalu apa hubungannya dengan kreativitas dan pendidikan di usia dini? Konstruksi kultural, sebenarnya terutama tertanam sejak anak menginjakkan kaki di bangku pendidikan. Agar mudah, guru kerap melatih anak dengan cara-cara yang membuat anak berpikir di alur yang telah ditetapkan. Cara ini membantu anak menguasai pelajaran, namun juga berpotensi membuat cara berpikir mereka linier atau hanya thinking inside the line.
Kebiasaan berpikir linier ini tak terlalu menimbulkan masalah ketika masyarakat ditertibkan oleh sebuah narasi besar yang menyeragamkan semuanya, entah itu dengan jalan kekerasan sekalipun. Namun, ketika orang mulai mendengung-dengungk an demokrasi, kebebasan, hak asasi, maka cara berpikir linier ini berpotensi menimbulkan tabrakan antara satu konstruksi sosial dengan konstruksi sosial lain.
Persoalan inilah yang mesti menjadi pemikiran bangsa Indonesia yang berslogan "Bhinneka Tunggal Ika" ini. Ke-Bhinneka- an itu sendiri menyiratkan sebuah pluralitas yang hidup dalam sebuah ruang yang sama. Keberbedaan yang satu sama lain memiliki hak hidup yang sama dan tak bisa diseragamkan. Salah satu jalur yang bisa digunakan untuk mengajarkan hidup dalam ke-Bhinneka- an adalah sekolah. Melalui sekolah anak membentuk dan mengasah kecerdasannya. Di sinilah diperlukan bagaimana mengajarkan sebuah kecerdasan dalam menghadapi pluralitas.
Ada cermatan lain?
17 Februari 2008
Tentang Penulis
Audifax adalah penulis dan peneliti. Dua hasil penelitiannya diterbitkan oleh penerbit Jalasutra, yaitu Mite Harry Potter (2005, Jalasutra) dan Imagining Lara Croft (2006, Jalasutra). Bukunya yang lain adalah Semiotika Tuhan (2007, Pinus Book Publisher).
Pada April 2008 ini akan terbit buku Psikologi Tarot yang ditulisnya bersama Leonardo Rimba. Buku ini akan diterbitkan oleh Pinus Book Publisher.
Saat ini Audifax menjabat research director di SMART Human Re-Search & Psychological Development. Sebuah lembaga yang memiliki concern pada riset dan pengembangan psikologi yang mengajarkan pluralitas sejak usia dini. Informasi lebih lanjut, hubungi: SMART Human Re-Search & Psychological Development, Jl. Taman Gapura G-20 (kompleks G-Walk) Citraland – Surabaya. Telp. (031) 7410121, Fax (031) 7452572, e-mail: smart.hrpd@gmail. com
Audifax mengundang anda untuk mendiskusikan esei ini di milis Psikologi Transformatif. Jika anda memiliki concern terhadap tema yang ada pada esei ini, mari bergabung dengan kita yang ada di milis Psikologi Transformatif
Sekilas Mailing List Psikologi Transformatif
Mailing List Psikologi Transformatif adalah ruang diskusi yang didirikan oleh Audifax dan beberapa rekan yang dulunya tergabung dalam Komunitas Psikologi Sosial Fakultas Psikologi Universitas Surabaya. Saat ini milis ini telah berkembang sedemikian pesat sehingga menjadi milis psikologi terbesar di Indonesia. Total member telah melebihi 2000, sehingga wacana-wacana yang didiskusikan di milis inipun memiliki kekuatan diseminasi yang tak bisa dipandang sebelah mata. Tak ada moderasi di milis ini dan anda bebas masuk atau keluar sekehendak anda. Arus posting sangat deras dan berbagai wacana muncul di sini. Seperti sebuah jargon terkenal di psikologi "Di mana ada manusia, di situ psikologi bisa diterapkan" di sinilah jargon itu tak sekedar jargon melainkan menemukan konteksnya. Ada berbagai sudut pandang dalam membahas manusia, bahkan yang tak diajarkan di Fakultas Psikologi Indonesia.
Mailing List ini merupakan ajang berdiskusi bagi siapa saja yang berminat mendalami psikologi. Mailing list ini dibuka sebagai upaya untuk mentransformasi pemahaman psikologi dari sifatnya selama ini yang tekstual menuju ke sifat yang kontekstual. Anda tidak harus berasal dari kalangan disiplin ilmu psikologi untuk bergabung sebagai member dalam mailing list ini. Mailing List ini merupakan tindak lanjut dari simposium psikologi transformatif, melalui mailing list ini, diharapkan diskusi dan gagasan mengenai transformasi psikologi dapat terus dilanjutkan. Anggota yang telah terdaftar dalam milis ini antara lain adalah para pembicara dari simposium Psikologi Transformatif : Edy Suhardono, Cahyo Suryanto, Herry Tjahjono, Abdul Malik, Oka Rusmini, Jangkung Karyantoro,. Beberapa rekan lain yang aktif dalam milis ini adalah: Audifax, Leonardo Rimba, Nuruddin Asyhadie, Mang Ucup, Goenardjoadi Goenawan, Ratih Ibrahim, Sinaga Harez Posma, Prastowo, Prof Soehartono Taat Putra, Bagus Takwin, Amalia "Lia" Ramananda, Himawijaya, Rudi Murtomo, Felix Lengkong, Hudoyo Hupudio, Kartono Muhammad, Helga Noviari, Ridwan Handoyo, Dewi Sartika, Jeni Sudarwati, FX Rudy Gunawan, Arie Saptaji, Radityo Djajoeri, Tengku Muhammad Dhani Iqbal, Anwar Holid, Elisa Koorag, Lan Fang, Lulu Syahputri, Kidyoti, Alexnader Gunawan, Priatna Ahmad, J. Sumardianta, Jusuf Sutanto, Stephanie Iriana, Yunis Kartika dan masih banyak lagi
Perhatian: Milis ini tak ada moderator yang mengatur keluar masuk member. Setiap member diharap bisa masuk atau keluar atas keputusan dan kemampuan sendiri.
Jika anda berminat untuk bergabung dengan milis Psikologi Transformatif, klik:
Looking for last minute shopping deals?
Find them fast with Yahoo! Search.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar