ILHAM, INSPIRASI, DAN IMAJINASI
Banyak orang mendefinisikan ilham dan juga inspirasi. Sebagian orang menyebut ilham sebagai inspirasi, sebagian yang lain membedakannya. Baiklah, kita tak perlu memperdebatkannya. Sekarang kita buat saja suatu penyederhanaan seperti di bawah ini.
Ilham adalah sesuatu hal. Sesuatu hal itu bisa berupa benda, kejadian, kenyataan, pengetahuan, maupun pengalaman, dan masih banyak lagi jika kita mau menyebutkan. Terlalu sederhana? Tunggu dulu. Masih ada kelanjutannya. Contohnya begini: Topi adalah benda. Bagi semua orang topi adalah penutup kepala / rambut. Namun bagi seorang pengarang, topi ini bisa menggugah batin dan pikirannya untuk membuat sebuah cerita. Topi bagi pengarang bisa berarti kehormatan; sebagai barang yang selalu diperebutkan raja-raja (mahkota). Nah, peristiwa tergugahnya batin dan pikiran pengarang ini kita sebut sebagai inspirasi. Sementara topi yang telah menggugah batin dan pikiran pengarang itu kita sebut sebagai ilham.
Dengan begitu, ilham adalah sesuatu hal yang diamati pengarang dengan sisi pandang yang berbeda. Hujan, pohon cemara, awan, kelaparan, pembunuhan, pesta, cinta, marah
bisa menjadi ilham bagi seorang pengarang, bisa membuat seorang pengarang dalam kondisi ter-inspirasi.
Lantas apa itu imajinasi? Imajinasi adalah sesuatu yang bersifat khayali atau tidak nyata yang terbentuk dalam pikiran manusia. Imajinasi ini adalah suatu daya, suatu kekuatan yang dimiliki manusia. Bisa berupa lamunan, angan-angan, pengandaian, keinginan, dan bahkan cita-cita pun termasuk ke dalam imajinasi. Imajinasi ini amat dekat hubungannya dengan ilham dan inspirasi. Ketiganya saling mendukung.
Imajinasi kita bedakan jadi dua macam:
[1]. Imajinasi-realitas. Adalah imajinasi yang masih 'mem-bumi', masuk akal, dan berpotensi menjadi kenyataan. Contoh: Kita duduk bersandar pada batang pohon besar. Lalu kita membayangkan seandainya dahan pohon besar di atas kita patah dan menimpa kepala kita. Meskipun bertahun-tahun sudah kita duduk di bawah pohon itu dan tak pernah tertimpa dahannya, namun patahnya dahan pohon adalah wajar; mungkin karena angin, atau karena dahan sudah lapuk.
[2]. Imajinasi-fantasi. Adalah imajinasi yang 'meng-awan', tak masuk akal, dan tak berpotensi menjadi kenyataan. Contoh: Kita duduk bersandar pada batang pohon besar. Lalu kita membayangkan seandainya batang pohon tempat punggung kita bersandar tiba-tiba menghilang entah kemana, dan kita terjengkang karenanya.
Kedua macam imajinasi di atas bisa kita gunakan untuk mengarang cerita. Jika kita jeli menghadapi ilham, tak menolak inspirasi, pintar merangkai cerita, dan mahir menggunakan bahasa, maka sebuah cerita yang menarik dan mengesankan tentu dapat kita lahirkan.
TEMA, PLOT, ALUR, DAN ADEGAN
Tema adalah ide dasar suatu karangan. Tema ini muncul bersamaan dengan inspirasi. Sadar atau tidak sadar, pengarang telah memiliki 'tema' sejak batin dan pikirannya dikuasai ilham. Misalnya begini: ketika sebuah topi menjadi ilham bagi pengarang, pada saat itu juga dalam batin dan pikiran pengarang tergugah untuk mengarang cerita tentang topi yang menjadi simbol kehormatan dan harga diri bagi seseorang. Nah, topi sebagai simbol kehormatan inilah yang menjadi tema bagi karangan tersebut.
Kemudian, bagaimana peran imajinasi terhadap 'ilham' dan 'inspirasi' serta 'tema'? Sebetulnya, ketika pengarang sampai pada kesimpulan bahwa topi menjadi simbol kehormatan ia sudah ber-imajinasi. Tetapi imajinasi yang paling awal. Dan pengarang tak mungkin bisa mengarang cerita bila hanya sampai pada imajinasi awal tadi.
Maka langkah selanjutnya adalah pengarang meng-otak-atik imajinasi awal tadi. Pengarang harus terus mencari segala kemungkinan tentang topi sebagai simbol kehormatan. Tentu saja, kemungkinan-
Contoh: Dua orang lelaki muda bertengkar. Arma dan Rama. Arma duduk di sudut meja, menahan marah. Topi ia lepas dari kepala, dan ditaruh di atas meja, di samping asbak. Arma mengelap dahinya yang berkeringat. Terus mencoba bersabar. Rama yang sengaja memancing amarah Arma jadi makin tak sabar. Ia menyambar topi Arma, membanting ke lantai, dan menginjak-injak topi. Pada saat itulah Arma dengan geram melemparkan asbak.
Contoh di atas sudah sesuai dengan tema, tapi belum bisa dikatakan sebagai jalan cerita yang utuh. Contoh di atas disebut dasar plot. Maka, pengarang harus mengembangkannya menjadi plot; jalan cerita yang utuh dan sesuai dengan tema. Dalam 'Mengarang (Teknik Awal)' ini kita coba kupas-bahas plot dalam artian main-plot, atau plot utama. Sementara sub-plot atau plot tambahan akan kita temukan pada 'Mengarang (Teknik Lanjutan)'.
Membicarakan plot tentu tak bisa menanggalkan apa yang kita sebut sebagai alur. Plot tidak ada dalam wilayah teknik. Seperti halnya tema, plot itu lebih pada jiwa atau isi karangan fiksi dengan bentuk sebagai kejadian-kejadian yang ada dalam karangan fiksi. Sementara alur berada pada wilayah teknik mengarang. Tapi pada proses selanjutnya, dalam karang-mengarang, hal-hal teknis selalu bercampur-ramu dengan non teknis.
Pembahasan untuk bagian-bagian plot ada dalam bab ini, sementara untuk pembahasan gaya plot ada pada bab GAYA.
Plot yang paling sederhana adalah:
[1]. Prolog.
[2]. Klimaks.
[3]. Epilog.
Tak sedikit pengarang yang mulai mengerjakan karangannya justru dari bagian tengah, yakni ketika cerita mencapai klimaks; ketika cerita mencapai pokok persoalannya, ketika tokoh-tokoh di dalamnya terlibat konflik. Mengapa demikian? Karena banyak pula pengarang yang mendapat ilham cerita dari sebuah kejadian. Setelah menyelesaikan klimaks, pengarang baru memulai menggarap bagian prolog: asal mula atau benih-benih konflik (klimaks), dan mengerjakan bagian akhir karangan, yakni epilog: berakhirnya jalan cerita oleh sebab berakhirnya klimaks.
Akan tetapi, meskipun pengerjaannya terpisah, umumnya pengarang sudah membayangkan dasar plot dari awal hingga akhir cerita. Karena sebuah karangan itu ibarat rangkaian gerbong kereta api. Adalah susunan sebab-akibat, yang satu dengan yang lainnya tak bisa dipisahkan.
Lantas, apakah susunan sebab-akibat itu mesti diceritakan runtut dari awal hingga akhir? Tidak mesti begitu. Untuk tujuan-tujuan tertentu pengarang menempatkan bagian klimaks justru di bagian pertama dalam karangannya, lalu menyusul bagian prolog, barulah epilog sebagai penutup. Banyak juga pengarang yang tiba-tiba memulai karangan pada bagian epilog, lalu klimaks, dan ditutup oleh bagian prolog. Semua itu memiliki tujuan-tujuan tertentu
Penempatan atau penyusunan bagian-bagian dari karangan yang berupa prolog-klimaks-
Pembicaraan tentang alur ini sejatinya lebih condong pada teknik dalam mengarang. Dalam karang-mengarang, kita mengenal beberapa macam (teknik) alur:
[1]. Alur maju; berupa penempatan prolog-klimaks-
[2]. Alur mundur; berupa penempatan epilog-klimaks-
[3]. Alur campuran dari alur maju dan alur mundur; berupa penempatan klimaks-prolog-
[4]. Alur insert; berupa alur maju atau alur mundur atau alur campuran yang pada tiap bagian mendapat sisipan sebuah atau lebih potongan dari prolog, klimaks, atau epilog.
Dari tiga bagian susunan plot tersebut, baik prolog, klimaks, ataupun epilog terdiri dari bagian-bagian atau potongan-potongan yang lebih kecil lagi. Kita menyebutnya sebagai adegan. Istilah adegan sering kita dengar dalam dunia film atau drama panggung. Tetapi istilah ini pun dapat kita gunakan pada dunia karangan fiksi karena sifat dan hakikatnya yang sama.
Adegan adalah kejadian dalam karangan fiksi yang didalamnya terdapat laku dan atau tutur dari tokoh-tokoh cerita, yang terbingkai dalam satu seting waktu dan seting tempat.
Dalam dunia karang-mengarang fiksi, segala kemungkinan bisa terjadi. Sebuah klimaks bisa saja hanya terdiri dari satu adegan, tapi bisa pula terdiri dari puluhan adegan. Contoh dasar plot di atas tadi menunjukkan pada kita bahwa bagian klimaks hanya terdiri dari satu adegan.
TOKOH CERITA, KARAKTER,
DAN HUBUNGANNYA DENGAN KONFLIK
Tokoh cerita adalah seluruh pelaku yang ada dalam karangan fiksi. Tokoh ini bisa berupa manusia, binatang, atau bahkan benda-benda. Untuk bisa disebut tokoh cerita / pelaku, manusia atau benda-benda dalam karangan fiksi haruslah terlibat secara langsung dengan cerita.
Contoh : Monday, kucing yang tengah bunting itu, nangkring di atas kursi rotan teras rumah Nyonya Rara. Matanya berkedip-kedip, terarah pada anak-anak sekolah yang berjalan tergesa di seberang jalan. Sejurus kemudian Monday turun dari kursi rotan, berjalan pelan hingga dua kaki depannya menginjak rumput halaman, saat di depan pintu pagar Nyonya Rara menyorong teralis besi itu. Bersamaan dengan suara besi menggesek tembok pagar, Nyonya Rara menyapa: "Monday, bagaimana kabar calon anakmu?"
Contoh di atas merupakan penggalan dari sebuah cerita, kita beri saja judul 'Anak-Anak Monday'. Jika dilihat dari penggalan itu kita bisa menentukan mana yang tokoh cerita dan yang bukan. Monday dan Nyonya Rara menjadi tokoh cerita, sementara anak-anak sekolah bukanlah tokoh cerita.
Dalam sebuah karangan fiksi, tokoh-tokoh cerita atau pelaku harus memiliki karakter yang jelas dan logis. Karakter adalah sifat dasar yang dimiliki oleh tokoh dalam cerita atau pelaku. Karakter-karakter dari tokoh-tokoh cerita inilah yang nantinya akan mendorong munculnya konflik. Dalam karangan fiksi kita mengenal tokoh protagonis dan tokoh antagonis. Tokoh protagonis mewakili karakter tokoh yang baik, sementara tokoh antagonis mewakili karakter tokoh yang jahat.
Di awal-awal sejarah kesusastraan modern Indonesia, dalam karangannya di masa itu pengarang selalu membuat tokoh protagonis berhadapan dengan tokoh antagonis. Tokoh protagonis ini bisa memiliki karakter super-putih, tak ada cela dan cacat sedikit pun. Begitu juga dengan tokoh antagonisnya; pengarang masa itu menggambarkannya sebagai tokoh yang super-hitam, bahkan tak hanya sifat dan kelakuannya tapi juga dari sisi fisiknya.
Di masa kesusastraan mutakhir kini, model karangan yang 'hitam-putih' tersebut lenyap. Karena tak ada seorang pun yang tak memiliki cacat, dan ada sisi gelap dalam hidup seseorang yang baik. Begitu pula sebaliknya.
Salah satu hal yang mendorong munculnya konflik adalah perbedaan karakter. Tetapi perbedaan karakter ini hanya sebatas pendorong munculnya konflik. Dalam kehidupan nyata terdapat beragam karakter tapi toh tidak selalu melahirkan konflik. Perbedaan karakter itu baru bisa melahirkan konflik jika tokoh cerita satu dengan tokoh lainnya terdapat pertentangan kepentingan, pertentangan kemauan, pertentangan harapan, pertentangan sikap, dll.
Karena dalam sebuah karangan fiksi berisi banyak tokoh dengan bermacam-ragam karakter, maka pengarang harus dapat membuat sebuah identifikasi tokoh cerita yang detil. Identifikasi tokoh cerita yang detil ini akan memudahkan pembaca dalam menelusuri cerita dalam karangan. Identifikasi tokoh cerita beserta karakternya berupa:
[1]. Nama : Ini yang paling umum dan pertama ditempuh pengarang dalam memberi identifikasi tokoh cerita.
[2]. Ciri visual dan suara : Pengarang mengidentifikasikan tokoh ceritanya melalui citra visual dan suara yang berupa bentuk tubuhnya, jenis suaranya, dst.
[3]. Ciri sikap : Ciri ini menunjuk pada karakter. Ciri ini meliputi respon-respon tokoh terhadap tokoh lain, keinginan, cita-cita, dst.
[4]. Ciri laku dan cakap : Pengarang dalam menggambarkan identitas tokoh cerita beserta karakternya dapat menggunakan citra laku dan cakap. Misalnya, seorang yang pemberani biasanya berjalan dengan muka menatap ke lurus ke depan, dengan pancaran mata yang tak ragu-ragu. Atau melukiskan tokoh cerita yang tak sopan dengan menunjukkan kebiasaan si tokoh berbicara dengan teriak dan tawa ngakak.
Sedangkan cara ungkap identifikasi tersebut bisa dilakukan pengarang dengan :
[1]. Langsung; yakni menuliskan bahwa si tokoh adalah seorang penyabar, pemberani, dst.
[2]. Tidak langsung; yakni melalui (komentar) tokoh lain bahwa si tokoh seorang tak sopan, pemalu, dst.
SETTING WAKTU, SETTING TEMPAT,
DAN MENGGABUNGKAN KEDUANYA.
Sebuah kejadian selalu ada dalam bingkai waktu dan tempat. Begitu juga dengan cerita dalam karangan fiksi. Penanda waktu dan tempat dalam karangan fiksi dikenal dengan istilah 'setting waktu' dan 'setting tempat'.
Dalam menjelaskan 'kapan terjadinya cerita' pengarang bisa langsung menyebut 'setting waktu'.
Contoh : Minggu pagi aku bertemu dengannya. Tak seperti dua hari sebelumnya, Jumat sore, ia melemparkan senyum padaku. Sebentuk senyum yang belum pernah kulihat selama hidupku; seulas senyum yang amat indah.
Dalam mengungkapkan penanda waktu, pengarang pun bisa secara tidak langsung. Misalnya dengan frasa: debu beterbangan. "debu beterbangan" menjadi petunjuk bahwa cerita terjadi pada saat kemarau. Atau bisa pula dengan kalimat: hujan tak mau henti sejak tadi pagi. Ini artinya cerita terjadi pada saat musim penghujan.
Pengarang tak hanya berkesempatan mengungkapkan satu 'setting waktu' tapi bisa juga mengungkapkan dua 'setting waktu' sekaligus dalam satu kalimat.
Contoh 1 : Ini adalah kejadian memalukan yang kudapatkan di hari pertama masuk kelas. ('hari pertama masuk kelas' bisa berarti 'hari senin').
Contoh 2 : Sewaktu lapar kau tak suka tertawa seperti ini. ('kalau lapar tak suka tertawa' menunjuk pada waktu lain. Sementara 'tertawa seperti ini' menunjukkan bahwa kau saat ini sedang tertawa).
Sama halnya dengan cara ungkap 'setting waktu', setting tempat bisa ditunjukkan secara langsung dan tak langsung. Cara ungkap secara langsung bisa dilakukan dengan menyebut tempat, menyebut nama kota, dst. Sementara cara ungkap yang tak langsung bisa dengan menyebut julukan tempat, simbol-simbol kota, dst.
Contoh 1 : Pinggiran jalan kota Solo ramai oleh pedagang kaki lama.
Contoh 2 : Aku duduk terkantuk di kursi panjang dari besi yang catnya mengelupas, sementara hirukpikuk kendaraan tak juga reda di depanku. ('kursi panjang dari besi' yang ada di tepi jalan ramai menunjukkan pada pembaca bahwa "aku" tengah berada di halte).
Umumnya, pengarang membuat sebuah paragraf berisi kalimat-kalimat yang hanya menunjukkan 'setting waktu' atau 'setting tempat' saja. Padahal, pengarang pun dapat menggabungkan 'setting tempat' dan 'setting waktu' bahkan dalam satu kalimat pendek.
Contoh : Kota bengawan bangkit dari tidur. ('kota bengawan' menunjuk pada kota Solo, sementara 'bangkit dari tidur' artinya pagi hari. Kalimat ini bisa menjadi awal untuk menuliskan geliat kota Solo di kala pagi).
GAYA
Jika bab-bab sebelumnya membahas hal-hal mengenai teknik mengarang (daya, alur, dst) dan juga jiwa atau isi dalam karangan (tema, plot, dst), maka pada bab ini kita coba kupas masalah 'gaya' dalam karangan fiksi.
Beberapa hal yang kita sebut setelah ini masuk dalam lingkup 'gaya' karena hal-hal ini lebih pada pilihan pengarang. Yakni:
[1]. Gaya pandang penceritaan.
Secara umum dalam dunia karang-mengarang fiksi pengarang dihadapkan pada dua pilihan gaya pandang penceritaan: 'gaya aku', dan 'gaya narator'. Karangan yang menggunakan 'gaya aku' tokoh utamanya atau menjadi pencerita. Tokoh sampingan bisa pula menjadi pencerita bagi tokoh utama.
Jika menggunakan gaya ini, secara logis, pengarang hanya dapat menceritakan kejadian-kejadian yang langsung dialami tokoh pencerita, atau yang ia dengar dari tokoh lainnya. Sementara pada 'gaya narator', pengarang bertindak sebagai pencerita yang mutlak mengetahui segala kejadian yang dialami tiap tokoh dalam karangan fiksi.
[2]. Gaya plot.
Secara sederhana, ada dua macam 'gaya plot'. Dua gaya ini diletakkan di bagian akhir dalam karangan fiksi. Yakni: 'gaya plot buntu', dan 'gaya plot tak buntu'. Karangan fiksi yang menggunakan 'gaya plot buntu' tak memberi kesempatan bagi pembaca membayangkan kemungkinan-
[3]. Gaya tempo cerita.
Tempo cerita menjadi pilihan bagi pengarang. Cepat atau lambatnya jalan cerita disesuaikan dengan jiwa karangan sendiri, dan juga karakter tokoh-tokoh di dalamnya, serta persepsi estetika pengarang. Misalnya, menceritakan orang-orang kota dengan seribu kesibukannya tentu akan lebih pas jika menggunakan tempo cerita yang cepat, dst.
[4]. Gaya bahasa.
Bahasa menjadi sangat penting untuk diperhatikan pengarang. Karena bahasa-lah yang menjadi jembatan komunikasi pengarang dan pembaca agar isi karangan dan segala maksud pengarang bisa sampai pada pembaca. Gaya ini pun menjadi pilihan bagi pengarang; apakah ingin menggunakan gaya puitika, gaya realis klasik, dst.
[5]. Gaya aliran.
Aliran dalam karangan fiksi secara garis-besar terbagi dalam: aliran realis, aliran surealis, aliran absurd, dan aliran baru (nouveau roman). Bab-bab dalam artikel 'Mengarang (Teknik Awal)' ini dimaksudkan untuk teknik mengarang aliran realis. Aliran surealis, aliran absurd, dan aliran baru akan dibahas dalam artikel 'Mengarang (Teknik Lanjutan)'.
DAYA FIKSI, KESAN PEMBACA,
DAN PENGARUH FIKSI TERHADAP PEMBACA.
Sebuah karangan fiksi harus memiliki daya. Agar dalam batin dan pikiran pembaca terbentuk kesan-kesan tertentu. Kesan-kesan itu mungkin bisa sangat samar, atau sebaliknya. Bisa sangat lama tinggal berada dalam hati dan kepala pembaca, atau sebaliknya. Tapi yang pasti, kesan-kesan itulah yang akan mempengaruhi pembaca.
Daya fiksi membuat pembaca ingin melanjutkan membaca karangan sejak paragraf pertama, bahkan seusai kalimat pertama selesai dibaca. Daya ini pula yang nantinya dapat membuat pembaca memiliki kesan-kesan tertentu, baik setelah fiksi berakhir pun di saat fiksi belum sampai pada ending. Kesan-kesan pembaca terhadap karangan bisa berupa tercapainya rasa: gembira-riang, sedih-tragis, trenyuh, terinspirasi, takut-horor, atau bisa juga deg-degan selama pembaca menikmati karangan, dst.
Daya yang harus dipenuhi pengarang dalam fiksi adalah: [1]. Daya pikat, [2]. Daya rangsang, [3]. Daya tanya, [4]. Daya libat, [5]. Daya kejut. [6]. Daya guna.
Idealnya, sebuah karangan fiksi memiliki 6 (enam) daya tersebut. Meskipun memang banyak karangan fiksi yang diakui sebagai karya bagus tidak memiliki keenam daya sekaligus. Ini adalah pilihan dari pengarang. Ini adalah seberapa piawainya pengarang membuat cerita yang sederhana menjadi sebuah cerita yang menarik. Beberapa contoh tentang penggunaan daya fiksi bisa kita bicarakan pada sesi pembahasan.
Sekarang coba kita kupas keenam daya fiksi. Penomoran daya di bawah ini tidak untuk menunjukkan urutan pemakaian daya dalam sebuah karangan fiksi.
[1]. Daya pikat.
Pertama kali yang dibaca pembaca adalah judul. Dalam sebuah karangan fiksi, judul memiliki kekuatan tersendiri. Untuk itu, pengarang mesti pandai dan jeli membuat judul. Judul haruslah relevan (sesuai dengan isi fiksi), provokatif, mudah diingat, dan mengajak orang mengira-ira seberapa bagus isi fiksi.
Contoh: Kening Seorang Pelacur. Ini adalah pilihan judul yang menarik, jika dibanding dengan Kening, meskipun judul Kening relevan pula dengan isi fiksinya. Pilihan judul yang pertama akan membuat pembaca bertanya "ada apa dengan kening seorang pelacur?" atau "apakah kening pelacur dalam cerita ini beda dengan kening pelacur lainnya?" atau "apa beda kening seorang pelacur dengan kening seorang pelajar?". Sementara pilihan judul yang kedua kurang memberi kesempatan pada pembaca untuk menebak-nebak.
[2]. Daya rangsang.
Pengarang harus pandai mengkondisikan pembaca untuk tetap membaca. Ini mesti dilakukan pengarang sejak paragraf pertama, bahkan sejak kalimat awal. Daya ini erat sekali dengan imajinasi yang terbentuk dalam kepala pembaca setelah judul dan bagian pertama karangan fiksi dibaca.
Ada banyak cara pengarang merangsang imajinasi pembaca di bagian pertama karangan fiksi. Misalnya, dengan melukiskan dulu seting tempat cerita yang unik.
Contoh: Pintu rumah tua yang diapit dua jendela itu seperti susunan hidung dan mata. Hidung dan mata milik seorang lelaki tua yang menyeramkan. Dinding di sekitar pintu dan jendela tampak mengelupas, ada sayatan-sayatan tegas di sana. Seperti keriput di wajah pemilik rumah. Jika malam tiba, dan lampu menerobos korden jendela, dua jendela itu seperti tengah memelototi siapapun yang lewat di depan rumah
Selain itu, pengarang bisa pula menggabungkan daya rangsang ini dengan penggunaan plot. Itu artinya, di bagian pertama karangan fiksi, pengarang tiba-tiba menempatkan sebuah kejadian, atau akhir kejadian yang heboh.
Contoh: "Kau membunuh pengemis itu?!"
[3]. Daya tanya.
Daya ini bisa diusahakan atau diletakkan oleh pengarang di bagian mana saja dari karangan fiksi, agar pembaca ingin terus membaca dan mencari jawaban dari teka-teki cerita. Cerita-cerita detektif seringkali menggunakan daya ini di hampir semua bagian cerita, dari awal hingga menjelang akhir cerita.
[4]. Daya libat.
Daya ini digunakan pengarang untuk membuat pembaca hanyut ke dalam cerita; seolah-olah pembaca menjadi tokoh cerita dan terlibat dalam kejadian-kejadian yang dialami tokoh cerita. Daya ini digunakan pengarang untuk membuat pembaca dalam kondisi: ber-simpati, ber-antipati, ataupun ber-empati.
[5]. Daya kejut.
Pengarang menggunakan daya ini agar pembaca memberi kesan-kesan tertentu yang lebih nyata. Misalnya, dengan menguasai daya kejut, pengarang bisa membelokkan jalan cerita dengan logis. Daya kejut ini bisa berdampak macam-macam kepada pembaca. Ada pembaca yang merasa tersentak, merasa tebakannya keliru, karena jalan cerita dalam karangan fiksi yang dibaca ternyata beda dengan jalan cerita yang dibayangkan. Jadi, tak aneh bila ada pembaca yang setelah membaca karangan fiksi berteriak: "Walah, ternyata begini!", atau "Malahan dia yang membunuh?!".
Daya ini pun bisa menimbulkan respon pembaca yang nyata dalam artian fisik. Misalkan pada cerita-cerita horor. Seringkali cerita horor membuat bulu kuduk pembaca berdiri, merasa tercekam, dst.
[6]. Daya guna.
Karangan fiksi bisa menjadi sebuah ajakan, bisa membuat pembaca memiliki pemahaman baru yang lebih baik tentang sesuatu. Dan bisa pula menjadi obat, karena banyak orang yang putus-asa menjadi 'bangkit' kembali setelah membaca karangan fiksi. Ini suatu misal.
Bagaimanapun, pengarang harus menyadari kegunaan dari karangan yang ditulisnya, bagi pembaca. Daya guna ini muncul bersamaan dengan munculnya ide atau gagasan cerita dalam kepala pengarang.
Sebagai contoh mudahnya, jika menulis kisah tentang penderitaan para pengungsi korban bencana alam, pengarang hendaknya tak hanya mengarang fiksi yang membuat pembaca menangis dan sedih. Lebih dari itu, dengan karangannya, pengarang hendaknya bisa menggerakkan hati pembaca untuk turut meringankan penderitaan pengungsi.
KONSEKWENSI LOGIS DALAM KARANGAN FIKSI
Sebuah karangan fiksi tak bisa lepas dari dunia luar. Tokoh-tokoh ceritanya tentu terlibat dan terpengaruh dengan keadaan sosial, dengan 'setting tempat', dengan 'setting waktu', dll. Cerita yang terjadi dalam karangan fiksi pun terpengaruh pula oleh 'setting tempat', oleh 'setting waktu', oleh kondisi psikologis tokoh-tokohnya, dll.
Ini adalah konsekwensi logis dalam karangan fiksi. Konsekwensi logis ini meliputi 'konsekwensi sosiologis', dan 'konsekwensi psikologis'. Misalnya, menjadi tak masuk akal bila seorang pengarang menceritakan pertemuan dua orang muda-mudi yang sama-sama lahir dan besar di Solo dan menuliskan percakapan mereka dengan menggunakan kata 'gue' (kata ganti aku) dan 'lu' (kata ganti kamu), meskipun saat bercakap keduanya ada di Jakarta.
Pengarang harus memiliki pengetahuan yang cukup, dan memiliki bahan-bahan yang lengkap untuk menuliskan sebuah karangan fiksi. Pengetahuan dan bahan-bahan inilah yang akan membuat karangan menjadi logis, dan bisa diterima oleh pembaca.
Untuk mendapatkan bahan-bahan tersebut pengarang bisa melakukan observasi, mengamati secara langsung, atau mencari tahu dari buku.
TIPS-TIPS
Pengarang harus selalu jeli menghadapi segala hal yang ada di hadapannya. Selalu merenung. Selalu mengamati. Selalu mencoba berpikir dengan sisi pandang lain.
Pengarang yang bersedia mengingat kembali masa lalu ~sepahit apapun itu~ dan bersedia membayangkan masa depan ~sesuram apapun itu~ akan lebih berpotensi melahirkan karya-karya yang bagus.
Karangan fiksi yang bagus berisi tokoh-tokoh cerita dengan beragam karakter yang jelas (dan unik). Namun karena karangan fiksi adalah rentetan kejadian yang bermakna, maka hendaklah pengarang mampu memperkembangkan karakter tokoh-tokoh ceritanya dengan logis.
Karena karangan fiksi berupa rentetan kejadian / cerita yang tak lepas pula dari sebab-akibat dengan penggunaan daya-daya fiksi, maka hendaklah pengarang mendesain dasar plot agar nantinya karangan fiksi menjadi me-liku dan me-liuk.
Karangan fiksi yang bagus adalah karangan yang ketika kita membaca seolah-olah kita tengah mengikuti adegan demi adegan sebuah film yang ditembakkan ke layar, dan layar itu ada dalam kepala kita. Maka, hendaklah setiap adegan memiliki makna dan tak percuma, meskipun sekilas terlihat sebagai adegan yang sederhana.
Karena karangan fiksi memiliki bahan dasar imajinasi (khayali), maka hendaklah isi di dalamnya dibuat sedemikian me-liku dan me-liuk namun tetap logis, serta memanfaatkan keenam daya fiksi di atas.
Karangan fiksi ditulis untuk menimbulkan kesan-kesan tertentu dan memberi pengaruh baik pada pembaca. Agar kesan-kesan itu mengendap lama dalam batin dan pikiran pembaca, maka hendaklah pengarang membuat: judul yang memikat, isi yang mengikat, dan makna yang menjerat.
http://www.kampung.
Disusun oleh Ciu Cahyono dengan melalui pengayaan sastra dan pengalaman proses kreatifnya serta mengikutsertakan metode-metode khusus sebagai pendukung penting. Sebagai bahan bahasan pada pertemuan Proses Penulisan Puisi dan Cerpen untuk SMP - SMU di Perpusda Blora, 2-3 Agustus 2006
http://herilatief.
Looking for last minute shopping deals? Find them fast with Yahoo! Search.
Change settings via the Web (Yahoo! ID required)
Change settings via email: Switch delivery to Daily Digest | Switch format to Traditional
Visit Your Group | Yahoo! Groups Terms of Use | Unsubscribe
__,_._,___
Tidak ada komentar:
Posting Komentar