9
Sublimasi Kelemahan Berpikir menjadi sebuah Pembusukan pada Nurudin Asyhadie
Saya mengajak siapapun yang membaca esei ini untuk melihat bagaimana seorang bernama Vincent Liong, yang dikenal luas sebagai anak Indigo melalui berbagai publisitas, ternyata memiliki masalah kejiwaan. Apa masalah kejiwaan yang dialami? Ternyata terdapat kebiasaan menutupi kelemahan diri sendiri dengan cara membusukkan orang lain. Melekatkan pada orang lain, kebusukan atau kelemahan yang ada pada diri Vincent Liong. Setelah saya membahas bagaimana Vincent Liong membuat fiksi tak bertanggungjawab pada Cornelia Istiani, pada esei kedua ini saya akan mengajak anda melihat bagaimana Vincent membusukkan Nurudin Asyhadie.
Dalam tulisan Vincent Liong yang berjudul "Bahaya Timbulnya Anarkis ; kritik terhadap Pendidikan di ruang Kelas.", Vincent memproyeksikan ke orang lain kelemahan-kelemahan yang sebenarnya nyata ada pada dirinya. Seperti bisa dilihat dari judulnya, dimana ada kalimat "kritik terhadap pendidikan di ruang kelas". Melihat sejarah kehidupan Vincent Liong sendiri, seperti ditulisnya:
Dua kali saya tidak naik kelas
gara-gara jeblok di pelajaran Matematika. Dari SD
kelas 1 sampai SLTP kelas 2 saya terpaksa ikut
berbagai macam kursus Matematika, tetapi itu tidak
membantu saya untuk sekedar bisa dapat nilai 60% di
pelajaran Matematika, hingga saya pesimis 100% di mata
pelajaran tersebut. Ujian semester yang terahir saja
saya bolos ujian Matematika karena biasanya di ujian
nilai saya kurang dari 10%.
(Link: http://groups.yahoo.com/group/psikologi_transformatif/message/336 ; diposting Sabtu, 22 Januari
2005)
Jelas di sini bahwa kritik terhadap pendidikan di ruang kelas, merupakan proyeksi dari kegagalan Vincent Liong sendiri dalam pendidikan di ruang kelas. Menarik untuk kita cermati dan temukan jawabnya, kenapa justru Vincent berpikir untuk mengkritik ketimbang memperbaiki diri?
Ternyata itu erat kaitannya dengan tiadanya instrospeksi diri. Setiap kegagalan selalu ditempatkan sebagai kesalahan orang lain. Penyakit kejiwaan ini bisa kita deteksi pada logika ngawur yang disusun Vincent tentang pendidikan di ruang kelas, seperti tertulis di esei "Bahaya Timbulnya Anarkis ; kritik terhadap Pendidikan di ruang Kelas.":
Ketika di dalam ruang kelas kita menghadapi pengalaman-pengalaman yang
dikondisikan, diimajinasikan seperti seorang anak bermain game di
playstation. Kasus-kasus imajiner tsb dihadapi dalam serial kuliah,
hari-demi-hari tanpa tahu mengapa kita menghadapinya. Kita tidak
memiliki alasan yang kongkrit mengapa kasus demi kasus imajiner tsb
harus kita hadapi, yang kita tahu 'katanya' adalah agar pintar, agar
lulus, dlsb.
(link: http://groups.yahoo.com/group/psikologi_transformatif/message/27962)
Ini jelas merupakan demonisasi terhadap pendidikan di ruang kelas. Ironisnya, sejauh saya amati Vincent sendirilah yang justru terjebak dalam ruang imajiner yang ruang-ruang milis. Banyak orang tahu berapa jam sehari Vincent berada di depan komputernya, memelototi milis-milis, mengirim bomb mail, merayakan dirinya di milis-milis; dan kita bisa bertanya balik seberapa Vincent tahu menghadapi kehidupan di dunia nyata?
Sebenarnya dilihat dari kegagalan Vincent dalam jalur pendidikan, sudah bisa dijadikan ukuran bahwa di situ saja Vincent sudah gagal di dunia nyata. Pendidikan adalah dunia nyata yang harus dihadapi dan hidup manusia bukan di dunia cyber. Simbol yang berlaku di dunia nyata adalah keberhasilan menguasai suatu pengetahuan, yang salah satunya diukur dengan bagaimana menyelesaikan jenjang pendidikan tertentu. Sementara simbol yang dibangga-banggakan oleh Vincent Liong adalah hal-hal seperti: 'owner dan maskot milis Vincentliong@yahoogroups', yang jelas hanya ada di dunia tak nyata alias cyber.
Lalu terlihat bahwa Vincent memiliki 'cacat pikiran', seperti bisa dilihat pada tulisan:
Kalau mau lengkap pendidikan itu harus terdiri dari dua paradigma yang
bertentangan, tetapi saling melengkapi yaitu: �Why� dan
�How to�.
Tetapi masalahnya kita dididik dengan sistem pendidikan yang
berpangkal dari filsafat barat yang fokus pada pencaharian
alasan-alasan (Why) untuk tujuan menjelaskan sesuatu; mengamati
sesuatu dari luar dan tidak pernah menghadapi masalah sebagai yang
mengalami langsung (How to). Dalam belajar variabel bahasa entah
itu dinamai baik atau dinamai tidak baik, bila tidak ada relasi
sebab-akibat yang kongkrit dengan diri kita maka baik maupun buruk
tentu dianggap sebagai variabel yang sederajat. Yang beda hanya
pengelompokkannya. Kalau bosan jadi baik ya jadi yang tidak baik; toh
tetap tidak ada sebab-akibat dengan diri kita sebagai pribadi, begitu
juga sebaliknya. Semua hanya menjadi sibuk di pikirannya sendiri yang
dibuat-buat; semakin dalam ya semakin rumit dan hanya bisa dikenali
oleh diri sendiri.
Di dalam kutipan di atas, jelas seenak udelnya sendiri Vincent Liong menyimpulkan bahwa jika mau seimbang harus ada "How" dan "Why". Darimana argumen itu? Tidak jelas.
Bahkan saking tidak jelasnya bisa kita pertanyakan, darimana Vincent bisa ngomong: "masalahnya kita dididik dengan sistem pendidikan yang berpangkal dari filsafat barat yang fokus pada pencaharian alasan-alasan (Why)"?? Jelas ini ngawur karena Vincent tidak tahu samasekali soal Filsafat Barat kok bisa-bisanya sok tahu mengatakan 'berpangkal dari Filsafat Barat yang fokus pada 'Why'. Inilah model 'cacat pikiran' yang fatal.
Menariknya dari semua paparan yang sebenarnya merupakan kegagalan Vincent Liong di ruang kelas tiba-tiba ditarik dalam sebuah konklusi adanya olahraga anarkis yang digagas oleh Nurudin Asyhadie. Seperti ditulisnya:
Mengenang budaya Anarkis bernama Olahraga Pikiran yang telah menjamur
di maillist Psikologi_Transformatif
http://groups.yahoo.com/group/psikologi_transformatif/join
.
Ketika masing-masing dari pemain kehilangan persahabatan, kehilangan
kepercayaan dari dan kepada teman, menjatuhkan teman, merusak hubungan
keluarga interen teman, merusak nama baik diri sendiri, semua lenyap,
hilang. Yang tersisa hanyalah semangat berolahraga pikiran dan
semangat gossip menggosipi sesama teman sendiri.
Ttd,
Vincent Liong
Biodata penggagas budaya Anarkis bernama Olahraga
Pikiran: Nuruddin Asyhadie.
..
(Link: http://groups.yahoo.com/group/psikologi_transformatif/message/27962)
Di sini terlihat pola:
- Vincent menggunakan esei yang seolah ilmiah, padahal tujuannya untuk mendemonisasi Nurudin Asyhadie. Pola yang nyaris serupa dengan ketika Vincent seolah menjadi pacar yang bertanggungjawab lalu menuliskan
surat pada Istiani, yang jika kita cermat itu sebenarnya mendemonisasi Istiani.surat - Vincent menolak dirinya dan segala kelemahan yang ada pada dirinya. Ironisnya, penolakan itu dilakukan dengan cara memproyeksikan kelemahan itu pada orang lain. Dari sini saja kita bisa melihat bahwa Vincent bukan tipe orang yang bisa bertanggungjawab atas apa yang ada pada dirinya.
- Ada Cacat pikiran karena suka membuat konklusi-konklusi yang seenak udelnya alias muncul dari dasar laut. Sama halnya dengan dia menyimpulkan perlunya "Why" dan "How" tanpa jelas alasannya, seperti itu juga ketika dia membuat fiksi bahwa Istiani adalah istri di kehidupan sebelumnya
- Ada Cacat moral karena tidak bisa membedakan mana yang secara moral pantas dan mana yang tidak, serta tidak ada tanggungjawab moral. Bahkan untuk moral mendasar, seperti 'jangan menipu'. Fiksi-fiksi tentang Istiani dan demonisasi Nurudin Asyhadie jelas merupakan sebuah penipuan publik.
Boardwalk for $500? In 2007? Ha!
Play Monopoly Here and Now (it's updated for today's economy) at Yahoo! Games.
Change settings via the Web (Yahoo! ID required)
Change settings via email: Switch delivery to Daily Digest | Switch format to Traditional
Visit Your Group | Yahoo! Groups Terms of Use | Unsubscribe
SPONSORED LINKS
.
__,_._,___
Tidak ada komentar:
Posting Komentar