JALAN BEBAS HAMBATAN YANG MENGHAMBAT
Oleh: Mulyono [1]
Bagai jauh panggang dari api, pemerintahan terpilih malah justru makin asyik dengan kebijakan menaikkan harga. Salah satunya kenaikan tarif jalan tol. Sejak tanggal 4 September 2007 lalu kenaikan sebesar Rp. 1.000,. di 13 ruas jalan tol lingkar luar, terang saja dibarengi dengan kenaikan ongkos bus seperti diungkap organda Jabar (Ardiansyah) menaikkan tarif 5%, seperti bus AKDP & AKAP, (Tangerang, Depok, Bogor). Tol Jakarta - Bandung naik sebesar 20%, juga di Surabaya kenaikannya mencapai Rp. 1.500,.
Bukan cuma di situ, di Ibukota pemandangan keseharian lalu lintas jalan raya, tepatnya di depan-depan gerbang tol memperlihatkan antrian panjang luar biasa. Imbasnya, ganguan kemacetan sangat terasa meski kendaraan lainnya tidak bermaksud ingin melewati jalan tol. Akibat mulai diberlakukannya perubahan tarif baru dan jenis kendaraan yang lewat, misalnya perubahan tarif tersebut, dengan panjang jalan tol 45 kilometer, tarif 430/km, jarak terjauh 19 ribu (pembulatan ke bawah), dengan sistem tertutup. Kalau setengahnya pengguna jalan tol masih diuntungkan jadi Rp. 9.500. Kalau 10 kilometer jadi Rp. 5.000 (pembulatan ke atas), menjadi tidak ekonomis. Demikian hitung-hitungan kenaikan tarif tol, yang hampir tidak mengenal sosialisasi awal, apalagi mendialogkannya, meminta tanggapan masyarakat atas beban baru berlalu-lintas di jalan tol.
Sedikitnya situasi ini dilatarbelakangi tiga sebab, pertama beredarnya opini sejak 2003, tentang kebangkitan konstruksi Indonesia menghadapi tantangan kompetisi global. Lima tahun kelesuan sejak peristiwa 1998, dirasa telah cukup. Prospek pengembangan konstruksi, pembangunan jalan semakin hari semakin bernilai. Di tengah-tengah permodalan yang minim, negara terus memaksa agar investasi asing berdatangan berniat mengelola proyek pembangunan jalan di tahun-tahun ke depan. Membandingkan dengan Malaysia, setelah belajar dari proyek pembangunan jalan tol Jagorawi, sejak 1989 telah memiliki jalan tol sepanjang 1300 kilometer, sedangkan Indonesia baru memiliki jalan tol sepanjang 700 kilometer, yang lebih dulu membangun pada tahun 1978. China setelah tertinggal dua tahun dari Malaysia, kini telah memiliki jalan tol yang terbentang sepanjang 19 ribu kilomter.
Kedua, obsesi pemerintah SBY-JK mencanangkan pada tahun 2005-2009, untuk pembangunan jalan tol sepanjang 1700 kilomter. Maka hitung-hitungannya, pembangunan jalan tol harus selesai 340 kilometer per tahunnya. Fakta sejarahnya, terbukti selama kurun waktu 27 tahun yakni antara tahun 1978-2005, telah dibangun 600 kilometer. Kalau dihitung rata maka akan didapat angka 23 kilometer per tahunnya. Sehingga perbandingan antara fakta sejarah proses pembangunan jalan tol dengan rencana pemerintah, sangatlah tidak realistis, yaitu 1:15. Selain itu, Hengki Herwanto (Direktur Teknik Dan Operasi PT. Citra Margatama Surabaya), mengatakan bahwa dibutuhkan estimasi investasi 170 trilyun dan pembebasan tanah sebanyak 8.500 hektare, untuk proyek pembangunan jalan tol sepanjang 1.700 kilometer ini.
Yang ketiga, adanya para operator jalan tol yang mengingini tingkat keuntungan dengan kenaikan tarif jalan tol ini secara progresif. Di tahun 2005, para operator bahkan Ketua Assosiasi Tol Indonesia, Fatchur Rochman pernah mengatakan, kenaikan tarif tol yang tertunda berakibat kehilangan tambahan pendapatan 15-20 miliar per bulan.
Dari ketiga sebab di atas, nampak sekali arah pembangunan fisik yang direncanakan pemerintah secara besar-besaran ini, tidak pernah dibarengi dengan pembangunan kondisi sosial ekonomi masyarakatnya. Kampanye lama yang didengungkan orde Soeharto yang terhenti, bahwa jalan tol dianggap sarana melancarkan arus barang dan manusia. Kini terjadi pengulangan yang serupa. Bedanya, proyek pembangunan jalan tol saat ini merupakan bagian dari desain pembangunan infrastruktur bagi jalur distribusi dan bahan baku bagi para pemodal dan setiap kawasan industri, dengan berjalannya kepastian kawasan ekonomi khusus sekarang ini. Sarana penunjang inipun dibangun tanpa mempedulikan jika semua jalur distribusi dan bahan baku pabrikan menggunakan jalan tol yang serba mahal, akan meningkatkan harga barang pula.
Menteri Pekerjaan Umum, Djoko Kirmanto, mengatakan bahwa kenaikan tarif jalan tol ini, agar menarik bisnis jalan tol bagi investor. Payung hukumnya sudah ada, UU No. 38 Tahun 2004, tentang Jalan. Dan Kepmen No.370/07, menyesuaikan tarif dengan inflasi. Kedua aturan ini memang diperuntukkan melegitimasi setiap kenaikan tarif tol yang dapat berlangsung setiap dua tahun sekali. Artinya, membenarkan terjadinya privatisasi hak publik salah satunya jalan ini. Apalagi proses pembebasan tanah yang kerap menimbulkan soal bahkan korban. Proyek pembangunan tol Semarang-Solo, mengajarkan pengalaman tentang ketidakadilan bagi para pak tani yang mendapatkan proses ganti rugi pembangunan jalan yang tidak sesuai.
Perlunya respon masyarakat secepatnya dan secara serius amat diperlukan. Pembangunan jalan bebas hambatan ternyata ujung-ujungnya menghambat pula. Inisiatif sejumlah kalangan yang melihat potensi perjuangan class-action bisa jadi menjadi sarana mewadahi ketidakpuasaan masyarakat atas problem jalan bebas hambatan. Adanya target dan langkah kongkret penggalangan kampanye dan pelibatan masyarakat dalam aksi-aksi protes juga sangat diperlukan.
Solidaritas dan kebersamaan untuk mengajukkan gugatan harus bersama dengan seluruh masyarakat yang dirugikan karena ketidakadilan, dan tak pernah mendapatkan kesejahteraan yang memadai. Seperti pak tani yang kehilangan lahannya, masyarakat pengguna jalan yang kemahalan tarif tol dan yang mengalami kemacetan jalan, serta para buruh-buruh konstruksi yang dipekerjakan dengan tidak ada kepastian kerja, upah yang layak, kalau perlu di atas upah minimum sekarang, dan tunjangan yang pantas; Jamsostek, Hari Raya, Jaminan K3. Padahal mereka sudah terlibat dipekerjakan dalam setiap pembangunan, termasuk jalan tol ini. Nyatanya, kemegahan dan panjangnya jalan tol berkilo-kilo meter, tidak pernah menunjukkan seberapa berharga para pahlawan produksinya, apalagi yang susah payah bekerja di negerinya sendiri.
[1] Penulis adalah mantan buruh PT. Kahatex, anggota Forum Belajar Bersama dari Simpul Bandung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar