Kalau China dengan 1,3 milyar, India 1,1 milyar dan nantinya Indonesia dengan 220 juta penduduk, sampai meniru pola pikir Barat bahwa alam semesta ini harus ditaklukkan untuk sebesar-besarnya dipakai bagi kepentingan manusia (baca : kalangan pemilik modal raksasa), maka dalam waktu tidak lebih dari setahun dunia sudah kering kerontang.
Apakah dengan demikian peradaban kita tambah maju atau mundur ?
Science is Ok tapi Scientism is No Way.
Pemerintah India misalnya telah menghadiahkan patung Syiva Nataraja ke Pusat Penelitian Nuklir CERN di Swiss sebagai signal untuk mengingatkan para ilmuwan di sana supaya tidak merasa sedang menciptakan dunia baru menurut citranya sendiri, tapi hanya merupakan bagian dari tarian Syiva Nataraja yang melalui creation dan destruction terus menerus memperbaiki peradaban.
Dalam Upanishad dikatakan " The One dying into the many , and the many dying into the One "
Konfusius dalam kitab Thay Hak / Ta Hsueh juga mengajarkan :
" Orang zaman dahulu yang mau memperbaiki dunia , dia harus mulai dari negaranya...
Intinya adalah saling keterkaitan antara micro- dan macro - cosmic !
Orang bijak seperti Zhang Zai ( 1020-1077) menulis syair sbb. :
" Langit adalah Ayah dan Bumi adalah Ibu saya.
Meski mahluk kecil seperti saya ini, telah menemukan tempatnya yang intim di antaranya.
Karena itu semua isi alam semesta, saya anggap sebagai bagian alamiah dari saya.
Semua orang adalah saudara saya dan semua benda adalah sahabat saya "
Saya anjurkan membuka web-site Prof. TU Weiming, pakar Confucianism dari Harvard University yang pada tahun 2005 diundang ke Indonesia dan memberikan serial interaktif lintas agama dan budaya di berbagai perguruan tinggi, LIPI.
Pandangannya bisa dilihat dalam key-note speech nya di konferensi antar agama di Tokio tahun 2005.
Tujuan utama kita bukan bernostalgia kebesaran masa lalu, tapi mau mengarahkan supaya kebangkitan India, China dan juga nantinya diharapkan Indonesia, bukan hanya sekedar meniru apa yang terjadi di Barat, tapi membangun dengan akar budayanya sendiri yang sarat dengan kearifan universal sehingga nantinya diharapkan bisa mengkoreksi dampak negatif revolusi ilmu pengetahuan abad ke 18.
Salam,
Jusuf Sutanto
Dari: si kabayan <kabayangelo@
Kepada: psikologi_transform
Terkirim: Selasa, 20 November, 2007 10:00:40
Topik: [psikologi_transfor
[budaya_tionghua] China Art Festival dan Musik Tiongkok Modern
indoshepherd
Sun, 22 Jan 2006 10:19:59 -0800 Pengantar penulis:
Tulisan ini saya kirim untuk kedua kalinya. Saya tidak tahu dan
tidak mengerti, apa alasan moderator menahan dan/atau tidak bersedia
memuat posting saya dibawah ini. Jika memang ada yang tidak
berkenan, harap beritahukan kepada saya, supaya bisa saya perbaiki.
Artikel selengkapnya:
Tidak bisa diingkari bahwa dimasa yang lampau kebudayaan Tiongkok
pernah mencapai status sebagai salah satu kebudayaan besar didunia.
Dalam hal ini ada pendapat bahwa kebudayaan Tiongkok diabad yang
lalu telah terpuruk dalam taraf perkembangannya, terutama gara2
kemiskinan dan penjajahan. Yang ingin saya tekankan disini kepada
kaum Tionghoa Indonesia maupun rekan2 Cina yang asli dari Tiongkok,
adalah bahwa tidak ada manfaatnya untuk membual2kan dan/atau
mengenang2kan kebesaran masa lalu (jadi seperti kaum Isfun saja,
akibatnya malah menjadi bahan tertawaan orang sekuler yang tahu dan
bisa membandingkan nilai2 kebudayaan dengan standard yang
universal). Kebesaran masa lalu itu cukup bagi kita untuk berbesar
hati bahwa dimasa yad Tiongkok akan sanggup membangun kembali
kebudayaan yang tidak kalah besar dan canggihnya dari kebudayaan
barat. Tetapi sampai hari ini harus diakui, kebudayaan barat lebih
bernilai, lebih besar, lebih megah dan lebih canggih hampir dalam
segala hal.
Tanda2 kebangunan Kebudayaan Tiongkok modern kiranya sudah tercermin
dalam China Art Festival yang diselenggarakan diseluruh dunia, yang
kabarnya akan diselenggarakan di Indonesia. Saya duga China Art
Festival di Indonesia ini kira2 bakal mirip dengan China Art
Festival baru2 ini di Amerika, yang a.l. diselenggarakan di
Washington DC dalam jangka waktu satu bulan penuh selama bulan
Oktober 2005. Disamping seni lukis, seni rupa, termasuk seni
porcelain, dan seni tari, yang paling menarik perhatian saya sebagai
pencinta musik adalah seni musik. Jika didunia barat Opera Peking
yang klasik selalu menarik pengunjung yang berjejal2 oleh sebab daya
tariknya yang eksotik, yang menarik sekali adalah justru
perkembangan musik MODERN Tiongkok sejak baru2 ini. Perkembangan
dalam seni musik ini benar2 telah membuat suatu SURPRISE yang amat
mengejutkan, tetapi juga menggembirakan, bukan saja buat saya,
tetapi buat para pencinta musik masyarakat barat secara umum.
Selama ini yang berhasil merebut hati dunia musik sekuler, artinya
dimainkan oleh orkes2 tercanggih dunia musik barat dalam ruangan2
konser hanyalah dua komposisi bergaya romantik yang berlandasan
musik tradisionil Tiongkok, yaitu yang berjudul *The Yellow River
Piano Concerto* sebuah konserto piano gubahan Yin Chengzong [1], dan
*The Butterfly Lovers Violin Concerto*, yaitu sebuah konserto biola
gubahan Chen Gang and He Zhan-hao [2].
Terus terang saja, kedua konserto tersebut masih kurang memuaskan
bagi saya, sebab masih belum sepenuhnya berhasil menggabungkan
tangganada pentatonis (lima nada) tardisionil Tiongkok dengan
tangganada diatonis musik barat (tujuh nada plus not2
tengahan/kromatis) . Dalam pembicaraan saya dengan kawan2 pencinta
musik orang barat saya mempromosikan keduanya dengan reserve, bahwa
dalam perihal NILAI MUSIK kedua konserto tersebut masih harus kita
tanggapi dengan hati2. Sekalipun kedua konserto itu cukup kuat
dalam daya ekspresi romantik, kelemahannya terutama terletak dalam
bagan komposisi yang tidak seimbang, serta susunan tematik maupun
harmonik yang kurang berhasil melebur tangga-nada pentatonis dengan
tangga-nada diatonis. Suatu karya musik (barat) adalah suatu karya
seni besar (masterwork atau masterpiece) yang sepenuhnya berdiri
sendiri. Ini harus dibedakan dari musik pengiring film/movie,
sekalipun seringkali banyak persamaaannya dalam pilihan tematik dan
orkestrasi. Sebagai masterpiece musik, sebuah komposisi itu harus
berdiri sendiri dan seimbang dalam dirinya sendiri. Sebuah konserto
secara tradisionil terdiri dari tiga bagian yang masing2 bertempo
cepat-lambat- cepat, dengan bagian pertama seringkali didahului oleh
bagian introduksi yang bertempo lambat, yang tujuannya mempersiapkan
para pendengar untuk suatu pertunjukan yang bernilai canggih. Juga
dalam masing2 bagian, suatu ciptaan masterwork mengandung
keseimbangan sendiri2 dengan tempo2 yang relatif cepat dan lambat
silih berganti. Dalam aspek ini kedua konserto diatas masih kurang
sempurna, hingga terkadang saya teringat untuk membandingkannya
dengan komponis Rusia yang sangat peka perasaan, Alexander
Scriabin. Orang bilang, Scriabin bisa menjadi komponis besar macam
Mozart Beethoven dan sebangsanya, sekiranya ia lebih memperhatikan
keseimbangan dalam komposisinya. Seperti ciptaan2 Scriabin, kedua
konserto Tiongkok romantik diatas sama sekali tidak mempedulikan
FORM atau BENTUK, hingga akibatnya seluruh komposisi terkesan tidak
seimbang. Dari diskusi saya dengan kolega2 saya yang juga komponis
di Amerika, bisa kami simpulkan bahwa secara tematik kedua konserto
itu cukup ekspresif, tetapi nilainya banyak berkurang justru karena
bentuknya yang tidak seimbang.
Kekurangan lain lagi yang bisa saya sebutkan disini adalah unsur
VIRTUOSI yang kurang ditonjolkan. Sebuah konserto yang bernilai
masterwork bukan saja harus sempurna dalam ekspresi dan orkestrasi,
tetapi juga harus mengandung teknik yang canggih, yaitu yang disebut
virtuosi. Sebab sebuah masterpiece itu ditulis untuk pemain2 musik
yang tercanggih pada jamannya. Sebuah konserto dalam banyak
bagiannya harus membutuhkan teknik permainan instrument musik yang
tercanggih, yang umumnya hanya bisa dimainkan oleh para lulusan
konservatorium yang berbakat (yang kurang berbakat umumnya cuma bisa
menjadi guru musik saja). Kecuali itu, didekat akhir bagian pertama
selalu ada suatu bagian yang bernama Cadenza, dimana orkes tiba2
berhenti dengan tegang, dimana kemudian sang soloist mempamerkan
keahlian permainannya dalam passage2 yang dubilah-setan sulitnya,
hingga membikin para penonton menahan napas. Semua unsur2 penting
dari sebuah konserto yang bernilai masterwork seperti ini tidak ada
dalam kedua konserto Tiongkok romatik tersebut.
Seperti diketahui, musik sekuler barat dengan lapang hati
mengintegrasikan musik2 nasional dari etnis2 lain didunia, antara
lain musik Eropa Timur termasuk Rusia, antara lain dengan komponis2
nasional seperti Georges Enescu dengan Romanian Rhapsodynya yg
termashur, Jean Sibelius dari Finlandia, Edvard Grieg dari
Skandinavia, Antonin Dvorak dari Czeko. Dalam hal senimusik dari
Tiongkok integrasi musik Tiongkok kedalam dunia musik sekuler
sebenarnya sudah dirintis oleh sekian banyak soloist2 kelas dunia,
antara lain yang saat ini paling termashur adalah pianis kaliber
dunia, Lang Lang, dan Tso Liang Lin, (violinist kelahiran Taiwan,
disamping Yang Liu (violinist Tiongkok daratan) yang lebih jarang
muncul diruangan konser barat. Juga soloist2 Amerika keturunan Cina
(juga jepang dan Korea) sudah sejak belasan tahun menjadi favorit
dunia musik Amerika (dan Eropa) seperti a.l. Sarah Chang (biola),
Midori (biola), Yoyo Ma (cello), Mitsuko Uchida (piano), Kyung-hwa
Chung (biola) dsbnya, disamping dirigen2 terkenal seperti Seiji
Ozawa, Myung-Whun Chung dan Yahya Ling (yang notabene kelahiran
Indonesia). Kedua ciptaan yang tersebut diatas, The Yellow River
Piano Concerto* dan *The Butterfly Lovers Violin Concerto*, lebih
dikenal di barat sebagai musik yang eksotik, ketimbang sebagai
komposisi Late Romantic yang sekaliber dengan misalnya Sergei
Rachmaninoff dari Rusia dan Antonin Dvorak dari Czecho. Tetapi
kali ini konser yang diselenggarakan dibulan Oktober yang lalu di
Kennedy Center, Washington DC, dalam rangka Chinese Art Festival
[3], benar2 telah membuat suatu lompatan besar, jika bukannya boleh
dikata suatu kejutan yang sedikit menggemparkan: Musik Tiongkok
ternyata telah berhasil secara langsung memasuki abad modern tanpa
lebih dulu melahirkan komposisi2 Late Romantic kelas wahid, yang
sudah dirintis oleh kedua konserto tersebut diatas tadi.
Karena saya terlambat datang, saya tidak bisa mengkomentari acara
masterpiece yang pertama berjudul *Postcards*, ciptaan komponis
Bright Sheng [3]. Tetapi acara yang kedua dan ketiga sungguh2 amat
mengejutkan, karena ternyata mendemonstrasikan kematangan musik
kontemporer Tiongkok dalam segala hal. Misalnya, dalam acara kedua,
Bamboo Flute Concerto "Chou Kong Shan," karya Guo Wenjing, suling
bamboo tetap main dalam tangga-nada pentatonic, tetapi orkesnya main
dalam style modern dan/atau kontemporer yang atonal (tidak bertangga-
nada: seluruh 12 nada2 kromatik digunakan secara sama derajat dan
sama pentingnya). Untuk ketakjuban saya, kombinasi itu ternyata
sangat sempurna, jauh lebih sempurna daripada upaya yang lampau
untuk melebur nada2 pentatonis dan diatonis dalam konserto2 romantik
yang tersebut diatas. Ditambah lagi, permainan suling bamboo oleh
soloist Tang Junqiao [3] demikian canggihnya, hingga bisa membuat
para soloist suling kelas wahid barat, yang saat ini diwakili oleh
Jean-Pierre Rampale dan James Gallway, bisa takjub ter-heran2,
bagaimana dari sebuah suling (dari bamboo lagi) bisa keluar
virtuositas yang demikian canggihnya.
Acara ketiga, karya Tan Dun [3], juga tidak kalah mengejutkannya.
Tema2nya diambil dari folklore (musik daerah) Tiongkok yang paling
terpencil dan sudah hampir punah, tetapi berhasil disadur oleh Tan
Dun dalam style post-modern dan/atau kontemporer yang atonal.
Komponis Tan Dun ini di Eropa (dan Amerika) dewasa ini cukup
terkenal, dan umumnya digolongkan sejajar dengan komponis2 Post-
modern musik barat, seperti Michael Daugherty dan Elena Kats-
Chernin. Ketenaran Tan Dun terutama berkat inovasinya menggabungkan
teknik2 video modern kedalam musiknya, hingga terkesan ultra-modern,
sekalipun agak berlebihan. Secara pribadi saya lebih menyukai acara
yang sebelumnya, yaitu Bamboo Flute Concerto-nya Guo Wenjing.
Menurut pendapat saya, nilai suatu musik tidak se-mata2 ditetapkan
oleh unsur2 NOVELTY-nya, melainkan terutama oleh unsur2
keindahannya. Dalam hal ini saya kira para pendengar akan setuju,
bahwa dalam soal keindahan Bamboo Flute Concerto-nya Guo Wenjing
lebih indah dan lebih menyenangkan buat dinikmati.
Sekalipun musik modern Tiongkok sudah berhasil mengejar
ketinggalannya dari musik sekuler/barat, dan sekarang sudah bisa
dianggap setara, tetapi saya masih mengharapkan munculnya komponis2
Late Romantic Tiongkok yg sekaliber dengan Rachmaninoff, atau
sedikitnya dengan Moussorgsky, Borodin, Rimsky-Korsakov dan
sebangsanya. Mengapa masih perlu diharapkan? Sebab musik romantik
lebih banyak penggemarnya dibanding dengan jumlah penggemar musik
modern, yang (jauh) lebih susah dipahami. Penggemar musik modern
sudah bisa dipastikan pasti juga menggemari musik romantik, yaitu
dari Beethoven (1770-1827) sampai dengan Rachmaninoff (1873-1943)
maupun musik klasik (Mozart 1756 –1791, dan Haydn 1732-1809).
Tetapi penggemar musik klasik dan romantik banyak (sekali) yang
tidak sanggup memahami musik modern (mulai dari Richard Strauss
(1864 – 1949) dan Bela Bartok (1881-1945), kemudian dilanjutkan oleh
Arnold Schoenberg (1874 –1951) yang atonal dan Dmitri Shostakovich
(1906-1975), sampai kepada komponis2 musik kontemporer, seperti
misalnya Philip Glass (lahir 1937, sekarang masih hidup).
Perlu saya sebutkan disini bahwa Shanghai Symphony Orchestra yang
didirikan dalam jaman Revolusi Kebudayaannya Chiang Ching, kabarnya
salah satu pendirinya adalah pemain cello kelahiran Indonesia, Lim
Kek Beng [4], adik dari pemain biola Lim Kek Tjiang (sekarang
dirigen orkes simfoni Nagoya), yang dijaman 1950-an memimpin Orkes
Radio Jakarta. Perlu juga diketahui oleh generasi muda Tionghoa
Indonesia, bahwa sampai dengan jaman Soekarno, minoritas Tionghoa
memegang tampuk pimpinan dalam dunia musik Indonesia. Jumlah
peminat musik dan pemain alat2 musik yang canggih cukup banyak,
hingga bisa mendirikan Orkes Symphony Amateur Bandung, dimana saya
sendiri juga ikut main. Musik adalah salah satu elemen yang paling
kuat dalam menjalin hubungan simpati dengan masyarakat barat.
Bahkan seringkali bisa berperan sebagai juru-kunci buat masuk
golongan tingkat atas/elite. Di Jerman dulu keluarga saya pribadi
sangat disukai dalam pergaulan sosial oleh tingkat atas, bukan oleh
sebab title doctor saya, melainkan lebih terutama lagi berkat
pengetahuan saya tentang musik yang (jauh) diatas rata2 orang
Jerman, serta kesanggupan saya sendiri maupun anak2 saya dalam main
musik (apalagi di Amerika, yg oleh kawan2 Amerika sendiri sering
dinilai tidak berkebudayaan) . Kawan2 saya yang sama2 meninggalkan
Indonesia dibawah alasan yang kurang lebih sama, dewasa ini banyak
yang menjadi pengajar musik di negeri2 barat, a.l. Amerika, Jerman,
Canada, bahkan ada beberapa yang menjadi dosen di universitas2 musik
di Jerman.
Sebagai akhir kata saya simpulkan sekali lagi, bahwa tidak ada
manfaatnya atau malahan sia2 untuk membangga2kan kebudayaan Tiongkok
lama yang sekarang sudah pudar dan ketinggalan jaman. Yang lebih
penting lagi adalah membangun dan mengembangkan kebudayaan Tiongkok
baru yang modern dan canggih, yang bisa dinilai setara dengan
kebudayaan barat yang berkembang pesat sejak jaman Renaisans (k.l.
1600 AD). Dalam hal ini, perkembangan muthakir dalam seni musik
Tiongkok modern sudah bisa dibilang mecapai taraf itu. Demikian
pula dalam bidang Iptek bisa diharapkan tidak akan lama lagi.
Tinggal dalam bidang filsafat masih diperlukan karya2 filsafat yang
kuat dalam unsur2 filsafat Aufklaerung, yaitu berlandasan kepada
AKAL (reason), sebagai konsolidasi dari Iptek yang sekarang sedang
berkembang pesat.
Salam,
Indoshepherd
Bergabunglah dengan orang-orang yang berwawasan, di bidang Anda di Yahoo! Answers
Change settings via the Web (Yahoo! ID required)
Change settings via email: Switch delivery to Daily Digest | Switch format to Traditional
Visit Your Group | Yahoo! Groups Terms of Use | Unsubscribe
__,_._,___
Tidak ada komentar:
Posting Komentar