Well, saya sendiri rasanya udah mulai merasa mual2 melihat kelakuan
sebagian orang yang mulai mematok-matok lahan. Perkaplingan itu kan
demi INTERES PRIBADI, sedangkan orang2 independen seperti Pak Jusuf
Sutanto dan even Mas Audi itu gak perduli psikologi itu mau kemana.
Yang penting manusianya itu terbantu, tersembuhkan, dan BUKAN
prestise dari segelintir pribadi yang mulai mematok-matok kapling dan
kemudian ngotot meminta jatah sebagai kepala kampung, ketua RW, ketua
RT, hmmm hmmm hmmm...
So, mulai hari ini predikat lucu2an sebagai praktisi transpersonal
saya tanggalkan. I am now interdisciplinary (even dari dulu). Sebut
apa aja deh, hmmm hmmm hmmm... yang penting isinya kan? Yang penting
orang terbantu kan? Dan memang jadinya lama kelamaan saya akhirnya
menjadi gak napsu dengan segala predikat ini itu. Kalo ada orang yang
mao pake predikat dan ada isinya, ya masih baguslah. Nah, kalo gak
ada isinya, kan pepesan kosong doang.
Lebih parah lagi yang gembar-gembor ILMU TUJUH RUPA dengan kesaksian
segala macem jin antah berantah. Kalo yang itu no comment lah...
BTW,... Mas Audi gimana kalo buku "Psikologi Tarot" itu kita bagikan
saja kepada yang minta ? Aku sudah menerima permintaan bertubi-tubi
dari Indonesia dan LN. Mereka mau beli, tapi penerbitnya SO SLOW...
Piye kalo dibagiin gratis aja dulu versi internet-nya kepada yang
minta ? Aku sendiri tahu bahwa mereka akan beli juga kalau buku itu
sudah keluar di pasaran, even kalo udah punya versi internet-nya.
GIMANA ? GIMANA ?
Leo
--- In psikologi_transform
<jusuf_sw@..
>
> Ada kesan psikologi sdg minta penghargaan spt halnya psikiatri.
> Ini agak susah karena psikologi tidak mempunyai alat dan metode
penegakan diagnose yang solid spt psikiatri.
> Tapi justeru dalam kelemahannya terkandung kekuatannya karena bisa
menyembuhkan masalah psike secara tuntas.
> Ini dikarenakan pendekatannya adalah mendampingi client spy
mengenali problemnya sendiri das Sein dalam perspektif manusia sehat
das Sollen spt yang digambarkan oleh psikolog.
> Dengan demikian maka client akan berusaha menjadi manusia yang
normal kembali !
> Bahkan dengan konsep Fuad Hassan bisa melewati sosiologi.
> Sedangkan betapapun kinerja psikiatri hanya akan berakhir di
ketergantungan pada obat.
> Untuk kasus yang gawat, memang ada baiknya kedua disiplin itu
bekerjasama.
>
> Salam,
> JS
>
> ----- Pesan Asli ----
> Dari: audifax - <audivacx@..
> Kepada: psikologi_transform
> Terkirim: Minggu, 13 Januari, 2008 8:38:24
> Topik: Re: Bls: [psikologi_transfor
Sebuah harapan
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
> Menarik sekali Mas Juneman dan Pak Jusuf,
>
> Jika organisasi profesi psikologi memang terbentuk, saya pikir
apa itu profesi dan profesionalisme mesti lebih dulu didefinsikan.
Profesi, berbeda dengan Job atau Occupation. Dalam profesi ada
semacam declare publickly mengenai kemampuan yang dimiliki dan
tanggung jawab yang dimiliki. Kalau kata Spiderman: With the great
power there must also come great responsibility" . Itulah saya pikir
salah satu esensi penting profesi.
>
> Profesionalisme juga bukanlah paguyuban tempat orang kurang
kerjaan ngumpul dan bikin aturan ini itu. Profesionalisme,
menyiratkan selain aku memiliki kemampuan, juga sekaligus karakter
kemampuanku mengundang datangnya kemampuan yang lain untuk bekerja
bersamaku.
>
> Di sinilah mestinya psikologi menyadari bagaimana ia mesti mampu
mengakomodasi beragam karakteristik kemampuan dengan standar kualitas
tertentu. Saya setuju
> dengan standar kualifikasi, tapi tak setuju dengan keragaman
kemampuan.
>
> Nah, inilah yang coba saya kritik dari Magister Profesi. Coba
lihat, apa syarat dari seseorang yang mau mengajukan tema atau
proposal untuk tesis? Pertanyaan prinsip yang diajukan selalu "Ini
bagaimana melakukan treatment-nya? " atau "Ini bagaimana bentuk
treatment-nya? ".
>
> Seolah-olah mastery kemampuan itu ukurannya selalu ke treatment.
Ini menyiratkan semacam penyeragaman, bahwa mastery yang diakui
adalah mastery yang bisa dikaitkan dengan treatment.
>
> Padahal, dalam keluasan psike, treatment bukanlah segalanya.
Masih banyak sisi atau karakter kemampuan yang bisa dikatakan
memenuhi kualifikasi 'mastery' walau tidak ada hubungannya dengan
treatment.
>
> Kegenitan dengan 'treatment' inipun merupakan suatu bentuk
kejumawaan. Bahwa seolah kita memang memiliki hak untuk mentreatment
(at least
> 'merubah') psike seseorang. Di sini ada suatu ketakmawasan bahwa
sejak Plato hingga kini, sejatinya belum ada satupun teori atau
konsep psikologi yang bisa diletakkan sebagai paling baik dari yang
lain. Artinya, sejak 2500 tahun lalu, pemahaman manusia tentang psike
sebenarnya hanya berputar-putar di kedalaman yang itu-itu saja.
>
> Lacan pernah mengkritik pemikiran ini ketika ia menyerang
Psikologi Ego yang banyak berkembang di Amerika (dan banyak diadopsi
di sini). Kritik tajam juga pernah dikemukakan oleh Canguilhem dan
Foucault berkaitan hal yang sama.
>
> Jadi, jika organisasi profesi memang ada. Hal-hal seperti itulah
yang bagi saya penting untuk diperhatikan. Mungkin segini dulu, urun
pendapat saya
>
>
> Salam,
>
>
> Audifax
>
> Jusuf Sutanto <jusuf_sw@yahoo. co.id> wrote:
> Mas Juneman,
>
> Dalam rangka memenuhi harapan masyarakat psikologi, saya ingin
sharing pendapat dan pengalaman sbb. :
> Saya bukan psikolog tapi pemerhati Kearifan Timur yang inti
ajarannya adalah bagaimana seorang manusia bisa menjalani
kehidupannya dengan baik dalam tingkatannya yang setinggi mungkin
bagi dirinya, masyarakat dan alam sekitarnya, maka
> sudah pasti akan ketemu dengan apa yang dibicarakan dalam ilmu
psikologi.
> Namun setelah saya diminta sharing mengajar di fakultas psikologi,
segera saya menemukan kendala besar sbb. :
> Kualitas SMU (termasuk SMU unggulan, apalagi yang belum) yang
sudah terbiasa dengan cara belajar
> " mendengar-mencatat- menghafal supaya lulus ujian "
>
> Lalu mereka mendapatkan masukan ilmu eksperimental bidang mikro
seperti Freud, Pavlov, Konrand Lorenz, perilaku seksual (yang umurnya
belum sampai 100 tahun), dan semuanya berdasarkan insting sehingga
Erich Fromm bertanya : lalu apa bedanya antara manusia dengan
binatang ? Setelah itu masih ditambah lagi dengan statistik dsb
> Dari sini saja sudah ketahuan bakal bagaimana hasilnya !
> Meski berasal dari SMU unggulan, dengan kondisi seperti ini paling
banter akan menghasilkan orang buta yang setelah memegang satu bagian
dari tubuh gajah, mencoba mendiskripsikan gajah itu.
> Ilmu eksperimental tersebut pasti
> mengandung pengetahuan yang positif dan konstruktif, tapi juga
perlu dikritisi.
> Kalau kemudian dibakukan menjadi satu-satunya yang bisa disebut
ilmiah (closed ended knowledge), maka disinilah mulai terjadi
masalah. Psike, bukan physic yang bisa diukur besarannya, dan selalu
berkembang.
> Untuk memahaminya memerlukan " open ended atau augmentative, bukan
reductive-knowledge .
> Inilah pelajaran utama bagi orang yang mau memahami ilmu psikologi.
> Setelah itu baru boleh mulai mempelajari ilmu eksperimental.
>
> Itulah sebabnya F.Capra dalam buku The Turning Point, juga
mengatakan tentang perubahan paradigma yang sedang terjadi dalam
ilmu psikologi Buku-bukunya membuka peluang untuk memperkenalkan
ilmu augmentative, melalui fisika dan kearifan timur sehingga tidak
bisa begitu saja diberikan stigma ' tidak ilmiah '.
>
> Sekian dulu dan nanti disambung lagi dengan pengalaman menggosok
mahasiswa baru supaya dalam waktu singkat bisa keluar dari
> kerangkeng cara belajar dari SMU sehingga lebih bisa memahami
esensi bidang ilmu yang akan digelutinya sepanjang hidupnya.
>
> Salam,
> Jusuf Sutanto
>
>
>
>
>
> ----- Pesan Asli ----
> Dari: Juneman <juneman@gmail. com>
> Kepada: Juneman <juneman@gmail. com>
> Terkirim: Jumat, 11 Januari, 2008 2:14:45
> Topik: [psikologi_transfor matif] re: Organisasi Profesi: Sebuah
harapan
>
>
> Dear Mbak Tiwin, Mbak Kasandra, Mbak Reni, Mbak Kania, & rekans,
>
>
> terimakasih atas tanggapannya.
>
>
> Saat ini kita memiliki tak kurang dari 11 ikatan/asosiasi minat
di bawah organisasi profesi [Ikatan Psikologi Sosial (IPS), Ikatan
Psikologi Olah Raga (IPO),
> Asosiasi Psikologi Industri dan Organisasi (APIO), Ikatan
Psikologi Klinis (IPK), Asosiasi Psikologi Pendidikan Indonesia
(APPI), Ikatan Psikologi Perkembangan Indonesia (IPPI), Asosiasi
Psikologi Islami (API), Ikatan Psikoterapis Indonesia (IPI), Asosiasi
Psikologi Sekolah (APS), Asosiasi Psikologi Kesehatan Indonesia
(APKI), Asosiasi Psikologi Kristen (APK)].
>
>
> Bersama-sama dengan Pengurus Pusat & Pengurus Wilayah,
Ikatan/Asosiasi Minat, beserta seluruh anggotanya memiliki tak kurang
dari 28 (duapuluh delapan) Program Kerja yang dihasilkan dari Rapat
Kerja Pertama HIMPSI. Mohon dicermati data terlampir (tiga buah file
attachment).
>
>
> Beberapa Program Kerja dimaksud berkait dengan Persepsi komunitas
psikologi. [Di paling bawah dari email ini, saya lampirkan sejumlah
komentar dari mereka yang sedikit banyak berhubungan dengan pandangan
mereka mengenai
> kinerja organisasi profesi selama ini. FYI, sebagian di antaranya
adalah Psikolog. Catatan: Mohon berhati teduh dalam membacanya.]
Maka, mari kita refleksikan: Apa yang kita maui; kita ada di mana;
dan kita hendak kemana?
>
>
>
>
> Barangkali kita mohonkan pula kepada Pengurus Pusat, Pengurus
Wilayah, Pengurus Ikatan Minat terkait, yang tergabung di milis ini,
untuk mencerahkan kita semua mengenai perkembangan realisasi program
kerja bidang-bidang sebagaimana terlampir dalam attachment email ini.
Ini menjadi penting, karena, sebagaimana Mbak Kania
katakan, "Bukankah kita jalan di tempat, selain karena banyak
ketidaksepakatan dan politik, juga karena bahan yg tidak terkumpul
dan tidak terdistribusi?
progress-nya,
> tanpa harus menunggu periode LPJ (Laporan PertanggungJawaban) yang
formalistis itu? Mau? [ini bukan iklan "3" ya: Mau? Shalalab dum
balab...]
>
>
>
>
> ............ ......... ..
>
>
> Iya, saya setuju dengan Ibu Reni. Bahwa Persepsi tentang Dewan
Psikologi Indonesia masih beragam. Kita belum tahu benar mengenai
baik atau buruknya. Untuk itu, maka perlu kita komunikasikan persepsi
& "imajinasi" kita masing2. Dan, sebenarnya, diskusi seperti yang
dilontarkan oleh Mbak Kania yang kita tunggu dari seluruh anggota
Organisasi Profesi. Itu yang saya sebut dalam email terdahulu, bahwa
kita perlu mengesampingkan terlebih dahulu "pernyataan sikap" (yang
dapat bermuara kepada, seperti disebut Ibu Reni, "prasangka") kita
untuk menerima atau menolak Dewan ini, dan perlu dibuat kajian
akademisnya, which is perlu kerangka kerja yang pasti, komitmen, dan
proses yang cukup
> panjang. Dalam hal tersebut, alasan-alasan yang pernah kita miliki
dulu, baik alasan penerimaan atau alasan penolakan terhadap Dewan
ini, menjadi bahan pertimbangan namun mungkin kurang memadai saat
ini, atau dengan perkataan lain: perlu dikaji ulang. Oleh karena
zaman sudah berubah sejak pembahasan RUU & Dewan tersebut [Wah saya
kok ngomongin "zaman" melulu nih?] beberapa tahun yang lampau.
Sebagai contoh, dahulu, kita mungkin benar-benar "buta"
mengenai "makhluk macam apakah" Dewan Psikologi Indonesia itu. Kita
masih diliputi pertanyaan, apakah kita benar ingin bersama dengan
HIMPSI ... eh salah... [itu kan isi artikel di http://himpsijaya.
org/doc/bersama_ himpsi.doc ] ..... memikirkan sesuatu yang belum
dimiliki profesi lain. Kita tidak yakin, apakah dengan memikirkan
Dewan ini, sesungguhnya kita sedang bergerak maju ataukah malahan
bergerak mundur. Apakah memang baik memikirkannya. Ada yang jatuh
> cinta dengan Dewan (imajiner) ini sampai "ngotot"
memperjuangkannya, ada yang jatuh cinta tapi nggak berani ngomong,
ada yang dari awal "chemistry"- nya memang sudah tidak cocok dan
langsung mengerem, ada yang ingin mengkaji sungguh2, ada yang wait &
see, status quo, terancam, dan seterusnya; dan ... lagi-lagi,
tertelan perut bumi, jalan di tempat (atau duduk di tempat? atau
tidur?). Namun, sekarang ini, kita memiliki tempat
berefleksi, "tempat berkaca". Apakah itu? Yaitu Konsil Kedokteran
Indonesia (KKI). Itu yang saya sebut sebagai perlunya kita mengambil
hikmah dari pengalaman sahabat-sahabat kita dari profesi kedokteran,
untuk kita lihat kemungkinan- kemungkinannya, simetri & asimetrinya
dengan organisasi profesi kita. Maka, saya lampirkan sejumlah hal
yang berkenaan dengan story mengenai Konsil, dan Bapak Irwanto bahkan
sampai mengirimkan 3 buah file mengenai: 1) Hukum di California State
yang berkait dengan Praktek Psikologi, 2) Undang Undang
> Praktek
> Kedokteran, dan 3) ALBERTA REGULATION 72/87 - Psychology
Profession Act. [Sudah saya attach ke milis]. Demikian hal-hal
mengenai DPSI, meskipun sebenarnya keseluruhan RUU Psikologi itu
sendiri yang mau kita perhatikan.
>
>
> Nah, sekarang siapakah yang mau menjadi moderator?
>
>
> Juga, mohon tanggapan teman2 terhadap pertanyaan Mbak Kania
mengenai Majelis Psikologi:
>
>
> 1. prosedur pelaporan pelanggaran kode etik,
> 2. siapa yg menjadi anggota majelis (plus foto dan identitas),
> 3. bagaimana mereka bekerja dg hub wilayah dan pusat,
> 4. bagaimana sanksi yg mereka beri,
> 5. bagaimana prosedur pengambilan keputusan,
> 6. berapa jumlah kasus yg mereka selesaikan,
> 7. apa tanggapan mereka atas pertanyaan2 tentang kode etik, dll.
>
>
> Biar tidak meng-awan, tidak mengawang, sebagai kes (bahasa
Malaysia untuk "case"; benar ya, Mas Sarlito?), mungkin masih ada
yang ingat dengan kes ini (Sempat diperbincangkan di milis ini, di
mana foto kegiatan "Tes Wartegg" muncul di KOMPAS dan menjadi "buah
bibir") [Nama Fakultas Psikologi-nya harus saya samarkan]:
>
>
>
>
> ------------ --------- --------
>
>
> PARTISIPASI ........... DALAM PAMERAN BURSA KERJA
> DALAM RANGKA PROGRAM PROMOSI S-2
> DI GEDUNG BALAI PUSTAKA AUDITORIUM LODJIMAS, 26- 28 JUNI 2007
>
>
>
>
> Sebagai salah satu upaya proaktif untuk meningkatkan jumlah
mahasiswa program S2, maka pada tanggal 26-28 Juni 2007 tim promosi
program S2 berpartisipasi dalam acara Pameran Bursa Kerja yang
diselengkaran di Gedung Balai Pustaka, Auditorium Lodjimas. Selain
berpartisipasi dalam pameran, ........... turut mendapat kepercayaan
dari panitia penyelenggara untuk memberikan workshop singkat terkait
dengan persipan menuju profesionalisme kerja.
>
>
> Untuk itu dengan dukungan penuh dari tim Fakultas
Psikologi, ........... memberikan workshop dan simulasi psikotes
terhadap para peserta yang hadir. Tidak kurang dari 100 orang
peserta, sangat antusias mengikuti kegiatan tsb, dan terlibat secara
aktif dalam tanya jawab yang disampaikankan oleh Ibu. ........... ,
Ketua ........... .......... . Kegiatan ini mendapat perhatian dari
salah satu jurnalis KOMPAS, dan menjadi salah satu foto yang
ditampilkan pada
> Harian Nasional tsb pada tanggal 27 Juni 2007.
>
>
> Melalui kegiatan tsb pula, tim promosi S2 berhasil mendapatkan
database perusahaan yang cukup potensial untuk pengembangan kerjasama
dalam bentuk memberikan penawaran melanjutkan studi bagi para
karyawan.
>
>
> ------------ --------- ---
>
>
> Ada yang tahu mengenai kes ini dan mau share, serta relevansinya
dengan ketujuh butir di atas?
>
>
>
>
> Juga, mohon tanggapan teman2 terhadap pertanyaan Mbak Kasandra
mengenai:
> 1. Ketentuan tentang malpraktek
> 2. Enggak tau kenapa ide RUU ini hilang ditelan bumi. Tapi
kemungkinan besar karena upaya menggolkan sebuah UU juga berhubungan
dengan UUD alias Ujung-ujungnya duit.
>
>
>
> Apakah bahan2 ini mendesak untuk dikaji secara simultan?
> 1. Kode Etik Psikologi
> 2. AD/ART Himpunan Psikologi Indonesia
> 3. RUU Psikologi
>
>
>
>
> Oh iya, jangan dilupakan juga, bahwa Mbak Tyas Suci pernah
bersusah payah membuatkan kuesioner buat kita semua, khususnya
komunitas psikologi di Wilayah HIMPSI Jakarta Raya, yang bertujuan
untuk mengidentifikasi kebutuhan kita semua. Kuesioner ini seringkali
dibagikan dalam kegiatan2 HIMPSI Jaya. Berapa yang terdistribusi dan
berapa yang kembali?
>
>
>
>
> Demikian, sampai disini dulu, terimakasih.
>
>
> Mohon maaf sebelumnya.
>
>
> Salam takzim,
> Juneman
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
> Kania Hasan wrote:
>
>
> Salam takzim mas Jun. Izinkan saya memberi penghargaan tulus atas
semangatnya
> yang mudah2an tidak akan luntur. Tapi ada beberapa pertanyaan
saya. Pertama, di
> HIMPSI ada Majelis Psikologi. Apakah fungsi Dewan Psikologi tidak
akan overlap
> dgn Majelis? Apakah mengoptimalkan atau memperjelas fungsi
Majelis tidak
> menjawab kebutuhan yg kita harap dari Dewan? Artinya, kita harus
memperjelas
> Majelis dulu, sebelum menentukan penting atau tidak Dewan.
Misalnya, tidak ada
> di situs kita
> halaman prosedur pelaporan pelanggaran kode etik, dan siapa yg
> menjadi anggota majelis (plus foto dan identitas), bagaimana
mereka bekerja dg
> hub wilayah dan pusat, bagaimana sanksi yg mereka beri, bagaimana
prosedur
> pengambilan keputusan, berapa jumlah kasus yg mereka selesaikan,
apa tanggapan
> mereka atas pertanyaan2 tentang kode etik, dll. Dari sini kita
bisa lihat
> objektivitasnya. Bisa jadi Dewan juga nanti tidak punya taring
atau dipakai
> pihak luar menyalahgunakan profesi
> psikologi.
>
>
> Kedua, sepertinya diferensiasi sertifikasi tidak bisa dihindari
jika
> psikolog semakin banyak nantinya. Tapi menurut saya belum saat
ini.
> Lagipula,
> ada kemungkinan sso dapat masuk lebih dari satu peminatan.
Bagaimana? Saya tetap
> berharap psikologi maju, dan itu artinya kita meningkatkan
kompetensi,
> memperkuat organisasi, melakukan advokasi, dan lain2.
>
>
> Ketiga, tulisan mas Jun, apalagi jika terkumpul dan terdistribusi
pasti bermanfaat.
> Bukankah kita jalan di tempat, selain karena banyak
ketidaksepakatan dan politik,
> juga karena bahan yg tidak terkumpul dan tidak terdistribusi?
Wasalam. Mohon maaf. Kania
>
>
>
>
>
>
>
>
> ---
> tiwin herman wrote:
>
>
> Halo mas Juneman,
>
>
> Aku cuman bisa berdoa, semoga dirimu tetap kuat dan tabah serta
tidak pernah bosan untuk selalu mengusung ide bagi perbaikan
organisasi ini. Menurutku, pada masanya nanti...ntah kapan, pada
akhirnya yang namanya organisasi profesi 'harus punya gigi'. Mau
tidak mau. Beruntunglah yang sudah 'bergerak' (bahasanya pak Renald
Khasali) sekarang.
>
> Bahwa untuk mendapat pengakuan itu harus 'nge-link' (atau ada
dasarnya atau apalah) dengan pemerintah, aku melihat sedang
diupayakan oleh teman2 dari psikolog rumah sakit. Mudah2an segera
berhasil. Harapannya, satu bisa masuk, maka yang lain bisa punya
dasar untuk bisa mendapat pengakuan juga.
>
> Yang aku khawatirkan, ketika suatu masa tiba2 bahwa semua profesi
harus mendapat sertifikasi dari
> masing-masing organisasinya bila harus berpaktek, aku cuman berdoa
bahwa mudah2an itu cukup dengan HIMPSI saja seperti sekarang. Jadi
tidak harus bahwa yang di PIO harus melalui APIO, yang rumah sakit
harus melalui organisasi profesi di klinis, yang di sosial juga harus
melalui organisasi psikolog sosial dan sebagainya dan sebagainya.
>
> Oleh karena itu mas Juneman, harapanku besar supaya dirimu tidak
patah arang untuk selalu mendorong dan membantu mengingatkan (maklum
umur kan udah beda banget kan, jadi daya ingat, daya gerak dan daya
tahan dan beda) agar organisasi ini bisa 'bergerak'.
>
> Salam hangat,
> TH
>
>
> ---
> 2a. Re: Organisasi Profesi: Sebuah harapan
>
> Posted by: "A. Kasandra Putranto"
> Date: Wed Jan 9, 2008 7:40 pm ((PST))
>
>
> Iya ya ? He he, ketularan lupa ingatan nih.. Saya jadi pembicara
ya ?
>
> Mohon maaf, rasanya sih bukan jadi pembicara tapi kebetulan
ditodong
> untuk mempresentasikan apa yang saya ketahui tentang RUU
Psikologi yang
> waktu pertama kali saya pelajari sudah memasuki draft IV.
Kebetulan juga
> mas Rahmat Ismail (waktu itu masih menjadi ketua PP) memberikan
> kesempatan kepada saya untuk memberikan sumbang saran terhadap
draft RUU
> tersebut. Kebetulan saya punya sedikit pengalaman di bidang hukum
> jadi
> saya coba untuk mengambil kesempatan tersebut. Jadi saya bukan
cuma
> membahas RUU dengan kasih komentar bagus atau jelek atau kurang,
tapi
> ikutan memberikan masukan untuk perbaikan (bukan untuk
menghentikan,
> tapi justru maunya ikut memperjuangkan) . Dan masukan itu juga
sudah
> diterima oleh mas Rahmat Ismail, bersama-sama dengan masukan dari
> rekan-rekan yang lain, makanya draft RUU udah bergerak dari draft
4 ke 5
> bahkan sekarang (katanya) sudah ke 6.
>
> Kemudian untuk mensosialisasikan RUU ini, maka saya diminta untuk
> mempresentasikannya kepada komunitas psikologi di Jakarta. Tentu
> saja
> yang saya presentasikan adalah sisi sisi keuntungan dan kerugian
dengan
> adanya RUU ini, dengan harapan agar diolah lebih matang lagi
untuk tentu
> saja memberikan keuntungan daripada kerugian bagi komunitas
psikologi.
> Sebagai contoh : salah satu topic yang saya anggap penting adalah
> ketentuan tentang malpraktek, bahwa penyelenggaraan praktek
psikologi
> oleh orang-orang yang tidak memiliki kelayakan pendidikan,
pengalaman
> dan kewenangan profesi psikologi. Maksudnya tentu saja mengarah
kepada
> kenyataan bahwa ada beberapa biro yang justru dimiliki oleh
lulusan
> MIPA, malah mereka berani menanda tangani sebuah laporan
psikologi.
>
> Tetapi ternyata topic ini malah menjadi kontroversi antara profesi
> psikolog dan ilmuwan psikolog (walaupun sebenarnya tidak perlu,
sudah
> jelas ilmuwan psikolog tidak berhak menanda tangani laporan
psikologi),
> atau antara psikolog lulusan 'orde lama' dan 'orde baru' hanya
karena
> psikolog lulusan orde lama menolak untuk punya ijin praktek.
> Sampai-sampai muncul ide ya udah ijin praktek dibagikan begitu
saja,
> nanti kalau ada yang mau perpanjang baru diseleksi. Wah, gimana
ya.. Kok
> jadi njelimet..
>
> Terus saya ikut juga menghadap hakim Agung, Bp. Artijo Alkostar
(semoga
> spelling namanya
> gak salah). Beliau juga memberikan masukan-masukan yang
> sangat berharga. Tetapi sekali lagi enggak tau kenapa ide RUU ini
hilang
> ditelan bumi. Tapi kemungkinan besar karena upaya menggolkan
sebuah UU
> juga berhubungan dengan UUD alias Ujung-ujungnya duit. Naaaaah,
ini yang
> masih sulit. Kalau mau dilihat lagi, mungkin arsip pertemuan
dengan bp.
> Artijo bisa dibuka kembali.
>
> Kalaupun mau, mungkin kita bisa minta bantuan rekan psikolog yang
malah
> tidak menjadi psikolog, punya kantor konsultan hukum. Misalnya Eva
> Handayani dll.
>
> Mohon maaf, bila ada yang tersinggung,
> sama sekali bukan maksud
> menyinggung siapa-siapa. ..
>
>
> ---
> "A. Kasandra Putranto" wrote:
>
>
> Salute buat mas Juneman ini, saya setuju bangetââ¬Â¦.
>
>
> Setidaknya dari tulisan anda sebenanya inti permasalahan kita
sudah terjawab. Saya coba ambil pointers dari tulisan anda sbb :
>
>
> 1. komunitas psikologi, yang telah bertahun-tahun mengeluh
mengenai kinerja organisasi profesi kita sendiri.
>
>
> 2. ketika muncul gagasan antara lain mengenai perlunya Dewan
Psikologi Indonesia ---yang maksudnya tidak lain adalah untuk
mengendalikan kinerja (kualitas kerja) organisasi profesi (catatan:
secara prinsip yang ingin dikendalikan adalah kualitas kinerjanya,
bukan yang
> lain-lain)-- -, terus kita curiga, resisten, bahkan marah.
> 3. "Ya organisasi profesi kita aja kayak gitu! Mau berharap apa?"
> 4. ada saja orang-orang yang menggagas & ingin melakukan
transformasi organisasi profesi (yang disebut Ibu Kasandra
sebagai "tokoh-tokoh yang maju dan mencoba mengambil inisiatif-
inisiatif kreatif"), dibuatlah analisis ini dan itu, dan tibalah kita
pada suatu kesimpulan, "Kita belum memerlukan orang yang begitu itu
dgn ide-ide yg begitu itu! Pasti ada orang lain dgn ide-ide yang
lebih sreg buat kita."
> 5. "Kalau kita yakin bahwa kita tidak memerlukan sebuah lembaga
superbodi semacam Dewan Psikologi Indonesia, ya, terus apa, dong,
langkah2 strategis yang ingin & dapat kita lakukan? Apa yang kita
sebagai organisasi profesi janjikan terhadap kita sendiri & komunitas
psikologi?"
> 6. ââ¬Å"Kok
> Psikolog belum masuk Depkes? Ini sebuah persoalan!"
> 7. kesimpulannya, kita kayaknya senang berada di dalam vicious
circle
>
>
> Kalau kita mau coba analisa yang paling sederhana, tampaknya
memang ada sekelompok rekan psikolog yang cenderung bertahan /
konsisten tidak mau berubah pada kondisi saat ini karena berbagai
motif. Mungkin karena sudah merasa nyaman, mungkin karena merasa
tidak aman bila berubah, mungkin karena tidak percaya pada perubahan,
mungkin karena ada pengalaman masa lalu yang membuat trauma, mungkin
karena ââ¬Â¦, karena ââ¬Â¦
>
>
> Mestinya memang seperti kata mas June, kalau tidak mau Dewan
Psikologi Indonesia, ya terus apa dong ? Jangan Cuma ngerem doang,
RUU ogah, masuk Dep Kes buat apa ?, ide ini itu payah !, organisasi
kita amburadulââ¬Â¦. Lah ibarat mobil kalo udah digas, masih ngerem
terus lah kan ya nggak jalan-jalan
> mobilnyaââ¬Â¦. Apalagi kalo ngeremnya pakek hand brake, ya
mubeng-mubeng lah kita. Seperti organisasi kita mubeng-mubeng (muter-
muter) gak karuan. Terus jadi kata mas June Ya, cocoklah tulisan
Emmanuel Subangun di Jurnal Kesehatan Jiwa "Ataraxis" Edisi Perdana
November 2007: "Bangsa yang lupa ingatan". Abis mubeng-mubeng, ya
lupa ingatanââ¬Â¦. Lah wong pusingââ¬Â¦.
>
>
> Sampai saya pernah mendengar komentar seorang rekan, pedas
rasanya tapi jika dicerna lebih baik mungkin ada benarnya. Katanya,
mereka yang tidak ingin ada perubahan mohon minggir saja, biarkan
yang lain yang ingin berubah maju dan berupaya melakukan perubahan.
Karena organisasi kita ini milik bersama. Ada yang ingin berubah, ada
yang tidak ingin berubah. Mestinya harus ada win win solution,
perubahan yang mufakat dan musyawarah. Tapi bagaimana mau mufakat
kalau inti sebenarnya adalah yabng tidak mau berubah memang tidak mau
berubah, lalu memonopoli
> organisasi.
>
>
> Akhirnya seperti kata mas June lagi, Jangan pula kita lagi-lagi
harus komplain dan mengeluh di antara sesama, koq saya diperlakukan
seperti ini oleh klien, seperti itu oleh rekan sendiri, dan kenapa
koq kita tidak bisa berkiprah disitu?
> At the end, What can we do and what do we want to do ?
>
>
> Salam takzim juga, (he he, ikut2 an)
>
>
> Kasandra
>
>
> ---
> Reni Kusumawardhani wrote:
>
>
> Ada yang bosan, ada yang capek, ada yang punya semangat, ada yang
> punya pengharapan, ada yang belum tahu sehingga mencari tahu, ada
yang baru mau
> mulai, ada yang... dan ada yang....dan
> semua masih mau berdiskusi disini, semoga
> bisa dimoderatori untuk menghasilkan point2 yang juga ditangkap
oleh
> organisasi sebagai itikad baik. Persepsi tentang Dewan Psi
Indonesia masih
> beragam karena memang belum betul-betul jelas bagi kita semua.
Kalaupun dulu ada
> yang tidak setuju, pasti ada alasannya. Sebaliknya yang setujupun
punya
> alasan. Mungkin ada yang tahu detilnya dan bisa diinformasikan
secara obyektif
> supaya diskusi tidak mengarah ke arah prasangka? Aku pribadi
senang dengan
> keaktifan tanpa lelahnya mas June. Kasandra...udah beneran mau
turun gunung nih?
> apa kabar si kecil? Dulu Kasandra pernah juga ikut sebagai
pembicara saat
> pembahasan draft RUU di Untar bersama Himpsi Jaya kan? Mungkin
masih
> inget?...... ......Aku sendiri hanya inget samar-samar. ..ihiks
masih untung
> gak lupa ingatan yaa...
>
>
>
>
>
>
>
>
> ____________ _________ _________ _________ _________ _________
_________ ______
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
> Re: Quo Vadis RUU Psikologi? - (was: Dewan Psikologi Indonesia)
>
>
> Menurut saya, kode etik profesi itu dibuat oleh asosiasi profesi
> bersangkutan dan BUKAN oleh dewan legistatif.
>
>
> Setahu saya, tiap asosiasi profesi itu BERHAK membuat KODE
> ETIK
> TERSENDIRI. Dan bahkan, kalau asosiasi profesi itu mau pecah
karena
> perbedaan pendapat diantara anggotanya, ya pecahlah. Dan tiap
pecahan
> itu berhak membuat KODE ETIK yang berlaku bagi anggota masing2.
>
>
> Masa PROFESI PSIKOLOG harus pakai UU ???? Itu TIDAK MASUK AKAL.
> Setahu saya, bahkan di AS itu TIDAK ADA UU PSIKOLOGI.
>
>
> Pendapat saya: Kalau benar ada RUU Psikologi, itu terlalu mboten2,
> begitu lho. FYI (untuk yang belom tahu), yang namanya RUU itu
digodok
> bersama dan disetujui bersama oleh DPR dan Presiden.
>
>
> Lha, apa hubungannya DPR dan Presiden ngurusin profesi psikolog?
>
> Apakah profesi psikolog itu begitu luar biasanya (mempengaruhi
> kehidupan orang banyak) sehingga harus diatur oleh UNDANG2 ???
>
>
> The answer is NO. So, yang namanya "RUU PSIKOLOGI" is NONSENSE.
>
>
> Wis, gitu aja.
>
>
> Leo
> ---
>
>
> 1e. Re: Quo Vadis RUU Psikologi? -
> Posted by: "Nur Agustinus"
> Date: Sun Jan 6, 2008 4:06 pm ((PST))
>
>
>
>
> Benar sekali, dan sedihnya adalah kebutuhan power terhadap sesama
psikolog
> (atau yang mereka bedakan sebagai sarjana atau ahli psikologi)
yang
> lain.
>
>
> Itu sebabnya saya sudah banting setir dari psikolog jadi ufolog.
Saya sudah
> menganggap psikologi sebagai bidang yang saya minati aja, bukan
untuk
> karier. Sudah sejak saya kuliah di tahun 1983, urusan seperti ini
tidak
> selesai. Bayangkan... ., lebih dari 20 tahun! Kalaupun itu
dianggap
> perjuangan, maka benar-benar perjuangan yang panjang (serta tidak
ada
> gunanya).
>
>
> Salam,
> nur agustinus
> ---
>
>
>
>
> 1f. Re: Quo Vadis RUU Psikologi? -
> Posted by: "Koechink Garoenk"
> Date: Sun Jan 6, 2008 4:06 pm ((PST))
>
>
> Aku bantu mas/mbak juneman memberikan penjelasan,
>
>
> salah satu contoh yang praktis dan kongkrit alasan perlunya
undang-undang psi di lingkungan indonesia adalah masalah penyalah
> gunaan pemakaian tes psikologi. Anda bisa bayangkan jika yang
menggunakan tes psikologi adalah orang yang tidak kompeten maka yang
> dirugikan adalah klien atau pengguna jasa psikologi tersebut
maka laporannya akan melantur. Parahnya, laporan yang ngelantur itu
> dipercaya (karena tidak berpikir). Akibatnya malah merugikan
klien itu. Makanya dengan adanya UU diharapkan klien lebih dilindungi
> hak-hak nya. Jadi tidak ada power-power an.
>
>
>
> Yang lain mungkin bisa menambahkan, monggo....
>
>
> Salam
> ---
>
>
> 1g. Re: Quo Vadis RUU Psikologi? -
> Posted by: "Nur Agustinus"
> Date: Sun Jan 6, 2008 4:12 pm ((PST))
>
>
> From: "Koechink Garoenk"
> > salah satu contoh yang praktis dan kongkrit alasan perlunya
undang-undang
> psi di lingkungan indonesia adalah masalah penyalah gunaan
pemakaian tes
> psikologi. Anda bisa bayangkan jika yang menggunakan tes
psikologi adalah
> orang yang tidak kompeten maka yang dirugikan adalah klien atau
> pengguna
> jasa psikologi tersebut maka laporannya akan melantur. Parahnya,
laporan
> yang ngelantur itu dipercaya (karena tidak berpikir). Akibatnya
malah
> merugikan klien itu. Makanya dengan adanya UU diharapkan klien
lebih
> dilindungi hak-hak nya. Jadi tidak ada power-power an.
>
>
>
>
> Justru itu! Dengan intrik busuknya, pendidikan psikologi dikebiri
sehingga
> lulusan sarjana psikologi jadi dibuat tidak kompeten. Benar-benar
> menyedihkan!
>
>
> Generasi yang senior, merasa dirinya kompeten sebab mereka
belajar ilmunya
> sulit. Yang lulusan sekarang, karena kurikulumnya dipangkas, jadi
mereka
>
> dianggap tidak kompeten. Dulu untuk bisa dianggap kompeten harus
ikut
> pelatihan psikodiagnostik. Kemudian diubah menjadi program
profesi, lalu
> diubah lagi menjadi harus ikut s2 program profesi.
>
>
> Buat saya, beruntung saya sudah lulus sejak dulu sebelum hal ini
ribut.
>
>
> Konyol. Saya setuju Bang JH, bahwa ini masalah power dan juga
ekonomi alias
> persoalan cari rejeki.
>
>
> salam,
> nur agustinus
>
>
> ---
>
>
>
>
> 1a. Re: Quo Vadis RUU Psikologi? -
> Posted by: "toge aprilianto"
> Date: Mon Jan 7, 2008 1:19 am ((PST))
>
>
> Sepertinya, pokok persoalannya ada di integritas diri.
>
>
> Kalo saya sebagai individu sangat paham bahwa diri saya tidak
memiliki
> kompetensi, maka, bila saya punya integritas diri yang cukup,
saya tidak
> akan melakukan tindakan yang berkaitan dengan bidang yang tidak
saya kuasai
> itu.
>
>
> Dengan demikian, kalo kita masing-masing memiliki integritas
diri, maka ya
> tidak ada yang perlu dikuatirin. Soalnya, ga akan ada orang nipu
ato njebak
> ato malah ngrasa tau.
>
>
> Lebih jauh, sekali lagi, teori itu kan soal kesepakatan.
> contoh: skor IQ
> yang disebut rata-rata, sekarang juga uda bergeser normanya.
Salah satunya
> ya karena perbaikan gizi sehingga tingkat kecerdasan orang pada
umumnya juga
> meningkat, dibanding rata-rata orang jaman dulu.
>
>
> Demikian halnya dengan undang-undang, itu perkara kesepakatan
aja. masalah
> yang perlu diperhatikan, tiap kita punya kepentingan, makanya
walopun uda
> berpuluh taun ya tetep ga bisa jadi sepakat. ;)
>
>
> Usulku, wilayah kesepakatannya dibatesin aja. pokok antara
psikolog dan
> klien tercapai kesepakatan, ya semua tindakan psikologis yang
dilakukan bisa
> disebut "beres". Seperti penjual dan pembeli, asal
> sepakat ya semua beres.
> Kalo ga sepakat ya ga jadi transaksi. Hehe.. hehe..
>
>
> Salam,
> ge
>
>
>
>
> ---
>
>
> 1b. Re: Quo Vadis RUU Psikologi? -
> Posted by: "diantini viatrie"
> Date: Mon Jan 7, 2008 1:33 am ((PST))
>
>
> hahahaha...bener juga nih. pola pikir praktis ala pedagang begini
memang layak dipertimbangkan. jadi ingat, bukankah utk tiap
> tindakan psikologis perlu
> ada informed consent?
>
> diane.
>
>
> ============ ==
>
>
> toge aprilianto wrote:
>
>
>
>
>
> Usulku, wilayah kesepakatannya dibatesin aja. pokok antara
psikolog dan
> klien tercapai kesepakatan, ya semua tindakan psikologis yang
dilakukan bisa
> disebut "beres". Seperti penjual dan pembeli, asal sepakat ya
semua beres.
> Kalo ga sepakat ya ga jadi transaksi. Hehe.. hehe..
>
>
> Salam,
> ge
>
>
>
>
> ---
>
>
> 1c. Re: Quo Vadis RUU Psikologi? -
>
> Posted by: "Nur Agustinus"
> Date: Mon Jan 7, 2008 2:06 am ((PST))
>
>
> Sebenarnya sih...
>
>
> ...
>
>
> Dari dulu, puluhan tahun, ribut sendiri.... Kalau emang
> nggak bisa kompak, kan lebih baik jalan sendiri-sendiri aja.
>
>
> Salam,
> nur agustinus
>
>
>
>
> ---
>
>
> 1d. Re: Quo Vadis RUU Psikologi? -
> Posted by: "chEetHa"
> Date: Mon Jan 7, 2008 2:44 am ((PST))
>
>
>
>
>
>
>
> Nur Agustinus wrote:
> Justru itu! Dengan intrik busuknya, pendidikan psikologi
dikebiri sehingga
> lulusan sarjana psikologi jadi dibuat tidak kompeten. Benar-benar
> menyedihkan!
>
>
> Iya... Saya sendiri sebenarnya sebentar lagi menyandang sarjana.
Tapi seringkali malah merasa takut kalau harus cepat2 lulus
> karena merasa ilmu yang saya punya masih belum cukup. Masalahnya,
kalau terus2an disitu pun memang tidak akan dicukupi. Jadi ya
> paling pilihannya memang lulus jd sarajana dulu, baru terus
lanjut ke S2 - kalau mau dianggap kompeten untuk bisa terjun ke
> bidang
> psikologi -.
>
>
> ---
>
>
> 1e. Re: Quo Vadis RUU Psikologi? -
> Posted by: "Jusni Hilwan"
> Date: Mon Jan 7, 2008 3:01 am ((PST))
>
>
> diantini viatrie wrote:
> > hahahaha...bener juga nih. pola pikir praktis ala pedagang
begini memang layak dipertimbangkan. jadi ingat, bukankah utk tiap
> > tindakan psikologis perlu
> > ada informed consent?
> >
> > toge aprilianto wrote:
> >
> >
> Usulku, wilayah kesepakatannya dibatesin aja. pokok antara
psikolog dan
> > klien tercapai kesepakatan, ya semua tindakan psikologis yang
dilakukan bisa
> > disebut "beres". Seperti penjual dan pembeli, asal sepakat ya
semua beres.
> > Kalo ga sepakat ya ga jadi transaksi. Hehe.. hehe..
> >
> > Salam,
> > ge
>
>
> Yup, begitulah keadaannya di Amerika Utara sini, mau ikut
psikotest sama siapa
> keg, terserah si client dan si psikolog. Mau ikut dengan tukang
ramal ahli nujum
> atau UFOist juga dipersilahkan :-) :-).
>
>
> Jusni Hilwan
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
> ____________ _________ _________ _________ _________ _________
_________ ______
>
>
>
>
> athanasius sumardi wrote:
>
>
> Maaf, kalau boleh saya ikut menyampaikan opini tentang psikotest.
>
>
> .....
>
>
> Kita kan tidak harus 'tunduk' pada kesimpulan para pakar
psikologi
> yang melakukan psikotest. Psikologi adalah psiko + logi, berarti
ilmu
> tentang 'psiko' yang bisa dipelajari, dan berhak dipelajari dan
> dikuasai setiap orang. Kenapa psikotest harus menjadi begitu
> eksklusif seakan hanya orang berlatar belakang psikologi saja
yang
> berhak menggunakannya ? (Maaf, bukannya bermaksud kasar kepada
rekan
> yang berlatar belakang psikologi).Ibaratny a kalau kita pusing
dan
> kita obati dengan obat bebas yang kita beli di toko obat apakah
kita
> akan dituntut oleh para dokter dan pakar medis (karena yang
berhak
> menentukan jenis obat adalah para dokter dan pakar medis)?
Psikotest
> tidak untuk mem-vonis seseorang, karena moral dasar dari
psikologi
> adalah "bahwa setiap pribadi adalah unik". Saya justru ingin
mengajak
> rekan-rekan yang bukan berlatar belakang psikologi untuk tidak
>
> terpaku (dan terpesona) oleh hasil psikotest.
>
>
> Okey, rekans, apappun latar belakang pendidikannya, jangan takut
> untuk mempelajari dan menggunakan metode psikotest yang baru,
karena
> ilmu terus berkembang. Siapa tahu hasilnya malah lebih valid dan
> komprehensif dibanding metode psikotest konvensional. Who
knows ??
> So, go for it !!
>
>
> Best Regards,
> UC
>
>
> --- ahmad atori wrote:
>
>
> tetapi saya jutru lebih tertarik jika merekrut pegawai sesuai
> dengan kemampuan yang perusaahaan yang diinginkan dan kita
> pula
> gunakan. Terkadang jika intrument -alat- yang digunkan dan itu
telah
> diketahui publik dan tahu bocorannya, maka mungkin substansi
untuk
> mencari karyawan yang sesuai dengan keinginan akan menjadi sia.
>
> So, substasni jika legal dan ilegal, Sarjana Psikologi ok
kompeten,
> tetapi apa itu menjamin ???????????
>
> Olivia.Rivera@ ... wrote:
> Dear all,
> Proses seleksi dan rekrutmen bisa dilakukan oleh mereka yang
bukan
> berlatar belakang pendidikan psikologi ?
> Mungkin bisa saja, namun beberapa bulan lalu saya pernah
mengikuti
> perkulihan pembuka yang dibawakan oleh Prof. Soetarlinah (salah
satu
> pakar kognitif di Indonesia) yang menginformasikan bahwa mereka
yg
> berlatar belakang psikolog (bukan hanya sekedar sarjana
psikologi)
> yang berhak menggunakan alat-2 test, termasuk menentukan metode
> pengukuran untuk melakukan proses seleksi.
> Terlepas dari mereka yang bukan psikolog tapi bisa menggunakan
alat-
> 2 test dll. tsb. yang menjadi penekanannya adalah legal atau
tidak
> hasil yang diperoleh.
>
> salam
>
>
>
>
>
>
>
>
>
> Bergabunglah dengan orang-orang yang berwawasan, di bidang Anda
di Yahoo! Answers
>
>
>
>
>
>
>
>
> Never miss a thing. Make Yahoo your homepage.
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
> <!--
>
> #ygrp-mkp{
> border:1px solid #d8d8d8;font-
0px;padding:
> #ygrp-mkp hr{
> border:1px solid #d8d8d8;}
> #ygrp-mkp #hd{
> color:#628c2a;
height:122%;
> #ygrp-mkp #ads{
> margin-bottom:
> #ygrp-mkp .ad{
> padding:0 0;}
> #ygrp-mkp .ad a{
> color:#0000ff;
> -->
>
>
>
> <!--
>
> #ygrp-sponsor #ygrp-lc{
> font-family:
> #ygrp-sponsor #ygrp-lc #hd{
> margin:10px 0px;font-weight:
> #ygrp-sponsor #ygrp-lc .ad{
> margin-bottom:
> -->
>
>
>
> <!--
>
> #ygrp-mlmsg {font-size:13px;
sans-serif;}
> #ygrp-mlmsg table {font-size:inherit;
> #ygrp-mlmsg select, input, textarea {font:99% arial, helvetica,
clean, sans-serif;}
> #ygrp-mlmsg pre, code {font:115% monospace;}
> #ygrp-mlmsg * {line-height:
> #ygrp-text{
> font-family:
> }
> #ygrp-text p{
> margin:0 0 1em 0;}
> #ygrp-tpmsgs{
> font-family:
> clear:both;}
> #ygrp-vitnav{
> padding-top:
> #ygrp-vitnav a{
> padding:0 1px;}
> #ygrp-actbar{
> clear:both;margin:
align:right;
> #ygrp-actbar .left{
> float:left;white-
> .bld{font-weight:
> #ygrp-grft{
> font-family:
> #ygrp-ft{
> font-family:
> padding:5px 0;
> }
> #ygrp-mlmsg #logo{
> padding-bottom:
>
> #ygrp-vital{
> background-color:
> #ygrp-vital #vithd{
> font-size:77%
transform:uppercase
> #ygrp-vital ul{
> padding:0;margin:
> #ygrp-vital ul li{
> list-style-type:
> }
> #ygrp-vital ul li .ct{
> font-weight:
align:right;
> #ygrp-vital ul li .cat{
> font-weight:
> #ygrp-vital a{
> text-decoration:
>
> #ygrp-vital a:hover{
> text-decoration:
>
> #ygrp-sponsor #hd{
> color:#999;font-
> #ygrp-sponsor #ov{
> padding:6px 13px;background-
> #ygrp-sponsor #ov ul{
> padding:0 0 0 8px;margin:0;
> #ygrp-sponsor #ov li{
> list-style-type:
> #ygrp-sponsor #ov li a{
> text-decoration:
> #ygrp-sponsor #nc{
> background-color:
> #ygrp-sponsor .ad{
> padding:8px 0;}
> #ygrp-sponsor .ad #hd1{
> font-family:
size:100%;line-
> #ygrp-sponsor .ad a{
> text-decoration:
> #ygrp-sponsor .ad a:hover{
> text-decoration:
> #ygrp-sponsor .ad p{
> margin:0;}
> o{font-size:
> .MsoNormal{
> margin:0 0 0 0;}
> #ygrp-text tt{
> font-size:120%
> blockquote{margin:
> .replbq{margin:
> -->
>
>
>
>
>
>
>
>
> ____________
> Bergabunglah dengan orang-orang yang berwawasan, di di bidang Anda!
Kunjungi Yahoo! Answers saat ini juga di http://id.answers.
>
Earn your degree in as few as 2 years - Advance your career with an AS, BS, MS degree - College-Finder.net.
Change settings via the Web (Yahoo! ID required)
Change settings via email: Switch delivery to Daily Digest | Switch format to Traditional
Visit Your Group | Yahoo! Groups Terms of Use | Unsubscribe
__,_._,___
Tidak ada komentar:
Posting Komentar