Menarik sekali Mas Juneman dan Pak Jusuf,
Jika organisasi profesi psikologi memang terbentuk, saya pikir apa itu profesi dan profesionalisme mesti lebih dulu didefinsikan. Profesi, berbeda dengan Job atau Occupation. Dalam profesi ada semacam declare publickly mengenai kemampuan yang dimiliki dan tanggung jawab yang dimiliki. Kalau kata Spiderman: With the great power there must also come great responsibility". Itulah saya pikir salah satu esensi penting profesi.
Profesionalisme juga bukanlah paguyuban tempat orang kurang kerjaan ngumpul dan bikin aturan ini itu. Profesionalisme, menyiratkan selain aku memiliki kemampuan, juga sekaligus karakter kemampuanku mengundang datangnya kemampuan yang lain untuk bekerja bersamaku.
Di sinilah mestinya psikologi menyadari bagaimana ia mesti mampu mengakomodasi beragam karakteristik kemampuan dengan standar kualitas tertentu. Saya setuju dengan standar kualifikasi, tapi tak setuju dengan keragaman kemampuan.
Nah, inilah yang coba saya kritik dari Magister Profesi. Coba lihat, apa syarat dari seseorang yang mau mengajukan tema atau proposal untuk tesis? Pertanyaan prinsip yang diajukan selalu "Ini bagaimana melakukan treatment-nya?" atau "Ini bagaimana bentuk treatment-nya?".
Seolah-olah mastery kemampuan itu ukurannya selalu ke treatment. Ini menyiratkan semacam penyeragaman, bahwa mastery yang diakui adalah mastery yang bisa dikaitkan dengan treatment.
Padahal, dalam keluasan psike, treatment bukanlah segalanya. Masih banyak sisi atau karakter kemampuan yang bisa dikatakan memenuhi kualifikasi 'mastery' walau tidak ada hubungannya dengan treatment.
Kegenitan dengan 'treatment' inipun merupakan suatu bentuk kejumawaan. Bahwa seolah kita memang memiliki hak untuk mentreatment (at least 'merubah') psike seseorang. Di sini ada suatu ketakmawasan bahwa sejak Plato hingga kini, sejatinya belum ada satupun teori atau konsep psikologi yang bisa diletakkan sebagai paling baik dari yang lain. Artinya, sejak 2500 tahun lalu, pemahaman manusia tentang psike sebenarnya hanya berputar-putar di kedalaman yang itu-itu saja.
Lacan pernah mengkritik pemikiran ini ketika ia menyerang Psikologi Ego yang banyak berkembang di Amerika (dan banyak diadopsi di sini). Kritik tajam juga pernah dikemukakan oleh Canguilhem dan Foucault berkaitan hal yang sama.
Jadi, jika organisasi profesi memang ada. Hal-hal seperti itulah yang bagi saya penting untuk diperhatikan. Mungkin segini dulu, urun pendapat saya
Salam,
Audifax
Jusuf Sutanto <jusuf_sw@yahoo.co.id> wrote:
Jusuf Sutanto <jusuf_sw@yahoo.
Mas Juneman,
Dalam rangka memenuhi harapan masyarakat psikologi, saya ingin sharing pendapat dan pengalaman sbb. :
Saya bukan psikolog tapi pemerhati Kearifan Timur yang inti ajarannya adalah bagaimana seorang manusia bisa menjalani kehidupannya dengan baik dalam tingkatannya yang setinggi mungkin bagi dirinya, masyarakat dan alam sekitarnya, maka sudah pasti akan ketemu dengan apa yang dibicarakan dalam ilmu psikologi.
Namun setelah saya diminta sharing mengajar di fakultas psikologi, segera saya menemukan kendala besar sbb. :
Kualitas SMU (termasuk SMU unggulan, apalagi yang belum) yang sudah terbiasa dengan cara belajar
" mendengar-mencatat-menghafal supaya lulus ujian "
Lalu mereka mendapatkan masukan ilmu eksperimental bidang mikro seperti Freud, Pavlov, Konrand Lorenz, perilaku seksual (yang umurnya belum sampai 100 tahun), dan semuanya berdasarkan insting sehingga Erich Fromm bertanya : lalu apa bedanya antara manusia dengan binatang ? Setelah itu masih ditambah lagi dengan statistik dsb
Dari sini saja sudah ketahuan bakal bagaimana hasilnya !
Meski berasal dari SMU unggulan, dengan kondisi seperti ini paling banter akan menghasilkan orang buta yang setelah memegang satu bagian dari tubuh gajah, mencoba mendiskripsikan gajah itu.
Ilmu eksperimental tersebut pasti mengandung pengetahuan yang positif dan konstruktif, tapi juga perlu dikritisi.
Kalau kemudian dibakukan menjadi satu-satunya yang bisa disebut ilmiah (closed ended knowledge), maka disinilah mulai terjadi masalah. Psike, bukan physic yang bisa diukur besarannya, dan selalu berkembang.
Untuk memahaminya memerlukan " open ended atau augmentative, bukan reductive-knowledge.
Inilah pelajaran utama bagi orang yang mau memahami ilmu psikologi.
Setelah itu baru boleh mulai mempelajari ilmu eksperimental.
Itulah sebabnya F.Capra dalam buku The Turning Point, juga mengatakan tentang perubahan paradigma yang sedang terjadi dalam ilmu psikologi Buku-bukunya membuka peluang untuk memperkenalkan ilmu augmentative, melalui fisika dan kearifan timur sehingga tidak bisa begitu saja diberikan stigma ' tidak ilmiah '.
Sekian dulu dan nanti disambung lagi dengan pengalaman menggosok mahasiswa baru supaya dalam waktu singkat bisa keluar dari kerangkeng cara belajar dari SMU sehingga lebih bisa memahami esensi bidang ilmu yang akan digelutinya sepanjang hidupnya.
Salam,
Jusuf Sutanto
----- Pesan Asli ----
Dari: Juneman <juneman@gmail.com>
Kepada: Juneman <juneman@gmail.com>
Terkirim: Jumat, 11 Januari, 2008 2:14:45
Topik: [psikologi_transformatif] re: Organisasi Profesi: Sebuah harapan
Dear Mbak Tiwin, Mbak Kasandra, Mbak Reni, Mbak Kania, & rekans,terimakasih atas tanggapannya.Saat ini kita memiliki tak kurang dari 11 ikatan/asosiasi minat di bawah organisasi profesi [Ikatan Psikologi Sosial (IPS), Ikatan Psikologi Olah Raga (IPO), Asosiasi Psikologi Industri dan Organisasi (APIO), Ikatan Psikologi Klinis (IPK), Asosiasi Psikologi Pendidikan Indonesia (APPI), Ikatan Psikologi Perkembangan Indonesia (IPPI), Asosiasi Psikologi Islami (API), Ikatan Psikoterapis Indonesia (IPI), Asosiasi Psikologi Sekolah (APS), Asosiasi Psikologi Kesehatan Indonesia (APKI), Asosiasi Psikologi Kristen (APK)].Bersama-sama dengan Pengurus Pusat & Pengurus Wilayah, Ikatan/Asosiasi Minat, beserta seluruh anggotanya memiliki tak kurang dari 28 (duapuluh delapan) Program Kerja yang dihasilkan dari Rapat Kerja Pertama HIMPSI. Mohon dicermati data terlampir (tiga buah file attachment).Beberapa Program Kerja dimaksud berkait dengan Persepsi komunitas psikologi. [Di paling bawah dari email ini, saya lampirkan sejumlah komentar dari mereka yang sedikit banyak berhubungan dengan pandangan mereka mengenai kinerja organisasi profesi selama ini. FYI, sebagian di antaranya adalah Psikolog. Catatan: Mohon berhati teduh dalam membacanya.] Maka, mari kita refleksikan: Apa yang kita maui; kita ada di mana; dan kita hendak kemana?Barangkali kita mohonkan pula kepada Pengurus Pusat, Pengurus Wilayah, Pengurus Ikatan Minat terkait, yang tergabung di milis ini, untuk mencerahkan kita semua mengenai perkembangan realisasi program kerja bidang-bidang sebagaimana terlampir dalam attachment email ini. Ini menjadi penting, karena, sebagaimana Mbak Kania katakan, "Bukankah kita jalan di tempat, selain karena banyak ketidaksepakatan dan politik, juga karena bahan yg tidak terkumpul dan tidak terdistribusi?". Demikianlah, boleh, dong, kita mengetahui progress-nya, tanpa harus menunggu periode LPJ (Laporan PertanggungJawaban) yang formalistis itu? Mau? [ini bukan iklan "3" ya: Mau? Shalalab dum balab...]............ ......... ..Iya, saya setuju dengan Ibu Reni. Bahwa Persepsi tentang Dewan Psikologi Indonesia masih beragam. Kita belum tahu benar mengenai baik atau buruknya. Untuk itu, maka perlu kita komunikasikan persepsi & "imajinasi" kita masing2. Dan, sebenarnya, diskusi seperti yang dilontarkan oleh Mbak Kania yang kita tunggu dari seluruh anggota Organisasi Profesi. Itu yang saya sebut dalam email terdahulu, bahwa kita perlu mengesampingkan terlebih dahulu "pernyataan sikap" (yang dapat bermuara kepada, seperti disebut Ibu Reni, "prasangka") kita untuk menerima atau menolak Dewan ini, dan perlu dibuat kajian akademisnya, which is perlu kerangka kerja yang pasti, komitmen, dan proses yang cukup panjang. Dalam hal tersebut, alasan-alasan yang pernah kita miliki dulu, baik alasan penerimaan atau alasan penolakan terhadap Dewan ini, menjadi bahan pertimbangan namun mungkin kurang memadai saat ini, atau dengan perkataan lain: perlu dikaji ulang. Oleh karena zaman sudah berubah sejak pembahasan RUU & Dewan tersebut [Wah saya kok ngomongin "zaman" melulu nih?] beberapa tahun yang lampau. Sebagai contoh, dahulu, kita mungkin benar-benar "buta" mengenai "makhluk macam apakah" Dewan Psikologi Indonesia itu. Kita masih diliputi pertanyaan, apakah kita benar ingin bersama dengan HIMPSI ... eh salah... [itu kan isi artikel di http://himpsijaya. org/doc/bersama_ himpsi.doc ] ..... memikirkan sesuatu yang belum dimiliki profesi lain. Kita tidak yakin, apakah dengan memikirkan Dewan ini, sesungguhnya kita sedang bergerak maju ataukah malahan bergerak mundur. Apakah memang baik memikirkannya. Ada yang jatuh cinta dengan Dewan (imajiner) ini sampai "ngotot" memperjuangkannya, ada yang jatuh cinta tapi nggak berani ngomong, ada yang dari awal "chemistry"- nya memang sudah tidak cocok dan langsung mengerem, ada yang ingin mengkaji sungguh2, ada yang wait & see, status quo, terancam, dan seterusnya; dan ... lagi-lagi, tertelan perut bumi, jalan di tempat (atau duduk di tempat? atau tidur?). Namun, sekarang ini, kita memiliki tempat berefleksi, "tempat berkaca". Apakah itu? Yaitu Konsil Kedokteran Indonesia (KKI). Itu yang saya sebut sebagai perlunya kita mengambil hikmah dari pengalaman sahabat-sahabat kita dari profesi kedokteran, untuk kita lihat kemungkinan- kemungkinannya, simetri & asimetrinya dengan organisasi profesi kita. Maka, saya lampirkan sejumlah hal yang berkenaan dengan story mengenai Konsil, dan Bapak Irwanto bahkan sampai mengirimkan 3 buah file mengenai: 1) Hukum di California State yang berkait dengan Praktek Psikologi, 2) Undang Undang Praktek Kedokteran, dan 3) ALBERTA REGULATION 72/87 - Psychology Profession Act. [Sudah saya attach ke milis]. Demikian hal-hal mengenai DPSI, meskipun sebenarnya keseluruhan RUU Psikologi itu sendiri yang mau kita perhatikan.Nah, sekarang siapakah yang mau menjadi moderator?Juga, mohon tanggapan teman2 terhadap pertanyaan Mbak Kania mengenai Majelis Psikologi:1. prosedur pelaporan pelanggaran kode etik,2. siapa yg menjadi anggota majelis (plus foto dan identitas),3. bagaimana mereka bekerja dg hub wilayah dan pusat,4. bagaimana sanksi yg mereka beri,5. bagaimana prosedur pengambilan keputusan,6. berapa jumlah kasus yg mereka selesaikan,7. apa tanggapan mereka atas pertanyaan2 tentang kode etik, dll.Biar tidak meng-awan, tidak mengawang, sebagai kes (bahasa Malaysia untuk "case"; benar ya, Mas Sarlito?), mungkin masih ada yang ingat dengan kes ini (Sempat diperbincangkan di milis ini, di mana foto kegiatan "Tes Wartegg" muncul di KOMPAS dan menjadi "buah bibir") [Nama Fakultas Psikologi-nya harus saya samarkan]:------------ --------- --------PARTISIPASI ........... DALAM PAMERAN BURSA KERJADALAM RANGKA PROGRAM PROMOSI S-2DI GEDUNG BALAI PUSTAKA AUDITORIUM LODJIMAS, 26- 28 JUNI 2007Sebagai salah satu upaya proaktif untuk meningkatkan jumlah mahasiswa program S2, maka pada tanggal 26-28 Juni 2007 tim promosi program S2 berpartisipasi dalam acara Pameran Bursa Kerja yang diselengkaran di Gedung Balai Pustaka, Auditorium Lodjimas. Selain berpartisipasi dalam pameran, ........... turut mendapat kepercayaan dari panitia penyelenggara untuk memberikan workshop singkat terkait dengan persipan menuju profesionalisme kerja.Untuk itu dengan dukungan penuh dari tim Fakultas Psikologi, ........... memberikan workshop dan simulasi psikotes terhadap para peserta yang hadir. Tidak kurang dari 100 orang peserta, sangat antusias mengikuti kegiatan tsb, dan terlibat secara aktif dalam tanya jawab yang disampaikankan oleh Ibu. ........... , Ketua ........... .......... . Kegiatan ini mendapat perhatian dari salah satu jurnalis KOMPAS, dan menjadi salah satu foto yang ditampilkan pada Harian Nasional tsb pada tanggal 27 Juni 2007.Melalui kegiatan tsb pula, tim promosi S2 berhasil mendapatkan database perusahaan yang cukup potensial untuk pengembangan kerjasama dalam bentuk memberikan penawaran melanjutkan studi bagi para karyawan.------------ --------- ---Ada yang tahu mengenai kes ini dan mau share, serta relevansinya dengan ketujuh butir di atas?Juga, mohon tanggapan teman2 terhadap pertanyaan Mbak Kasandra mengenai:1. Ketentuan tentang malpraktek2. Enggak tau kenapa ide RUU ini hilang ditelan bumi. Tapi kemungkinan besar karena upaya menggolkan sebuah UU juga berhubungan dengan UUD alias Ujung-ujungnya duit.Apakah bahan2 ini mendesak untuk dikaji secara simultan?1. Kode Etik Psikologi2. AD/ART Himpunan Psikologi Indonesia3. RUU PsikologiOh iya, jangan dilupakan juga, bahwa Mbak Tyas Suci pernah bersusah payah membuatkan kuesioner buat kita semua, khususnya komunitas psikologi di Wilayah HIMPSI Jakarta Raya, yang bertujuan untuk mengidentifikasi kebutuhan kita semua. Kuesioner ini seringkali dibagikan dalam kegiatan2 HIMPSI Jaya. Berapa yang terdistribusi dan berapa yang kembali?Demikian, sampai disini dulu, terimakasih.Mohon maaf sebelumnya.Salam takzim,Juneman
Kania Hasan wrote:Salam takzim mas Jun. Izinkan saya memberi penghargaan tulus atas semangatnyayang mudah2an tidak akan luntur. Tapi ada beberapa pertanyaan saya. Pertama, diHIMPSI ada Majelis Psikologi. Apakah fungsi Dewan Psikologi tidak akan overlapdgn Majelis? Apakah mengoptimalkan atau memperjelas fungsi Majelis tidakmenjawab kebutuhan yg kita harap dari Dewan? Artinya, kita harus memperjelasMajelis dulu, sebelum menentukan penting atau tidak Dewan. Misalnya, tidak adadi situs kita halaman prosedur pelaporan pelanggaran kode etik, dan siapa ygmenjadi anggota majelis (plus foto dan identitas), bagaimana mereka bekerja dghub wilayah dan pusat, bagaimana sanksi yg mereka beri, bagaimana prosedurpengambilan keputusan, berapa jumlah kasus yg mereka selesaikan, apa tanggapanmereka atas pertanyaan2 tentang kode etik, dll. Dari sini kita bisa lihatobjektivitasnya. Bisa jadi Dewan juga nanti tidak punya taring atau dipakaipihak luar menyalahgunakan profesipsikologi.Kedua, sepertinya diferensiasi sertifikasi tidak bisa dihindari jikapsikolog semakin banyak nantinya. Tapi menurut saya belum saat ini. Lagipula,ada kemungkinan sso dapat masuk lebih dari satu peminatan. Bagaimana? Saya tetapberharap psikologi maju, dan itu artinya kita meningkatkan kompetensi,memperkuat organisasi, melakukan advokasi, dan lain2.Ketiga, tulisan mas Jun, apalagi jika terkumpul dan terdistribusi pasti bermanfaat.Bukankah kita jalan di tempat, selain karena banyak ketidaksepakatan dan politik,juga karena bahan yg tidak terkumpul dan tidak terdistribusi? Wasalam. Mohon maaf. Kania---tiwin herman wrote:Halo mas Juneman,Aku cuman bisa berdoa, semoga dirimu tetap kuat dan tabah serta tidak pernah bosan untuk selalu mengusung ide bagi perbaikan organisasi ini. Menurutku, pada masanya nanti...ntah kapan, pada akhirnya yang namanya organisasi profesi 'harus punya gigi'. Mau tidak mau. Beruntunglah yang sudah 'bergerak' (bahasanya pak Renald Khasali) sekarang.Bahwa untuk mendapat pengakuan itu harus 'nge-link' (atau ada dasarnya atau apalah) dengan pemerintah, aku melihat sedang diupayakan oleh teman2 dari psikolog rumah sakit. Mudah2an segera berhasil. Harapannya, satu bisa masuk, maka yang lain bisa punya dasar untuk bisa mendapat pengakuan juga.Yang aku khawatirkan, ketika suatu masa tiba2 bahwa semua profesi harus mendapat sertifikasi dari masing-masing organisasinya bila harus berpaktek, aku cuman berdoa bahwa mudah2an itu cukup dengan HIMPSI saja seperti sekarang. Jadi tidak harus bahwa yang di PIO harus melalui APIO, yang rumah sakit harus melalui organisasi profesi di klinis, yang di sosial juga harus melalui organisasi psikolog sosial dan sebagainya dan sebagainya.Oleh karena itu mas Juneman, harapanku besar supaya dirimu tidak patah arang untuk selalu mendorong dan membantu mengingatkan (maklum umur kan udah beda banget kan, jadi daya ingat, daya gerak dan daya tahan dan beda) agar organisasi ini bisa 'bergerak'.Salam hangat,TH---2a. Re: Organisasi Profesi: Sebuah harapanPosted by: "A. Kasandra Putranto"Date: Wed Jan 9, 2008 7:40 pm ((PST))Iya ya ? He he, ketularan lupa ingatan nih.. Saya jadi pembicara ya ?Mohon maaf, rasanya sih bukan jadi pembicara tapi kebetulan ditodonguntuk mempresentasikan apa yang saya ketahui tentang RUU Psikologi yangwaktu pertama kali saya pelajari sudah memasuki draft IV. Kebetulan jugamas Rahmat Ismail (waktu itu masih menjadi ketua PP) memberikankesempatan kepada saya untuk memberikan sumbang saran terhadap draft RUUtersebut. Kebetulan saya punya sedikit pengalaman di bidang hukum jadisaya coba untuk mengambil kesempatan tersebut. Jadi saya bukan cumamembahas RUU dengan kasih komentar bagus atau jelek atau kurang, tapiikutan memberikan masukan untuk perbaikan (bukan untuk menghentikan,tapi justru maunya ikut memperjuangkan) . Dan masukan itu juga sudahditerima oleh mas Rahmat Ismail, bersama-sama dengan masukan darirekan-rekan yang lain, makanya draft RUU udah bergerak dari draft 4 ke 5bahkan sekarang (katanya) sudah ke 6.Kemudian untuk mensosialisasikan RUU ini, maka saya diminta untukmempresentasikannya kepada komunitas psikologi di Jakarta. Tentu sajayang saya presentasikan adalah sisi sisi keuntungan dan kerugian denganadanya RUU ini, dengan harapan agar diolah lebih matang lagi untuk tentusaja memberikan keuntungan daripada kerugian bagi komunitas psikologi.Sebagai contoh : salah satu topic yang saya anggap penting adalahketentuan tentang malpraktek, bahwa penyelenggaraan praktek psikologioleh orang-orang yang tidak memiliki kelayakan pendidikan, pengalamandan kewenangan profesi psikologi. Maksudnya tentu saja mengarah kepadakenyataan bahwa ada beberapa biro yang justru dimiliki oleh lulusanMIPA, malah mereka berani menanda tangani sebuah laporan psikologi.Tetapi ternyata topic ini malah menjadi kontroversi antara profesipsikolog dan ilmuwan psikolog (walaupun sebenarnya tidak perlu, sudahjelas ilmuwan psikolog tidak berhak menanda tangani laporan psikologi),atau antara psikolog lulusan 'orde lama' dan 'orde baru' hanya karenapsikolog lulusan orde lama menolak untuk punya ijin praktek.Sampai-sampai muncul ide ya udah ijin praktek dibagikan begitu saja,nanti kalau ada yang mau perpanjang baru diseleksi. Wah, gimana ya.. Kokjadi njelimet..Terus saya ikut juga menghadap hakim Agung, Bp. Artijo Alkostar (semogaspelling namanya gak salah). Beliau juga memberikan masukan-masukan yangsangat berharga. Tetapi sekali lagi enggak tau kenapa ide RUU ini hilangditelan bumi. Tapi kemungkinan besar karena upaya menggolkan sebuah UUjuga berhubungan dengan UUD alias Ujung-ujungnya duit. Naaaaah, ini yangmasih sulit. Kalau mau dilihat lagi, mungkin arsip pertemuan dengan bp.Artijo bisa dibuka kembali.Kalaupun mau, mungkin kita bisa minta bantuan rekan psikolog yang malahtidak menjadi psikolog, punya kantor konsultan hukum. Misalnya EvaHandayani dll.Mohon maaf, bila ada yang tersinggung, sama sekali bukan maksudmenyinggung siapa-siapa. ..---"A. Kasandra Putranto" wrote:Salute buat mas Juneman ini, saya setuju bangetâ¦.Setidaknya dari tulisan anda sebenanya inti permasalahan kita sudah terjawab. Saya coba ambil pointers dari tulisan anda sbb :1. komunitas psikologi, yang telah bertahun-tahun mengeluh mengenai kinerja organisasi profesi kita sendiri.2. ketika muncul gagasan antara lain mengenai perlunya Dewan Psikologi Indonesia ---yang maksudnya tidak lain adalah untuk mengendalikan kinerja (kualitas kerja) organisasi profesi (catatan: secara prinsip yang ingin dikendalikan adalah kualitas kinerjanya, bukan yang lain-lain)-- -, terus kita curiga, resisten, bahkan marah.3. "Ya organisasi profesi kita aja kayak gitu! Mau berharap apa?"4. ada saja orang-orang yang menggagas & ingin melakukan transformasi organisasi profesi (yang disebut Ibu Kasandra sebagai "tokoh-tokoh yang maju dan mencoba mengambil inisiatif-inisiatif kreatif"), dibuatlah analisis ini dan itu, dan tibalah kita pada suatu kesimpulan, "Kita belum memerlukan orang yang begitu itu dgn ide-ide yg begitu itu! Pasti ada orang lain dgn ide-ide yang lebih sreg buat kita."5. "Kalau kita yakin bahwa kita tidak memerlukan sebuah lembaga superbodi semacam Dewan Psikologi Indonesia, ya, terus apa, dong, langkah2 strategis yang ingin & dapat kita lakukan? Apa yang kita sebagai organisasi profesi janjikan terhadap kita sendiri & komunitas psikologi?"6. âKok Psikolog belum masuk Depkes? Ini sebuah persoalan!"7. kesimpulannya, kita kayaknya senang berada di dalam vicious circleKalau kita mau coba analisa yang paling sederhana, tampaknya memang ada sekelompok rekan psikolog yang cenderung bertahan / konsisten tidak mau berubah pada kondisi saat ini karena berbagai motif. Mungkin karena sudah merasa nyaman, mungkin karena merasa tidak aman bila berubah, mungkin karena tidak percaya pada perubahan, mungkin karena ada pengalaman masa lalu yang membuat trauma, mungkin karena â¦, karena â¦Mestinya memang seperti kata mas June, kalau tidak mau Dewan Psikologi Indonesia, ya terus apa dong ? Jangan Cuma ngerem doang, RUU ogah, masuk Dep Kes buat apa ?, ide ini itu payah !, organisasi kita amburadulâ¦. Lah ibarat mobil kalo udah digas, masih ngerem terus lah kan ya nggak jalan-jalan mobilnyaâ¦. Apalagi kalo ngeremnya pakek hand brake, ya mubeng-mubeng lah kita. Seperti organisasi kita mubeng-mubeng (muter-muter) gak karuan. Terus jadi kata mas June Ya, cocoklah tulisan Emmanuel Subangun di Jurnal Kesehatan Jiwa "Ataraxis" Edisi Perdana November 2007: "Bangsa yang lupa ingatan". Abis mubeng-mubeng, ya lupa ingatanâ¦. Lah wong pusingâ¦.Sampai saya pernah mendengar komentar seorang rekan, pedas rasanya tapi jika dicerna lebih baik mungkin ada benarnya. Katanya, mereka yang tidak ingin ada perubahan mohon minggir saja, biarkan yang lain yang ingin berubah maju dan berupaya melakukan perubahan. Karena organisasi kita ini milik bersama. Ada yang ingin berubah, ada yang tidak ingin berubah. Mestinya harus ada win win solution, perubahan yang mufakat dan musyawarah. Tapi bagaimana mau mufakat kalau inti sebenarnya adalah yabng tidak mau berubah memang tidak mau berubah, lalu memonopoli organisasi.Akhirnya seperti kata mas June lagi, Jangan pula kita lagi-lagi harus komplain dan mengeluh di antara sesama, koq saya diperlakukan seperti ini oleh klien, seperti itu oleh rekan sendiri, dan kenapa koq kita tidak bisa berkiprah disitu?At the end, What can we do and what do we want to do ?Salam takzim juga, (he he, ikut2 an)Kasandra---Reni Kusumawardhani wrote:Ada yang bosan, ada yang capek, ada yang punya semangat, ada yangpunya pengharapan, ada yang belum tahu sehingga mencari tahu, ada yang baru maumulai, ada yang... dan ada yang....dan semua masih mau berdiskusi disini, semogabisa dimoderatori untuk menghasilkan point2 yang juga ditangkap olehorganisasi sebagai itikad baik. Persepsi tentang Dewan Psi Indonesia masihberagam karena memang belum betul-betul jelas bagi kita semua. Kalaupun dulu adayang tidak setuju, pasti ada alasannya. Sebaliknya yang setujupun punyaalasan. Mungkin ada yang tahu detilnya dan bisa diinformasikan secara obyektifsupaya diskusi tidak mengarah ke arah prasangka? Aku pribadi senang dengankeaktifan tanpa lelahnya mas June. Kasandra...udah beneran mau turun gunung nih?apa kabar si kecil? Dulu Kasandra pernah juga ikut sebagai pembicara saatpembahasan draft RUU di Untar bersama Himpsi Jaya kan? Mungkin masihinget?...... ......Aku sendiri hanya inget samar-samar. ..ihiks masih untunggak lupa ingatan yaa...____________ _________ _________ _________ _________ _________ _________ ______Re: Quo Vadis RUU Psikologi? - (was: Dewan Psikologi Indonesia)Menurut saya, kode etik profesi itu dibuat oleh asosiasi profesibersangkutan dan BUKAN oleh dewan legistatif.Setahu saya, tiap asosiasi profesi itu BERHAK membuat KODE ETIKTERSENDIRI. Dan bahkan, kalau asosiasi profesi itu mau pecah karenaperbedaan pendapat diantara anggotanya, ya pecahlah. Dan tiap pecahanitu berhak membuat KODE ETIK yang berlaku bagi anggota masing2.Masa PROFESI PSIKOLOG harus pakai UU ???? Itu TIDAK MASUK AKAL.Setahu saya, bahkan di AS itu TIDAK ADA UU PSIKOLOGI.Pendapat saya: Kalau benar ada RUU Psikologi, itu terlalu mboten2,begitu lho. FYI (untuk yang belom tahu), yang namanya RUU itu digodokbersama dan disetujui bersama oleh DPR dan Presiden.Lha, apa hubungannya DPR dan Presiden ngurusin profesi psikolog?Apakah profesi psikolog itu begitu luar biasanya (mempengaruhikehidupan orang banyak) sehingga harus diatur oleh UNDANG2 ???The answer is NO. So, yang namanya "RUU PSIKOLOGI" is NONSENSE.Wis, gitu aja.Leo---1e. Re: Quo Vadis RUU Psikologi? -Posted by: "Nur Agustinus"Date: Sun Jan 6, 2008 4:06 pm ((PST))Benar sekali, dan sedihnya adalah kebutuhan power terhadap sesama psikolog(atau yang mereka bedakan sebagai sarjana atau ahli psikologi) yang lain.Itu sebabnya saya sudah banting setir dari psikolog jadi ufolog. Saya sudahmenganggap psikologi sebagai bidang yang saya minati aja, bukan untukkarier. Sudah sejak saya kuliah di tahun 1983, urusan seperti ini tidakselesai. Bayangkan... ., lebih dari 20 tahun! Kalaupun itu dianggapperjuangan, maka benar-benar perjuangan yang panjang (serta tidak adagunanya).Salam,nur agustinus---1f. Re: Quo Vadis RUU Psikologi? -Posted by: "Koechink Garoenk"Date: Sun Jan 6, 2008 4:06 pm ((PST))Aku bantu mas/mbak juneman memberikan penjelasan,salah satu contoh yang praktis dan kongkrit alasan perlunya undang-undang psi di lingkungan indonesia adalah masalah penyalahgunaan pemakaian tes psikologi. Anda bisa bayangkan jika yang menggunakan tes psikologi adalah orang yang tidak kompeten maka yangdirugikan adalah klien atau pengguna jasa psikologi tersebut maka laporannya akan melantur. Parahnya, laporan yang ngelantur itudipercaya (karena tidak berpikir). Akibatnya malah merugikan klien itu. Makanya dengan adanya UU diharapkan klien lebih dilindungihak-hak nya. Jadi tidak ada power-power an.Yang lain mungkin bisa menambahkan, monggo....Salam---1g. Re: Quo Vadis RUU Psikologi? -Posted by: "Nur Agustinus"Date: Sun Jan 6, 2008 4:12 pm ((PST))From: "Koechink Garoenk"> salah satu contoh yang praktis dan kongkrit alasan perlunya undang-undangpsi di lingkungan indonesia adalah masalah penyalah gunaan pemakaian tespsikologi. Anda bisa bayangkan jika yang menggunakan tes psikologi adalahorang yang tidak kompeten maka yang dirugikan adalah klien atau penggunajasa psikologi tersebut maka laporannya akan melantur. Parahnya, laporanyang ngelantur itu dipercaya (karena tidak berpikir). Akibatnya malahmerugikan klien itu. Makanya dengan adanya UU diharapkan klien lebihdilindungi hak-hak nya. Jadi tidak ada power-power an.Justru itu! Dengan intrik busuknya, pendidikan psikologi dikebiri sehinggalulusan sarjana psikologi jadi dibuat tidak kompeten. Benar-benarmenyedihkan!Generasi yang senior, merasa dirinya kompeten sebab mereka belajar ilmunyasulit. Yang lulusan sekarang, karena kurikulumnya dipangkas, jadi merekadianggap tidak kompeten. Dulu untuk bisa dianggap kompeten harus ikutpelatihan psikodiagnostik. Kemudian diubah menjadi program profesi, laludiubah lagi menjadi harus ikut s2 program profesi.Buat saya, beruntung saya sudah lulus sejak dulu sebelum hal ini ribut.Konyol. Saya setuju Bang JH, bahwa ini masalah power dan juga ekonomi aliaspersoalan cari rejeki.salam,nur agustinus---1a. Re: Quo Vadis RUU Psikologi? -Posted by: "toge aprilianto"Date: Mon Jan 7, 2008 1:19 am ((PST))Sepertinya, pokok persoalannya ada di integritas diri.Kalo saya sebagai individu sangat paham bahwa diri saya tidak memilikikompetensi, maka, bila saya punya integritas diri yang cukup, saya tidakakan melakukan tindakan yang berkaitan dengan bidang yang tidak saya kuasaiitu.Dengan demikian, kalo kita masing-masing memiliki integritas diri, maka yatidak ada yang perlu dikuatirin. Soalnya, ga akan ada orang nipu ato njebakato malah ngrasa tau.Lebih jauh, sekali lagi, teori itu kan soal kesepakatan. contoh: skor IQyang disebut rata-rata, sekarang juga uda bergeser normanya. Salah satunyaya karena perbaikan gizi sehingga tingkat kecerdasan orang pada umumnya jugameningkat, dibanding rata-rata orang jaman dulu.Demikian halnya dengan undang-undang, itu perkara kesepakatan aja. masalahyang perlu diperhatikan, tiap kita punya kepentingan, makanya walopun udaberpuluh taun ya tetep ga bisa jadi sepakat. ;)Usulku, wilayah kesepakatannya dibatesin aja. pokok antara psikolog danklien tercapai kesepakatan, ya semua tindakan psikologis yang dilakukan bisadisebut "beres". Seperti penjual dan pembeli, asal sepakat ya semua beres.Kalo ga sepakat ya ga jadi transaksi. Hehe.. hehe..Salam,ge---1b. Re: Quo Vadis RUU Psikologi? -Posted by: "diantini viatrie"Date: Mon Jan 7, 2008 1:33 am ((PST))hahahaha...bener juga nih. pola pikir praktis ala pedagang begini memang layak dipertimbangkan. jadi ingat, bukankah utk tiaptindakan psikologis perluada informed consent?diane.============ ==toge aprilianto wrote:Usulku, wilayah kesepakatannya dibatesin aja. pokok antara psikolog danklien tercapai kesepakatan, ya semua tindakan psikologis yang dilakukan bisadisebut "beres". Seperti penjual dan pembeli, asal sepakat ya semua beres.Kalo ga sepakat ya ga jadi transaksi. Hehe.. hehe..Salam,ge---1c. Re: Quo Vadis RUU Psikologi? -Posted by: "Nur Agustinus"Date: Mon Jan 7, 2008 2:06 am ((PST))Sebenarnya sih......Dari dulu, puluhan tahun, ribut sendiri.... Kalau emangnggak bisa kompak, kan lebih baik jalan sendiri-sendiri aja.Salam,nur agustinus---1d. Re: Quo Vadis RUU Psikologi? -Posted by: "chEetHa"Date: Mon Jan 7, 2008 2:44 am ((PST))Nur Agustinus wrote:Justru itu! Dengan intrik busuknya, pendidikan psikologi dikebiri sehinggalulusan sarjana psikologi jadi dibuat tidak kompeten. Benar-benarmenyedihkan!Iya... Saya sendiri sebenarnya sebentar lagi menyandang sarjana. Tapi seringkali malah merasa takut kalau harus cepat2 luluskarena merasa ilmu yang saya punya masih belum cukup. Masalahnya, kalau terus2an disitu pun memang tidak akan dicukupi. Jadi yapaling pilihannya memang lulus jd sarajana dulu, baru terus lanjut ke S2 - kalau mau dianggap kompeten untuk bisa terjun ke bidangpsikologi -.---1e. Re: Quo Vadis RUU Psikologi? -Posted by: "Jusni Hilwan"Date: Mon Jan 7, 2008 3:01 am ((PST))diantini viatrie wrote:> hahahaha...bener juga nih. pola pikir praktis ala pedagang begini memang layak dipertimbangkan. jadi ingat, bukankah utk tiap> tindakan psikologis perlu> ada informed consent?>> toge aprilianto wrote:>> Usulku, wilayah kesepakatannya dibatesin aja. pokok antara psikolog dan> klien tercapai kesepakatan, ya semua tindakan psikologis yang dilakukan bisa> disebut "beres". Seperti penjual dan pembeli, asal sepakat ya semua beres.> Kalo ga sepakat ya ga jadi transaksi. Hehe.. hehe..>> Salam,> geYup, begitulah keadaannya di Amerika Utara sini, mau ikut psikotest sama siapakeg, terserah si client dan si psikolog. Mau ikut dengan tukang ramal ahli nujumatau UFOist juga dipersilahkan :-) :-).Jusni Hilwan____________ _________ _________ _________ _________ _________ _________ ______athanasius sumardi wrote:Maaf, kalau boleh saya ikut menyampaikan opini tentang psikotest......Kita kan tidak harus 'tunduk' pada kesimpulan para pakar psikologiyang melakukan psikotest. Psikologi adalah psiko + logi, berarti ilmutentang 'psiko' yang bisa dipelajari, dan berhak dipelajari dandikuasai setiap orang. Kenapa psikotest harus menjadi begitueksklusif seakan hanya orang berlatar belakang psikologi saja yangberhak menggunakannya ? (Maaf, bukannya bermaksud kasar kepada rekanyang berlatar belakang psikologi).Ibaratny a kalau kita pusing dankita obati dengan obat bebas yang kita beli di toko obat apakah kitaakan dituntut oleh para dokter dan pakar medis (karena yang berhakmenentukan jenis obat adalah para dokter dan pakar medis)? Psikotesttidak untuk mem-vonis seseorang, karena moral dasar dari psikologiadalah "bahwa setiap pribadi adalah unik". Saya justru ingin mengajakrekan-rekan yang bukan berlatar belakang psikologi untuk tidakterpaku (dan terpesona) oleh hasil psikotest.Okey, rekans, apappun latar belakang pendidikannya, jangan takutuntuk mempelajari dan menggunakan metode psikotest yang baru, karenailmu terus berkembang. Siapa tahu hasilnya malah lebih valid dankomprehensif dibanding metode psikotest konvensional. Who knows ??So, go for it !!Best Regards,UC--- ahmad atori wrote:tetapi saya jutru lebih tertarik jika merekrut pegawai sesuaidengan kemampuan yang perusaahaan yang diinginkan dan kita pulagunakan. Terkadang jika intrument -alat- yang digunkan dan itu telahdiketahui publik dan tahu bocorannya, maka mungkin substansi untukmencari karyawan yang sesuai dengan keinginan akan menjadi sia.So, substasni jika legal dan ilegal, Sarjana Psikologi ok kompeten,tetapi apa itu menjamin ???????????Olivia.Rivera@ ... wrote:Dear all,Proses seleksi dan rekrutmen bisa dilakukan oleh mereka yang bukanberlatar belakang pendidikan psikologi ?Mungkin bisa saja, namun beberapa bulan lalu saya pernah mengikutiperkulihan pembuka yang dibawakan oleh Prof. Soetarlinah (salah satupakar kognitif di Indonesia) yang menginformasikan bahwa mereka ygberlatar belakang psikolog (bukan hanya sekedar sarjana psikologi)yang berhak menggunakan alat-2 test, termasuk menentukan metodepengukuran untuk melakukan proses seleksi.Terlepas dari mereka yang bukan psikolog tapi bisa menggunakan alat-2 test dll. tsb. yang menjadi penekanannya adalah legal atau tidakhasil yang diperoleh.salam
Bergabunglah dengan orang-orang yang berwawasan, di bidang Anda di Yahoo! Answers
Never miss a thing. Make Yahoo your homepage.
MARKETPLACE
Earn your degree in as few as 2 years - Advance your career with an AS, BS, MS degree - College-Finder.net.
Change settings via the Web (Yahoo! ID required)
Change settings via email: Switch delivery to Daily Digest | Switch format to Traditional
Visit Your Group | Yahoo! Groups Terms of Use | Unsubscribe
.
__,_._,___
Tidak ada komentar:
Posting Komentar