Jangan kaget, judul di atas itu bukan judul buatan saya, tapi judul sebuah artikel yg diforward oleh seorang sohib Arsitek... Jadi kalau ada yg ngedumel menganggap judul itu ½menghina bangsa½ (lirak lirik ke Mas Ass Ass kwakkwakkwak :-D... Silahkan ngomel sama yg nulis artikelnya... Ngomel kesaya juga boleh, paling-paling gua ngakak...
Dan, kepada sohib sepadepokan, dipersori-maafkan karena belakangan sedang absen. Soale lagi ikut neropong halaman belakang rumah di kampung... Berikut diskusi di milis lokal...
Lampiran:
Di Makassar ada kanal... (tentunya dgn tidak mengenyampingkan fungsi vital area resapan yg semakin hari semakin menipis...)
Apakah kanal itu berfungsi secara optimal? Kalau tidak...
1. Salahnya di mana?
2. Apa tanggung jawab pemerintah, termasuk disainer dan kontraktornya?
3. Apa ada mekanisme dan saluran (termasuk saluran dan mekanisme hukum) bagi warga kota untuk:
3.a. Memonitor setiap pelaksanaan proyek fasilitas publik?
3.b. Mengevaluasi proyek-proyek yg telah dilaksanakan oleh pemerintah, OLEH masing-masing BIDANG/PROFESI TERKAIT dalam kota?
Selebihnya, apakah ada upaya-upaya untuk mengarahkan lembaga-lembaga independent non government untuk -setidaknya- melirik aspek perkembangan kota dan kaitannya dgn lingkungan hidup? Mengingat hampir semua lembaga ngo, mempunyai program yg telah tersetting oleh funding masing-masing, dimana umumnya program tersebut berada di luar kota...
Jakarta adalah contoh ketimpangan yg sudah cukup parah, padahal SEMUA INSTITUSI INTELEKTUAL MODERN BERPUSAT DI KOTA TERSEBUT.
Antara Makassar dan Jakarta, ibarat ½kita bisa serumah tapi tidak harus berpakaian yg sama½... Harap kritik ini disikapi dalam konteks dan level ½kota½ (baik kota Jakarta, maupun kota Makassar sendiri) bukan dalam konteks antar individu... Agar tidak terkesan adanya generalisasi... Ntar dijitak ama Mr. Alexander;-)
Apakah kanal itu berfungsi secara optimal? Kalau tidak...
1. Salahnya di mana?
2. Apa tanggung jawab pemerintah, termasuk disainer dan kontraktornya?
3. Apa ada mekanisme dan saluran (termasuk saluran dan mekanisme hukum) bagi warga kota untuk:
3.a. Memonitor setiap pelaksanaan proyek fasilitas publik?
3.b. Mengevaluasi proyek-proyek yg telah dilaksanakan oleh pemerintah, OLEH masing-masing BIDANG/PROFESI TERKAIT dalam kota?
Selebihnya, apakah ada upaya-upaya untuk mengarahkan lembaga-lembaga independent non government untuk -setidaknya- melirik aspek perkembangan kota dan kaitannya dgn lingkungan hidup? Mengingat hampir semua lembaga ngo, mempunyai program yg telah tersetting oleh funding masing-masing, dimana umumnya program tersebut berada di luar kota...
Jakarta adalah contoh ketimpangan yg sudah cukup parah, padahal SEMUA INSTITUSI INTELEKTUAL MODERN BERPUSAT DI KOTA TERSEBUT.
Antara Makassar dan Jakarta, ibarat ½kita bisa serumah tapi tidak harus berpakaian yg sama½... Harap kritik ini disikapi dalam konteks dan level ½kota½ (baik kota Jakarta, maupun kota Makassar sendiri) bukan dalam konteks antar individu... Agar tidak terkesan adanya generalisasi.
Mungkin kalau ada kota yg layak jadi percontohan, Makassar dan Jakarta sewajarnya belajar ke situ... Gimana khabar di Pekalongan, Mas Edy?...
Tanggapan di atas untuk menanggapi postingan seorang Arsitek, dalam thread ½Dari milis Tetangga½, berikut:
so, bagaimana dengan makassar? soalnya slama ini arsitektur makassar serasa ndak berkutik, terutama dalam campur tangannya ke dalam kebijakan pemerintah daerah!
Herman Van Breen, Banjir Jakarta, dan Inlander Bodoh
Tahukah anda, bahwa pada tahun 1918, Prof. Dr. Herman Van Breen ditugaskan oleh Departement Waterstaat pemerintah Hindia Belanda untuk melakukan studi pencegahan banjir di Batavia. Akhirnya, Van Breen melahirkan sebuah konsep spektakuler dan visioner pada jaman itu yang dikenal dengan proyek Banjir Kanal Barat dan Banjir Kanal Timur. Ide konsep itu sederhana, yaitu membatasi volume air yang masuk ke Batavia melalui 13 sungai, diantaranya Sungai Cakung, Jati Kramat, Buaran, Sunter, Cipinang, Ciliwung, Cideng, Krukut, Grogol, Sekretaris, Pesanggrahan, Mookervart, dan Angke. Selanjutnya, limpahan debit air akan dibuang melalui sisi kiri dan kanan kota ke laut.
Pada tahun 1922, dimulailah pembangunan tahap pertama, yaitu Banjir Kanal Barat. Setelah Indonesia merdeka, Mimpi Herman Van Breen untuk melanjutkan pembangunan Banjir Kanal Timur sebagai tahap kedua untuk membebaskan Batavia dari banjir tidak pernah terwujud. Proyek Banjir Kanal Timur baru disahkan dalam rencana Tata Kota DKI pada tahun 1973. Sekarang sudah 34 tahun Banjir Kanal Timur masuk rencana Tata Kota DKI, tetapi hanya 7 km dari 23 km dalam rencana Banjir Kanal Timur yang sudah digali.
Betapa visionernya rencana Van Breen, saat itu luas Batavia hanya 2.500 Ha, tetapi sudah membuat rencana penggalian Kanal Barat dan Timur sebesar itu. Proyek Banjir Kanal Barat yang berhasil diwujudkannya telah menyelamatkan wilayah Batavia dari banjir selama 40 tahun. Sekarang wilayah Jakarta sudah seluas 65.000 Ha atau 26 kali Batavia, tetapi bukannya Banjir Kanal Timur diwujudkan, malah Banjir Kanal Barat tidak pernah dipelihara dengan baik dan diperluas.
Sutiyoso beralasan bahwa untuk mewujudkan Banjir Kanal Timur dibutuhkan dana yang sangat besar, yaitu sekitar 4,9 Trilyun dan Pemda DKI tidak mampu menyediakan dana sebesar itu. Tetapi tahukah anda bahwa proyek Busway 40 koridor menghabiskan dana 21 Trilyun dan harus diselesaikan selama dua tahun. Padahal busway yang direncanakan bukanlah jalur-jalur penting yang bisa mengalihkan pengendara mobil pribadi ke busway kecuali Koridor I yang melalui jalur Sudirman - Thamrin. Betapa bodohnya pemimpin bangsa ini.
Bila saja Herman Van Breen menyaksikan banjir yang menenggelamkan 2/3 Jakarta saat ini dan tidak pernah terwujudnya proyek Banjir Kanal Timur selama 89 tahun sejak dia cetuskan, pastilah dia akan menangis tersedu-sedu, "Betapa bodohnya inlander-inlander ini".
Change settings via the Web (Yahoo! ID required)
Change settings via email: Switch delivery to Daily Digest | Switch format to Traditional
Visit Your Group | Yahoo! Groups Terms of Use | Unsubscribe
.
__,_._,___
Tidak ada komentar:
Posting Komentar