Laku Seribu atau Sepuluh Ribu
------------
>> Anwar Holid
ORANG bisa bilang apa saja tentang buku yang laris atau seret, dan
mungkin pendapat kontradiktif itu sama-sama benar dari sudut pandang
masing-masing. Segi positif buku laris ialah ia menggairahkan pasar
dan menjanjikan kesuksesan bagi setiap orang yang terlibat
menggarapnya. Buku bisa laris dengan caranya sendiri, dan terkadang
tetap seret meski seratus satu cara sudah dilakukan untuk membuatnya
laku.
Orang perbukuan sering terheran-heran kenapa sebuah judul bisa laku
tapi juga kerap takjub kenapa usaha membuat buku laris gagal. Bila
sudah sulit cari alasan kenapa buku laris, mereka baru menganggap
buku itu sebagai "berkah penulis" atau "rezeki penulis", biar
pembicaraan selesai.
Simak ucapan Curtis Sittenfeld, novel debutnya Prep versi hardcover
secara mengejutkan terjual lebih dari 133.000 kopi di AS per Mei
2007, sedangkan versi paperback laku 329.000 kopi. Novel itu berkisah
tentang perkembangan jiwa remaja yang tumbuh di sekolah asrama. Waktu
belum selesai menulis, teman-teman dia meledek. "Buku tentang sekolah
asrama sudah banyak, kenapa kamu menulis itu lagi?" Tapi setelah
bukunya jadi best seller, dia dengar orang meremehkan buku
itu. "Jelas saja buku itu laris, itu kan buku tentang sekolah
asrama!" Dia hanya mesem menyimak itu. Faktanya, buku kedua dia (The
Man of My Dreams) penjualannya lebih seret, meski diterbitkan dengan
mengandalkan kesuksesan yang sudah barusan dia raih. Prakiraan dan
rencana untuk buku kedua itu meleset jauh dibandingkan uang muka yang
dia terima.
Penerbit mencintai buku, tapi mereka juga melihat buku sebagai
komoditas. Penerbit dituntut bisa menjual dan mereka suka buku yang
punya pesan pemasaran jelas. Karena itu penerbit senang dengan segala
bentuk jaminan yang bisa membuat terbitan mereka laku, baik judul
tersebut baru menang sayembara penulisan, diangkat sebagai film,
masuk dalam berbagai daftar "buku terbaik", dipuji-puji oleh kritikus
yang disegani atau diulas media terkemuka, jadi topik hangat di
berbagai milis dan blog.
Penerbit terus berusaha seakurasi mungkin mengetahui selera pasar,
tujuannya agar mereka secara persis bisa menyediakan buku yang
dibutuhkan calon pembeli, memproduksi buku sebanyak-banyaknya karena
tahu bahwa pasar bakal menyerapnya. Mereka memperhatikan dinamika
pasar, bertanya pada pemerhati buku, mendeteksi sedini mungkin ke
ceruk dan kelompok pasar khusus, bahkan kalau perlu melakukan
gebrakan pasar dan melontarkan isu kontroversial. Penerbit berusaha
mengetahui selera konsumen, yang kerap merupakan misteri besar yang
menarik namun sulit dan pelik untuk dipecahkan, sebab pertaruhan
penerbit memang di penjualan. Begitu gagal memancing dengan umpan
judul yang mereka lempar, bisnis segera bermasalah. Begitu penjualan
turun, imbasnya bisa terasa sampai ke bawah-bawah.
Menjadikan buku laris memang persoalan yang patut dipecahkan. Kalau
satu judul bisa laku ratusan ribu kopi, kenapa judul lain perlu
menunggu satu tahun untuk terjual seribu kopi? Semua orang akan
girang bila dagangannya laris, dan bakal manyun menghadapi barang
yang menumpuk di gudang. Demi melempangkan jalan agar laris, penerbit
menempuh berbagai cara, mulai dari yang biasa hingga mengejutkan.
Mereka tahu bahwa buku laris itu dipengaruhi banyak faktor. Tapi
kalau diselisik, penerbit yang bisa mendayakan berbagai faktor itu
hanya sedikit; itu jelas dipengaruhi oleh kemampuan penerbit. Misal,
sejauh ini hanya satu-dua penerbit Indonesia yang mampu beriklan
secara rutin di media massa, antara lain GPU bareng sesama kawan di
KKG, mengiklankan "Book of the Month." Meski begitu kini semua
penerbit bisa beriklan lebih murah, ialah lewat milis ataupun blog.
Ahmad Taufiq dari Ufuk Press menyatakan setidaknya ada tiga faktor
yang bisa membuat sebuah judul laku, pertama, reference's group;
kedua, word of mouth (getok tular); ketiga, buku yang "menggedor"
pembaca. Begitu satu judul memenuhi salah satu faktor---idealnya
memenuhi semua, bisa dijamin buku tersebut bakal dicari-cari orang.
Sayang kita sering dengar berita penerbit bisa malas-malasan
mendukung buku bila mereka kehilangan feeling bahwa judul tersebut
bakal laris. Kejadian menjengkelkan itu bisa menimpa siapa saja.
Penerbit sering membiarkan satu judul bertarung sendirian di toko,
melepaskan mereka menjalani tes pasar. Kalau sukses akan dicetak
ulang, kalau gagal tinggal ditunggu pulang. Padahal fakta porsi
terbesar keuntungan finansial buku jatuh ke penerbit, bukan penulis;
wajar bila penerbit yang mestinya mau mengusahakan agar produknya
laku. Mau berhasil menjual seribu atau sepuluh ribu, jelas bergantung
banyak pada keputusan penerbit bersangkutan.
ORANG bisa mereka-reka jawaban apa pun untuk setiap keberhasilan dan
kegagalan sebuah buku. Sebagian orang mengaku kepalanya mau pecah
kebingungan menjual tiga ribu kopi dalam setengah tahun, namun
sebagian lagi ternyata bisa cetak ulang tiga ribu kopi dalam
seminggu. Mana lebih menyenangkan bagi insan perbukuan? Saya berani
jamin, semua penerbit mau bukunya selaris jajanan pasar. Caranya
bagaimana? Bikin buku terbaik yang bisa memenuhi kebutuhan publik
sebanyak mungkin. Apa rahasia buku seperti itu?
"Sebagian dari buku terbaik dan paling menarik punya hal bertentangan
yang menarik dan mengejutkan,
PublicAffairs. Hal menarik dan mengejutkan itu sering jadi misteri
yang baru ketahuan setelah buku beredar, berhadap-hadapan dengan
selera publik. Orang industri percaya memang selera massa bisa
diperkenalkan dan akhirnya dibentuk, tapi mereka bingung bila
menyaksikan sebuah kebetulan meledak jadi booming, lantas jadi mode
yang massif gila-gilaan.
Note: Kolom ini awalnya dipublikasi harian Republika Minggu, rubrik
Selisik, Desember 2007.
ANWAR HOLID, penulis & penyunting, eksponen TEXTOUR, Rumah Buku
Bandung.
KONTAK: 08156140621 - (022) 2037348 | wartax@yahoo.
No. 26 B, Bandung 40141
Change settings via the Web (Yahoo! ID required)
Change settings via email: Switch delivery to Daily Digest | Switch format to Traditional
Visit Your Group | Yahoo! Groups Terms of Use | Unsubscribe
__,_._,___
Tidak ada komentar:
Posting Komentar