Nasib Eksil di Negeri Jiran
Keputusan Komnas HAM untuk membuka kasus pelanggaran HAM Kasus 1965 memang patut diacungi jempol. Selain hingga kini tragedi 1965 dengan berbagai versinya masih bisa diperdebatkan, penuntasan kasus 1965 sepertinya tidak akan bisa diungkap, karena sudah menjadi beban sejarah masa lalu.
Sebuah hasil penelitian awal disertasi mahasiswa pascasarjana Ilmu Komunikasi, Universitas Padjadjaran (Unpad), Bandung, Ari Junaedi mencoba menelisik kasus 1965 dari aspek komunikasi antarbudaya dan komunikasi politik berikut aspek psikologisnya.
Staf Khusus mantan Presiden Megawati Soekarnoputeri itu, melakukan penelitian pola komunikasi para pelarian politik tragedi 1965 di mancanegara.
Dia pun kerap ulang alik Jakarta-Beijing serta menjelajah beberapa negara di Eropa berhasil menjumpai puluhan eksil (mereka yang melarikan diri ke luar negeri akibat berbagai tingkat tekanan politik pemerintah) tragedi 1965 yang akibat kebijakan represif rezim Soeharto tidak bisa "pulang" karena mengalami pencabutan paspor.
Tatkala Soeharto naik ke puncak kekuasaan dan Bung Karno mengalami de-kekuasaan, segenap unsur-unsur pendukung kekuasaan Soekarno dilucuti satu persatu.
Akibatnya, para mahasiswa yang tengah menuntut ilmu di berbagai negara, para anggota korps diplomatik Indonesia yang bertugas di luar negeri, anggota kontingen atau utusan yang tengah muhibah "dipaksa" untuk menyatakan ikrar kesetiaan yang disodorkan masing-masing atase militer di setiap Kedutaan Besar Republik Indonesia di negeri jiran (luar negeri).
Jika mengakui rezim Soeharto, mereka diperbolehkan pulang dan paspornya diperpanjang.
Sedangkan bagi mereka yang tidak mengakui rezim Soeharto dan tetap menganggap Bung Karno sebagai pemimpin besar revolusi, paspornya tidak diperpanjang. Akibatnya mereka ini menjadi stateless alias kehilangan kewarganegaraannya.
Akibat pencabutan paspor tersebut, para eksil, mereka mencari kehidupannya sendiri-sendiri.
Itulah yang dialami mantan mahasiswa Leipzig University, Arti Armunanto (putri Menteri Pertambangan era Soekarno, Armunanto) atau Haripurnomo yang harus berputar lewat Aljazair dulu sebelum menetap di Jerman Barat.
Mencengangkan
Sangat miris ada yang sudah meraih gelar PhD, tetapi di masa tuanya harus mencari kehidupan sebagai supir taksi atau penjaga kantin sekolah di luar negeri. Namun, yang mencengangkan kata Ari kepada SP belum lama ini adalah banyaknya para eksil yang mengharumkan nama negara-negara "baru" nya.
Sebutlah nama Dr Manuaba, peletak dasar pengembangan nuklir di Hongaria, Dr Warunojati, peneliti di Max Planc Institute Jerman yang juga penyusun kamus bahasa Melanesia.
Demikian pula Bambang Soeharto lulusan Institut Pertelevisian Cekoslovakia yang pernah menjadi satu-satunya orang kelahiran non-Jerman yang sempat menjadi Direktur Westdeutscher Rundfunk (WDR) Jerman (semacam TVRI di Indonesia), Prof Ernoko Adiwasito yang menjadi mahaguru ilmu ekonomi di Venezuela, atau apoteker sukses lulusan Bulgaria yang kini bermukim di Berlin, Sri Basuki.
Ada harapan yang kini masih bergelora dari mereka para eksil, yaitu adanya permintaan maaf dari negara. Negara harus melakukan rehabilitasi terhadap korban rezim tersebut.
Di masa usia senjanya, mereka berharap bisa menghabiskan masa tuanya dan meninggal di Tanah Airnya, Indonesia. Bagi mereka, Indonesia secara psikologis adalah tumpah darahnya yang tidak mungkin bisa dihilangkan dari jati dirinya.
Ada perbedaan yang mencolok perlakuan terhadap para eksil ketika Soeharto masih bercokol dengan masa reformasi. Ketika Soeharto masih jaya, para eksil diawasi ketat bahkan diusir balik ketika mencoba masuk Indonesia walaupun mereka berpaspor negara asing.
Ketika Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menjadi Presiden, para eksil mempersilahkan mereka pulang tanpa ada kejelasan status mereka.
Pemerintahan silih berganti, namun para eksil tragedi 1965 hingga kini masih hidup tanpa kejelasan status. Mungkinkah Komnas HAM berhasil mengungkap kejelasan terjadinya pelanggaran HAM berat ataukah hanya menjadi lips service? Yang jelas, penelitian Ari tersebut, bisa menjadi membuka tabir kelam dari tragedi 1965.
[M-15]
http://suarapembaru
Last modified: 6/3/08
Never miss a thing. Make Yahoo your homepage.
Change settings via the Web (Yahoo! ID required)
Change settings via email: Switch delivery to Daily Digest | Switch format to Traditional
Visit Your Group | Yahoo! Groups Terms of Use | Unsubscribe
__,_._,___
Tidak ada komentar:
Posting Komentar