semua ilmu pasti ada manfaatnya, mungkin khusus ilmu psikologi, ini
menarik dan bermanfaat bagi non psikolog. mengapa? karena rata-
rata orang hidupnya ruwet. kalau sudah kusut, banyak yang bunuh
diri, kelaparan, stress,
kalau yang sukses seperti Ahmad Dhani, buka cabang Dewi-dewi, Mulan
Jameela, dll.
jadi?
mungkin para psikolog dan sarjana psikolog ini seperti sarjana
pertanian, harus teerjun ke lapangan,
mungkin perlu penelitian, selalin mengukur IQ dengan psikotest,
perlu indikator TINGKAT STRESS MASYARAKAT.
jangan sampai ilmu psikologi cuma hanya dipakai untuk Quick Count
saja!
salam,
Goen
--- In psikologi_transform
<jusuf_sw@..
>
> Apakah ilmu psikologi akan membawa manfaat atau mudharat bagi
manusia ?
> Kasus yang dimunculkan artificial !
> Skenarionya mengajak membahas sebuah fatamorgana ekstrem, yang
tidak akan pernah terjadi dalam keseharian spt orang memaksa pakai
koteka ketika bertamu dan orang yang muluk ketika diajak makan, dan
diharapkan bisa merubah pandangan ke-kami-an yang tidak mampu
menghargai perbedaan dengan model dekonstruksi, sebagai cara satu-
satunya untuk memperkenalkan perlunya pluralisme.
> Mind setnya seperti sebuah sepatu yang minta dipakai oleh
obyekdengan kaki yang berbeda-beda :
> kalau kakinya kebesaran, supaya obyek mau menserut kakinya ;kalau
kekecilan supaya diganjel !
> Lalu hasilnya ibarat orang yang tidak sabar menunggu ulat keluar
dari kepompong menjadi kupu-kupu, dan meniupnya sehingga akhirnya
akan lahir kupu-kupu yang sayapnya cacat !
> Pemahaman pluralisme yang dihasilkan dengan proses ini akan jauh
berbeda dengan konsep Anthropocosmic worldview yang melihat
perbedaan sebagai saling melengkapi.
>
> Kalau ini yang disebut psikologi, maka orang akan ragu-ragu
menggunakan jasa konsultasinya :
> alih-alih mendapatkan clear understanding mengenai masalah yang
dihadapinya, malahan membuat semakin keruh, karena client direduksi
untuk membenarkan sebuah teori.
>
> Mengenai hal ini, Zen master Seng Tsan (606) menulis syair singkat
sbb. :
> " When you see everything through your personal bias,
> Your view of reality is clouded ;
> Truth simply as it is, but the clouded mind cannot grasp it "
>
> Kasus ini membuat jelas latar belakang mengapa Zen semakin
mendapatkan tempat dalam pendidikan psikologi !
>
> Salam,
> Jusuf Sutanto
>
> ----- Pesan Asli ----
> Dari: audifax - <audivacx@..
> Kepada: psikologi transformatif
<psikologi_transform
mania@yahoogroups.
> Terkirim: Minggu, 9 Maret, 2008 15:35:40
> Topik: [psikologi_transfor
>
>
> Interstanding Human Being
>
>
>
>
> Oleh:
> Audifax
> Staf Peneliti di SMART Human Re-Search & Psychological Development
>
>
>
>
> Stigma adalah penyederhanaan terhadap proses pengenalan terus-
menerus terhadap Liyan (Yang-Lain). Proses itu disederhanakan ke
dalam suatu finalitas definisi. Kebaruan yang terus-menerus dari
Liyan bukan diapresiasi sebagai keindahan melainkan ancaman yang
harus dihentikan. Hambatan dinamika persentuhan sosial terjadi lewat
stigma. Ketika kita mencoba mengenal Orang-Lain [Liyan] dengan
pertama-tama mengategorikan sebagai anggota kelompok dengan stigma,
seperti: Muslim, Kristen. Keturunan Cina, Bonek dan sebagainya, maka
seperti dianalisis oleh Elias Canetti, selalu ada rasa takut untuk
bersentuhan [Berührungsangst] yang mewarnai setiap fase pengenalan.
> Sebelum saya bicara lebih jauh, ada sebuah contoh kasus menarik
yang saya ambil dari sebuah milis alumni milik sebuah Fakultas
Psikologi
> ternama di Surabaya. Bermula dari perdebatan yang saya rasa
banyak terjadi di sejumlah fakultas dengan disiplin tertentu, yaitu
soal marka berpakaian [menggunakan krah, bersepatu dan sejenisnya]
lalu muncul sebuah argumen menarik dari Hari K. Lasmono, satu-
satunya profesor di Fakultas Psikologi tersebut. Bagi saya,
perdebatan tentang marka berpakaian itu hal yang biasa, tetapi cara
Sang Profesor mengargumentasikan pentingnya berpakaian menggunakan
krah dan sepatu bisa kita jadikan renungan lebih jauh untuk kita
membahas mengenai keterbukaan terhadap pluralitas atau keterbukaan
terhadap Yang-Lain. Simak pernyataan beliau (bold saya lakukan pada
bagian penting):
> Ruuuuaaar biasa, ini baru buah pendapat yang segar dan
akomodatif, dan sangat bijak!!!!!!! !
> Apalagi keluar dari pikiran-pikiran yang masih muda belia!
Bravooooo! Saluuuuut setinggi-tingginya kepada kaum muda tetapi
berpikiran bijak dan tidak larut dan hanyut dengan pendapat yang sok
hueeebat, sok paling tahu memaknai ekspresi cara berpakaian orang,
sok pejuang HAM, apalagi mengandung fitnah seolah-olah ada aturan di
UBAYA yang mengaitkan intelektualitas atau kualitas seseorang atau
apalah namanya dengan cara berpakaian dan bersepatu. Saya cari-cari
di peraturan-peraturan UBAYA sampai berlama-lama, koq nggak
menemukan ada pimpinan UBAYA yang mengait-ngaitkan kedua masalah
itu, lhaaa koq ada pendapat yang menuduh begitu? Apa itu bukan
tergolong fitnah?????? Saya sebenarnya pengen tanya pada "pakar
kemanusiaan ---entah siapa yang berkualifikasi atau merasa begitu:
>
>
> 01.kalau ada sdr kita dari Papua sekolah di Fapsi lalu pengan
pakai pakaian adatnya dengan koteka dan yang perempuan no-bra, apa
ya kita biarkan????? ??? Apa tidak kita ajak untuk sementara memakai
busana seperti yang lain selama di UBAYA, kemudian kalau kembali
mengabdi di daerahnya baru memakai pakaian adatnya kembali?????
>
>
> 02. Bila kita diundang makan bersama seorang sahabat yang
menyediakan sendok dan garpu, pada hal kita biasa muluk
> (menyuap makanan ke mulut dengan telapak tangan) di rumah, apa
kita ya demonstratif memaksa muluk di rumah sahabat itu? Demikian
sebaliknya, kita diundang keluarga yang tak pernah memakai sendok,
apa kita menuntut sendok dan garpu yang tak dimiliki keluarga
tersebut karena kita "tak biasa" makan dengan muluk??????? ????
etc.etc.
>
>
> Masalahnya sebenarnya sederhana saja (seperti telah diungkapkan
teman-teman muda di bawah): "menghormati tuan/nyonya rumah" Apa
sesulit itukah????? Apa ilmu psikologi mengajarkan: Harus selalu
berani menentang? Harus menunjukkan kebebasan ekspresi diri dengan
segala
> cara???? Rasanya koq tidak. Tentu ada saja nanti yang bertanya:
kalau tamu diminta menghormati aturan tuan rumah, kenapa tuan rumah
tidak menghormati tamu, yang pakai koteka keq, yang pamer pusar keq,
yang pakai sandal keq, yang pamer lutut keq, yang pamer ini , pamr
itu, pokoknya yang pamer ke-aku-annya itu, itu 'kan hak asasinya,
apa kaitannya dengan ilmu, apa kaitannya dengan nilai-nilai
kemanusiaan, yang penting kan batinnya, pakaian sejelek apapun yang
penting 'kan hatinya yang putih bersih? Apa pakaian rapi berdasi
menjamin hati yang bersih, buktinya para penjahat, para koruptor
berpakaian bersih tetapi hatinya justru busuk dsb dsb dsb.
>
>
> Kita tunggu aja, pasti akan hujan makian, olok-olok, sindiran en
sebagainya. Demi FPsi dan UBAYA tercinta (karena aturan itu bukan
dari dekanat tetapi dari UBAYA) saya rela koq dihujani "sampah"
pendapat-pendapat yang (sok) pinter-pinter dan sok menggurui itu.
>
>
> Maaf adik-adik bijak, agak ngalor ngidul, en saya belum mampu
mewarisi kebijakan dan kematangan sikap dan kata-kata kalian,
maklum, udah pikun, hehehe.i
>
>
>
> Di situ ada sesuatu yang menarik, yaitu bagaimana Hari Lasmono
mengekstrimkan situasi dengan menghadirkan contoh yang tak ada di
komunitas yang tengah berdebat soal marka berpakaian itu, yaitu
âOrang Papuaâ. Apa salahnya orang Papua hingga ia perlu
dihadirkan sebagai contoh yang perlu âdinormalkanâ dalam masalah
yang bukan urusan mereka?
> Saya sendiri ragu jika profesor Hari K Lasmono dengan
> kejernihan etis âCogito Ergo Sumâ-nya, mau berinisiatif
menggunakan koteka jika suatu ketika datang ke Papua. Tapi terlepas
dari itu, cara berargumentasi dengan menghadirkan contoh âOrang
Papuaâ [yang tentu saja menjadi Yang-Lain dari Kami-Yang-Sama di
UBAYA] adalah sebuah penghadiran hirarki penampilan yang menempatkan
Orang Papua pada posisi Yang-Lain yang tak pantas menampilkan
kelainannya di hadapan âAkuâ.
> Melalui contoh kasus di atas, kita akan mencoba memahami lebih
jauh bagaimana Yang-Sama tak memiliki keberanian untuk menyelami
Liyan. Dalam Kami-Yang-Sama, Aku tak mengenali Liyan dalam
singularitas sebagai Sari, Diaz, Regy, melainkan sebagai sesuatu
yang telah Aku totalisasi dalam kesamaannya melalui stigma: Papua,
Muslim, Kristen, Cina, dan
> lain-lain.
> Stigma menghalangi singularitas untuk meng-Ada bersama dalam
paradigma âKitaâ karena dalam pengenalan berdasar stigma ada
rasa takut bersentuhan yang diawetkan dan diperbesar hingga mencapai
titik implikasi untuk mengekslusi Yang-Lain dari âKamiâ dengan
cara menjadikannya âMerekaâ. Yang terstigma lantas dianggap
bukan orang normal karena berbeda dari âKami yang samaâ.
âMerekaâ memang ada di antara âKamiâ, tetapi âMerekaâ
bukan âKamiâ dan tak akan pernah menjadi âKitaâ.
> Goffman menjelaskan âSeorang pribadi dengan sebuah stigma,
tidak sepenuhnya manusiawi. Dalam kondisi ini kita membuat banyak
diskriminasi untuk mengurangi peluang hidupnya secara efektif,
termasuk ketika kita tidak sengaja melakukan itu. Ketika kita
menyusun sebuah teori tentang stigma, maka saat itu ada sebuah
ideologi yang menjelaskan inferioritasnya dan yang membuktikan
bahaya orang yang distigmatisasi ituâ. Lalu, Yang-Terstigma akan
dilecehkan di jalan, menjadi objek kebencian, dianggap sebagai
sumber kesalahan dan seterusnya. Di dalam stigma tidak hanya
ditanamkan undangan untuk menghina, tetapi juga phobia, karena yang
terstigma dipersepsi sebagai ancamanii.
> Menyentuh Yang-Terstigma, bisa dianggap menodai kemurnian. Suara
mereka tidak hanya diabaikan dan dianggap non-sense, melainkan juga
dipandang mengancam keutuhan kolektif. Tentu saja aliran-aliran
politis, haluan fundamentalisme agama, rasisme dan berbagai kelompok
yang tak menghargai pluralitas, tahu persis bagaimana menggunakan
stigma untuk menjatuhkan orang atau kelompok tertentu. Stigma lalu
dapat menjelaskan mengapa manusia mampu membunuh sesamanya tanpa
rasa salah, bahkan dengan rasa bangga dan ekstasis.
> Kita sering bicara pluralitas dengan mengedepankan hal-hal besar
dalam jargon seperti: âBhinneka Tunggal Ikaâ, âBersatu kita
teguh bercerai kita runtuhâ, âDari Sabang sampai Merauke
berjajar pulau-pulau sambung menyambung menjadi satu itulah
Indonesiaâ dan sejenisnya. Namun, melalui contoh kasus yang saya
angkat di atas, tidakkah dalam sesuatu yang lebih sederhana dan
keseharian sebenarnya banyak orang yang masih sulit memandang
perbedaan yang merentang dari Sabang sampai Merauke? Bahkan tidakkah
ironis ketika saya hadirkan contoh yang justru terjadi di Fakultas
yang mengajarkan understanding human being?
> Tidakkah di dalam kondisi ini kita perlu sebuah ruang di mana
kita tahu sama tahu perbedaan tapi tetap bisa merasa sebagai sesama
warga?
> Tidakkah kita perlu mentransformasi psikologi yang understanding
human being agar tidak semena meletakkan human being pada posisi
under dari titik di mana aku standing?
> Tidakkah pada situasi ini justru bukan understanding melainkan
interstanding human being?
>
>
>
> Bagaimana cermatan anda?
>
>
>
>
>
>
> iCATATAN-CATATAN
>
>
> Hari K. Lasmono; (2005); RE: [alumni_psiubaya] Sharing
pengalaman; retrieved 10 November 2006 pukul 16.45 WIB; available
at: http://groups. yahoo.com/ group/alumni_ psiubaya/ message/646
>
> ii Frans Budi Hardiman; (2005); Memahami
Negativitasâ"Diskursu s tentang Massa, Teror, dan Trauma; Jakarta:
Kompas; hal. 12-13
>
>
>
>
>
>
>
>
> Tentang Penulis
> Audifax adalah penulis dan peneliti. Dua hasil penelitiannya
diterbitkan oleh penerbit Jalasutra, yaitu Mite Harry Potter
(2005, Jalasutra) dan Imagining Lara Croft (2006, Jalasutra).
Bukunya yang lain adalah Semiotika Tuhan (2007, Pinus Book
Publisher).
>
>
> Pada April 2008 ini akan terbit buku Psikologi Tarot yang
ditulisnya bersama Leonardo Rimba. Buku ini akan diterbitkan oleh
Pinus Book Publisher.
>
>
> Saat ini Audifax menjabat research director di SMART Human Re-
Search & Psychological Development. Sebuah lembaga yang memiliki
concern pada riset dan pengembangan psikologi yang mengajarkan
pluralitas sejak usia dini. Informasi lebih lanjut, hubungi: SMART
Human Re-Search & Psychological Development, Jl. Taman Gapura G-20
(kompleks G-Walk) Citraland â" Surabaya. Telp. (031) 7410121, Fax
(031) 7452572, e-mail: smart.hrpd@gmail. com
>
>
> Audifax mengundang anda untuk mendiskusikan esei ini di milis
Psikologi Transformatif. Jika anda memiliki concern terhadap tema
yang ada pada esei ini, mari bergabung dengan kita yang ada di
milis Psikologi Transformatif
>
>
> Sekilas Mailing List Psikologi Transformatif
> Mailing List Psikologi Transformatif adalah ruang diskusi yang
didirikan oleh Audifax dan beberapa rekan yang dulunya tergabung
dalam Komunitas Psikologi Sosial Fakultas Psikologi Universitas
Surabaya. Saat ini milis ini telah berkembang sedemikian pesat
sehingga menjadi milis psikologi terbesar di Indonesia. Total
member telah
> melebihi 2000, sehingga wacana-wacana yang didiskusikan di milis
inipun memiliki kekuatan diseminasi yang tak bisa dipandang sebelah
mata. Tak ada moderasi di milis ini dan anda bebas masuk atau
keluar sekehendak anda. Arus posting sangat deras dan berbagai
wacana muncul di sini. Seperti sebuah jargon terkenal di psikologi
âDi mana ada manusia, di situ psikologi bisa diterapkanâ di
sinilah jargon itu tak sekedar jargon melainkan menemukan
konteksnya. Ada berbagai sudut pandang dalam membahas manusia,
bahkan yang tak diajarkan di Fakultas Psikologi Indonesia.
>
>
> Mailing List ini merupakan ajang berdiskusi bagi siapa saja
yang berminat mendalami psikologi. Mailing list ini dibuka sebagai
upaya untuk mentransformasi pemahaman
> psikologi dari sifatnya selama ini yang tekstual menuju ke sifat
yang kontekstual. Anda tidak harus berasal dari kalangan disiplin
ilmu psikologi untuk bergabung sebagai member dalam mailing list
ini. Mailing List ini merupakan tindak lanjut dari simposium
psikologi transformatif, melalui mailing list ini, diharapkan
diskusi dan gagasan mengenai transformasi psikologi dapat terus
dilanjutkan. Anggota yang telah terdaftar dalam milis ini antara
lain adalah para pembicara dari simposium Psikologi Transformatif :
Edy Suhardono, Cahyo Suryanto, Herry Tjahjono, Abdul Malik, Oka
Rusmini, Jangkung Karyantoro,. Beberapa rekan lain yang aktif dalam
milis ini adalah: Audifax, Leonardo Rimba, Nuruddin Asyhadie, Mang
Ucup, Goenardjoadi Goenawan, Ratih Ibrahim, Sinaga Harez Posma,
Prastowo, Prof Soehartono Taat Putra, Bagus Takwin, Amalia
âLiaâ Ramananda, Himawijaya, Rudi Murtomo, Felix Lengkong,
Hudoyo Hupudio, Kartono Muhammad, Helga Noviari,
> Ridwan Handoyo, Dewi
> Sartika, Jeni Sudarwati, FX Rudy Gunawan, Arie Saptaji, Radityo
Djajoeri, Tengku Muhammad Dhani Iqbal, Anwar Holid, Elisa Koorag,
Lan Fang, Lulu Syahputri, Kidyoti, Alexnader Gunawan, Priatna
Ahmad, J. Sumardianta, Jusuf Sutanto, Stephanie Iriana, Yunis
Kartika dan masih banyak lagi
>
>
> Perhatian: Milis ini tak ada moderator yang mengatur keluar
masuk member. Setiap member diharap bisa masuk atau keluar atas
keputusan dan kemampuan sendiri.
>
>
> Jika anda berminat untuk bergabung dengan milis Psikologi
> Transformatif, klik:
>
>
> www.groups.yahoo. com/group/ psikologi_ transformatif
>
>
>
>
>
>
> Never miss a thing. Make Yahoo your homepage.
>
>
> <!--
>
> #ygrp-mkp{
> border:1px solid #d8d8d8;font-
0px;padding:
> #ygrp-mkp hr{
> border:1px solid #d8d8d8;}
> #ygrp-mkp #hd{
> color:#628c2a;
height:122%;
> #ygrp-mkp #ads{
> margin-bottom:
> #ygrp-mkp .ad{
> padding:0 0;}
> #ygrp-mkp .ad a{
> color:#0000ff;
> -->
>
> <!--
>
> #ygrp-sponsor #ygrp-lc{
> font-family:
> #ygrp-sponsor #ygrp-lc #hd{
> margin:10px 0px;font-weight:
> #ygrp-sponsor #ygrp-lc .ad{
> margin-bottom:
> -->
>
> <!--
>
> #ygrp-mlmsg {font-size:13px;
sans-serif;}
> #ygrp-mlmsg table {font-size:inherit;
> #ygrp-mlmsg select, input, textarea {font:99% arial, helvetica,
clean, sans-serif;}
> #ygrp-mlmsg pre, code {font:115% monospace;}
> #ygrp-mlmsg * {line-height:
> #ygrp-text{
> font-family:
> }
> #ygrp-text p{
> margin:0 0 1em 0;}
> #ygrp-tpmsgs{
> font-family:
> clear:both;}
> #ygrp-vitnav{
> padding-top:
> #ygrp-vitnav a{
> padding:0 1px;}
> #ygrp-actbar{
> clear:both;margin:
align:right;
> #ygrp-actbar .left{
> float:left;white-
> .bld{font-weight:
> #ygrp-grft{
> font-family:
> #ygrp-ft{
> font-family:
> padding:5px 0;
> }
> #ygrp-mlmsg #logo{
> padding-bottom:
>
> #ygrp-vital{
> background-color:
> #ygrp-vital #vithd{
> font-size:77%
transform:uppercase
> #ygrp-vital ul{
> padding:0;margin:
> #ygrp-vital ul li{
> list-style-type:
> }
> #ygrp-vital ul li .ct{
> font-weight:
align:right;
> #ygrp-vital ul li .cat{
> font-weight:
> #ygrp-vital a{
> text-decoration:
>
> #ygrp-vital a:hover{
> text-decoration:
>
> #ygrp-sponsor #hd{
> color:#999;font-
> #ygrp-sponsor #ov{
> padding:6px 13px;background-
> #ygrp-sponsor #ov ul{
> padding:0 0 0 8px;margin:0;
> #ygrp-sponsor #ov li{
> list-style-type:
> #ygrp-sponsor #ov li a{
> text-decoration:
> #ygrp-sponsor #nc{
> background-color:
> #ygrp-sponsor .ad{
> padding:8px 0;}
> #ygrp-sponsor .ad #hd1{
> font-family:
size:100%;line-
> #ygrp-sponsor .ad a{
> text-decoration:
> #ygrp-sponsor .ad a:hover{
> text-decoration:
> #ygrp-sponsor .ad p{
> margin:0;}
> o{font-size:
> .MsoNormal{
> margin:0 0 0 0;}
> #ygrp-text tt{
> font-size:120%
> blockquote{margin:
> .replbq{margin:
> -->
>
>
>
>
>
>
> ____________
> Bergabunglah dengan orang-orang yang berwawasan, di di bidang
Anda! Kunjungi Yahoo! Answers saat ini juga di
http://id.answers.
>
Change settings via the Web (Yahoo! ID required)
Change settings via email: Switch delivery to Daily Digest | Switch format to Traditional
Visit Your Group | Yahoo! Groups Terms of Use | Unsubscribe
__,_._,___
Tidak ada komentar:
Posting Komentar