Satu hal yang saya heran Pak
adalah peran 'semesta' di sini.
Saya enggak habis pikir kenapa Jawa Pos justru memilih memuat
skripsi Sdr. R.C.W.A? Padahal ada ratusan skripsi
Karena dimuat di Jawa Pos itulah terbongkar pemalsuan tanda tangan
yang dilakukan R.C.W.A. Karena dosen pembimbingnya ingat benar kalau
R.C.W.A masih mesti merevisi skripsinya terlebih dulu.
Sampai saat inipun saya masih tetap heran...kenapa Jawa Pos memilih
skripsi itu untuk dipublikasikan? Hehehe...inilah.
OTHER di setiap peristiwa yang tak mampu terjelaskan pikiran.
--- In psikologi_transform
>
> Nggak usah repot-repot dikaji pakai semiotika dan psikoanalisa,
Audi. Sudah
> sangat gamblang dan terang benderang kasusnya. Cuma satu kata yang
diperlukan
> buat menjelaskannya: BOBROK!
>
> manneke
>
> Quoting audifax - <audivacx@..
>
> > RUNAWAY UNIVERSITY
> > Telaah Posmodern pada kasus Kontroversi Pemalsuan Tanda Tangan
di FP US
> >
> >
> > Oleh:
> > Audifax
> > Peneliti di SMART Center for Human Re-Search & Psychological
Development
> >
> >
> >
> >
> > Banyak Perguruan Tinggi telah kehilangan esensinya sebagai
institusi
> > pendidikan. Perguruan Tinggi semacam ini mengubah diri menjadi
mesin pencetak
> > ijazah dan turut membangun merkantilisme dunia pendidikan. Pada
titik ini,
> > individu-individu yang berada pada posisi mahasiswa, tak lebih
dari konsumen.
> > Di satu sisi mereka ditempatkan sebagai sumber pendapatan bagi
perguruan
> > tinggi, di sisi lain mereka juga makhluk yang dapat dikorbankan
untuk
> > kepentingan lebih besar. Perguruan tinggi-perguruan tinggi ini,
hanya berpacu
> > mengejar berbagai hal yang dapat meningkatkan kehandalan dalam
mengeruk uang.
> > Hal-hal seperti gengsi, akreditasi, angka kelulusan, dan simbol-
simbol
> > sejenis lebih dikejar ketimbang menempatkan diri sebagai
institusi pendidikan
> > yang mendidik, mengayomi, dan membimbing peserta didiknya
> >
> >
> > Saya teringat sebuah kasus yang terjadi di tahun 2004. Kasus
yang menimpa
> > Sdr. R.C.W.A, seorang mahasiswa FP di US. Kasus ini adalah salah
satu contoh
> > bagaimana Perguruan Tinggi kehilangan esensinya sebagai
institusi pendidikan.
> > Di satu sisi, R.C.W.A adalah mahasiswa yang ditempatkan sebagai
sumber
> > pendapatan, namun di sisi lain, dia juga menjadi korban untuk
kepentingan
> > lebih besar, yaitu: gengsi institusi. Wacana Posmodern (posmo),
tampaknya
> > mengimbas ke dunia pendidikan.
> >
> >
> > Jean Baudrillard, salah satu tokoh dalam wacana posmoderen
menyebutkan
> > bahwa dalam budaya konsumsi posmoderen, objek tidak lagi terikat
pada logika
> > utilitas, fungsi dan kebutuhan, namun melalui tanda (sign). Ini
make-sense
> > dengan perguruan tinggi tempat Sdr. R.C.W.A bernaung, yang
memang di satu
> > sisi lebih mengejar tanda-tanda seperti: angka kelulusan (yang
tentunya juga
> > memberi kontribusi pada akreditasi dan nilai jual) dan menafikan
esensinya
> > sebagai institusi pendidikan yang semestinya mengayomi dan
membimbing Sdr.
> > R.C.W.A.
> >
> >
> > Tanda dalam konsep semiotika dan neo-psikoanalisa, merujuk
pada adanya dua
> > konsep yaitu: penanda (signifier) dan petanda (signified).
Penanda adalah
> > komponen material (berbentuk phonic atau graphic) dan Petanda
adalah komponen
> > konseptual (makna, pemaknaan, kebermaknaan)
basis dari semua
> > bahasa, komunikasi, serta sistem representasi. Penanda dan
Petanda
> > selanjutnya akan menjadi pisau analisis pada tulisan saya ini.
> >
> >
> > THE ANSWER IS
BLOWING IN THE WIND!
> >
> >
> > Agar anda semua lebih jelas dengan kasus Sdr. R.c.W.A. saya
akan ceritakan
> > lebih dulu gambaran singkatnya. Alkisah, pada hari diwisudanya
sejumlah
> > lulusan perguruan tinggi US, salah satu karya skripsi, di antara
sekian ribu
> > lulusan, dimuat pada harian Jawa Pos dan Radar Surabaya (tanggal
27 November
> > 2004). Karya skripsi itu adalah milik R.C.W.A, yang
berjudul: "Studi Kasus
> > tentang Kepuasan Seks di Luar Nikah dengan Waria pada Pasangan
Berkeluarga"
> > Ironisnya, mahasiswa yang karya skripsinya di bawah bimbingan
Dr. E.S. itu,
> > ternyata dianulir kelulusannya oleh Dekan FP US, Ibu Dra. H.
(dekan yang
> > menjabat waktu itu), karena ditengarai memalsu tanda tangan dosen
> > pembimbingnya. Dalam kasus ini, Sdr. R.C.W.A, ternyata tidak
kembali
> > menandatangankan revisi skripsi (setelah sidang skripsi) kepada
dosen
> > pembimbingnya, namun memilih untuk memalsu tanda tangan dosen
pembimbing dan
> > salah satu penguji.
> >
> >
> > Persoalan etika akademik ini, sebenarnya dapat diselesaikan
jika Dra. H.
> > sebagai Dekan tidak melakukan kesalahan etika pula dalam
penyelesaiannya.
> > Kasus etis ini justru berkembang, ketika Dekan menganulir
kelulusan tersebut
> > hanya dengan memanggil R.C.W.A via telepon dan meminta ijazah
serta transkrip
> > dari tangan yang bersangkutan. Ini ditindaklanjuti Dekan dengan
mengirim
> > surat kepada Dr. E.S. selaku pembimbing; yang isinya
mengultimatum Dr. E.S.
> > untuk memberikan tanda tangan asli dalam jangka waktu tak lebih
dari dua
> > bulan sejak tanggal penulisan surat tersebut. Surat itu hanya
ditujukan pada
> > Dr. E.S. seorang, tanpa tembusan kepada pihak-pihak lain,
termasuk para
> > penguji skripsi Sdr. R.C.W.A.. Kutipan dari surat tersebut
adalah sebagai
> > berikut:
> >
> >
> > "Untuk itu kami mohon kepada Bapak dapat mengoreksi revisi
skripsi yang
> > akan dilakukannya sesuai dengan berita acara dengan batas waktu
maksimal 2
> > (dua) bulan dari tanggal surat ini".
> >
> >
> > Apa yang dilakukan Dekan dra. H jelas merupakan hal yang sama
sekali tidak
> > etis. Ada sejumlah ketidakberesan pada langkah yang diambil oleh
Dra. H.
> > Sebagai Dekan FP US. Kita dapat mencematinya pada pertimbangan
berikut:
> >
> >
> >
> > Pertama, Dr. E.S. adalah pihak yang dirugikan dengan
pemalsuan tanda
> > tangan oleh mahasiswa dari institusi yang dipimpin oleh Dra. H..
Dr. E.S.
> > seharusnya justru menjadi pihak yang dapat menuntut atas tindak
kriminal yang
> > dilakukan oleh mahasiswa dari institusi Dra. H. tersebut. Adalah
mengherankan
> > bahwa Dra. H. bukannya meminta maaf secara resmi atas perlakuan
kriminal
> > mahasiswanya kepada Dr. E.S sebagai dosen luar, tapi justru
mengultimatumnya
> > melalui sebuah surat resmi untuk mengoreksi skripsi Sdr.
R.C.W.A. dalam waktu
> > dua bulan.
> >
> >
> >
> >
> > Kedua, ada kenyataan yang sesuai dengan kesepakatan saat
sidang skripsi
> > Sdr. R.C.W.A, bahwa setelah Sdr. R.C.W.A. memberikan hasil
revisinya, nilai
> > akan disepakatkan kembali oleh keempat penguji. Koordinasi
penyepakatan tidak
> > dilakukan oleh ketua penguji, yaitu: A.Y, S. Sos, M.Si, sehingga
Dr. E.S
> > tidak pernah mengetahui kelulusan yang bersangkutan dan nilai
yang
> > didapatkan. Dalam hal ini patut dipertanyakan pula
pertanggungjawaban dari
> > ketua penguji atas kelalaian yang ternyata berakibat fatal.
> >
> >
> >
> >
> > Ketiga, apapun alasannya, institusi yang dipimpin Dra. H.
telah
> > melakukan kesalahan sistemik dengan meluluskan seorang mahasiswa
yang belum
> > memperoleh pengesahan dari dosen pembimbing. Kesalahan ini makin
diperparah
> > Dra. H. dengan memberikan surat langsung kepada Dr. E.S tanpa
memberikan
> > tembusan pada pihak terkait yaitu: Sdr.R.C.W.A.
M.Si (anggota
> > tim penguji), Sdr. Drs. C.S. (Sekretaris)
M.Si (Ketua tim
> > Penguji); Kepala Laboratorium (jurusan) PS; Pembantu Dekan I,
Wakil Rektor I
> > U.S., Rektor U. S., dan Ketua Yayasan U.S.. Bahkan, mengingat
skripsi
> > Sdr.R.C.W.A. juga telah dipublikasikan di surat kabar Jawa Pos
tertanggal 27
> > November 2004, semestinya Dra. H. juga melakukan
pertanggungjawaban publik.
> > Melihat begitu banyaknya pihak yang terkait dengan kasus Sdr.
R.C.W.A, patut
> > dipertanyakan kenapa Dra. H. justru memberikan surat yang
ditujukan hanya
> > kepada Dr. E.S secara personal?
> >
> > Keempat, kita dapat mempertanyakan logika hukum kasus ini.
Bagaimana
> > Dra. H. bisa mengultimatum Dr. E.S untuk mengoreksi skripsi dari
mahasiswa
> > yang telah diluluskan Dra. H. secara resmi. Bagaiaman mungkin
mahasiswa yang
> > telah lulus masih harus dikoreksi skripsinya?. Pada surat
tertanggal 13
> > Desember 2004, bernomor 392/UL/GAS/DEK/
> > memberitahukan pada Dr. E.S. bahwa Sdr. R.C.W.A. telah dicabut
kewenangannya
> > sebagai lulusan semester genap 2003-2004, tanpa menuliskan
berdasarkan surat
> > nomor berapa pencabutan tersebut. Apakah sebuah surat kelulusan
resmi dapat
> > dibatalkan secara semena-mena?
> >
> > Kelima; Berdasarkan poin ketiga dan keempat, kita dapat
menangkap
> > indikasi bahwa Dra. H.berusaha menyelesaikan persoalan ini
secara tertutup
> > dengan cara menekan Dr. E.S secara personal sembari
menyembunyikan kesalahan
> > yang semestinya dipertanggungjawabk
ini, Dra. H.
> > tidak menyadari bahwa peristiwa ini adalah sebuah penipuan besar
di depan Dr.
> > E.S sebagai dosen pembimbing, segenap tim penguji, Sidang
terbuka wisudawan;
> > bahkan para pembaca Jawa Pos; di mana diakui atau tidak, dalam
konteks
> > tanggungjawab sebagai pimpinan, Dra. H terlibat di dalamnya.
Pada titik ini
> > pula Dra. H. Cenderung untuk mengabaikan keharusannya untuk
meminta maaf pada
> > semua pihak yang tertipu tersebut.
> >
> >
> >
> > Sampai di sini, saya sampai pada suatu kesimpulan bahwa Dra.
H. Adalah
> > pemimpin sebuah institusi pendidikan yang tengah mengkreasi
suatu panggung
> > besar kebohongan melalui permainan tanda. Tanda, dalam kasus
Sdr. R.C.W.A
> > menjadi elemen yang menyusun suatu sistem yang bisa
menyembunyikan
> > kebohongan.
> >
> >
> > Mari kita simak dulu Pierre Bourdieu yang pernah menjelaskan
bahwa setiap
> > masyarakat memiliki caranya sendiri untuk menutupi,
menyembunyikan, atau
> > menciptakan sistem yang menyediakan topeng-topengnya sendiri
agar struktur
> > dan praktik penindasan tidak dapat dikenali (méconnaissance)
sini dapat
> > ditunjuk salah satu fungsi ideologi, yakni sebagai topeng-topeng
bagi
> > praktik-praktik sosial yang melawan atau mempertahankan suatu
penindasan atau
> > dominasi. Seorang yang memegang modal otoritas tertentu
melakukan konstruksi
> > terhadap pemikiran masyarakat agar ia dihormati, disegani, dan
dipatuhi oleh
> > kalangan yang terdominasi. Untuk menutupi motivasi sesungguhnya
maka
> > diperlukan topeng dengan mengatakan apa yang dilakukan adalah
untuk kebaikan
> > bersama.
> >
> >
> > Kontekstualisasi dari penjelasan Bourdieu ini ada pada apa
yang dilakukan
> > Dra. H yang saat itu menjabat sebagai dekan FP US. Dengan modal
otoritas
> > tertentu ia menutupi, menyembunyikan atau menciptakan sistem
yang membuat
> > penindasan yang dilakukannya tidak dikenali.
> >
> >
> > Lalu apa yang dilakukan Dr. E.S atas penindasan yang coba
dilakukan Dra. H?
> > Dr. E.S pun mempertanyakan kembali dan meminta
pertanggungjawaban dari Dra.
> > H. selaku Dekan. Kisaran hal yang diminta pertanggungjawabann
kurang lebih
> > adalah:
> >
> >
> >
> > Membuat surat permintaan maaf resmi dari Dra. H. selaku
pimpinan
> > institusi tempat Sdr. R.C.W.A. bernaung kepada Dr. E.S, atas
perilaku memalsu
> > tanda tangan. Pada pemikiran ini ada suatu asumsi bahwa jika
Dra. H.
> > mengajarkan pada Sdr. R.C.W.A. untuk meminta maaf, Dra. H.
sendiri juga harus
> > memberi contoh yang sesuai. Dra. H. pernah meminta Dr. E.S
dengan hormat
> > untuk menjadi dosen pembimbing, disusul dengan permintaan
sebagai dosen
> > penguji yang juga dilakukan dengan hormat; sudah selayaknya Dra.
H. juga
> > menyelesaikan persoalan pemalsuan tanda tangan ini dengan
kehormatan.
> >
> > Membuat surat permintaan maaf resmi atas surat Dra.H.
tertanggal 13
> > Desember 2004, bernomor 392/UL/GAS/DEK/
E.S, yang
> > menurut Dr. E.S sama sekali tidak etis.
> >
> > Membuat surat permintaan maaf resmi atas penipuan yang
dilakukan oleh
> > Sdr. R.C.W.A kepada Dr. E.S selaku dosen pembimbing dan penguji,
Sdr Drs.
> > B.W., M.Si (anggota tim penguji), Sdr. Drs. C.S. (Sekretaris)
Sdr. A.Y.,
> > S.Sos, M.Si (Ketua tim Penguji); Kepala Laboratorium PS;
Pembantu Dekan I,
> > Wakil Rektor I US, Rektor US, Ketua Yayasan US, dan surat kabar
di mana
> > skripsi itu dimuat.
> >
> > Dua bulan berlalu, pihak Dra. H. juga tampaknya enggan untuk
meminta maaf.
> > Sementara Dr. E.S juga masih berpegang pada prinsip etika yang
semestinya
> > dipenuhi. Lalu bagaimana dengan Sdr. R.C.W.A? Dra. H. justru
menawarkan
> > `persoalan baru' yaitu mengulang satu semester (yang berarti dia
harus
> > membayar lagi, bukan?); sungguh suatu penyelesaian yang "manis".
Satu bukti
> > bahwa mahasiswa di Perguruan Tinggi semacam ini tak lebih dari
mesin uang
> > yang selain bisa diperas juga bisa dikorbankan untuk kepentingan-
kepentingan
> > yang lebih besar.
> >
> >
> > BENEATH THE LIES
> > Pada kasus ini, kita dapat mencermati bahwa permintaan maaf
telah
> > kehilangan esensi, berubah menjadi penanda yang merujuk pada
petanda yang
> > bermakna: menurunnya gengsi serta kemampuan mempersaingkan
komoditas.
> > Permintaan maaf atas kesalahan = menurunnya gengsi serta
kemampuan
> > mempersaingkan komdoitas. Gengsi untuk mengakui kesalahan adalah
bagian dari
> > tanda-tanda yang dimobilisir ke dalam bentuk komoditi yang
mendasarkan logika
> > perbedaan untuk terbangunnya suatu nilai jual. Permintaan maaf
adalah penanda
> > yang dapat membuat banyak orang ragu untuk masuk ke FP US,
karena melekat
> > pada terbukanya sebuah kesalahan sistemik yang fatal.
> >
> >
> > Kesalahan fatal dalam kasus Sdr. R.C.W.A adalah sebuah penanda
yang akan
> > merujuk pada konsep mengenai kurang qualified-nya sebuah
institusi. Oleh
> > karena itu kesalahan ini harus ditutupi. Ini make-sense ketika
Dekan Dra.H.
> > bukannya menyelesaikan pada pihak-pihak yang tertipu sesuai
prosedur, namun
> > justru melakukan tekanan pada Dr. E.S.
> >
> >
> > Seiring perkembangan jaman yang memasuki era posmoderen, orang
lebih
> > mengonsumsi penanda ketimbang makna. Penanda-penanda pun telah
banyak yang
> > berubah sebagai alat kebohongan. Akreditasi A ataupun jumlah
kelulusan
> > dikejar dengan mengabaikan kualitas dan esensi pendidikan.
> >
> >
> > Kondisi ini membawa konsekuensi pada adanya kebutuhan akan
pendidikan yang
> > tidak lagi berorientasi mencerdaskan, namun lebih pada
menghadirkan
> > perbedaan, baik makna sosial, status, simbol, atau prestise.
Universitas A
> > lebih baik dari B karena akreditasinya lebih tinggi, bukan pada
kualitas
> > karya. Begitu pula dengan anggapa bahwa universitas C lebih baik
dari
> > universitas D hanya dengan ukuran jumlah lulusan yang lebih
banyak. Di satu
> > sisi, ini juga membuat gelar dan ijazah tak lebih dari
komoditas. Berbagai
> > gelar kesarjanaan disandang oleh berbagai orang, namun semuanya
samasekali
> > tidak mencerminkan adanya kualitas berpikir saintis. Bisa
dihitung lulusan
> > perguruan tinggi yang menguasai benar kelimuannya dan siap masuk
dalam dunia
> > kerja. Sementara di sisi lain, layaknya hukum demand-supply,
perguruan tinggi
> > juga mengubah dirinya sebagai penjaja ijazah. Agar dapat menjadi
penjaja
> > ijazah yang handal, maka diperlukan penanda-penanda seperti
angka kelulusan.
> >
> >
> >
> > Kehandalan sebagai penjaja ijazah, akan membawa konsekuensi
pada semakin
> > bertambahnya penghasilan. Dengan demikian, sekolah tak lebih
dari upaya
> > mengonsumsi suatu permainan tanda (free play of sign), tanpa
perlu terikat
> > pada sebuah makna dan identitas yang tetap. Pada titik inilah
pendidikan
> > telah kehilangan esensinya. Mahasiswa-mahasiswa itu hanya larut
dan
> > mempercayai begitu saja, bahwa Fakultas/perguruan tinggi favorit
memiliki
> > kualitas pendidikan yang berkualitas. Tak pernah ada yang
melihat secara
> > kritis bahwa perguruan tinggi semacam ini bisa jadi tak lebih
dari mesin
> > pencetak ijazah yang menempatkan mahasiswa sebagai sosok yang
bisa
> > dieksploitasi.
> >
> >
> > Tanda-tanda dalam dunia pendidikan terus bergerak, berlari,
berpacu sembari
> > merelatifkan suatu stabilitas makna. Baik perguruan tinggi,
maupun mahasiswa
> > bukan mengejar ilmu yang akan mengembangkan kemanusiaannya,
melainkan
> > berusaha mengejar tanda, makna dan identitas. Mereka mencari
dalam arus
> > pergerakan yang tiada henti. Sdr. R.C.W.A pun terlarut dalam
arus ini (yang
> > kemudian justru memelantingkannya) ketika memilih untuk memalsu
tanda tangan
> > demi tercapainya sebuah gelar dan ijazah.
> >
> >
> > Dengan demikian dapat dikatakan pendidikan tinggi telah
terseret dalam arus
> > konsumsi posmoderen, konsumsi yang selalu dahaga, dan tak
terpuaskan. Suatu
> > pola konsumsi yang dengan cerdik dibangkitkan oleh perguruan
tinggi sebagai
> > produsen ijazah, melalui pencitraan yang dibangun dengan
pelekatan
> > penanda-penanda akreditasi, jumlah kelulusan, serta berbagai
ritual yang
> > sifatnya tontonan (spectacle). Semua ini akhirnya berkembang
menjadi titik
> > sentral yang berperan sebagai perumus hubungan sosial pendidik-
peserta didik
> > yang telah kehilangan esensinya. Berpacunya perguruan tinggi
dalam mengejar
> > berbagai penanda komoditas itu membuat ada pihak-pihak yang
tercecer, bahkan
> > tergilas kemanusiaannya, kasus Sdr. R.C.W.A adalah salah satu
contoh. Etika
> > dan pendidikan telah kehilangan esensinya, diambil alih oleh
penanda-penanda
> > yang maknanya jauh dari esensi pendidikan.
> >
> >
> > Bagaimana cermatan anda?
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> > Audifax mengundang anda untuk mendiskusikan esei ini di milis
Psikologi
> > Transformatif. Jika anda memiliki concern terhadap tema yang ada
pada esei
> > ini, mari bergabung dengan kita yang ada di milis Psikologi
Transformatif
> >
> >
> > Sekilas Mailing List Psikologi Transformatif
> > Mailing List Psikologi Transformatif adalah ruang diskusi yang
didirikan
> > oleh Audifax dan beberapa rekan yang dulunya tergabung dalam
Komunitas
> > Psikologi Sosial Fakultas Psikologi Universitas Surabaya. Saat
ini milis ini
> > telah berkembang sedemikian pesat sehingga menjadi milis
psikologi terbesar
> > di Indonesia. Total member telah melebihi 2000, sehingga wacana-
wacana yang
> > didiskusikan di milis inipun memiliki kekuatan diseminasi yang
tak bisa
> > dipandang sebelah mata. Tak ada moderasi di milis ini dan anda
bebas masuk
> > atau keluar sekehendak anda. Arus posting sangat deras dan
berbagai wacana
> > muncul di sini. Seperti sebuah jargon terkenal di psikologi "Di
mana ada
> > manusia, di situ psikologi bisa diterapkan" di sinilah jargon
itu tak sekedar
> > jargon melainkan menemukan konteksnya. Ada berbagai sudut
pandang dalam
> > membahas manusia, bahkan yang tak diajarkan di Fakultas
Psikologi Indonesia.
> >
> >
> > Mailing List ini merupakan ajang berdiskusi bagi siapa saja
yang berminat
> > mendalami psikologi. Mailing list ini dibuka sebagai upaya untuk
> > mentransformasi pemahaman psikologi dari sifatnya selama ini
yang tekstual
> > menuju ke sifat yang kontekstual. Anda tidak harus berasal dari
kalangan
> > disiplin ilmu psikologi untuk bergabung sebagai member dalam
mailing list
> > ini. Mailing List ini merupakan tindak lanjut dari simposium
psikologi
> > transformatif, melalui mailing list ini, diharapkan diskusi dan
gagasan
> > mengenai transformasi psikologi dapat terus dilanjutkan. Anggota
yang telah
> > terdaftar dalam milis ini antara lain adalah para pembicara dari
simposium
> > Psikologi Transformatif : Edy Suhardono, Cahyo Suryanto, Herry
Tjahjono,
> > Abdul Malik, Oka Rusmini, Jangkung Karyantoro,. Beberapa rekan
lain yang
> > aktif dalam milis ini adalah: Audifax, Leonardo Rimba, Nuruddin
Asyhadie,
> > Mang Ucup, Goenardjoadi Goenawan, Ratih Ibrahim, Sinaga Harez
Posma,
> > Prastowo, Prof Soehartono Taat Putra,
> > Bagus Takwin, Amalia "Lia" Ramananda, Himawijaya, Rudi Murtomo,
Felix
> > Lengkong, Hudoyo Hupudio, Kartono Muhammad, Helga Noviari,
Ridwan Handoyo,
> > Dewi Sartika, Jeni Sudarwati, FX Rudy Gunawan, Arie Saptaji,
Radityo
> > Djajoeri, Tengku Muhammad Dhani Iqbal, Anwar Holid, Elisa
Koorag, Lan Fang,
> > Lulu Syahputri, Kidyoti, Alexnader Gunawan, Priatna Ahmad, J.
Sumardianta,
> > Jusuf Sutanto, Stephanie Iriana, Yunis Kartika dan masih banyak
lagi
> >
> >
> > Perhatian: Milis ini tak ada moderator yang mengatur keluar
masuk member.
> > Setiap member diharap bisa masuk atau keluar atas keputusan dan
kemampuan
> > sendiri.
> >
> >
> > Jika anda berminat untuk bergabung dengan milis Psikologi
Transformatif,
> > klik:
> >
> >
> > www.groups.yahoo.
> >
> >
> > ------------
> > Be a better friend, newshound, and know-it-all with Yahoo!
Mobile. Try it
> > now.
>
Change settings via the Web (Yahoo! ID required)
Change settings via email: Switch delivery to Daily Digest | Switch format to Traditional
Visit Your Group | Yahoo! Groups Terms of Use | Unsubscribe
__,_._,___
Tidak ada komentar:
Posting Komentar