Mestinya tulisan tentang kasus skripsi siluman ini di-forward ke panita BAN
yang kasih nilai A itu. Atau jangan-jangan mereka sebangsa siluman juga yak?
Ada yang punya email mereka enggak? Lama-lama BAN juga akan kehilangan
kredibilitasnya alias nggak dianggep orang.
manneke
Quoting audivacx <audivacx@yahoo.
> Satu hal yang saya heran Pak
> adalah peran 'semesta' di sini.
> Saya enggak habis pikir kenapa Jawa Pos justru memilih memuat
> skripsi Sdr. R.C.W.A? Padahal ada ratusan skripsi
>
> Karena dimuat di Jawa Pos itulah terbongkar pemalsuan tanda tangan
> yang dilakukan R.C.W.A. Karena dosen pembimbingnya ingat benar kalau
> R.C.W.A masih mesti merevisi skripsinya terlebih dulu.
>
> Sampai saat inipun saya masih tetap heran...kenapa Jawa Pos memilih
> skripsi itu untuk dipublikasikan? Hehehe...inilah.
> OTHER di setiap peristiwa yang tak mampu terjelaskan pikiran.
>
>
>
> --- In psikologi_transform
> >
> > Nggak usah repot-repot dikaji pakai semiotika dan psikoanalisa,
> Audi. Sudah
> > sangat gamblang dan terang benderang kasusnya. Cuma satu kata yang
> diperlukan
> > buat menjelaskannya: BOBROK!
> >
> > manneke
> >
> > Quoting audifax - <audivacx@..
> >
> > > RUNAWAY UNIVERSITY
> > > Telaah Posmodern pada kasus Kontroversi Pemalsuan Tanda Tangan
> di FP US
> > >
> > >
> > > Oleh:
> > > Audifax
> > > Peneliti di SMART Center for Human Re-Search & Psychological
> Development
> > >
> > >
> > >
> > >
> > > Banyak Perguruan Tinggi telah kehilangan esensinya sebagai
> institusi
> > > pendidikan. Perguruan Tinggi semacam ini mengubah diri menjadi
> mesin pencetak
> > > ijazah dan turut membangun merkantilisme dunia pendidikan. Pada
> titik ini,
> > > individu-individu yang berada pada posisi mahasiswa, tak lebih
> dari konsumen.
> > > Di satu sisi mereka ditempatkan sebagai sumber pendapatan bagi
> perguruan
> > > tinggi, di sisi lain mereka juga makhluk yang dapat dikorbankan
> untuk
> > > kepentingan lebih besar. Perguruan tinggi-perguruan tinggi ini,
> hanya berpacu
> > > mengejar berbagai hal yang dapat meningkatkan kehandalan dalam
> mengeruk uang.
> > > Hal-hal seperti gengsi, akreditasi, angka kelulusan, dan simbol-
> simbol
> > > sejenis lebih dikejar ketimbang menempatkan diri sebagai
> institusi pendidikan
> > > yang mendidik, mengayomi, dan membimbing peserta didiknya
> > >
> > >
> > > Saya teringat sebuah kasus yang terjadi di tahun 2004. Kasus
> yang menimpa
> > > Sdr. R.C.W.A, seorang mahasiswa FP di US. Kasus ini adalah salah
> satu contoh
> > > bagaimana Perguruan Tinggi kehilangan esensinya sebagai
> institusi pendidikan.
> > > Di satu sisi, R.C.W.A adalah mahasiswa yang ditempatkan sebagai
> sumber
> > > pendapatan, namun di sisi lain, dia juga menjadi korban untuk
> kepentingan
> > > lebih besar, yaitu: gengsi institusi. Wacana Posmodern (posmo),
> tampaknya
> > > mengimbas ke dunia pendidikan.
> > >
> > >
> > > Jean Baudrillard, salah satu tokoh dalam wacana posmoderen
> menyebutkan
> > > bahwa dalam budaya konsumsi posmoderen, objek tidak lagi terikat
> pada logika
> > > utilitas, fungsi dan kebutuhan, namun melalui tanda (sign). Ini
> make-sense
> > > dengan perguruan tinggi tempat Sdr. R.C.W.A bernaung, yang
> memang di satu
> > > sisi lebih mengejar tanda-tanda seperti: angka kelulusan (yang
> tentunya juga
> > > memberi kontribusi pada akreditasi dan nilai jual) dan menafikan
> esensinya
> > > sebagai institusi pendidikan yang semestinya mengayomi dan
> membimbing Sdr.
> > > R.C.W.A.
> > >
> > >
> > > Tanda dalam konsep semiotika dan neo-psikoanalisa, merujuk
> pada adanya dua
> > > konsep yaitu: penanda (signifier) dan petanda (signified).
> Penanda adalah
> > > komponen material (berbentuk phonic atau graphic) dan Petanda
> adalah komponen
> > > konseptual (makna, pemaknaan, kebermaknaan)
> basis dari semua
> > > bahasa, komunikasi, serta sistem representasi. Penanda dan
> Petanda
> > > selanjutnya akan menjadi pisau analisis pada tulisan saya ini.
> > >
> > >
> > > THE ANSWER IS
BLOWING IN THE WIND!
> > >
> > >
> > > Agar anda semua lebih jelas dengan kasus Sdr. R.c.W.A. saya
> akan ceritakan
> > > lebih dulu gambaran singkatnya. Alkisah, pada hari diwisudanya
> sejumlah
> > > lulusan perguruan tinggi US, salah satu karya skripsi, di antara
> sekian ribu
> > > lulusan, dimuat pada harian Jawa Pos dan Radar Surabaya (tanggal
> 27 November
> > > 2004). Karya skripsi itu adalah milik R.C.W.A, yang
> berjudul: "Studi Kasus
> > > tentang Kepuasan Seks di Luar Nikah dengan Waria pada Pasangan
> Berkeluarga"
> > > Ironisnya, mahasiswa yang karya skripsinya di bawah bimbingan
> Dr. E.S. itu,
> > > ternyata dianulir kelulusannya oleh Dekan FP US, Ibu Dra. H.
> (dekan yang
> > > menjabat waktu itu), karena ditengarai memalsu tanda tangan dosen
> > > pembimbingnya. Dalam kasus ini, Sdr. R.C.W.A, ternyata tidak
> kembali
> > > menandatangankan revisi skripsi (setelah sidang skripsi) kepada
> dosen
> > > pembimbingnya, namun memilih untuk memalsu tanda tangan dosen
> pembimbing dan
> > > salah satu penguji.
> > >
> > >
> > > Persoalan etika akademik ini, sebenarnya dapat diselesaikan
> jika Dra. H.
> > > sebagai Dekan tidak melakukan kesalahan etika pula dalam
> penyelesaiannya.
> > > Kasus etis ini justru berkembang, ketika Dekan menganulir
> kelulusan tersebut
> > > hanya dengan memanggil R.C.W.A via telepon dan meminta ijazah
> serta transkrip
> > > dari tangan yang bersangkutan. Ini ditindaklanjuti Dekan dengan
> mengirim
> > > surat kepada Dr. E.S. selaku pembimbing; yang isinya
> mengultimatum Dr. E.S.
> > > untuk memberikan tanda tangan asli dalam jangka waktu tak lebih
> dari dua
> > > bulan sejak tanggal penulisan surat tersebut. Surat itu hanya
> ditujukan pada
> > > Dr. E.S. seorang, tanpa tembusan kepada pihak-pihak lain,
> termasuk para
> > > penguji skripsi Sdr. R.C.W.A.. Kutipan dari surat tersebut
> adalah sebagai
> > > berikut:
> > >
> > >
> > > "Untuk itu kami mohon kepada Bapak dapat mengoreksi revisi
> skripsi yang
> > > akan dilakukannya sesuai dengan berita acara dengan batas waktu
> maksimal 2
> > > (dua) bulan dari tanggal surat ini".
> > >
> > >
> > > Apa yang dilakukan Dekan dra. H jelas merupakan hal yang sama
> sekali tidak
> > > etis. Ada sejumlah ketidakberesan pada langkah yang diambil oleh
> Dra. H.
> > > Sebagai Dekan FP US. Kita dapat mencematinya pada pertimbangan
> berikut:
> > >
> > >
> > >
> > > Pertama, Dr. E.S. adalah pihak yang dirugikan dengan
> pemalsuan tanda
> > > tangan oleh mahasiswa dari institusi yang dipimpin oleh Dra. H..
> Dr. E.S.
> > > seharusnya justru menjadi pihak yang dapat menuntut atas tindak
> kriminal yang
> > > dilakukan oleh mahasiswa dari institusi Dra. H. tersebut. Adalah
> mengherankan
> > > bahwa Dra. H. bukannya meminta maaf secara resmi atas perlakuan
> kriminal
> > > mahasiswanya kepada Dr. E.S sebagai dosen luar, tapi justru
> mengultimatumnya
> > > melalui sebuah surat resmi untuk mengoreksi skripsi Sdr.
> R.C.W.A. dalam waktu
> > > dua bulan.
> > >
> > >
> > >
> > >
> > > Kedua, ada kenyataan yang sesuai dengan kesepakatan saat
> sidang skripsi
> > > Sdr. R.C.W.A, bahwa setelah Sdr. R.C.W.A. memberikan hasil
> revisinya, nilai
> > > akan disepakatkan kembali oleh keempat penguji. Koordinasi
> penyepakatan tidak
> > > dilakukan oleh ketua penguji, yaitu: A.Y, S. Sos, M.Si, sehingga
> Dr. E.S
> > > tidak pernah mengetahui kelulusan yang bersangkutan dan nilai
> yang
> > > didapatkan. Dalam hal ini patut dipertanyakan pula
> pertanggungjawaban dari
> > > ketua penguji atas kelalaian yang ternyata berakibat fatal.
> > >
> > >
> > >
> > >
> > > Ketiga, apapun alasannya, institusi yang dipimpin Dra. H.
> telah
> > > melakukan kesalahan sistemik dengan meluluskan seorang mahasiswa
> yang belum
> > > memperoleh pengesahan dari dosen pembimbing. Kesalahan ini makin
> diperparah
> > > Dra. H. dengan memberikan surat langsung kepada Dr. E.S tanpa
> memberikan
> > > tembusan pada pihak terkait yaitu: Sdr.R.C.W.A.
> M.Si (anggota
> > > tim penguji), Sdr. Drs. C.S. (Sekretaris)
> M.Si (Ketua tim
> > > Penguji); Kepala Laboratorium (jurusan) PS; Pembantu Dekan I,
> Wakil Rektor I
> > > U.S., Rektor U. S., dan Ketua Yayasan U.S.. Bahkan, mengingat
> skripsi
> > > Sdr.R.C.W.A. juga telah dipublikasikan di surat kabar Jawa Pos
> tertanggal 27
> > > November 2004, semestinya Dra. H. juga melakukan
> pertanggungjawaban publik.
> > > Melihat begitu banyaknya pihak yang terkait dengan kasus Sdr.
> R.C.W.A, patut
> > > dipertanyakan kenapa Dra. H. justru memberikan surat yang
> ditujukan hanya
> > > kepada Dr. E.S secara personal?
> > >
> > > Keempat, kita dapat mempertanyakan logika hukum kasus ini.
> Bagaimana
> > > Dra. H. bisa mengultimatum Dr. E.S untuk mengoreksi skripsi dari
> mahasiswa
> > > yang telah diluluskan Dra. H. secara resmi. Bagaiaman mungkin
> mahasiswa yang
> > > telah lulus masih harus dikoreksi skripsinya?. Pada surat
> tertanggal 13
> > > Desember 2004, bernomor 392/UL/GAS/DEK/
> > > memberitahukan pada Dr. E.S. bahwa Sdr. R.C.W.A. telah dicabut
> kewenangannya
> > > sebagai lulusan semester genap 2003-2004, tanpa menuliskan
> berdasarkan surat
> > > nomor berapa pencabutan tersebut. Apakah sebuah surat kelulusan
> resmi dapat
> > > dibatalkan secara semena-mena?
> > >
> > > Kelima; Berdasarkan poin ketiga dan keempat, kita dapat
> menangkap
> > > indikasi bahwa Dra. H.berusaha menyelesaikan persoalan ini
> secara tertutup
> > > dengan cara menekan Dr. E.S secara personal sembari
> menyembunyikan kesalahan
> > > yang semestinya dipertanggungjawabk
> ini, Dra. H.
> > > tidak menyadari bahwa peristiwa ini adalah sebuah penipuan besar
> di depan Dr.
> > > E.S sebagai dosen pembimbing, segenap tim penguji, Sidang
> terbuka wisudawan;
> > > bahkan para pembaca Jawa Pos; di mana diakui atau tidak, dalam
> konteks
> > > tanggungjawab sebagai pimpinan, Dra. H terlibat di dalamnya.
> Pada titik ini
> > > pula Dra. H. Cenderung untuk mengabaikan keharusannya untuk
> meminta maaf pada
> > > semua pihak yang tertipu tersebut.
> > >
> > >
> > >
> > > Sampai di sini, saya sampai pada suatu kesimpulan bahwa Dra.
> H. Adalah
> > > pemimpin sebuah institusi pendidikan yang tengah mengkreasi
> suatu panggung
> > > besar kebohongan melalui permainan tanda. Tanda, dalam kasus
> Sdr. R.C.W.A
> > > menjadi elemen yang menyusun suatu sistem yang bisa
> menyembunyikan
> > > kebohongan.
> > >
> > >
> > > Mari kita simak dulu Pierre Bourdieu yang pernah menjelaskan
> bahwa setiap
> > > masyarakat memiliki caranya sendiri untuk menutupi,
> menyembunyikan, atau
> > > menciptakan sistem yang menyediakan topeng-topengnya sendiri
> agar struktur
> > > dan praktik penindasan tidak dapat dikenali (méconnaissance)
> sini dapat
> > > ditunjuk salah satu fungsi ideologi, yakni sebagai topeng-topeng
> bagi
> > > praktik-praktik sosial yang melawan atau mempertahankan suatu
> penindasan atau
> > > dominasi. Seorang yang memegang modal otoritas tertentu
> melakukan konstruksi
> > > terhadap pemikiran masyarakat agar ia dihormati, disegani, dan
> dipatuhi oleh
> > > kalangan yang terdominasi. Untuk menutupi motivasi sesungguhnya
> maka
> > > diperlukan topeng dengan mengatakan apa yang dilakukan adalah
> untuk kebaikan
> > > bersama.
> > >
> > >
> > > Kontekstualisasi dari penjelasan Bourdieu ini ada pada apa
> yang dilakukan
> > > Dra. H yang saat itu menjabat sebagai dekan FP US. Dengan modal
> otoritas
> > > tertentu ia menutupi, menyembunyikan atau menciptakan sistem
> yang membuat
> > > penindasan yang dilakukannya tidak dikenali.
> > >
> > >
> > > Lalu apa yang dilakukan Dr. E.S atas penindasan yang coba
> dilakukan Dra. H?
> > > Dr. E.S pun mempertanyakan kembali dan meminta
> pertanggungjawaban dari Dra.
> > > H. selaku Dekan. Kisaran hal yang diminta pertanggungjawabann
> kurang lebih
> > > adalah:
> > >
> > >
> > >
> > > Membuat surat permintaan maaf resmi dari Dra. H. selaku
> pimpinan
> > > institusi tempat Sdr. R.C.W.A. bernaung kepada Dr. E.S, atas
> perilaku memalsu
> > > tanda tangan. Pada pemikiran ini ada suatu asumsi bahwa jika
> Dra. H.
> > > mengajarkan pada Sdr. R.C.W.A. untuk meminta maaf, Dra. H.
> sendiri juga harus
> > > memberi contoh yang sesuai. Dra. H. pernah meminta Dr. E.S
> dengan hormat
> > > untuk menjadi dosen pembimbing, disusul dengan permintaan
> sebagai dosen
> > > penguji yang juga dilakukan dengan hormat; sudah selayaknya Dra.
> H. juga
> > > menyelesaikan persoalan pemalsuan tanda tangan ini dengan
> kehormatan.
> > >
> > > Membuat surat permintaan maaf resmi atas surat Dra.H.
> tertanggal 13
> > > Desember 2004, bernomor 392/UL/GAS/DEK/
> E.S, yang
> > > menurut Dr. E.S sama sekali tidak etis.
> > >
> > > Membuat surat permintaan maaf resmi atas penipuan yang
> dilakukan oleh
> > > Sdr. R.C.W.A kepada Dr. E.S selaku dosen pembimbing dan penguji,
> Sdr Drs.
> > > B.W., M.Si (anggota tim penguji), Sdr. Drs. C.S. (Sekretaris)
> Sdr. A.Y.,
> > > S.Sos, M.Si (Ketua tim Penguji); Kepala Laboratorium PS;
> Pembantu Dekan I,
> > > Wakil Rektor I US, Rektor US, Ketua Yayasan US, dan surat kabar
> di mana
> > > skripsi itu dimuat.
> > >
> > > Dua bulan berlalu, pihak Dra. H. juga tampaknya enggan untuk
> meminta maaf.
> > > Sementara Dr. E.S juga masih berpegang pada prinsip etika yang
> semestinya
> > > dipenuhi. Lalu bagaimana dengan Sdr. R.C.W.A? Dra. H. justru
> menawarkan
> > > `persoalan baru' yaitu mengulang satu semester (yang berarti dia
> harus
> > > membayar lagi, bukan?); sungguh suatu penyelesaian yang "manis".
> Satu bukti
> > > bahwa mahasiswa di Perguruan Tinggi semacam ini tak lebih dari
> mesin uang
> > > yang selain bisa diperas juga bisa dikorbankan untuk kepentingan-
> kepentingan
> > > yang lebih besar.
> > >
> > >
> > > BENEATH THE LIES
> > > Pada kasus ini, kita dapat mencermati bahwa permintaan maaf
> telah
> > > kehilangan esensi, berubah menjadi penanda yang merujuk pada
> petanda yang
> > > bermakna: menurunnya gengsi serta kemampuan mempersaingkan
> komoditas.
> > > Permintaan maaf atas kesalahan = menurunnya gengsi serta
> kemampuan
> > > mempersaingkan komdoitas. Gengsi untuk mengakui kesalahan adalah
> bagian dari
> > > tanda-tanda yang dimobilisir ke dalam bentuk komoditi yang
> mendasarkan logika
> > > perbedaan untuk terbangunnya suatu nilai jual. Permintaan maaf
> adalah penanda
> > > yang dapat membuat banyak orang ragu untuk masuk ke FP US,
> karena melekat
> > > pada terbukanya sebuah kesalahan sistemik yang fatal.
> > >
> > >
> > > Kesalahan fatal dalam kasus Sdr. R.C.W.A adalah sebuah penanda
> yang akan
> > > merujuk pada konsep mengenai kurang qualified-nya sebuah
> institusi. Oleh
> > > karena itu kesalahan ini harus ditutupi. Ini make-sense ketika
> Dekan Dra.H.
> > > bukannya menyelesaikan pada pihak-pihak yang tertipu sesuai
> prosedur, namun
> > > justru melakukan tekanan pada Dr. E.S.
> > >
> > >
> > > Seiring perkembangan jaman yang memasuki era posmoderen, orang
> lebih
> > > mengonsumsi penanda ketimbang makna. Penanda-penanda pun telah
> banyak yang
> > > berubah sebagai alat kebohongan. Akreditasi A ataupun jumlah
> kelulusan
> > > dikejar dengan mengabaikan kualitas dan esensi pendidikan.
> > >
> > >
> > > Kondisi ini membawa konsekuensi pada adanya kebutuhan akan
> pendidikan yang
> > > tidak lagi berorientasi mencerdaskan, namun lebih pada
> menghadirkan
> > > perbedaan, baik makna sosial, status, simbol, atau prestise.
> Universitas A
> > > lebih baik dari B karena akreditasinya lebih tinggi, bukan pada
> kualitas
> > > karya. Begitu pula dengan anggapa bahwa universitas C lebih baik
> dari
> > > universitas D hanya dengan ukuran jumlah lulusan yang lebih
> banyak. Di satu
> > > sisi, ini juga membuat gelar dan ijazah tak lebih dari
> komoditas. Berbagai
> > > gelar kesarjanaan disandang oleh berbagai orang, namun semuanya
> samasekali
> > > tidak mencerminkan adanya kualitas berpikir saintis. Bisa
> dihitung lulusan
> > > perguruan tinggi yang menguasai benar kelimuannya dan siap masuk
> dalam dunia
> > > kerja. Sementara di sisi lain, layaknya hukum demand-supply,
> perguruan tinggi
> > > juga mengubah dirinya sebagai penjaja ijazah. Agar dapat menjadi
> penjaja
> > > ijazah yang handal, maka diperlukan penanda-penanda seperti
> angka kelulusan.
> > >
> > >
> > >
> > > Kehandalan sebagai penjaja ijazah, akan membawa konsekuensi
> pada semakin
> > > bertambahnya penghasilan. Dengan demikian, sekolah tak lebih
> dari upaya
> > > mengonsumsi suatu permainan tanda (free play of sign), tanpa
> perlu terikat
> > > pada sebuah makna dan identitas yang tetap. Pada titik inilah
> pendidikan
> > > telah kehilangan esensinya. Mahasiswa-mahasiswa itu hanya larut
> dan
> > > mempercayai begitu saja, bahwa Fakultas/perguruan tinggi favorit
> memiliki
> > > kualitas pendidikan yang berkualitas. Tak pernah ada yang
> melihat secara
> > > kritis bahwa perguruan tinggi semacam ini bisa jadi tak lebih
> dari mesin
> > > pencetak ijazah yang menempatkan mahasiswa sebagai sosok yang
> bisa
> > > dieksploitasi.
> > >
> > >
> > > Tanda-tanda dalam dunia pendidikan terus bergerak, berlari,
> berpacu sembari
> > > merelatifkan suatu stabilitas makna. Baik perguruan tinggi,
> maupun mahasiswa
> > > bukan mengejar ilmu yang akan mengembangkan kemanusiaannya,
> melainkan
> > > berusaha mengejar tanda, makna dan identitas. Mereka mencari
> dalam arus
> > > pergerakan yang tiada henti. Sdr. R.C.W.A pun terlarut dalam
> arus ini (yang
> > > kemudian justru memelantingkannya) ketika memilih untuk memalsu
> tanda tangan
> > > demi tercapainya sebuah gelar dan ijazah.
> > >
> > >
> > > Dengan demikian dapat dikatakan pendidikan tinggi telah
> terseret dalam arus
> > > konsumsi posmoderen, konsumsi yang selalu dahaga, dan tak
> terpuaskan. Suatu
> > > pola konsumsi yang dengan cerdik dibangkitkan oleh perguruan
> tinggi sebagai
> > > produsen ijazah, melalui pencitraan yang dibangun dengan
> pelekatan
> > > penanda-penanda akreditasi, jumlah kelulusan, serta berbagai
> ritual yang
> > > sifatnya tontonan (spectacle). Semua ini akhirnya berkembang
> menjadi titik
> > > sentral yang berperan sebagai perumus hubungan sosial pendidik-
> peserta didik
> > > yang telah kehilangan esensinya. Berpacunya perguruan tinggi
> dalam mengejar
> > > berbagai penanda komoditas itu membuat ada pihak-pihak yang
> tercecer, bahkan
> > > tergilas kemanusiaannya, kasus Sdr. R.C.W.A adalah salah satu
> contoh. Etika
> > > dan pendidikan telah kehilangan esensinya, diambil alih oleh
> penanda-penanda
> > > yang maknanya jauh dari esensi pendidikan.
> > >
> > >
> > > Bagaimana cermatan anda?
> > >
> > >
> > >
> > >
> > >
> > >
> > >
> > >
> > >
> > >
> > >
> > >
> > > Audifax mengundang anda untuk mendiskusikan esei ini di milis
> Psikologi
> > > Transformatif. Jika anda memiliki concern terhadap tema yang ada
> pada esei
> > > ini, mari bergabung dengan kita yang ada di milis Psikologi
> Transformatif
> > >
> > >
> > > Sekilas Mailing List Psikologi Transformatif
> > > Mailing List Psikologi Transformatif adalah ruang diskusi yang
> didirikan
> > > oleh Audifax dan beberapa rekan yang dulunya tergabung dalam
> Komunitas
> > > Psikologi Sosial Fakultas Psikologi Universitas Surabaya. Saat
> ini milis ini
> > > telah berkembang sedemikian pesat sehingga menjadi milis
> psikologi terbesar
> > > di Indonesia. Total member telah melebihi 2000, sehingga wacana-
> wacana yang
> > > didiskusikan di milis inipun memiliki kekuatan diseminasi yang
> tak bisa
> > > dipandang sebelah mata. Tak ada moderasi di milis ini dan anda
> bebas masuk
> > > atau keluar sekehendak anda. Arus posting sangat deras dan
> berbagai wacana
> > > muncul di sini. Seperti sebuah jargon terkenal di psikologi "Di
> mana ada
> > > manusia, di situ psikologi bisa diterapkan" di sinilah jargon
> itu tak sekedar
> > > jargon melainkan menemukan konteksnya. Ada berbagai sudut
> pandang dalam
> > > membahas manusia, bahkan yang tak diajarkan di Fakultas
> Psikologi Indonesia.
> > >
> > >
> > > Mailing List ini merupakan ajang berdiskusi bagi siapa saja
> yang berminat
> > > mendalami psikologi. Mailing list ini dibuka sebagai upaya untuk
> > > mentransformasi pemahaman psikologi dari sifatnya selama ini
> yang tekstual
> > > menuju ke sifat yang kontekstual. Anda tidak harus berasal dari
> kalangan
> > > disiplin ilmu psikologi untuk bergabung sebagai member dalam
> mailing list
> > > ini. Mailing List ini merupakan tindak lanjut dari simposium
> psikologi
> > > transformatif, melalui mailing list ini, diharapkan diskusi dan
> gagasan
> > > mengenai transformasi psikologi dapat terus dilanjutkan. Anggota
> yang telah
> > > terdaftar dalam milis ini antara lain adalah para pembicara dari
> simposium
> > > Psikologi Transformatif : Edy Suhardono, Cahyo Suryanto, Herry
> Tjahjono,
> > > Abdul Malik, Oka Rusmini, Jangkung Karyantoro,. Beberapa rekan
> lain yang
> > > aktif dalam milis ini adalah: Audifax, Leonardo Rimba, Nuruddin
> Asyhadie,
> > > Mang Ucup, Goenardjoadi Goenawan, Ratih Ibrahim, Sinaga Harez
> Posma,
> > > Prastowo, Prof Soehartono Taat Putra,
> > > Bagus Takwin, Amalia "Lia" Ramananda, Himawijaya, Rudi Murtomo,
> Felix
> > > Lengkong, Hudoyo Hupudio, Kartono Muhammad, Helga Noviari,
> Ridwan Handoyo,
> > > Dewi Sartika, Jeni Sudarwati, FX Rudy Gunawan, Arie Saptaji,
> Radityo
> > > Djajoeri, Tengku Muhammad Dhani Iqbal, Anwar Holid, Elisa
> Koorag, Lan Fang,
> > > Lulu Syahputri, Kidyoti, Alexnader Gunawan, Priatna Ahmad, J.
> Sumardianta,
> > > Jusuf Sutanto, Stephanie Iriana, Yunis Kartika dan masih banyak
> lagi
> > >
> > >
> > > Perhatian: Milis ini tak ada moderator yang mengatur keluar
> masuk member.
> > > Setiap member diharap bisa masuk atau keluar atas keputusan dan
> kemampuan
> > > sendiri.
> > >
> > >
> > > Jika anda berminat untuk bergabung dengan milis Psikologi
> Transformatif,
> > > klik:
> > >
> > >
> > > www.groups.yahoo.
> > >
> > >
> > > ------------
> > > Be a better friend, newshound, and know-it-all with Yahoo!
> Mobile. Try it
> > > now.
> >
>
>
>
Change settings via the Web (Yahoo! ID required)
Change settings via email: Switch delivery to Daily Digest | Switch format to Traditional
Visit Your Group | Yahoo! Groups Terms of Use | Unsubscribe
__,_._,___
Tidak ada komentar:
Posting Komentar