Dear Bapak...
Menarik sekali apa yang bapak sampaikan, hal yang terpenting sekarang adalah pengenalan dari basic etika kepedulian itu sendiri..
jujur dalam situasi kerja yang sekarang yang lu2 hadapi, terlalu sulit untuk menjadikan semua masukan yang telah di matangkan menjadi suatu keputusan, mungkin juga karena banyaknya perbedaan terutama basic educationnya....
contoh nyata dalam situasi kerja yang tidak kondusif adalah, kami sebagai orang asia, terkadang harus mengikuti apa yang mereka inginkan, walau terkadang bersifat selfishness, jadinya memang amat sulit sekali untuk bisa merubah selfishness menjadi suatu kebulatan yang utuh untuk kepentingan bersama...alhasil masih saja konflik itu berlanjut dan berlanjut ..
sekali lagi terima kasih
salam hangat dan salam kenal selalu buat anda..
/Lu2
takwin2000 <takwin2000@yahoo.
Lu2 yang baik,
Beberapa psikolog di Indonesia sudah menggunakan teori penalaran
moral dari Gilligan. Dalam beberapa proses pendampingan korban dan
pelatihan-pelatihan konseling, pendekatan dan teori Gilligan sudah
mulai dipakai. Memang masih perlu sosialisasi yang lebih luas lagi.
Dalam dunia kerja, terutama yang menuntut orang-orangnya banyak
mengambil kesimpulan, pemahaman tentang bagaimana perempuan
mengambil kesimpulan penting sekali. Yang menarik, teori ini bukan
hanya cocok untuk perempuan, melainkan juga cocok untuk laki-laki.
Belakangan, ada beberapa kajian yang hasilnya menempatkan etika
kepedulian sebagai etika yang diperlukan masyarakat agar terhindar
dari konflik berkepanjangan. Dengan etika kepedulian, kehidupan
bersama yang saling meleluasakan tanpa kecenderungan mencelakakan
dapat dikembangkan. Etika kepedulian merupakan dasar dari hubungan
intersubjektif manusia.
Salam,
Aten
--- In psikologi_transformatif@yahoogroups , lulu <lu2_mm@...>.com
wrote:
>
> Dear Bapak.....
>
> Mungkin ini bisa di aplikasikan langsung dalam ruang lingkup
kerja yang berbeda, dimana terkadang terjadi misscomunication
diantara staf yang kebetulan harus di pimpin oleh seorang wanita...
>
> Seperti apa yang bapak katakan... memang terkadang dalam
pengambilan keputusan,wanita cenderung mengedepankan rasa peduli
yang berlebih yang mungkin agak keterlaluan jika lu2 bilang ` rasa
kasihan `
> akibatnya malah menjadikan sikap yang seperti bak senjata makan
tuan..
> dan terkadang menjadikan situasi makin tidak indusif...
>
> yang terpenting sekarang...
> terima kasiih banyak atas sharing nya ...
> sebagai bahan dasar dalam aplikasi leadership...
>
> warm regard
> /lu2
>
>
> takwin2000 <takwin2000@...> wrote:
> Agar Sesedikit Mungkin Orang yang Dirugikan Tentang
Pengambilan Keputusan Pada Perempuan
> Oleh: Bagus Takwin
> Membahas secara khusus pengambilan keputusan perempuan
mengandaikan ada kekhususan proses itu pada perempuan. Jika tidak
ada kekhususan maka tidak diperlukan kajian khusus terhadapnya. Ada
banyak cerita yang mempertunjukkan berbagai perbedaan antara
perempuan dan laki-laki, termasuk juga dalam kegiatan membuat
keputusan. Beredar mitos bahwa perempuan tidak bisa membuat
keputusan atau tidak bisa memilih. Jangan kasih pilihan kepada
perempuan, kata mitos itu, karena akan menyulitkan perempuan. Jika
pun perempuan memilih, pilihan itu pasti didasari pertimbangan
menyenangkan paling banyak orang lain. Asal kebanyakan orang senang,
diri sendiri dikorbankan pun ia rela saja. Apa betul begitu?
Penelitian-penelitian tentang pengambilan keputusan perempuan
menunjukkan hasil yang berbeda. Bukan itu kenyataan yang terjadi
pada perempuan.
> Apakah perbedaan yang tampil antara perempuan dan laki-
laki bersifat alamiah? Secara seksual ya. Artinya organ kelamin
perempuan dan laki-laki berbeda. Tetapi dalam hal lain, nanti dulu.
Dalam berbagai penelitian psikologi, perempuan dan laki-laki
ternyata tidak terlalu banyak berbeda dalam hak kemampuan mental.
Perempuan lebih baik dalam kemampuan verbal, sedangkan laki-laki
dalam penalaran spasial. Itu pun belum bisa dipastikan apakah itu
bawaan alamiah atau hasil pembiasaan.
> Lalu apa yang menyebabkan, pada banyak sekali kasus,
kinerja perempuan dan laki-laki berbeda? Bagaimana memahami dan
menjelaskan perbedaan itu? Penjelasannya membutuhkan kajian budaya
dan pola asuh. Kedua faktor yang saling berkait itu punya tanda-
tanda yang bisa membawa kita kepada pemahaman tentang mengapa dan
bagaimana perempuan menjadi tampak begitu berbeda dari laki-laki.
> Attachment vs Separation; Kepedulian vs Keadilan
> Carol Gilligan, seorang psikolog perempuan Amerika,
menemukan bahwa perempuan cenderung lebih peduli kepada orang,
sedangkan laki-laki lebih peduli kepada prinsip-prinsip abstrak.
Dalam bukunya In A Different Voice (1982), ia menjelaskan bahwa
perempuan lebih `momong' dan melibatkan berperasaan, sedangkan laki-
laki mengembangkan fanatisme dan kecenderungan menjaga jarak dari
hal-hal emosional. Secara ekstrem, implikasi logis yang dapat
ditarik perbedaan itu dapat disimpulkan bahwa perempuan merupakan
`perawat masyarakat', sedangkan laki-laki merupakan orang yang sadis
dan perampas.
> Perbedaan yang dikemukakan Gilligan itu dapat ditarik
akarnya dalam budaya yang umum berlaku di Amerika dan di banyak
tempat lain termasuk Indonesia. Perempuan diajar untuk peduli
terhadap orang lain dan berharap orang lain peduli kepadanya. Dia
diharapkan untuk menjaga harmoni, sedangkan laki-laki lebih
diijinkan untuk berkonflik. Perbedaan itu bisa menjelaskan perbedaan
karakteristik psikologi dan perempuan. Laki-laki lebih tinggi
kemampuan abstraksi karena terbiasa untuk menemukan fokus dari
berbagai hal dan mengabaikan kebersamaan. Sedangkan perempuan lebih
tinggi kemampuan verbalnya karena terbiasa menjalin hubungan
harmonis dengan orang lain.
> Dengan temuannya itu, Gilligan mengkritik teori
perkembangan moral dari Kohlberg yang menyatakan perkembangan moral
perempuan dewasa muda lebih lambat dari laki-laki dewasa muda.
Gilligan mengkritik Kohlberg berdasar dua hal. Pertama, Kohlberg
lebih banyak meneliti laki-laki kulit putih dan pemuda. Ini
menyebabkan opini yang bias tentang perempuam. Kedua, dalam teori
tahap perkembangan moral Kohlberg, pandangan hak dan aturan
individual laki-laki diletakkan dalam tahap yang lebih tinggi
daripada pandangan perempuan tentang perkembangan yang didasari oleh
kepedulian dan efeknya terhadap hubungan antar manusia.
> Dengan temuannya, Gilligan juga mengkritik teori
perkembangan dari Erik H. Erickson yang cenderung menjadikan proses
pembentukan identitas diri sebagai tanda dari kedewasaan.
Menggunakan kerangka piker Erikson dapat ditunjukkan bahwa
perkembangan identitas perempuan lebih lambat dari laki-laki. Teori
Erickson seolah-olah secara alamiah menunjukkan bahwa perempuan
lebih lambat dewasa daripada laki-laki. Padahal itu adalah bentukan
budaya. Pada prakteknya, perempuan dituntut untuk memiliki
attachment (kelekatan) yang tinggi dengan orang lain, terutama
keluarga, sedangkan laki-laki dituntut untuk cepat mencapai
separation (keterpisahan) dari keluarga. Perempuan tidak dibiasakan
untuk menyuarakan kepentingannya sendiri, sedangkan laki-laki
dituntut untuk bias menyelesaikan persoalan-persoalannya sendiri
secara mandiri. Walhasil, perempuan lebih lambat mencapai identitas
diri dari laki-laki.
> Menurut Gilligan, Kohlberg yang menggunakan dasar
perkembangan psikologis dari Erickson dan perkembangan kognitif dari
Jean Piaget, membangun teori perkembangan moral dengan pemahaman
yang bias. Akibatnya, teorinya pun bias. Gilligan hendak memperbaiki
itu. Ia melakukan riset psikologis terhadap remaja perempuan untuk
mengkonstruksi teori perkembangan moral. Hasilnya, ia menemukan pada
perempuan ada kecenderungan pada perempuan untuk menggunakan `etika
kepedulian' yang dicirikan oleh fokus terhadap tanggung-jawab dalam
hubungan particular antar manusia. Penggunaan etika kepedulian ini
jauh lebih tinggi daripada penggunaan `etika keadilan' yang
menekankan kepada aturan dan hak yang umum.
> Dalam karya-karyanya Gilligan mengajukan keberatan melawan
psikologi kepribadian yang berpusat kepada laki-laki dari Sigmund
Freud dan Erickson, juga menentang psikologi perkembangan berpusat
kepada laki-laki dari Kohlberg. Gilligan mengajukan teori tahap
perkembangan moral untuk perempuan. Dengan dasar teoritis ini kita
dapat memahami bagaimana perempuan mengambil keputusan.
> Kepedulian sebagai Dasar Pertimbangan Pengambilan Keputusan
> Perempuan cenderung menggunakan kepeduliannya terhadap
orang lain sebagai dasar pertimbangan pengambilan keputusannya.
Kalau kita pahami lebih jauh, pandangan dunia perempuan adalah
harmoni. Perempuan cenderung memandang alam dan isinya sebagai
saling-kerkaitan. Dengan kepeduliannya, perempuan cenderung berusaha
untuk menjaga agar segala sesuatu tetap harmonis, saling berhubungan
secara baik.
> Pada tahapan terendah, kepedulian ditampilkan sebagai cara
untuk bertahan hidup atau survival. Keputusan-keputusan yang diambil
perempuan di tahap pertama ini didasari oleh kebutuhan untuk menjaga
diri agar tetap hidup, terhindar dari rasa sakit, terhindar dari
kematian. Tujuan yang hendak dicapai adalah bertahan hidup sebagai
individu. Pada tahap berikutnya, transisi ke tahap dua, sudah mulai
ada transisi dari selfishness (mementingkan diri sendiri) ke
tanggung-jawab terhadap orang lain. Keputusan-keputusan diambil
mulai didasari pertimbangan kepentingan orang lain. Tujuan dari
keputusan adalah tanggung-jawab terhadap orang lain namun masih juga
diwarnai oleh kepentingan diri sendiri.
> Di tahap kedua, perempuan mengambil keputusan dengan dasar
pengorbanan sebagai hal yang baik. Dalam pandangan perempuan dalam
tahap ini yang baik atau yang bermoral adalah pengorbanan diri.
Keputusan-keputusan yang diambil didasari oleh pandangan ini.
Kepedulian terhadap orang lain mengalahkan kepentingan diri sendiri.
Perempuan di tahap ini rela menderita asalkan orang lain (terutama
yang dicintainya) sejahtera.
> Di tahap transisi menuju tahap tiga, ada peralihan dari
penempatan yang baik sebagai dasar pembuatan keputusan ke kebenaran
bahwa ia juga pribadi yang memiliki kebutuhan dan perlu
dipentingkan. Ada pertentangan antara kebaikan dengan kenyataan
bahwa ia juga memiliki kebutuhan untuk memperoleh kesejahteraan.
Tahap ini mengarah ke tahap tiga yaitu tahap yang dicirikan oleh
kepedulian untuk tidak menyakiti siapa pun. Hidup tanpa kekerasan
menjadi prinsip yang dipegang di tahap tiga. Keputusan yang diambil
didasari oleh pertimbangan kepentingan semua pihak. Tujuannya agar
semua orang tidak mengalami kerugian atau paling tidak agar
sesedikit orang yang dirugikan atau disakiti. Kepedulian mencakup
seluruh pihak, baik dirinya maupun orang lain. Harmoni semua pihak
diusahakan dan dijadikan dasar pertimbangan.
> Pengambilan Keputusan Perempuan dan Aktualisasi Diri
> Pada tahap terakhir dari perkembangan moral Gilligan,
keputusan perempuan didasari oleh tujuan untuk mempertemukan semua
kepentingan, mengusahakan agar semua pihak sejahtera. Motif yang
bekerja bukan motif egosentris atau sosiosentris. Bukan pula motif-
motif dasar bertahan hidup yang bersumber pada naluri. Motif yang
bekerja di sana lebih menyerupai atau setara dengan kebutuhan
aktualisasi diri yang dikemukakan oleh Maslow. Perempuan di tahap
akhir ini berusaha untuk mengatasi berbagai dilema yang ia hadapi
demi mencapai kesejahteraan bersama. Ia berusaha mengembangkan
dirinya dan orang lain, lebih jauh lagi, mengembangkan dunia.
> Dengan demikian dapat dipahami bahwa pengambilan keputusan
perempuan pada tahap ketiga menurut teori perkembangan moral
Gilligan merupakan upaya untuk mengaktualisasi-diri. Salah satu
orang yang sudah teraktualisasi dirinya adalah kemampuan untuk
melampaui dikotomi atau dalam istilah Maslow: transcend the
dichotomy. Berbagai pertentangan dilematis coba ditengahi dan
diatasi bukan dengan mengorbankan salah satu, melainkan dengan
melampaui semua itu untuk menghasilkan sintesis yang mencakup semua
daya dan mensejahterakan semua pihak.
> Dengan memahami pengambilan keputusan pada tahap tiga itu
sebagai wujud dari pemenuhan kebutuhan aktualisasi diri, kita dapat
memahami bahwa tahapan perkembangan moral dari Gilligan bukan hanya
sesuai dengan perempuan tetapi diterapkan juga untuk menjelaskan
perkembangan moral laki-laki dan kaitannya dengan pengambilan
keputusan pada laki-laki. Gilligan memberikan sumbangan pemahaman
bagi psikologi bahwa perilaku perempuan dan laki-laki dapat dipahami
dengan dasar etika kepedulian. Dengan teorinya itu, Gilligan
mengubah psikologi yang berorientasi kepada laki-laki menjadi
psikologi yang bebas dari bias gender. Dengan kata lain, Gilligan
menjadikan psikologi sebagai ilmu yang memadai untuk menjelaskan
baik perilaku laki-laki maupun perempuan.***
>
>
>
>
>
>
> --------------------- --------- ---
> Bergabunglah dengan orang-orang yang berwawasan, di bidang Anda di
Yahoo! Answers
>
Kunjungi halaman depan Yahoo! Indonesia yang baru!
Change settings via the Web (Yahoo! ID required)
Change settings via email: Switch delivery to Daily Digest | Switch format to Traditional
Visit Your Group | Yahoo! Groups Terms of Use | Unsubscribe
SPONSORED LINKS
.
__,_._,___
Tidak ada komentar:
Posting Komentar