MENIMBANG CELAH CALON INDEPENDEN
BAGI ORGANISASI MASSA DALAM PILKADA LANGSUNG
Oleh: Triyanti Widiastuti
Keputusan Mahkamah Konstitusi pada Kamis, 26 Juli 2007 tentang disahkannya calon perorangan untuk maju menjadi calon gubernur seperti tidak mendapat respon besar di kalangan masyarakat kita, atau minimal dalam perbincangan pemimpin organisasi massa saat ini. Calon perorangan yang muncul, tidak lepas dari pilkada DKI Jakarta yang sedang gencar berproses kampanye ria sebelum waktunya dan mendapat protes keras dari orang-orang yang tidak lolos melalui mekanisme partai. Sementara kebanyakan orang sibuk dengan calon gubernur DKI yang sekarang getol menyebar uang dan janji. Deal-deal kepentingan jual suara anggota ormas dengan bertukar rupiah dan jabatan atau proyek ke depan, seperti lebih memabukkan dari pada ! menggagas peluang-peluang yang bisa dilakukan secara mandiri oleh kekuatan rakyat, walaupun pasti ada ancaman dan hambatannya.
Melihat sekilas pilkada gubernur DKI Jakarta, saat ini kita berhadapan dengan dua pilihan: yang satu (kubu Adang) tidak memahami persoalan dan nampaknya mengandalkan penyelesaian ala neoliberal untuk soal ketenagakerjaan dan termasuk soal lain; sementara yang lain (kubu Fauzi) jelas dan tegas bersikap anti-buruh dan hanya menebar janji humanis. Penglihatan sekilas ini didapat dari debat para jurkam kedua calon di SCTV, 25 juli 2007. Juga dalam setiap kampanye kedua calon dengan menggaet sejumlah ormas serta memobilisasi massanya. Namun ini menjadi tidak dipedulikan oleh banyak pimpinan serikat buruh atau ormas lainnya dan asyik mencari celah dapat duit. Bahkan ada seorang kawa! n aktifis yang terkenal paling radikal bilang: "kita! injek k akinya biar keluar duitnya". Ini cermin dari pendirian kelas buruh yang lemah dan cenderung oportunis. Tentu tidak ada pilihan keduanya untuk dipilih dalam pilgub atau dalam taktik apapun tidak ada yang bisa mempertemukan cagub dengan kepentingan ormas dan persoalan rakyat.
Yang begitu menggebu untuk membicarakan soal calon independen/perorangan hanyalah beberapa individu yang ambisius naik menjadi calon gubernur dan gagal melalui mekanisme partai. Keadaaan ini seperti memberi gambaran akan ambisi pribadi dan balas dendam ketika ada sebuah peluang. Watak mencari untung sendiri dengan menebar berbagai dalih pembenaran atas dukungannya menunjukkan dominasi watak bojuis hari ini dalam masyarakat kita, bahkan di dalam diri pimpinan ormas yang disebut maju.
Mencuatkan opini calon independen dengan start pilkada DKI, sebenarnya menjadi strategi intelektual borjuis yang ingin naik ke tampuk kekuasaan dengan memanfaatkan program humanis dan asal anti kemapanan atau anti kekuasaan yang ada di tengah massa mengambang serta kerinduan besar akan perubahan. Keadaan ini yang seharusnya dijawab terbalik oleh organisasi massa yang lebih progresif, yakni memanfaatkan momentum untuk mengencangkan ikatan persatuan antar sektor dan menyusun program yang benar-benar berpihak kepada rakyat dan anti neoliberlisme. Karena bagaimanapun, membiarkan momentum calon independen pilkada dilepas kepada intelektual borjuis akan melahirkan kelompok-kelompok baru yang "asal", anarkis dan tidak terorganisir dalam kepemimpinan kelas pekerja.
Bergulirnya calon independen bagi DKI Jakarta mema! ng sudah tidak punya peluang. Pun, di daerah-daerah masih menu! nggu atu ran pelaksanannya. Ini problem lainnya, karena ribut siapa yang mengatur masih belum selesai. Apakah KPUD, Presiden atau Mendagri. Dengan tidak mengabaikan persoalan siapa yang mengatur dan memakai aturan apa, karena hal kecil. Dari persoalan tersebut organisasi massa dan orpol kelas sudah harus menyiapkan konsolidasi internal organisasi serta konsolidasi dalam bentuk front persatuan. Organisasi massa yang memiliki pendirian kelas yang jelas, sudah harus menimbang celah peluang dan menghitung hambatan dalam rangka mendekatkan kelas pekerja pada tampuk kekuasaan. Tentu ini dimaknai sebagai kerja keras dari mulai titik-titik kekuasaan terendah yang paling mungkin direbut oleh kelas pekerja.
Selain hambatan kecil soal peraturan pelaksana dan siapa yang mengatur, ada ancaman besar yang harus diwaspadai oleh organisasi yang mengusung prinsip perjuangan kelas. A! ncaman tersebut adalah:
Pertama, memberikan mimpi selangit bagi pimpinan-pimpinan ormas. Khususnya penyakit ingin popular dan menduduki jabatan tertentu dengan memakai massa untuk menjadi "pelontar" ia naik dalam pilkada. Kondisi ini juga akan "sedikit" menyulitkan karena akan banyak konflik horizontal antar rakyat dan organisasi. Ini penyakit umum dalam demokrasi liberal yang harus dikikis habis dalam organisasi yang meyakini dan melandaskan geraknya dengan perjuangan kelas.
Kedua, menumbuhkembangkan individualisme dan persaingan serta hilangnya keyakinan akan perjuangan kelas buruh ole! h masyarakat awam. Ini ancaman besar dalam proses pembangunan ! kekuatan politik kelas, artinya proses berlawan dan sadar politik dari massa saat ini bisa berjalan mundur dan menjauhkan perjuangan kelas rakyat Indonesia. Pemahaman ini dipasok pada propaganda bahwa demokrasi liberal lebih akomodatif, ada kompromi antara penghisap dan yang dihisap serta selalu disediakan ruang bagi rakyat untuk berperan serta. Propaganda ini harus dijawab oleh organisasi yang berlandaskan kepentingan kelas, bahwa politik pengaruh, politik uang dan memanfaatkan suara massa tetap terjadi dan penipuan ini harus benar-benar dibongkar.
Ketiga, hilangnya kehendak dan keyakinan pada partai politik sebagai alat politik, khususnya partai kelas buruh. Karena yang tumbuh dalam era calon independen dalam masyarakat adalah kepercayaan pada individu bukan kolektivitas.
Menimbang celah peluang calon independen/perorangan dalam pilkada baik daerah kota/kabupaten maupun propinsi, harus juga dikalkulasi kekuatan yang riil ormas-ormas yang maju maupun orpol yang berbasiskan kekuatan dan kepentingan kelas pekerja. Karena syarat untuk bisa memajukan calon independen yang bisa menjawab kebutuhan dan kepentingan kelas pekerja hanyalah ketika dipandu oleh kekuatan partai politik yang dipimpin, diisi dan memihak kelas pekerja. Syarat ini sebenarnya untuk memastikan bahwa ada calon pilihan dari kelas pekerja dan kekuatan organisasional mampu melakukan instruksinya serta mampu mengontrol apabila berkuasa. Di sisi lain dibutuhkan tradisi politik yang baru dalam pilkada, yakni tradisi yang mengedepankan program yang konkrit berbasis kebutuhan masyarakat dan ikatan organisasional, bukan tradisi politik uang.
Tentu saja, ! kita tid ak bisa berkeluh kesah dan hanya melakukan intrik sana-sini. Peluang sekecil apapun harus digunakan untuk menaikkan kelas pekerja pada tampuk kekuasaan. Di antara ancaman besar tersebut ada sebuah peluang besar untuk bisa merebut kekuasaan dengan tumbuh kembangnya organisasi massa yang maju dan menuntun massa-nya memasuki gelanggang politik riil. Selain itu, kefrustasian massa rakyat pekerja dengan penipuan oleh partai borjuis serta intelek borjuis bisa dikikis dengan memberikan keyakinan bahwa dengan membangun kekuatan kelas pekerja bersama bisa menuju kekuasaan riil. Peluang yang lainnya adalah bahwa organisasi rakyat yang berprinsip perjuangan kelas bisa berpropaganda terbuka, beroposisi terbuka dengan program dan pilihan pimpinannya sendiri yang lahir dari massa. Namun ini harus terus diwaspadai dan organisasi bertindak ekstra hati-hati, karena kapitalisme dengan rezim kompradornya serta seluruh anteknya tentu tidak akan tinggal diam akan gerakan yang mengancam mereka./! span>
Dengan keadaan tersebut, maka kita secara bersama sudah harus menggagas langkah cepat. Pertama, konsolidasi antar organisasi massa yang maju di semua wilayah untuk membangun kekuatan politik yang dilandaskan pada kesepakatan kolektif organisasi untuk mengusung calon dari kelas pekerja. Bentuk persatuan ini bisa front persatuan di tingkat wilayah-wilayah dan ditargetkan dalam persatuan nsional untuk kepentingan lebih besar.
Kedua, front persatuan di tingkat wilayah dan nasional sudah harus menegaskan sikap politiknya pada pilkada dan momentum politik apapun, sehingga terlihat posisi tegasnya terhadap rezim dan pe! main politik serta keberpihakan pada rakyat. Selanjutnya pendi! dikan po litik terhadap massa dan kadernya dalam rangka menempatkan calon independen dalam pilkada hanyalah taktik. Sikap politik lainnya adalah dengan membangun oposisi terhadap rezim di wilayah lokal oleh front persatuan tersebut. Ini juga sebagai alat pembelajaran kepada massa pekerja akan konsistensi dalam bersikap.
Ketiga, semua pekerjaan ini harus dilandaskan pada kepentingan pembebasan kelas pekerja Indonesia dari penghisapan kapitalisme yang memakai rezim komprador dan seluruh borjuis anteknya. Artinya pembangunan kekuatan di semua wilayah dan nasional mengharuskan pembangunan partai kelas buruh yang bebas dari subyektivisme, revisionisme dan merasa besar sendiri. Partai ini harus didasarkan kekuatan pokok kaum buruh dan ! kaum tani yang terorganisir secara ideologi, politik dan organisasi.
Memang, ini proses dialektika yang begitu panjang dalam melawan neoliberalisme oleh kelas buruh. Namun proses ini akan semakin mematangkan kemampuan kaum buruh, kaum tani dan kelas pekerja secara menyeluruh dalam berlawan. Tentu saja program yang berlandaskan kebutuhan massa serta jalan keluar untuk menjawabnya dan dijalankan secara konsistenlah yang akan menjadi besar dan diikuti oleh massa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar