Dr. Rizal Ramli: Cangkir Emas Dipakai Mengemis
Oleh : Wilson Lalengke
http://kabarindones
11-Okt-2007, 08:12:53 WIB - [www.kabarindonesia
KabarIndonesia - Bicara blak-blakan, sangat terbuka dan lancar tanpa
beban. Itulah kesan kuat yang melekat sebagai ciri khas ekonom
lulusan Master dan Doktor dari Boston University, Amerika Serikat
ini. Namun, ia tidak sekedar bicara alias asbun (asal bunyi) tapi
semua yang dipaparkan selalu didukung oleh fakta, data dan analisa
yang tajam tentang berbagai hal yang sedang dibahas, terutama bila
bicara tentang persoalan ekonomi Indonesia. Pengetahuan dan
wawasannya yang luas di bidang ekonomi ditunjang oleh keberanian dan
kejujuran yang tinggi, memang tidak diragukan lagi. Hingga tidak
mengherankan jika sebagian kalangan memberikan julukan kepadanya
sebagai "The Trusted Indonesian Economist".
Dr. Rizal Ramli, dilahirkan di Padang, Sumatra Barat, pada 10
Desember 1953. Ayahnya seorang asisten Wedana sementara ibunya
adalah Guru. Ibunya meninggal pada saat Rizal masih berumur 7 tahun,
sehingga ia harus tinggal dengan neneknya di kota Bogor. Sebagai
anak seorang guru, ia sangat rajin membaca. Ia sejak muda telah
kenal dan bergaul akrab dengan berbagai buku bacaan, termasuk buku-
buku penting karya Albert Einstein. Tidak heran jika kemudian ayah 3
anak (Dhitta Puti Saraswati, Dipo Satrio, dan Daisy) ini kemudian
sangat mengagumi dan mengidolakan pemikir besar Einstein dan
mengoleksi berbagai versi biografi dari ilmuwan berkebangsaan Jerman
itu.
Debut Rizal Ramli sebagai sosok pemikir yang kritis dan berani
dimulai sejak suami Herawati M. Mulyono ini sebagai mahasiswa di
Institut Teknologi Bandung (ITB). Kala itu, di tahun kedua masa
belajarnya, ia sudah melibatkan diri dalam diskusi-diskusi yang
bersinggungan dengan bidang politik di Dewan Mahasiswa, yang
kemudian mengantarkannya menjadi Deputi Ketua Dewan Mahasiswa ITB
tahun 1977. Karakter dan idealismenya sangat kuat sehingga ia berani
mengoreksi kekeliruan sistim politik dan strategi pembangunan
Indonesia masa itu, yang sempat mengantarkan Rizal muda ke penjara
militer selama beberapa bulan dan penjara Sukamiskin, Jawa Barat,
selama satu tahun (1978/1979) akibat aksi menentang pemilihan
kembali Soeharto sebagai presiden. Sikap kritis dan tidak mau
kompromi dengan kebijakan berbau korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN)
yang dijalankan pemerintahan negara tetap menjadi kesehariannya
hingga di usia paruh baya hari ini.
Konsekwensi dari keteguhan idelismenya itu, Ramli praktis tidak
pernah diberi kesempatan berkarir di pemerintahan sampai tumbangnya
rezim Suharto. Kiprahnya bagi pembangunan bangsa melalui peran aktif
di pemerintahan baru dimulai ketika Presiden Abdulrahman Wahid
memintanya menjadi Kepala Badan Logistik (Bulog) pada April 2000.
Saat itu, kinerja Bulog sangat buruk dan membutuhkan pembenahan
internal oleh orang yang kapabel dan terpercaya untuk mengembalikan
kepercayaan masyarakat terhadap badan ini. Tugas utama Ramli oleh
Presiden Gusdur, panggilan akrab Abdurrahman Wahid, adalah mendorong
Bulog menjalankan kembali fungsinya dengan baik yakni memenuhi
kebutuhan rakyat, menjaga harga penjualan petani sebaik mungkin dan
membersihkan Bulog dari praktek KKN.
Hanya selang beberapa bulan mengemban tugas sebagai Kepala Bulog,
tepatnya pada Agustus 2000, pendiri ECONIT Advisory Group, sebuah
lembaga riset yang bergerak dalam bidang ekonomi, industri dan
perdagangan, ini ditunjuk untuk menjabat sebagai Menteri Koordinator
bidang Perekonomian (Agustus 2000 Juni 2001), dan kemudian menjadi
Menteri Keuangan dari Juni hingga Juli 2001. Sebagai Menko
Perekonomian, mantan Pemimpin Redaksi Jurnal Ekonomi dan Sosial
Prisma ini juga merangkap beberapa jabatan penting dan strategis
dalam pemulihan perekonomian yang hancur dilanda krisis moneter,
yakni sebagai Ketua Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) dan
Ketua Tim Keppres 133 untuk renegosiasi listrik swasta.
Kinerja Ramli di pemerintahan dinilai berhasil oleh banyak pihak
karena walau hanya dengan waktu yang relatif pendek, yakni hanya 15
bulan, ia berhasil melakukan sejumlah terobosan yang efektif untuk
mendorong reformasi institusional, restrukturisasi sektoral maupun
korporat, serta percepatan pemulihan ekonomi. Di Bulog misalnya, ia
berhasil melakukan restrukturisasi agar Bulog menjadi organisasi
yang transparan, accountable, dan lebih profesional, sekaligus
mendorong regenerasi; meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan
petani, di mana Bulog meningkatkan pembelian gabah, bukan beras.
Ketika menjadi Menko Perekonomian, alumni Departemen Fisika ITB ini
mencanangkan 10 Program Percepatan Pemulihan Ekonomi yang diakui
oleh dunia internasional sebagai program pemulihan ekonomi yang
kredibel. Hasilnya, ekonomi Indonesia selama tahun 2000 tumbuh
sebesar 4,8%, di atas perkiraan semula yang hanya 2-3% dengan budget
deficit yang lebih kecil dari perkiraan semula, yaitu hanya 3,2%
dari GDP (perkiraan semula adalah 4,8% dari GDP). Turn around
ekonomi Indonesia mulai terjadi pada tahun 2000. Total ekspor
Indonesia selama tahun 2000 mencapai US$ 62 milyar, atau naik 27%
dari ekspor Indonesia pada tahun 1999.
Kebijakan yang ditempuh selama menjadi Ketua KKSK dan Ketua Tim
Kepres 133 juga terbilang sukses. Sebagai Ketua KKSK, Dr. Rizal
Ramli berhasil memutuskan sekitar 140 keputusan penting, baik yang
menyangkut restrukturisasi hutang maupun percepatan penjualan asset
yang dikelola oleh BPPN. Salah satunya adalah restrukturisasi bisnis
dan hutang PT IPTN menjadi PT. Dirgantara Indonesia (PT. DI)
sehingga viable secara bisnis dan finansial. Hasil dari langkah-
langkah tersebut PT. DI penjualannya meningkat dari Rp. 508 milyar
pada tahun 1999 menjadi Rp, 1,4 triliun pada tahun 2001. Kerugian
perusahaan sebesar Rp. 75 milyar tahun 1999 berubah menjadi
keuntungan sebesar Rp. 11 milyar.
Itulah sebagian kecil keberhasilan dan karya dosen tamu di berbagai
perguruan tinggi dalam dan luar negeri yang dapat disebutkan di
sini. Rizal, yang pernah mengambil dan menyelesaikan program Asian
Studies di Sophia University, Tokyo, Jepang tahun 1975 ini, juga
telah menghasilkan banyak sekali karya ilmiah yang telah dimuat
jurnal-jurnal ekonomi terbitan dalam dan luar negeri. Selain sebagai
pengajar bidang ekonomi, ia juga banyak berperan sebagai penasehat
dan konsultan ekonomi bagi berbagai institusi baik swasta maupun
pemerintah, seperti misalnya menjadi konsultan ekonomi DPR RI dari
tahun 1993 hingga 1999.
Sebagai seorang ahli ekonomi kelas dunia, sudah barang tentu akan
sangat menarik untuk mendengar komentar dan pandangan-pandangan
tentang keadaan ekonomi serta prospek perekonomian Indonesia di
tengah arus ekonomi global selama ini. Menurut Rizal, yang sejak
2006 lalu tercatat menjadi wakil pemerintah pada PT Semen Gresik
(pesero) Tbk sebagai Presiden Komisaris, negara kita sebenarnya
adalah negara kaya raya yang digadaikan kepada pihak asing dengan
harga sangat murah; ibarat cangkir emas yang digunakan mengemis uang
recehan kepada negara-negara kreditor. Berikut ini adalah hasil
wawancara KabarIndonesia dengan Bapak Dr. Rizal Ramli di Jakarta
beberapa waktu lalu, yang dituturkan dengan gaya monolog.
KabarIndonesia (KI): Pak Rizal Ramli, politik dan ekonomi ibarat dua
sisi mata uang, saling terkait satu sama lain. Mohon diuraikan
pandangan-pandangan
kondisi politik dan hubungannya dengan pembangunan ekonomi Indonesia
ke masa depan, dan mungkin ada pesan-pesan yang dapat disampaikan
kepada masyarakat kita agar bisa segera keluar dari krisis ekonomi
yang belum juga pulih hingga kini?
Dr. Rizal Ramli (RR): Politik di Indonesia agak berbeda dengan
politik di luar negeri. Mungkin kita masih dalam tahap awal dalam
berdemokrasi. Politik kita masih pada tahap love and hate
relationship (hubungan berdasarkan cinta dan benci red). Jadi,
pemimpin itu mula-mula sangat dicintai, ekspektasi rakyat itu sangat
berlebihan. Kemudian ada periode di mana mulai ada tanda tanya,
betul tidak pemimpin ini bekerja untuk kita semua? Betul tidak ini
pemimpin untuk semua pihak? Nah, setelah itu, seandainya pertanyaan-
pertanyaan itu tidak bisa dijawab, masuk ke fase hate. Kalau sudah
hate, orang Indonesia rata-rata selalu berkata "asal bukan".
Misalnya waktu itu asal bukan Soeharto, asal bukan Habibie, asal
bukan Gusdur, asal bukan Megawati. Memang SBY (Presiden Soesilo
Bambang Yudhoyono red) saat ini sudah masuk fase kritis. Sudah
mulai orang berpikir asal bukan. Sebetulnya sangat ironis, presiden
pertama yang dipilih secara demokratis, presiden pertama yang
dipilih langsung oleh rakyat.
Ada dua masalah utama yang dihadapi Indonesia. Pertama: kualitas
kepemimpinan dan yang kedua school of thought (cara berpikir red)
dalam bidang itu, yang lebih banyak mengandalkan cara berfikir apa
yang dikenal di kalangan economist Washington Consensus. Yaitu garis
kebijakan ekonomi dari Washington untuk negara-negara berkembang,
yang mereka sendiri tidak laksanakan dalam prakteknya. Di Asia Timur
ini hanya ada dua negara yang secara konsisten melaksanakan
Washington Consensus, yaitu Indonesia dan Philipina. Kedua negara
ini tingkat ketimpangannya sangat luar biasa. Kedua negara ini,
sejak beberapa dekade terus merosot. Prestasi terbesar dari kedua
negara ini adalah menjadi eksportir tenaga kerja wanita terbesar di
dunia.
Negara-negara di Asia Timur lainnya seperti Malaysia, Singapura,
Thailand, China, Jepang dan sebagainya tidak menjalankan Washington
Consensus. Mereka lebih percaya bahwa di dalam bidang ekonomi, dalam
perumusan kebijakan di bidang ekonomi, mereka lebih mandiri;
menggunakan apa yang disebut model Asia Timur. Dalam model
Washington Consensus, peranan pemerintah seminimum mungkin,
sementara dalam model Asia Timur pemerintah memainkan peranan yang
proaktif dalam bidang ekonomi. Dengan cara inilah negara-negara di
Asia Timur mengejar ketinggalannya dari Barat. Walaupun di dalam
bidang politik dan militer mereka bekerjasama dengan Washington,
tetapi dalam bidang ekonomi mereka mau mandiri dalam perumusan
kebijakan, karena hanya dengan cara itu mereka bisa mengejar
ketertinggalan dari Barat dan pelan-pelan nanti mereka bisa lebih
kuat secara militer.
Pada pertengahan tahun 1960-an GNP perkapita Indonesia, Malaysia,
Thailand, Taiwan, China nyaris sama, yaitu kurang dari US$100 per
kapita. Setelah lebih dari 40 tahun, GNP perkapita negara-negara
tersebut pada tahun 2004, mencapai: Indonesia sekitar US$ 1.000,
Malaysia US$ 4.520, Korea Selatan US$ 14.000, Thailand US$ 2.490,
Taiwan US$ 14.590, China US$ 1.500. Jadi harus ada pertanyaan. kok
negara-negara lain bisa maju lebih cepat, tingkat kesejahteraan
rakyatnya lebih baik, jurang antara kaya-miskin ada tapi tidak
sebesar yang ada di Indonesia. Nah, tidak bisa hanya menyalahkan
presiden demi presiden, tapi karena ada satu school of thought yang
dominan di dalam pembangunan ekonomi Indonesia yang hanya merupakan
sub-ordinasi dari kepentingan Internasional.
Dari segi yang lain, kalau dilihat dari segi sejarah, kita itu
mendapatkan political independence (kemerdekaan politik - red) pada
17 Agustus 1945, kemerdekaan politik sebagai bangsa. Tahun 1998,
rakyat kita mendapatkan freedom, demokrasi, kebebasan untuk
menyatakan apa saja dan menulis apa saja yang selama rezim otoriter
Soeharto tidak mungkin. Tetapi sejak tahun 1945, belum pernah
terjadi kebangkitan ekonomi. Tidak ada kebangkitan ekonomi. Setelah
tahun 1998, kita juga tidak punya kebangkitan ekonomi itu. Jadi
harus ada pertanyaan mendasar, ketika kita sudah memiliki political
independence, sudah memiliki freedom in terms of democratic
mechanism (kebebasan dalam arti mekanisme demokrasi red), tetapi
mengapa belum pernah terjadi kebangkitan ekonomi sampai sekarang.
Nah, jawabannya adalah apa yang disebut the creeping back of neo-
colonialism (kembalinya kolonialisme gaya baru red). Bukan lagi
model kolonialisme jaman dulu, pakai kekuatan militer dan dominasi
politik, tetapi penguasaan ekonomi melalui mekanisme pasar. Proses
kembalinya neo-kolonialisme itu sebetulnya dimulai pada tahun 1967
saat renegosiasi utang dengan kreditor-kreditor. Set back sedikit,
waktu KMB (Konferensi Meja Bundar red) di Belanda, Indonesia
memang ditekan pada waktu itu untuk mengambil alih utang-utang
pemerintahan Hindia Belanda. Publik tidak banyak tahu bahwa
Pemerintah Indonesia ditekan untuk membayar seluruh utang-utang dari
pemerintah Hindia Belanda. Padahal banyak dari utang-utang itu
adalah utang untuk melawan dan menghancurkan kelompok pejuang
kemerdekaan Indonesia, termasuk para pejuang kemerdekaan kita,
seperti perang di Aceh, perang Pattimura di Maluku, dan sebagainya.
Itu adalah ongkos buat Belanda. Nah itu dinyatakan sebagai utang
pemerintah Indonesia. Pada waktu itu, Soekarno dengan Hatta
menyatakan `sudahlah, kita ambil utang-utang itu, yang penting kita
merdeka dulu, soal utang urusan belakangan'. Begitu KMB
ditandatangani, bung Karno memerintahkan, jangan bayar itu utang.
Jadi walaupun utang itu disepakati, pemerintah Indonesia tidak
pernah mau bayar. Taktiklah istilahnya itu.
Tapi waktu pemerintahan Soeharto, awal Orde Baru pada tahun 1967,
Widjojo Nitisastro dan kawan-kawan yang disebut sebagai Mafia
Berkeley membuat kesepakatan baru untuk mulai membayar utang Hindia
Belanda tersebut yang sebetulnya secara moral itu tidak justified
(dibenarkan red), secara histories politis itu tidak justified.
Tetapi Widjojo dan kawan-kawan waktu itu sepakat untuk mulai
mencicilnya. Widjojo dan kawan-kawan itu memang dididik di Berkeley,
dipersiapkan untuk mengambil alih pengelolaan ekonomi setelah
Soekarno jatuh, supaya membelokkan garis ekonominya, satu garis
dengan garis Washington. Sejak itulah dimulai the creeping back of
neo-colonialism. Seperti diketahui bahwa sekarang, untuk menguasai
suatu negara tidak perlu secara militer, tidak perlu secara fisik,
asal ekonominya bisa dikendalikan, negara tersebut bisa dikuasai.
Sejak itu, walaupun Mafia Berkeley berkuasa nyaris tidak pernah
berhenti selama 40 tahun, berlanjut ke muridnya, ke cucu muridnya
dan seterusnya. Presiden bisa berganti, partai yang berkuasa bisa
ganti, jenderal bisa ganti, TNI bisa melakukan reformasi, tapi di
dalam bidang ekonomi tetap pada garisnya Mafia Berkeley. Nah, inilah
yang menjadi sumber mengapa Indonesia tidak bisa menjadi besar,
karena mereka dalam prakteknya sering menjadi conduit (saluran
red) bagi lembaga-lembaga keuangan internasional seperti Bank Dunia,
IMF, untuk merumuskan undang-undang di Indonesia, merumuskan
berbagai kebijakan. Contoh: awal orde baru tahun 1967, UU
investasinya dibikin oleh satu lembaga kreditor kemudian
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan jadilah UU Investasi.
Banyak sekali UU yang masuk ke kategori itu. Misalnya, Bank Dunia
bilang, saya kasih 400 juta dollar tapi Indonesia harus bikin UU
Privatisasi Air, sehingga petani juga harus bayar air. Kemudian ADB
(Asia Development Bank - red) juga kasih pinjaman 300 juta dollar
tapi Indonesia harus ada UU Privatisasi, agar perusahaan-perusaha
negara bisa dijual dengan harga murah. Jadi banyak sekali UU dan
peraturan pemerintah yang sebetulnya dipesan oleh lembaga-lembaga
keuangan internasional.
Hal itu sesungguhnya melanggar konstitusi. Kita ini adalah sovereign
state (negara yang berdaulat red), tidak boleh ada pihak manapun
yang memberi iming-iming memberi pinjaman dengan syarat ada UU yang
mereka susun. Jelas saat orang menyusun UU, kepentingan dia adalah
nomor satu. Kalau ada satu negara yang UU-nya dipesan dikaitkan
dengan pinjaman, pembuatan UU yang diikat dengan pinjaman, jelas
yang memberi pinjaman itu memiliki kepentingan-
pembuatan UU itu. Jika ada satu negara yang mengikuti pola seperti
ini, bisa dibayangkan bahwa negara ini tidak akan pernah bisa maju.
Di Asia, yang ikut model ini hanya ada dua negara yakni Indonesia
dan Philipina. Negara lain tidak mau mengikuti itu, kalau kebijakan
ekonomi, mereka rumuskan sendiri. Mereka buat UU yang mencerminkan
kepentingan negara mereka, kepentingan rakyat mereka.
Seperti banyak diketahui, di Asia Timur sering terjadi konflik
dagang, misalnya antara Taiwan dengan Amerika, Malaysia dengan
Eropa, dan Singapura juga, walaupun secara politik dan militer,
mereka ikut hegemoninya Washington. Nah kita di dalam politik luar
negeri mengaku independen, dalam prakteknya tidak selalu independen.
Di dalam bidang militer kita punya kerjasama dengan negara-negara
besar, tapi dalam bidang ekonomi kita, pola neo kolonialisme benar-
benar masih berlangsung hingga saat ini. Selama itu tidak
dihancurkan jangan mimpi Indonesia bisa jadi negara besar.
Sesungguhnya Indonesia ini adalah negara yang kaya sekali. Istilah
saya, Indonesia ini memiliki banyak golden bowls, cangkir emas,
seperti Freeport, Cepu, dan sebagainya. Tapi karena mental pemimpin
dan elitnya itu inlander, maka kekayaan itu seakan tidak bermakna.
Cepu misalnya, nilainya antara 120 billion dollar sampai 150 billion
dollar. Lebih besar daripada cadangan minyaknya bekas Caltex di
Sumatra Selatan. Tetapi pengelolaan ladang minyak ini diberikan
kepada perusahaan Exxon tanpa kompensasi yang memadai. Nah, cangkir
emas atau golden bowls ini dipakai untuk mengemis uang recehan. Dari
Bank Dunia 300 juta dollar, dari Amerika 400 juta dollar, dari Eropa
sekian juta dollar. Pemimpin kita tidak tahu golden bowl yang dia
pegang, baru satu Cepu saja, nilainya ratusan milyar dollar. Belum
lagi Freeport nilainya berapa, dan yang lain-lain yang bertebaran di
nusantara itu berapa nilainya.
Kenapa itu bisa terjadi, karena para pemimpin dan elit kita masih
bermental inlander dan tidak percaya diri. Tidak memiliki kemampuan
intelektual untuk menghadapi kepentingan-
itu. Selama mental inlander ini masih dominan di kalangan elit kita,
saya tidak yakin Indonesia akan menjadi negara besar. Tapi kalau
prasyarat tadi itu kita penuhi, yaitu pertama kita hancurkan
hubungan neo kolonialisme di dalam bentuk utang yang dikaitkan
dengan UU dan peraturan pemerintah, kita rumuskan kebijakan ekonomi
kita sendiri. Yang kedua, kita tidak boleh punya sikap inlander yang
bermental rendah diri. Asset-asset yang ratusan milyar dollar ini
adalah milik bangsa kita.
Nah, kalau hal itu terjadi, Indonesia pasti akan menjadi negara
besar. Tapi sayangnya, mohon maaf, dari nama-nama yang pernah
memimpin Indonesia sejak awal orde baru sampai nama-nama dari para
elit yang bercita-cita menjadi pemimpin di tahun 2009, tidak jauh
dan tidak lebih, hanya mengulang lagu lama. Motifnya hanya sekedar
power (kekuasaan red), memanfaatkan power itu untuk popularitas,
untuk kepentingan kelompok, dan lain-lain. Belum ada yang bicara
beyond (lebih daripada - red) itu. Kalau hanya mengulang, okey
pemimpinnya baru, lagunya lagu lama, istilah saya itu `old wine in a
new bottle' (anggur masam di botol baru - red), Indonesia tidak akan
ke mana-mana.
Menurut saya, Indonesia perlu pemimpin baru dan jalan baru. Karena
sudah 40 tahun sejak orde baru sampai sekarang, pemimpin sudah
berganti beberapa kali, tapi lagunya tetap lagu lama, yakni lagu sub-
ordinasi kepada kepentingan internasional, lagu the creeping back of
neo-colonialism. Hanya jika diputus mata rantainya, baru akan
terjadi perubahan dan memungkinkan kebangkitan ekonomi Indonesia.
Saya mau berkampanye. Bukan dalam arti mau jadi pemimpin, tetapi
berkampanye bahwa Indonesia perlu jalan baru. Pointnya adalah
keinginan mengubah school of thought. Hal ini bisa dilakukan melalui
media dan lain-lain bahwa Indonesia perlu jalan baru. Kalau hanya
pemimpin baru, rakyat Indonesia hanya akan dibohongi kembali. Ada
dulu pemimpin yang idealismenya bela `wong cilik' tetapi setelahnya,
bela `wong licik'. Kenapa bisa begitu, ini lebih disebabkan oleh
school of thought-nya itu tidak mungkin bela rakyat kecil. Selama
masih menggunakan cara Mafia Berkeley, tidak mungkin ada jalan baru
yang lebih pro kepentingan rakyat dan nasional.
KI: Terima kasih Pak Rizal atas waktu dan uraian sangat gamblang
yang sudah diberikan ini.
RR: Terima kasih kembali.
Itulah hasil bincang-bincang redaksi KabarIndonesia dengan penggemar
olahraga renang dan tennis meja itu. Sebagai Presiden Komisaris PT.
Semen Gresik (persero) Tbk, saat ini Rizal Ramli amat serius
melakukan sejumlah langkah-langkah strategis untuk meningkatkan
efisiensi, mendorong program pengurangan biaya dan meningkatkan
keuntungan PT. Semen Gresik Tbk. Tujuan tersebut dicapai dengan
melakukan konsolidasi dan integrasi ketiga perusahaan yaitu PT.
Semen Gresik, PT. Semen Padang, dan PT. Semen Tonasa. Bersama-sama
Komisaris dan manajemen mempersiapkan kerangka retrukturisasi
organisasi dan finansial untuk jangka menengah. Hasil dari langkah-
langkah tersebut, laba bersih Semen Gresik naik 29,3 % menjadi Rp
1,295 triliun, dan EBITDA margin mencapai 26,1 % pada tahun 2006.
Bahkan untuk pertama kalinya PT. Semen Gresik Tbk masuk kelompok 7
BUMN yang paling menguntungkan. Tercatat kemudian PT Semen Gresik
Tbk menerima penghargaan dalam kategori Most Committed to a Strong
Dividend Policy 2007 (peringkat ke-7) dan Best Corporate Governance
2007 (peringkat ke-8) dari majalah FinanceAsia. Obsesi dan impian
pria berkacamata itu terhadap tanah airnya cukup sederhana: "Saya
hanya menginginkan negara ini sejahtera dan maju," ujarnya suatu
saat kepada wartawan. Selamat berkarya Bung Rizal!
Biodata Singkat:
Nama : Rizal Ramli
Tempat/tgl. Lahir : Padang, 10 Desember 1953
Pendidikan
Ph.D dalam bidang ekonomi, Boston University, Boston, AS, 1990.
M.A. dalam bidang ekonomi, Boston University, Boston, AS, 1982.
Asian Studies, Sophia University, Tokyo, Jepang 1975.
Departemen Fisika, Institut Teknologi Bandung, 1973 1980.
Bidang Keahlian
Makro Ekonomi, Keuangan dan Industri
Pengalaman Kerja
Chairman of the Board, ECONIT Advisory Group. 2002 saat ini.
Presiden Komisaris PT. Semen Gresik, Tbk. 2006 saat ini.
Executive Chairman, GlobeAsia Magazines, 2007.
Menteri Keuangan. Juni 2001 Juli 2001.
Menteri Koordinator bidang Perekonomian RI. Agustus 2000 Juni
2001.
Kepala Badan Urusan Logistik. April 2000 Maret 2001.
Sekretaris Tim Monitoring, Program Percepatan Pemulihan Ekonomi
Pemerintahan Gus Dur & Megawati, April 2000 Agustus 2000.
Managing Director ECONIT Advisory Group, think tank independen
bidang ekonomi, industri dan perdagangan. 1993 2000.
Penasehat Ekonomi di DPR-RI. 1993 1999.
Konsultan Ekonomi untuk beberapa lembaga keuangan, Bank Indonesia,
serta lembaga internasional. 1993 1999.
Anggota Redaksi Jurnal Ekonomi dan Sosial PRISMA.
Dosen Ekonomi Program Magister Manajemen Fakultas Pasca Sarjana
Universitas Indonesia. 1992 1999.
Dosen Tamu dalam bidang ekonomi, sering memberikan kuliah di
berbagai perguruan tinggi didalam dan luar negeri, berbagai
departemen, seperti Departemen Keuangan, Perindustrian dan
Perdagangan, Bank Indonesia, BUMN. Juga kuliah tamu di LEMHANAS,
SESKO TNI-POLRI, dan lain-lain.
Pengalaman Organisasi
Deputi Ketua Dewan Mahasiswa ITB, Bandung, 1977.
Staf Pimpinan Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) 1993-1999.
Wakil Ketua Umum Forum Komunikasi Pasca'45, 1999 2000.
Diadili dan dipenjara di Sukamiskin Bandung, 1978/79 sebagai salah
seorang pimpinan mahasiswa yang menolak kepemimpinan Presiden
Soeharto.
Keluarga
Nama Istri : Herawati M. Mulyono
Nama Anak : Dhitta Puti Saraswati, Dipo Satrio, dan Daisy
Blog: http://www.pewarta-
Alamat ratron (surat elektronik): redaksi@kabarindone
Berita besar hari ini...!!! Kunjungi segera:
www.kabarindonesia.
Change settings via the Web (Yahoo! ID required)
Change settings via email: Switch delivery to Daily Digest | Switch format to Traditional
Visit Your Group | Yahoo! Groups Terms of Use | Unsubscribe
__,_._,___
Tidak ada komentar:
Posting Komentar