Subject: Re: [KomPati] RE: Yuk kita rame2 menghancurkan Vincent Liong
(Asumsi = Sintesis)
DDT: Fri Oct 26, 2007 11:04 am
From: Mang Iyus juswan@cbn.net.
e-link: http://tech.
Mang Iyus juswan@cbn.net.
Netters,
Kejadian ke Solo terjadi setidaknya 3 bulan yang lampau. Banyak hal
telah berubah sejak waktu itu. Termasuk perubahan pada karakter
Vincent sendiri yang tampak bagi saya
yang "menjaga jarak" selama 3 bulan terakhir ini sehingga dapat
melihat dengan sedikit "lebih obyektif" karena tidak terlibat secara
pribadi.
1. Semua analisis, baik yang dilakukan oleh B. Sudjanto maupun oleh
Vincent, sifatnya "post hoc" Artinya analisis dibuat "post mortem"
yaitu SETELAH semuanya telah
terjadi dan menjadi data historis. Maka penafsiran terhadap kejadian
tersebut dilatarbelakangi situasi dan kondisi SEKARANG ini, yaitu
setelah terjadi PERUBAHAN paradigma berpikir maupun perubahan sikap
dan perilaku ybs. Termasuk di dalamnya fakta adanya "peperangan
virtual" di dunia maya/mailing list sebagai latar belakang pembuatan
analisis. Akibatnya beberapa pandangan kemudian menjadi agak BIAS.
2. Misalnya saja "tuduhan" Vincent bahwa Leo mengajaknya ke Solo dalam
kerangka "black scenario" untuk "memojokkannya sejak awal". Saya
berani berkata bahwa hal ini PASTI tidak benar dan lebih merupakan
suatu OPINI subyektif yang apriori. Saat itu hubungan pribadi Vincent
dan Leo masih baik-baik saja. Tuduhan bahwa Leo menjadi bagian dari
kubu Pabrik_T sama sekali tidak memiliki dasar, apalagi dasar yang
kuat. Vincent kini melihatnya dari cermin yang sudah buram. Kata-kata
seperti "ditindas dan "dipojokkan" selama 2 minggu aromanya sangat
pleonasme juga. Permusuhan Vincent dengan Audifax juga dimulai saat
Vincent mau mendepak Pabrik-T tetapi dicegah Audifax yang justru
mengeluarkan Vincent dari milis Psi-Trans. Kalau 'casus belli' itu
tidak ada maka perang juga tidak terjadi. Kejadian Auduifax menginap 2
bulan di rumah Vincent diungkit-ungkit beberapa kali. Kalau saya jadi
Auduifax maka sayapun
akan meradang karena kesannya tidak tulus memberikan tumpangan bagi
yang lagi perlu. Ini membuat luka batin juga.
3. Sebagai observer luar yang berusaha independen saya memang
mengamati adanya semacam "persaingan tersamar" yang "agak kurang
sehat" antara Leo dan Vincent
walaupun saling mengaku sebagai "saudara angkat" tetapi sekaligus ada
semacam "sibling rivalry" untuk mengkatrol popularitas pribadi dan
kulakan/bakulan masing-masing. Pada saat pertemuan di Pasca Sarjana
Sahid maupun di Kesehatan Masyarakat Untar, maka Leo tampak mencoba
"mengkonter keadaan" dengan menunjukkan kebolehannya dalam meramal
Tarot. Padahal jelas-jelas bahwa "panggung diskusi" tersebut tujuannya
khusus membahas materi Komunikasi Empati. Jelas bahwa kesempatan
meramal secara gratis "lebih menarik" daripada diskusi mengenai
Komunikasi Empati yang berat-berat dan masih kabur entah "what
species". Ada hubungan apa dan urusannya Komunikasi Empati dengan
Acara Penebaran Tarot?
Kalau semua terdekon bisa instant baca Tarot mka kulakan Leo sudah
pasti bakal terancam. Bahwa pada awalnya Leo selalu mendukung Vincent
merupakan fakta. Namun
tidak pula dapat diabaikan sebaliknya Leo juga "sedikit banyak"
mendapat dukungan dari
Vincent pada saat kariernya sebagai pembaca tarot masih mandeg dan
belum terlalu terkenal seperti keadaannya akhir-akhir ini yang relatif
sudah maju pesat dengan klien mancanegara pula.
4. Jelas antara karakter Vincent yang polos, cengengesan, kurang
santun, norak dan resek
dan kerap menjengkelkan itu bersifat antagonis dengan karakter Leo
yang kalem, santun,
siap melayani orang dengan (semula) ramalan gratisnya. Kalau ditanya
omongan siapa yang lebih menarik dan dipercayai saya piker jawabannya
juga jelas. Namun saya tidak mau bersikap hitam atau putih. Apakah Leo
atau Vincent yang 'totally white' atau 'totally black'? Saya pikir
tidak ada kategorisasi seperti itu untuk karakter manusia. Jadi tidak
fair kalau membagi mereka menurut kriteria tersebut. Yang satu kulakan
kompati yang lainnya kulakan Tarot. Yang satu kulakan Dekon yang
lainnya kulakan Rekon. Yang satu
kulakan Instink yang lainnya kulakan Intuisi. Semula sih (katanya)
inginnya saling mengisi tetapi "setelah merasa kuat" ingin saling
bersaing saling mematikan. Nafsu mematikan ini jelas-jelas lebih kuat
pada satu pihak yang pernah mengutuk (umpamanya soal futie dsb)
dibandingkan dengan pihak lainnya yang flat. Kedua-duanya "ngerjain"
orang dengan bayaran (relatif mahal) tetapi sama-sama tidak berani
menjamin "keberhasilan" apapun dari kegiatan operasinya. Adonan
ramalan ialah 35% truth, 35% bullshit dan 30% sugesti mengambang.
Kalau ramalan nasib bagus tepat maka asalnya dari 35% truth + 30%
mengambang. Kalau nasib sial maka pasrah saja karena asalnya 35%
bullshit + 30% ngambang. Apapun kejadiannya outputnya dikonfontrir
dengan ramalan maka peramal tetap safe terhadap tuduhan malpraktek.
Begitu pula dengan dekon, sejak semula "sudah pasang tameng" bahwa
tidak menjanjikan "perubahan" apapun. Jadi kalau "mengharap perubahan"
maka salah sendiri kenapa mau didekon. Ibarat beli jamu obat kuat:
jika 'jadi joss' maka diam-diam saja karena happy tetapi kalau 'tetap
loyo' juga diam-diam saja karena malu ketahuan bodonya.
5. Kini setelah Leo "mapan" dengan bisnis Tarot dan M-3 dengan sistem
tarif yang mirip sistem Vincent (mula-mula 300 kini 500 dan di Mal)
tentu mampu berbicara "agak
keras" karena sudah tidak membutuhkan sama sekali dukungan apapun dari
Vincent, baik
secara moral apalagi secara material.
6. Pemisahan 'elmu' yang "totally instinctive" dan "totally intuitive"
saya pikir juga sangat absurd, tidak logis, sekaligus keliru juga.
Mana ada manusia yang tidak punya
intuisi? Mana ada sih manusia yang tidak punya instink? Tajam atau
tumpul soal kedua.
Kebutuhan akan pangan, shelter dan seks jelas-jelas instinktif. Siapa
yang gak punya? Bahkan rohaniwan yang pedofil masih punya
godaan-godaan seksual yang instinktif, demikian juga mereka yang
senang dijamu gelojoh/makan enak dan yang suka minum-minum alkohol di
biara.
7. Menurut paradigma evolusi Darwinian jelas pada otak manusia tampak
bahwa kemampuan-kemampuan instinktif MENDAHULUI kemampuan-kemampuan
intuitif. Kemampuan yang terakhir ini baru dimulai pada saat homo
sapiens memiliki organ CEREBELLUM/otak kecil - neo-korteks untuk
berpikir logis dan amygdala untuk merasakan secara emosional (yang
lebih dulu ada dari neo korteks tetapi lebih belakangan dari lobus
pendengaran dan penglihatan. Letaknya di endoencephalon)
kemampuan intuitif MELENGKAPI kemampuan instinktif dan sama sekali
bukan untuk substitusi menggantikannya. Menuduh Vincent totally
unstinktif sama sekali tidak berdasar. Sic!
8. Fakta kehidupan modern membuktikan bahwa kemampuan-kemampuan
instinktif manusia kota/urban telah menjadi semakin TUMPUL bahkan
hampir lenyap. Sedangkan
pada manusia desa terutama daerah terpencil/terisolas
instinktif itu masih
sangat tajam dan kuat. Sistem pendidikan modern yang mengandalkan
'kecerdasan rasional' semakin menekan habis-habisan baik 'kemampuan
intuitif' apalagi 'kemampuan instinktif' siswa-siswa sekolah maupun
alumni akademik.
9. Sinyalemen Vincent ada benarnya. Orang yang terlalu banyak bicara
soal "supra natural" ("bangunan atas = supra struktur) kerap kali
kehilangan fondasi yang
kuat pada "struktur bawah". Melayang-layang di menara gading. Ibarat
ilmu silat tidak mempunyai bhesi/kuda-kuda yang kuat dan kalau sekali
saja disabet kakinya pakai sapuan bawah maka segera akan rubuh.
Akibatnya, banyak orang yang menyibukkan diri dengan urusan spiritual
dan sorgawi tetapi sangat rapuh dalam soal soal keduniawian. Kedua
sub-struktur inipun sidatnya KOMPLEMENTER dan sama sekali bukan
diametral apalagi antagonistik. Gereja atau mesjid juga tidak bisa
dibangun kalau tidak ada duit para pengusaha donatur yang menjadi
umatnya, bahkan untuk urusan makan dan lodgingnya juga. Tidak ada duit
juga para paderi tidak bisa dikirim untuk studi S-2 atau
S-3 di manca negara.
10. Pertanyaannya kemudian ialah mana yang perlu didahulukan? Bikin
"fondasi" lebih dahulu atau pasang "atap". Tak usah jadi insinyur
untuk menjawab pertanyaan ini.
Tanpa struktur fondasi tidak mungkin bisa dipasang atap. Orang tidak
bisa ujug-ujung mau pasang dinding, apalagi atap, bila tidak pakai
fondasi. Memang bisa, tetapi begitu ada banjir, longsor atau gempa
maka seluruh bangunan jadi ambrol. Demikian pula yang mengandalkan
"kemampuan intuisi" saja bila terjadi gempa/longsor/
dapurnya yang tidak berasap maka semuanya jadi hancur berantakan tanpa
ampun.
11. Anjing memang binatang dan dianggap "punya perasaan" terutama
sifat "kesetiaan" dan tentu saja ini semua semata-mata hanyalah soal
"kebiasaan yang terbentuk" selama beberapa kurun waktu. Pembandingan
karakter manusia dengan kareakter anjing tentulah
hanya bersifat analogi. Anjing tidak punya moral tetapi manusia
seharusnya punya. Karena amygdala belum berkembang pada organ otak
anjing maka anjing akan menunggang biangnya sendiri. Hal itu tidak
mungkin terjadi pada manusia yang beradab yang mampu menghindari
hubungan incest. Maka menarik kesimpulan bahwa anjingpun mempunyai
kecerdasan logis untuk membuat range dan scale (rentang dan skala)
hanyalah PROYEKSI paradigma berpikir Vincent yang diterapkan pada
anjing. Bukan secara ipso facto memang ada proses berpikir demikian
itu pada seekor anjing. Kalau tesis Vincent benar maka semua anjing
manapun di dunia ini mampu membuat rentang dan skala. Anehnya semua
anjing pasti menggonggong ke tukang korek-korek sampah. Itulah instink
murni anjing dan bukannya akibat proses dekon.
Ini hanya refleksi pribadi yang diusahakan seobyektif mungkin tanpa
melakukan "judging" terhadap kedua sohib saya Vincent maupun Leo. Dan
saya hanya (seperti diajarkan Leo) harus "berbicara apa adanya" tanpa
perlu merasa berpihak secara partisan kepada pihak manapun. Maaf-maaf
kata kalau sekiranya ada yang merasa tersinggung oleh tanggapan saya ini.
Mang Iyus
Change settings via the Web (Yahoo! ID required)
Change settings via email: Switch delivery to Daily Digest | Switch format to Traditional
Visit Your Group | Yahoo! Groups Terms of Use | Unsubscribe
__,_._,___
Tidak ada komentar:
Posting Komentar