MENGGAGAS PENGAMBILALIHAN DAN PENGELOLAAN PERUSAHAAN OLEH BURUH
Fitriati[1]
Sebuah film dokumenter, The Take, mempertontonkan perusahaan-perusahaan swasta di Argentina banyak yang pailit dan ditinggal kabur pengusahanya karena krisis ekonomi di era 1990 - 2000. Pun, dalam sistem pemerintahan Negara Argentina saat itu (sampai film itu dibuat, tahun 2003) hanya menjadi “pelaksana” kebijakan pemodal internasional dan dikontrol oleh pemodal tersebut melalui IMF dan World Bank. Semua kebijakannya merugikan kaum buruh dan Rakyat Argentina.
Dalam film tersebut, jelas digambarkan bahwa Rakyat Argentina, khususnya buruh, mendapatkan ide dan kemauan mengambil alih serta mengelola perusahaan bukan dari sebuah teori yang datang dari langit, tetapi dari pengalaman yang mereka hadapi. Pengusaha-pengusaha kabur dengan membawa modal mereka yang telah terakumulasi di bank, mereka hanya meninggalkan mesin-mesin, gedung-gedung dan sisa bahan baku serta buruh-buruh yang dalam kebingungan karena tidak mendapat upah dan kepastian kerja. Dari sinilah para buruh yang sudah tidak bekerja dan sulit mendapatkan pekerjaan di tempat lain akhirnya menemukan satu pilihan, yakni mengambil alih perusahaan yang ditinggal kabur pengusaha dan mengelolanya agar berproduksi kembali oleh buruh secara bersama.
Hambatan-hambatan yang muncul di fase awal, seperti proses produksi yang sebelumnya tidak tergambarkan soal akunting. Hal yang selama ini buruh secara umum tidak menyentuh dan melakukannya, lebih dilakukan oleh manajemen perusahaan. Tetapi pada prakteknya mereka menemukan sebuah kemudahan. Mereka merasakan hitung-hitungan produksi dan akunting hanyalah sebuah proses penghitungan: tambah-tambahan, kurang-kurangan, bagi dan kali. Hambatan bahan baku dan segmen pasar produksi terjawab dengan relasi antar komunitas yang dibangun bersama.
Pada perkembangannya industri yang dibangun bersama oleh Buruh Agentina, menjadi contoh dan bergerak ke sektor lainnya seperti klinik dan komunitas sekitar industri di masyarakat. Dan perkembangan kuantitas ini bergerak menuju peningkatan kualitas kehidupan masyarakatnya. Pengorganisasian komunitas menjadi salah satu motor dan penentu kerberhasilan pengelolaan perusahaan oleh kaum buruhnya, dan manfaat dari hasil produksi dapat dinikmati oleh masyarakat sekitar industri.
Keberhasilan satu perusahaan dan berkembang menjadi satu metode massal, sampai 200 perusahaan yang dikelola buruh secara bersama membuat elit politik dan pengusaha kembali mengincar untuk merebut perusahaan-perusahaan tersebut. Kekuatan polisi dan birokrasi kembali dipakai untuk mengusir buruh dari pabrik dengan alasan pabrik tersebut milik mereka. Padahal ketika buruh mengambil alih perusahaan dalam keadaan sulit, hutang menumpuk, buruh tidak dibayar, dan produksi macet. Upaya yang dilakukan untuk berproduksinya kembali perusahaan, dianggap illegal dan melanggar undang-undang.
Namun kekuatan besar kaum buruh yang membuat Komite Nasional Pengelolaan Perusahaan, tentunya tidak tinggal diam dan memperkuat barisannya serta melakukan perlawanan dengan berbagai cara. Upaya awal adalah dengan terus berproduksi dan menjaga perusahaan secara bergilir. Upaya lanjutannya dengan mendesak negara dan pemerintah setempat membuat kebijakan agar pengelolaan perusahaan diatur dalam sebuah peraturan khusus. Pada prosesnya Kota Buenos Aires membuat kebijakan menyetujui penguasaan perusahaan oleh buruh secara bersama. Sebuah proses panjang dan masih terus berlangsung.
Pelajaran untuk kasus di Indonesia
Di Indonesia, situasi ekonomi juga memiliki kemiripan dengan Argentina dan daerah Amerika Latin lainnya. Resep diberikan oleh IMF dan World Bank agar menjadi tergantung dan kemudian negara tunduk. Aturan perundang-undangan dibuat untuk memberikan keleluasaan bagi pengusaha/investor dan merugikan buruh. Pun, fenomena kasus penutupan perusahaan dengan dalih pailit, relokasi dan pengusaha kabur cukup marak paska krisis ekonomi 1998. Cukup banyak perjuangan yang hanya berhenti pada pemberian pesangon yang sangat kecil dan apabila melawan melalui jalur hukum akan selalu lama bahkan terkatung-katung, karena proses yang panjang dengan eksekusi yang tak pasti.
Pada tahun ini saja, di Jabodetabek diguncang dengan kaburnya pengusaha dan penutupan perusahaan karena larinya order seperti PT. Tong Yang Indonesia dan PT. Tapak Tiara Indah Bekasi yang mengerjakan sekitar 10.000 buruh. Juga PT Spotec dan PT. Dong Joe Indonesia di Tangerang yang buruhnya mencapai 12.000. Belum lagi PT. Titan Karawang, PT. Istana di Jakarta yang mempekerjakan hingga 5.000 buruh.
Kita bisa hitung kerugian ekonomi, sosial dan politik bagi kaum buruh dan keluarganya yang menerima dampak karena pengusaha kabur dan perusahaan tutup. Secara ekonomi, tingkat penurunan kualitas hidup menjadi kenyataan pertama yang diterima. Pesangon yang tidak jelas dan kalaupun mendapatkan hanyalah kecil (tidak sesuai aturan), membuat kebutuhan-kebutuhan hidup tidak bias dipenuhi.
Secara sosial, sulit untuk mencari kerja karena batasan usia. Selain itu karena secara ekonomi merosot maka pilihannya adalah bekerja dengan serabutan. Ditambah dengan tradisi dan budaya masyarakat yang masih feodal maka tekanan secara psikologi menambah beban kehidupan buruh dan keluarganya. Maka tingkat depresi, stress dan frustasi menjadi tinggi. Secara politik, kekuatan kaum buruh menjadi lemah karena banyak yang di-PHK.
Dalam situasi yang seperti itu, pengalaman Buruh Argentina bisa menjadi inspirasi dan bahan diskusi bagi serikat buruh dan para pejuang rakyat agar membangun gagasan untuk mengambil alih perusahaan dan mengelolanya menjadi usaha bersama kaum buruh. Sehingga ini bisa menjawab akan persoalan pengangguran dan kemiskinan di Indonesia. Apabila ini bisa dilakukan, maka akan menjadi satu konsep tandingan dan menjawab akan kelemahan negara memberikan lapangan pekerjaan bagi rakyat serta negara hanya mengandalkan kepada investor.
Hambatan-hambatan pasti akan muncul, soal bahan baku dan pasar serta bagaimana dengan tanggungan perusahaan ke bank, termasuk bagaimana proses produksi dan pembagian keuntungan. Nah, di sini bisa akan ditemukan jawabannya ketika bisa terumuskan dengan baik, dengan mempertemukan para buruh yang perusahaannya tutup dan pengusahanya kabur.
Untuk menuju kesana, maka buruh yang perusahaannya tutup dan pengusahanya kabur harus membangun logika dalam penyelesaian kasus tersebut dengan cara memberikan pemahaman tentang kelanjutan kerja dengan mengambil alih perusahaan dan memperkuat kaum buruhnya serta tidak terjebak dalam dalam aras hokum formal negara. Kerja tingkat bawah ini harus dibarengi dengan kerja bersama tingkat atas dengan membangun aliansi pengambilalihan perusahaan tutup. Kerja ini diambil bersama oleh serikat buruh, aktivis pejuang rakyat dan intelektual pro buruh.
Kerja aliansi atau komite ini bertugas untuk melakukan kampanye dan tekanan kepada negara dan mencari dukungan bagi terlaksananya dan berlangsungnya proses produksi tersebut. Salah satunya adalah bagaimana mencari modal (yang sering manjadi persoalan) untuk memulai kembali produksi, di antaranya bisa memakai dana JAMSOSTEK atau dana dari BUMN lainnya. Selain itu kerja komite ini bisa memaksakan sebuah aturan negara akan perlindungan secara khusus model produksi ini.
Model alternatif ini bisa menggerakkan ekonomi bukan saja bagi buruhnya, tetapi juga untuk masyarakat sekitar industri. Tentunya membutuhkan kemauan dan keseriusan bagi semua pihak yang mendukung rakyat dalam membebaskan diri dari sistem kapitalisme yang menindas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar